widget

Senin, 30 November 2009

KONSTRUKTIVISME DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL

KONSTRUKTIVISME DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL
Heri Alfian


A. Pendahuluan
Konstruktivisme muncul di tengah perdebatan antara teori-teori yang digolongkan ke dalam aliran materialisme-rasionalisme seperti realisme, neorealisme, neoliberalisme, liberalisme/pluralisme, Marxisme dengan teori-teori radikal yang digolongkan ke dalam aliran reflektivis seperti teori kritis, feminisme dan postmodernisme. Perdebatan kedua aliran tersebut terkait dengan pondasi ilmu hubungan internasional yang dalam bahasa filsafat disebut dengan perdebatan ontologis dan epistemologis. Aliran rasionalisme menganggap bahwa ada sesuatu di luar sana (fakta materi) yang independen dari pengetahuan kita, sedangkan reflektivis menganggap bahwa tidak ada sesuatu di luar sana yang terpisah dari pengaruh konstruksi pengetahuan subyek dan interaksi dengan lingkungannya. Semua femomena yang ada adalah hasil dari konstruksi sosial. Dengan kata lain rasionalis menganggap bahwa fakta itu ada sedangkan reflektivis tidak mengakui adanya fakta.
Dalam konteks inilah konstruktivisme muncul sebagai suatu jalan tengah atau jembatan antara perbedaan tajam teori-teori rasionalis seperti neorealisme dan neoliberal dengan teori-teori reflektifis seperti postmodernisme, feminisme, critical theori. Konstruktivisme muncul untuk memberikan suatu pandangan bahwa realitas sosial tidak bisa dilihat sebagai suatu yang secara alamiah (given) ada dengan sendirinya dan independen dari interaksi (rasionalis) dan sebaliknya tidak bisa juga dilihat sebagai sesuatu yang nihil atau tidak ada dan semata-mata hanya dilihat sebagai refleksi ide-ide manusia (reflektifis).
Asumsi yang berbeda secara mendasar tersebut dalam pandangan konstruktivis pada dasarnya bisa dipertemukan dalam satu titik temu yaitu dengan argumennya bahwa realitas sosial tidak sepenuhnya given dan tidak juga sepenuhnya nihil (tidak ada). Konstruktivis melihat relitas dunia ini sebagai sesuatu yang didasarkan oleh (fakta) evidence yang secara materil bisa ditangkap ataupun tidak oleh panca indera namun fakta tersebut tidak menuntun/tidak menentukan bagaimana kita (manusia) melihat realitas sosial. Sebaliknya relitas sosial menurut konstruktivis adalah hasil konstruksi manusia (konstruksi sosial). Dalam definisi Emanuel Adler, konstruktivisme merujuk pandangan yang melihat bahwa terdapat suatu pola di mana dunia materi pada dasarnya terbentuk dan dibentuk oleh tindakan dan interaksi manusia yang tergantung pada interpretasi-interpretasi terhadap dunia materi yang tentunya berbeda (antara manusia satu dengan manusia lainnya) karena adanya perbedaan latar belakang secara normatif dan epistemik. Jika kita akan memakan roti makan bukan roti itu yang menentukan pisau apa yang akan kita pakai untuk mengirisnya, sebaliknya konstruksi pikiran kitalah yang menentukan pisau jenis apa yang tepat menurut kita, atau sangat terbuka kemungkinan kita untuk menggunakan sesuatu yang bukan disebut pisau asalkan menurut pikiran kita alat tersebut bisa digunakan untuk mengiris roti.
Tulisan ini dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama membahas tentang ontologi dan posisi ontologis konstruktivisme di antara teori-teori hubungan internasional. Bagian kedua menjelaskan tentang bagaimana konstruktivisme melihat realitas hubungan internasional.
B. Ontologi Konstruktvisme
Konstruktivis muncul sebagai suatu pendekatan yang penting di dalam hubungan internasional karena posisi ontologisnya yang secara nyata berbeda dari pendekatan-pendekatan rasionalis yang lebih dulu ada dan sangat dominan. Konstruktivis muncul memberikan alternatif lain di dalam melihat hubungan internasional yang selama ini didominasi oleh pemahaman materialis-rasionalis yang berbasiskan pada materi. Teori-teori itu mengklaim bahwa negara ataupun power actors pada umumnya, telah mengetahui dengan pasti apa kepentingan mereka, serta mengetahui bagaimana cara mewujudkannya. Bagi rasionalis, logika yang berlaku adalah negara merupakan aktor rasional yang selalu mengejar power atau selalu memaksimalkan keuntungan dan kepentingannya.
Sebaliknya, konstruktivis dibangun dari basis ide, norma, budaya, dan nilai. Atas dasar itulah konstruktivis digolongkan ke dalam teori idealis. Formulasi teoritik konstruktivis menyatakan bahwa lingkungan sosial menentukan bentuk identitas aktor. Identitas kemudian menentukan kepentingan, dan kepentingan akan menentukan bentuk tingkah laku, aksi ataupun kebijakan dari aktor. Pada tahap berikutnya identitas juga akan mempengaruhi bentuk dari lingkungan sosial. Proses tersebut dapat dilihat pada figure berikut:
Gambar 1
Kerangka Berpikir Konstruktivis




Sumber: Ronald L Jepperson,et.all, Norms, Identity, and Culture in National Security, dalam Peter J. Katzenstein (ed), The Culture of National Security: Norms and Identity in World Politics, Columbia University Press, New York, 1996, hal. 53.

Secara sederhana proses itu bisa dijelaskan dengan identitas seseorang di dalam masyarkat. Identitas seseorang ada bermacam-macam terkait dengan institutional role yang diperankannya. Misalnya seseorang bisa saja berperan sebagai Saudara, Anak, Guru, dan Warga negara. Komitmen dan kepentingan yang terdapat di dalam berbagai identitas itu berbeda-beda, namun masing-masing identitas tersebut semuanya merupakan definisi sosial terhadap aktor di mana aktor-aktor mengikatkan diri mereka sendiri antara satu dengan lainnya. Identitas-identitas itu kemudian membentuk struktur sosial ( social world).
Selanjutnya identitas aktor akan menentukan kepentingannya, karena identitas merupakan dasar dari kepentingan. Aktor tidak memiliki kepentingan yang tidak didasarkan pada identitas yaitu yang secara independen dimilikinya di dalam konteks sosial. Aktor mendefinisikan kepentingannya di dalam proses mendefinisikan situasi. Seorang politisi memiliki kepentingan untuk dipilih kembali karena Ia merasa dirinya sebagai politisi; Profesor memiliki kepentingan untuk mendapatkan jabatan karena Ia melihat dirinya adalah seorang profesor. Proses terbentuknya identitas dan kepentingan disebut sebagai “socialization”. Sosialisasi merupakan suatu proses pembelajaran (learning) untuk penyesuaian diri -tingkah laku (behavioral) seseorang- dengan ekspektasi sosialnya.
Selain digolongkan ke dalam kelompok teori idealis, konstruktivis juga dapat dimasukkan ke dalam kategori teori sistem. Penggolongan ini di dasarkan pada posisi konstruktivis yang menjelaskan tingkah laku aktor pada level sistem/struktur. Konstruktivis mengasumsikan bahwa suatu unit yang kemudian disebut agent dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang mengelilinginya. Teori-teori yang mengambil sudut pandang dari posisi struktur selanjutnya disebut dengan teori holisme. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa identitas, tingkah laku dan kepentingan seorang individu dipengaruhi oleh masyarakat tempat ia bersosialisasi. Jadi identitas, perilaku, dan kepentingan individu tidak secara alamiah ada dengan sendirinya dan murni muncul dari dalam individu itu sendiri, akan tetapi merupakan bentuk dari pengaruh lingkungan sosial terhadap individu tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konstruktivisme terletak di dalam kelompok teori yang idealism-holism.
Posisi konstruktivis sebagai teori yang idealism-holism dijelaskan oleh Alexander Wendt dengan menggunakan mapping struktur teorisasi. Wendt membagi teori-teori sosial ke dalam empat kuadran yaitu materialis-individualism yang menekankan pada peran human nature yang sangat penting di dalam terbentuknya national interest; Materialis-holism menyatakan bahwa the properties of agent dikonstruksi di dalam level internasional dengan basis material; Idealis-individualism menyatakan bahwa identitas dan kepentingan kepentingan negara diciptakan oleh politik domestik dan mempunyai social view terhadap terbentuknya sistem internasional; Kategori terakhir yaitu idealism-holism merujuk pada pandangan bahwa struktur internasional secara fundamental terdiri dari shared knowledge, dan hal itu tidak hanya mempengaruhi tingkah laku negara tetapi juga memebentuk identitas dan kepentingan negara.










Gambar 2
A Map of Structural Theorizing (Locating International Theories)
Sumber: Wendt, Alexander, Social Theory of International Politics. Cambridge: Cambridge University, 1999, hal 29 & 32

Konstruktivis, terletak di kuadran atas sebelah kanan, satu kelompok dengan english school, world society, postmodern IR dan feminist IR. Letak konstruktivis di sebelah kanan (paling kanan) itu menegaskan bahwa konstruktivis dibangun di atas asumsi-asumsi idealis yang menempatkan norma, ide, nilai dan budaya sebagai sesuatu yang utama yang menentukan bentuk identitas, kepentingan dan perilaku aktor (negara). Sedangkan posisi konstruktivis di kuadran atas menegaskan bahwa perilaku negara dijelaskan pada level struktur. Atas dasar itulah konstruktivis digolongkan ke dalam teori idealism-holism.
Dari kategorisasi tersebut kemudian dapat diperjelas bahwa pada dasarnya konstruktivis memiliki 4 (empat) prinsip dasar yaitu:
a) Pengutamaan faktor-faktor yang berbasiskan pada ide (ideational factors). Konstruktivis menolak teori-teori dominan dalam HI yang menempatkan faktor material secara berlebihan, di mana hal itu menyebabkan teori-teori tersebut gagal dalam menjelaskan perilaku negara di dalam sistem internasional. Menurut konstruktivis, norma-norma sifatnya otonom dan norma membentuk dan menentukan perilaku negara di dalam sistem internasional. Norma tidak hanya berfungsi untuk mengatur (regulatory) namun lebih dari itu membentuk (constitutive) perilaku negara.
b) Kepentingan agent didasarkan/ditentukan oleh konstruksi identitasnya yang terbentuk di dalam/ melalui interaksi sosial.
c) Komunikasi antar aktor dan norma (moral norms) akan menentukan tingkah laku aktor tersebut. Aktor akan cenderung berprilaku sesuai dengan norma yang disepakati bersama.
d) Pentingnya perubahan sejarah internasional. Identitas agent akan berubah sejalan dengan perubahan struktur internasional.

C. Pandangan Konstruktivis tentang Realitas Hubungan Ilnternasional
Pandangan konstruktivis terhadap realitas hubungan internasional pada dasarnya muncul untuk membantah pandangangan neorealis. Neorealis selalu memandang realitas hubungan internasional sebagai sesuatu yang anarkis. Kondisi tersebut sifatnya given (ada dengan sendirinya) baik keberadaannya dan sifatnya yang permissive. Konsep “permissive” merujuk pada kondisi yang memungkinkan negara-negara untuk berperang. Dalam konteks ini perang terjadi karena tidak ada yang mencegah negara-negara untuk berperang. Sifat alamiah manusialah atau keadaan politik domestik negara predator yang menyebabkan terjadinya konflik. Jadi jika negara A menyerang negara B, kemudian B melakukan tindakan defense, maka itu disebabkan semata-mata hanya oleh faktor sifat alamiah manusia atau politik domestik. Jadi sistem internasional yang anarkis dan negara adalah sesuatu yang terpisah dan tidak saling mempengaruhi. Semua perilaku negara terjadi di dalam sistem anarkis itu tanpa ada pengaruh apapun dari perilaku negara-negara terhadap sistem tersebut. Neorealis tidak melihat bahwa “practices” negara menentukan karakter anarchy. Dalam pandangan neorealis anarchy adalah sistem yang sifatnya self- help dan ditentukan oleh persaingan power politics, di mana keduanya adalah given oleh struktur sistem negara.
Konstruktivis tidak dalam posisi untuk menolak asumsi anarkis itu, namun memberikan argumen bahwa terjadi interaksi antar negara di dalam sistem anarkis tersebut. Dalam proses interaksi terjadi proses saling mempengaruhi antar negara sehingga memberikan “bentuk” terhadap struktur internasional. Dalam interaksi itu negara membawa subyektifitas masing-masing yang didasarkan pada meanings yang dimiliki. Proses interaksi menyebabkan terjadinya interaksi subyektifitas, dan kesepahaman tentang persepsi atau pengakuan identitas pihak lain--- yang selanjutnya disebut others dan diri sendiri (negara) disebut self-- memunculkan konsep intersubyektifitas. Intersubyektifitas menyangkut kesepakatan ataupun pengakuan terhadap meanings bersama atau collective meanings. Masing-masing pihak di dalam proses interaksi telah sepakat tentang “sesuatu” yaitu bisa berupa musuh, teman, ancaman, atau kerja sama.
Menurut konstruktivisme, setiap tindakan negara didasarkan pada meanings yang muncul dari interaksinya dengan lingkungan internasional. Setiap bentuk tindakan negara misalnya melakukan perang atau menjalin hubungan baik, ataupun memutuskan hubungan dan bahkan tidak melakukan hubungan dengan negara lain, semuanya didasarkan oleh meanings yang muncul dari interaksinya dengan negara-negara atau lingkungan internasionalnya. Tindakan negara terhadap musuhnya tentulah berbeda dengan tindakan terhadap temannya. Negara akan memberikan ancaman terhadap musuhnya dan tentu tidak terhadap temannya.
Tindakan negara dalam pandangan konstruktivisme memberikan pengaruh terhadap bentuk sistem internasional, sebaliknya sistem tersebut juga memberikan pengaruh pada perilaku negara-negara. Dalam proses saling mempengaruhi itu terbentuklah apa yang disebut dengan collective meanings. Collective meanings itulah yang menjadi dasar terbentuknya intersubyektifitas dan kemudian membentuk struktur dan pada akhirnya mengatur tindakan negara-negara.
Terkait dengan asumsi neorealis yang menyatakan bahwa sistem internasional diwarnai oleh adanya distribution of power dan hal itu mempengaruhi negara-negara dalam melakukan kalkulasi, konstruktivis menegaskan bahwa bagaimana mungkin kalkulasi itu terjadi jika tidak ada “distribution of knowledge” di antara negara-negara di dalam sistem internasional tersebut. Distribusi knowledge tersebut akan menentukan atau membentuk konsepsi negara-negara tentang self dan other. Jika tidak ada distribusi knowledge yang menjadi dasar terbentuknya collective meanings bagaimana bisa suatu negara menganggap suatu negara lain adalah “teman” atau aliansinya sementara negara suatu negara lainnya adalah musuhnya. Jadi intersubjective understandings dan ekspektasilah yang menentukan konsepsi negara tentang self dan other.
Sebagai contoh mengapa AS menganggap Kuba adalah musuhnya sedangkan Kanada adalah sekutunya. Secara geografis, kedua negara tersebut adalah tetangga AS. Demikian juga mengapa kepemilikan nuklir Iran dianggap berbahaya oleh AS bagi keamanan dunia dan dirinya sementara kepemilikan nuklir Inggris tidak membahayakan negara manapun? Perbedaan-perbedaan persepsi yang selanjutnya menjadi perbedaan sikap terhadap others tersebut menurut Wendt disebabkan oleh adanya collective meanings yang tercipta di dalam interaksi. Tanpa adanya perbedaan meanings maka sudah tentu AS akan menganggap berbahaya semua negara tetangganya dan semua negara yang memiliki kekuatan senjata nuklir, atau sebaliknya AS akan menganggap semua negara adalah temannya. Contoh lain misalnya, mungkin Perang Dingin tidak akan pernah berakhir jika AS dan Uni Soviet masih menganggap bahwa mereka adalah musuh. Jadi jelas bahwa Perang berakhir karena kedua belah pihak sudah menganggap pihak lainnya bukan lagi musuh. Contoh sederhana lainnya yaitu jika masyarakat sudah lupa tentang apakah universitas itu, maka powers dan practices profesor dan mahasiswa tidak akan ada lagi.
Untuk memperjelas bagaimana konstruktivis memandang realitas hubungan internasional berikut akan dijelaskan tentang varian-varian konstruktivis. Pembagian berikut tentu saja tidak mencakup semua bentuk varian konstruktivis seperti varian John Gerard Ruggie, Friedrich Kratochwil, Nicholas Onuf dan Reus Smith. Hal ini penting untuk diutarakan mengingat satu varian akan sangat berbeda sisi/ bagian penekanannya dibandingkan dengan varian lainnya. Menurut John M. Hobson, konstruktivis dapat dibedakan berdasarkan pada dua kondisi yaitu, pertama, kemampuan untuk membuat kebijakan tanpa adanya hambatan-hambatan dometik (domestic agential state power). Kedua, yaitu, kemampuan untuk membuat kebijakan tanpa adanya hambatan-hambatan internasional (international agential state power).
Berdasarkan dua kondisi tersebut konstruktivis dapat dibagi menjadi tiga varian yaitu: pertama, teori konstruktivis yang digolongkan ke dalam international society-centric constructivism. Varian ini mengasumsikan bahwa kemampuan untuk membuat kebijakan sangat ditentukan oleh lingkungan internasional, sedangkan lingkungan domestik sangat kecil pengaruhnya terhadap pembuatan kebijakan. (The theory of the low domestic agential power of the state and high international agential state power). Salah satu teoritisi yang termasuk di dalam varian ini adalah Martha Finnemore. Menurut dia, HI sangatlah agent-centric. Ia mengasumsikan bahwa negara tidak selalu mengetahui apa yang diinginkannya, sehingga pertanyaan penting yang harus dijawab adalah bagaimana kepentingan negara ditentukan (defined)? Identitas dan kepentingan negara menurutnya ditentukan oleh struktur norma internasional. Oleh karena itu perilaku negara harus dianalisa pada level sistem.
Kedua, teori konstruktivis yang digolongkan ke dalam radical-constructivism. Varian ini mengasumsikan bahwa pengaruh domestik sangat kecil di dalam pembuatan kebijakan suatu negara. Sedangkan pengaruh lingkungan internasional tidak terlalu besar (moderat). (The theory of the very low domestic agential power of the state but moderate international agential sate power). Konstruktivisme radikal menurut Hobson adalah postmodernisme. Menurut varian ini, proses pembentukan identitas negara yang dipengaruhi oleh norma global menyebabkan munculnya kekerasan, penindasan, penderitaan dan marginalisasi kaum minoritas. Selain itu varian ini juga mengasumsikan bahwa kedaulatan negara bukanlah sesuatu yang terbentuk dari basis materi, tetapi sesuatu yang socially construct. Lebih spesifik varian ini mengatakan bahwa kedaulatan, perbatasan, legitimasi, bangsa atau komunitas politik domestik, haruslah dilihat dalam konteks proses yang masih berlangsung dan bukan sesuatu yang telah usai (finished or completed).
Ketiga, teori konstruktivis yang digolongkan ke dalam state-centric constructivism. Varian ini mengasumsikan bahwa pengaruh domestik maupun lingkungan internasional sama-sama rendah atu moderat. (The theory of the low/moderate domestic agential power of the state and moderate/high international agential state power). Salah satu tokoh utama varian ini adalah Peter J. Katzenstein. Ia mengatakan bahwa teori sistem (systemic theory) tidak mampu menjelaskan perilaku negara, karena, teori sistem memperlakukan negara sebagai suatu kotak hitam (black-boxes) sehingga gagal dalam menjelaskan hubungan antar struktur di dalam negara yang sifatnya kompleks. Katzenstein mengasumsikan bahwa setiap negara berbeda secara internal, dan hal itu menentukan perilaku mereka di dalam sistem internasional.
D. Kesimpulan
Konstruktivisme memberikan sumbangan yang cukup penting bagi perkembangan teori-teori hubungan internasional. Kehadiran konstruktivisme yang sering disebut sebagai jembatan (via media) antara teori-teori rasionalis dengan reflektivis telah memberikan arah baru bagi penemuan cara pandang baru atas realitas hubungan internasional. Barry Buzan membuktikan hal itu dengan teori sekuritisasi (securitization) di mana ia berhasil menggabungkan antara pendekatan rasionalis terutama realis dengan pendekatan reflektifis seperti teori kritis dengan menggunakan asumsi-asumsi yang dibangun oleh konstruktivis.
Pendekatan konstruktivis memberikan cara pandang yang lebih tepat terkait dengan isu-isu hubungan internasional yang semakin kompleks. Kehadiran konstruktivis dalam banyak hal menjadi alternatif tool of analysis yang cukup mumpuni ketika pada saat yang sama teori-teori rasionalis tidak bisa menjelaskan banyak hal yang terkait dengan perilaku negara. Sebagai contoh misalnya, realis tidak dapat memberikan penjelasan memuaskan mengapa Perag Dingin berakhir, mengapa Amerika Serikat di satu sisi menentang keras program nuklir Iran tetapi di sisi lain membiarkan (untuk tidak mengatakan mendukung sepenuhnya) program nuklir Pakistan, India dan Israel. Terkait dengan sikap AS terhadap rezim-rezim otriter juga menjadi pertanyaan besar yang tidak bisa dijawab oleh teori rasionalis seperti liberalism yaitu mengapa AS menyerang Irak dengan alasan penyebaran demokrasi tetapi pada sisi lain konsisten mendukung rezim paling totaliter seperti Arab Saudi.


DAFTAR PUSTAKA

Hay,Collin, Structure and Agency, dalam David Marsh and Gerry Stoker (eds), Theory and Methodes in Political Science. London: Macmillan Press, 1995.
Hobson,John M., The State and the International Relations. Cambridge: Cambridge University Press, 2000.
-------------------., What’s at Stake in ‘Bringing historical sociology Back into International relations? Transcending ‘Cronofetishm’ and ‘tempocentrism’ in International Relations, dalam Stephen Hobden and John M. Hobson (eds), Historical Sociology of International Relations. Cambridge: Cambridge University Press, 2002.
Jepperson,Ronald L. et.all, Norms, Identity, and Culture in National Security, dalam Peter J. Katzenstein (ed), The Culture of National Security: Norms and Identity in World Politics. New York: Columbia University Press, 1996.
Marsh, David and Paul Furlong, Chapter 1: A Skin not a Swater: Ontology and Epistemology, in Political Science. hal 17. dalam http://www.palgrave.com
Nau, Henry R. Identity and the Balance of Power in Asia, dalam G. John Ikenberry and Michael Mastanduno (eds), International Relations Theory and The Asia-Pacific. New York: Columbia University Press, 2003.
Reus-Smit, Cristian, The Idea of History and history with Ideas, dalam Stephen Hobden and John M. Hobson (eds), Historical Sociology of International Relations. Cambridge: Cambridge University Pres, 2002.
Ringmar, Erik, and Alexander Wendt: A Social Scientist Struggling with History, dalam Iver B. Neumann and Ole Waever (ed), The Future of Internasional Relations, Masters in the Making, Routledge, London, 1997, hal. 276.
Shmidt, Brian C,. The Political Discourse of Anarchy: A Disclipinary History of International Relations. New York: State University of New York Press, 1998.
Wendt, Alexander, Social Theory of International Politics. Cambridge: Cambridge University, 1999.
Wendt, Alexander, Anarchy is what States Make of it: The Social Construction of Power Politics, International Organization. MIT Press, Vol. 46, No. 2 (Spring 1992).
Zehfuss, Maja, Constructivism in International Relations, The Politics of Reality, Cambridge: Cambridge University Press, 2002.

Read more...

Selasa, 24 November 2009

KONSTRUKTIVIS

Konstruktivis, Organisasi Internasional dan World Polity
(Constructivist, International Organization and World Polity)

Oleh:
Heri Alfian
Abstract

The main purpose of this research is explaining and proving the constructivist idea about the construction of the world polity. Now days, that idea becomes important issue in international politics. In accord with polity as a "system of creating value through the collective conferral of authority", constructivist seen that the dramatic growing of international organization in international realm after World War II as the emerging of world polity. There are four points are to be explored i.e., the origin of the world polity; the spread of norms where norms become universal; the norm life cycle; and the International organization.
Key words: Constructivist, World Polity, Norm, International organization
1. Pendahuluan
Keberadaan dan peran organisasi internasional semakin menunjukkan peningkatan dalam politik internasional. Secara faktual fenomena itu mengarah pada integrasi nation-states. Integrasi dalam konteks ini mengacu pada terorganisirnya (organzed) negara-negara di bawah suatu organisasi yang merupakan perwujudan representasi dari negara-negara tersebut. Representasi dalam pandangan konstruktivis adalah bentuk pengakuan terhadap norma universal yang diakui bersama sebagai suatu acuan untuk mencapai kebaikan bersama.
Norma universal merupakan hasil dari proses pengidean, pengkampanyean, dan penginstitusionalan suatu norma oleh individu ataupun kelompok yang mengangap bahwa suatu norma yang dianggapnya baik dapat menjadi kebaikan seluruh manusia jika telah menjadi universal. Dalam proses terbentuknya suatu organisasi internasional peran individu atau kelompok tertentu sangat signifikan. Dan yang terjadi saat ini dan akan terjadi di masa mendatang adalah dunia yang semakin terintegrasi di bawah perintahan dunia yang dipimpin oleh individu-individu berpengaruh yang berhasil me-universalisasi norma. Dalam kajian konstruktivis fenomena ini disebut sebagai world polity.
Tulisan ini ingin menjelaskan tentang apakah pembentukan berbagai organisasi atau institusi internasional mendukung argumen konstruktivis tentang terbentuknya world polity?
2. World Polity
Tahun 1850-an para tenaga medis dan korban-korban yang terluka dalam perang diperlakukan sama dengan tenaga atau personel militer yang berperang (combatants). Mereka juga diserang karena dianggap sebagai pihak yang juga terlibat dalam perang. Anggapan itu adalah norma yang umum berlaku pada waktu itu. Namun pada tahun 1859 norma itu mengalami perubahan ketika Henry Dunant mulai mempromosikan norma baru bahwa para tenaga medis dan korban yang terluka dalam perang harus diperlakukan sebagai pihak yang netral dan noncombatants, sehingga tidak boleh diserang. Lalu lahirlah International Committee of the Red Cross, yang aktif mengkampanyekan norma tersebut. Mungkin dunia akan berubah menjadi “oven raksasa” bila kelompok-kelompok enviromentalis seperti greenpeace tidak mengkampanyekan tentang norma-norma yang yang menjunjung pelestarian lingkungan. Para kaum perempuan mungkin tidak akan pernah mempunyai hak pilih (women’s suffrage) seandainya Elizabeth Cady Stanton dan Susan B. Anthony tidak pernah ada dan tidak memperjuangkan norma itu. Saat ini norma itu telah menjadi norma umum yang diakui dan diadopsi oleh hampir semua negara di dunia.
Ide kaum konstruktivis tentang terbentuknya world polity menjadi konsep yang semakin penting dalam politik internasional. Konsep ini muncul di tengah-tengah semakin besarnya peran aktor-aktor non-state dalam menentukan munculnya norma-norma universal. World polity mengindikasikan tidak ada satu aktor maupun institusi tunggal yang menentukan apa yang bernilai bagi dunia secara keseluruhan. Konsep world polity telah menghilangkan peran negara yang selama ini dianggap sebagai satu-satunya aktor yang paling dominan dalam politik internasional. World polity mengacu pada peran-peran individu-individu, organisasi non pemerintah (NGO), dan organisasi-organisasi internasional sebagai aktor-aktor yang legitimate dalam menentukan apa yang bernilai bagi dunia. Dalam pandangan kaum konstruktivis world polity berbasiskan pada norma. Sehingga isu-isu yang dikembangkan tidak lagi terkait dengan persoalan perang dan diplomasi antar negara melainkan isu-isu yang tentang human security yang meliputi hak asasi manusia, kesehatan, lingkungan, demoratisasi dan lain-lain.
John Meyer mendefinisikan Polity sebagai a "system of creating value through the collective conferral of authority". Sistem terbentuk dari sekumpulan aturan-aturan yang disebut frame atau model. Aktor-aktor di dalam sistem diciptakan dan dimotivasi oleh frames. Di dalam World polity tidak ada aktor atau institusi tunggal yang bisa menentukan apa yang bernilai bagi dunia. Otoritas aktor berasal dari world culture yaitu sekumpulan model yang berlaku universal yang menentukan siapa aktor yang legitimate di dalam world society, tujuan apa yang dapat mereka raih dan bagaimana mereka dapat meraihnya.
Proses terbentuknya world polity atau bekerjanya world polity melalui lima tahap. Pertama adalah world culture akan membentuk negara menjadi aktor yang rasional. Negara sebagai aktor rasional misalnya menjalankan tindakan-tindakannya berdasarkan aturan-aturan formal yang ada. Tahap kedua adalah World culture akan mendorong kepada terbentuknya Isomorphisme. Institusionalisasi world model akan mendorong terjadinya kesamaan struktur. Lalu negara-negara akan mengadopsi bentuk konstitusi yang sama, bentuk sistem pendidikan publik, kebijakan terhadap hak-hak perempuan dan lingkungan, dan kesamaan-kesamaan dalam hal-hal lainnya. Ketiga yaitu tahap di mana negara terstrukturisasi ke dalam tingkatan-tingkatan dan pola-pola tertentu di mana seringkali pola tersebut tidak terkait atau tidak sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan nyata negara tersebut. Hal itu akan mendorong terjadinya kesenjangan antara nilai-nilai yang dianut dari struktur dengan aksi-aksi nyata yang dilakukan. Misalnya banyak negara yang menunjukkan diri di dalam dunia internasional sebagai negara yang memiliki sistem pendidikan yang baik, namun pada dasarnya hal itu hanya bersifat simbolik, karena pada kenyataannya hal itu tidak dilakukan. Jadi apa yang tampak terhadap dunia luar pada dasrnya hanya simbol. Hal ini terjadi pada semua negara yang merupakan aktor rasional, baik negara kuat maupun lemah. Keempat sudah mencapai tahap di mana organisasi internasional non-pemerintah berfungsi untuk merepresentasikan, membawa dan mengelaborasi prinsip-prinsip universal. Organisasi internasional ini dibangun di atas prinsip-prinsip world culture seperti universalisme,individualisme, dan kewarganegaraan dunia. Tahap terakhir adalah tahap di mana di dalam negara bangsa telah menyebar ideologi world society. Hal itu ditandai misalnya dengan munculnya gerakan-gerakan kelompok pecinta lingkungan lingkungan, kelompok penegak HAM.
Penempatan nation-states sebagai rasional aktor yang berbasiskan pada norma universal menyebabkan terjadinya isomorphism. Keadaan itu akan menyebabkan perubahan pada pola hubungan antara negara menjadi lebih setara, karena struktur internasional yang di dominasi oleh kekuatan negara hegemon telah berubah menjadi struktur internasional yang sama (structural similarity). Semua negara diatur oleh norma universal, sehingga apa yang dilakukan oleh negara A juga dilakukan oleh negara B. Sebagai contoh adalah norma tentang kebebasan menjalankan hak politik di mana setiap individu berhak berafiliasi ke partai politik apapun yang ia inginkan. Norma itu saat ini telah diakui oleh hampir seluruh negara kecuali negara-negara yang masih diperintah oleh rezim otoriter. Contoh lain yaitu kewajiban bagi seluruh negara untuk menegakkan aturan tentang produk-produk yang berorientasi non-CFC. Tidak ada perbedaan bahwa negara A harus melakukan ketentuan (norma) tersebut sementara negara B boleh tidak melakukannya. Atau negara A melaksanakan ketentuan tersebut sepenuhnya sementara negara B hanya sebagiannya. Semua negara memiliki posisi yang sama untuk melaksanakan ketentuan tersebut (“equality before the norm”).
3. Universalisasi Norma
Kaum konstruktivis optimis bahwa norma akan menjadi awal dari terbentuknya world polity. Hal itu dapat terjadi bila norma-norma tersebut telah menjadi norma universal. Proses universalisasi terkait erat dengan bagaimana norma-norma tersebut mempengaruhi para pembuat kebijakan di suatu negara. Dalam proses itulah peran Norm Enterpreneurs sangat penting artinya untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan. Norm Enterpreneurs dalam hal ini adalah para individu dan kelompok-kelompok yaitu Epistemic Society dan organisasi-organisai non pemerintah atau Trans network society (NGO).
Epistemic society tidak selalu berasal dari kelompok yang netral atau tidak terkait dengan pembuat kebijakan, namun bisa juga berasal dari kelompok intelektual organik. Epistemic society menentukan norma apa yang berlaku, kemudian merekomendasikannya kepada pembuat keputusan. Sedangkan network society, berusaha mempengaruhi pembuat kebijakan untuk mengadopsi norma-norma yang mereka anggap sebagai norma yang harus berlaku dengan cara membangun akses ke para pembuat kebijakan. Beberapa cara yang ditempuh untuk membangun akses adalah dengan melakukan lobby kepada pembuat kebijakan. Proses lobbying menekankan arti penting suatu untuk diadopsi oleh pembuat kebijakan untuk alasan-alasan kesejahteraan bersama.
Langkah lain yang biasa dilakukan oleh network society adalah dengan melakukan pressure terhadap pemerintah. Pressure dapat berbentuk sanksi-sanksi militer dan ekonomi. Mempermalukan suatu pemerintah juga langkah yang sering dilakukan oleh network society untuk menekan pemerintah tersebut agar mengadopsi norma yang dikembangkan oleh network society-nya. Tindakan-tindakan “mempermalukan” itu biasanya dilakukan dengan pembuatan simbol-simbol tertentu atau melalui kata-kata yang terus-menerus dipopulerkan dalam aksi-aksi demonstrasi. Selain itu tindakan isolasi juga merupakan langkah yang efektif untuk memberikan tekanan moral terhadap suatu pemerintahan yang tidak mau mengadopsi norma-norma yang dikampanyekan oleh kelompok trans network society.
4. The Norm Life Cycle
Proses universalisasi norma berlangsung dalam proses yang disebut norm life cycle. Dalam tulisannya “International Norm Dynamics and Political Change” Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink menyebutkan tiga tahap proses berkembangnya suatu norma. Tahap pertama adalah muncul atau lahirnya suatu norma (norm emergence). Proses lahir atau munculnya norma sangat ditentukan oleh peran norm enterpreneurs dan organizational platforms. Peran norm enterpreneurs sangat penting karena mereka memberikan perhatian yang sangat besar terhadap isu-isu bahkan menciptakan isu-isu dengan menggunakan bahasa untuk menamai, menginterpretasi, dan mendramatisasi isu-isu tersebut.
Para theorist social movement menyebut proses tersebut ( reinterpretasi dan renaming) sebagai “framing”. Penciptaan frame sangat esensial bagi startegi politik para norm enterpreneurs, karena keberhasilan mempopulerkan suatu frame akan menentukan sejauh mana frame tersebut dikenal dan diterima oleh masyarakat luas. Semakin banyak orang yang mengerti suatu frame maka akan muncul pemahaman yang semakin baik dan akhirnya akan berujung pada pengadopsian frame itu.
Dalam proses mengkonstruksi suatu frame, terjadi persaingan (contestation) antara new frame yang dikonstruksi oleh para norm enterpreneurs dengan norma-norma yang sudah ada dan “dianut” oleh banyak orang (embedded norms). Kontestasi tersebut misalnya dapat dilihat ketika Henry Dunant memperjuangkan agar para tenaga medis dan resources yang mereka tangkap sebagai rampasan perang, diperlakukan dengan baik. Henry Dunant waktu itu harus berhadapan dengan norma-norma yang telah umum diakui di mana para tenaga medis dianggap sebagai/ seperti pasukan militer. Implikasinya adalah para tenaga medis juga diserang atau ditembaki seperti tentara. Dunant harus menghadapi tentangan dari para pempinan militer ketika memperjuangkan frame-nya. Contoh lain adalah ketika para norms enterpreneurs memperjuangkan agar hak pilih perempuan diakui, mereka harus menghadapi tentangan norma-norma yang telah umum berlaku yaitu menyangkut kepentingan-kepentingan perempuan dan peran-peran apa yang pantas bagi perempuan.
Dalam mempromosikan norma pada level internasional, para norm enterpreneur memerlukan platform organisasi. Melalui organisasi tersebut mereka mempromosikan norma-normanya. Ada platform yang secara sengaja dibentuk memang untuk tujuan mempromosikan norma seperti NGO semisal Greenpeace, Red Cross, Transafrica, dan jaringan-jaringan advokasi internasional yang mempromosikan hak asasi manusia, norma lingkungan, larangan-larangan terhadap kegiatan penambangan di tempat tertentu, penentangan terhadap apartheid di Afrika Selatan. Namun terdapat juga organisasi yang tidak memiliki platform yang ditujukan untuk mempromosikan norma seperti World Bank dan IMF. Dalam hal ini para norm enterpreneurs berusaha memasukkan agenda-agenda mereka (norma) ke dalam program-program World bank dan IMF, sehingga secara tidak langsung platform World Bank dan IMF juga menjadi alat untuk mempromosikan norma-norma yang diperjuangkan oleh para norm enterpreneurs.
Dari proses itu kemudian muncul isu-isu lingkungan dan hak asasi manusia dalam program yang ditawarkan World Bank dan IMF terhadap negara-negara yang ingin mendapatkan pinjaman dari dua institusi keuangan tersebut. Mekanismenya adalah negara yang ingin mendapatkan pinjaman harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh kedua institusi itu seperti pelestarian hutan, penjaminan hak-hak buruh, rezim pemerintahan yang demokratis (tidak otoriter dan tidak terlibat kriminalitas).
Tahap kedua adalah “norm cascade”, yaitu suatu proses di mana negara-negara mulai mengakui keberadaan suatu norma dan mengadopsinya. Proses ini disebut dengan tipping or treshold points. Pada tahap ini norma yang dikampanyekan oleh para enterpreneur mendapatkan reaksi yang berbeda dari negara-negara, yaitu ada yang menerimanya dan ada yang menolaknya. Untuk mengetahui apakah suatu norma telah mengalami tahap norm cascade ukuran yang dipakai adalah tingkat prosentase negara-negara yang telah mengadopsi norma tersebut. Jika jumlah prosentase negara-negara yang mengadopsi norma kurang dari 1/3 (satu pertiga) maka norm cascade belum terjadi. Sebagai contoh terjadinya norm cascade dapat dilihat pada kasus norma tentang hak pilih perempuan (women’s suffrage). Pada tahun 1930 norma tersebut telah mengalami proses norm cascade, yaitu ketika dua puluh negara telah mengdopsi norma itu. Jumlah tersebut setara dengan satu pertiga jumlah seluruh negara yang berada di dalam sistem pada waktu itu. Pada tahap ini penerimaan terhadap norma oleh negara sifatnya masih setengah-setengah. Masih terjadi penolakan-penolakan terhadap hal-hal tertentu atas norma tersebut dengan alasan-alasan tertentu. Bisa juga dikatakan norma yang berusaha di universalisasikan masih kontroversial.
Tahap ketiga adalah internalization. Pada tahap ini norma telah diterima secara luas oleh hampir seluruh negara. Norma telah terinternalisasi kepada para aktor dan diterima sebagai sesuatu yang “taken for granted”. Tahap ini ditandai dengan proses internalisasi yang extremely powerful, karena penerimaan terhadap norma dilakukan secara langsung tanpa mempertanyakan norma tersebut. Bisa juga karena aktor tidak serius mengkonfirmasi tentang norma tersebut serta tidak mengetahui akan dikonfirmasi kepada siapa. Hal itu menandakan bahwa sudah tidak terdapat kontroversi pada norma tersebut, yang ditunjukkan dengan tidak adanya perdebatan-perdebatan politis diantara para aktor tentang norma itu.
Norm Life Cycle
Norm emergence Norm cascade Internationalization
Stage 1 tipping point stage 2 Stage 3

5. Organisasi Internasional dan World Polity
Munculnya kesepahaman negara-negara tentang suatu norma (setelah melalui tahap internalization), akan mendorong negara-negara untuk bekerja sama. Kerja sama itu biasanya diwujudkan dalam bentuk organisasi internasional. Dalam term Ruggie proses ini disebut dengan institutionalization.
Institutionalization adalah “to coordinate and pattern behavior, to channel it in one direction rather than all others that are theoretically and empirically possible”. Menurut Ruggie terdapat tiga bentuk dari internationalization yaitu Epistemic communities , International regimes , dan International Organization. Menurut Ruggie Organisasi internasional adalah “as operating within a policy space whose axes are defined by the purposes and instrumentalities of the regimes they serve”. Organisasi internasional juga merupakan suatu entitas yang memiliki kantor, kepala surat, prosedur-prosedur voting, perencanaan atau agenda. Sedangkan menurut Ernst B. Hass organisasi internasional adalah sekumpulan prinsip, proses dan mekanisme di mana hubungan antar negara diatur di dalamnya. Dalam term Robert Keohane dan Joseph Nye, organisasi internasional digambarkan sebagai salah satu aktor di/dan merupakan tempat (venue) bagi pelaksanaan hubungan transnational (yang melibatkan entitas non negara) dan hubungan transgovernmental (yang melibatkan sub-unit negara).
Garis besar dari definisi-defisi tersebut adalah adanya unsur transnasional dan multilateral. Hubungan transnasional merupakan hubungan yang lintas batas yaitu antar suatu entitas dari geografis yang berbeda-beda dan melibatkan setidaknya satu aktor di luar state (nonstate actor). Hubungan multilateral menyangkut hubungan yang melibatkan aktor-aktor atau entitas selain negara atau (nongovermental). Sifat multilateral ini menyebabkan struktur organisasi tidak hirarkis, tetapi multilateral. Hal itu berimplikasi pada bentuk otoritas yang dimiliki organisasi internasional.
Otoritas internasional dalam pandangan Weber yaitu, pertama otoritas berbeda dengan bentuk-bentuk power lainnya, yaitu otoritas didasarkan pada adanya sedikit kerelaan untuk tunduk, ketundukan itu lebih didasarkan pada kerelaan dan bukan paksaan. Kedua, otoritas berbeda dengan bentuk-bentuk persuasi, karena otoritas memberikan hak kepada superordinat untuk menentukan kesalahan terhadap subordinat tanpa melihat apakah superordinat itu benar atau salah. Ketiga, otoritas berbeda dari bentuk kontrol, karena adanya sistem kepercayaan yang secara sosial melegitimasi kontrol yang dilakukan oleh superordinat sebaliknya menyebabkan penolakan atas command superordinat sebagai sesuai yang illegitimate.
Untuk menganalisa otoritas yang dimiliki oleh organisasi internasional, pandangan Weber di atas menurut Peter Blau dan Ruggi kurang tepat. Sebab, otoritas dalam organisasi internasional bukan dalam konteks hubungan formal superordinat dengan subordinat. Menrut mereka konsep otoritas Weber di dasarkan atas orientasi individualitas (individual-based view). Artinya otoritas yang ada adalah dalam konteks hubungan aktor individual dengan aktor individual lainnya atau otoritas subyektif. Dalam konteks ini individu dapat secara mudah memberikan legitimasi kepada salah satu aktor untuk memegang otoritas karena faktor kepentingan yang tidak terlalu kompleks seperti negara. Sedangkan di dalam organisasi internasional otoritas berada dalam konteks hubungan antar negara di mana bentuk hubungan dan kepentingannya sangat kompleks. Dalam pandangan Bernard dan Blau otoritas dalam organisasi internasional dibangun berdasarkan kepentingan-kepentingan aktor-aktor negara sehingga yang muncul adalah persamaan sense untuk melaksanakan kewajiban bersama. Kewajiban bersama dilaksanakan dengan mengikuti/pemenuhan norma-norma (norms of compliance) bersama. Jadi dalam konteks ini organisasi internasional (regime) tidak bertindak sebagai superordinat karena institusionalisasi otoritas terjadi pada level negara, juga karena yurisdiksi tidak diserahkan kepada entitas tertentu namun dilaksanakan secara kolektif oleh negara-negara. Ruggie menyebut otoritas internasional sebagai transordinate structure, untuk membedakannya dengan superordinate dan subordinate structures.
Gambaran teoretis di atas dapat menjelaskan tentang keterkaitan antara organisasi internasional dengan terbentuknya world polity. World polity, seperti dijelaskan sebelumnya menekankan pada similarity atau isomorphisme dalam sistem internasional yaitu adanya persamaan tentang norma-norma. Dalam organisasi internasional kesamaan tersebut juga menjadi basis terciptanya kerjasama sehingga semua anggota organisasi memiliki kewajiban yang sama. Sifat multilateralisme yang melekat pada organisasi internasional juga menjadi indikator kuat bahwa organisasi internasional merupakan suatu instrumen untuk terbentuknya world polity. Namun harus diakui bahwa organisasi-organisasi internasional yang ada saat ini belum sepenuhnya merefleksikan suatu world polity. Hal itu dapat dijelaskan dengan melihat bentuk organisasi itu sendiri, di mana terdapat organisasi internasional yang sifatnya tidak multilateral. Sifat organisasi itupun hirarkis dan tidak multilateral. Bentuk organisasi seperti ini adalah organisasi yang didasarkan pada prinsip-prinsip Lenin. Contohnya adalah organisasi negara-negara Eropa Timur-Uni Soviet di mana Uni Soviet sebagai pemegang otoritas tertinggi.
Namun secara umum organisasi-organisasi internasional yang ada saat ini adalah organisasi yang menjadi dasar terbentuk world polity. Akan tetapi harus diakui bahwa hal itu masih memerlukan waktu yang cukup panjang, karena banyak organisasi internasional yang sifat keanggotaannya multilateral namun proses pengambilan keputusannya bersifat hirarkis. Biasanya hirarki tertinggi dipegang oleh negara yang memiliki kontribusi paling besar terhadap organisasi. Hal itu terjadi misalnya dalam World Bank dan IMF dimana AS memiliki suara voting terbesar yaitu 18%, yang diikuti oleh Jepang, Jerman, Jerman, Prancis. Sementara sekitar 5% suara yang tersisa dibagi oleh negara-negara berkembang yang jumlahnya ratusan.
6. Kesimpulan
Munculnya berbagai organisasi internasional di dalam politik internasional merupakan basis dari terbentuknya world polity. Dalam pandangan konstruktivis proses itu merupakan perwujudan dari proses universalisasi norma yang dilakukan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok tertentu. Dunia yang akan terbentuk menurut mereka adalah dunia yang diatur oleh satu aturan uniuversal (in one direction) di mana individu-individu tertentu sebagai directornya. Namun, terbentuknya world polity masih membutuhkan waktu yang sangat lama atau bahkan sulit terwujud karena organisasi internasional saat ini banyak yang oreintasinya tidak menunjukkan ke arah terbentuknya world polity.













DAFTAR PUSTAKA


Meyer, John W. 1980, The World Polity and the Authority of the Nation-State. dalam Bergesen (ed.). Studies of the Modern World-System, New York: Academic Press.

Boli, John and George M. Thomas. 1997. World Culture in the World Polity, American Sociological Review 62 (2).

Thomas, George, et all. 1997. World Society and the Nation-State, American Journal of Sociology 103(1).

Ruggie, John Gerard. 1998. Constructing the World Polity, Essays on International Institutionalization, New Yorke: Routledge.

Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Finnemore, Martha and Kathryn Sikkink. 1998. International Norm Dynamics and Political Change, dalam International Organization 52,4, Autumn, The IO Foundation and the Massachusetts Institute of Technology.

Krasner, Stephen D. 1982. Structural causes and regime consequences: regimes as intervening variables, International Organization 36, 2 Spring, Massachusetts Institute of Technology.

Risse-Kappen, Thomas. 1995. Bringing Transnational Relations Back in: Introduction, dalam Thomas Risse-Kappen (ed), Bringing Transnational Relations Back in, Non-state Actors, Domestic Structures and International Institutions, UK: Cambridge University Press.

http://www.sociology.emory.edu/globalization/theories02.html

Read more...

Minggu, 08 November 2009

HUKUM INTERNASIONAL: TEORI LEGALISASIPILIHAN

HUKUM INTERNASIONAL: TEORI LEGALISASI
PILIHAN BENTUK LEGALISASI COMMON EFFECTIVE PREFERENTIAL TARIFF- DAN EFEKTIFITAS ASEAN FREE TRADE AREA
Oleh:
Heri Alfian∗
Abstract:
Lelgalization refers to the degree to wich rules are obligatory, the precision of those rules, and the delegation of some functions of interpretation, monitoring, and implementation to a third party. International actors choose the form of legalization (hard/soft) in order to solve their specific subtantive and political problems. This article is going to explore the reasons of Asean Free Trade Area’s member in determining their legalization known as Common Effective Preferential Tariff and the effectiveness of its implementation. The findings suggets that the forms of AFTA-CEPT legalization is moderate legalization. There are three main reasons that subscribe to the logic above; first, the different of economy power among its ASEAN member. Second, the legalization will suffers and lead the development of trade diversion among its members, this wil dettach it member for endorsing the values of trade creation among AFTA members. The last finding prescribes ASEAN members should adjust it capacity of production and its technology development to penetrate the global world market. In short, this will shape ASEAN region as the training ground for global market penetration.

1. Pendahuluan
Tulisan ini akan menganalisa tentang alasan-alasan pemilihan bentuk legalisasi Common Effective Preferential Tariff-Asean Free Trade Area (CEPT-AFTA). Tulisan ini sekaligus ingin menunjukkan bahwa terdapat kaitan yang erat bentuk legalisasi suatu hukum internasional dengan efektifitas implementasinya. Artinya tulisan ini juga akan memperlihatkan bahwa hukum internasional yang sering disebut semata-mata hanya sebuah hukum koordinasi -yang menurut banyak pihak sulit berlaku efekti- ternyata bisa berlaku efektif.
Berdasarkan prinsip teori legalisasi, efektifitas pelaksanaan aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam suatu hukum internasional ditentukan oleh bentuk legalisasinya. Menurut Judith Goldstein, Miles Kahler, Robert Keohane dan Anne Marie Slaughter legalisasi merupakan salah satu bagian yang sangat vital untuk mengukur efektifitas produk hukum yang dihasilkan oleh sebuah organisasi internasional. Jika legalisasinya berbentuk soft law maka secara teoritis implementasinya akan cenderung kurang efektif. Sebaliknya, jika legalisasinya berbentuk hard law, maka implementasinya akan cenderung efektif. Tentu saja asumsi teoritis ini tidak an-sich berlaku demikian, karena setiap teori selalu merujuk pada kondisi-kondisi yang ideal, sedangkan dunia nyata tidak selalu berada dalam kondisi ideal. Tulisan ini akan memperlihatkan bahwa bentuk hukum CEPT ( yang berada di dalam ranah teoritis : idealis) akan berpengaruh signifikan terhadap implementasinya di dalam dunia nyata (dunia nyata). Hal itu dilatarbelakangi oleh alasan-alasan yang secara teoritis digambarkan sebagai reasoning yang mendorong negara-negara untuk cenderung mengambil atau menyepakati bentuk hukum tertentu daripada bentuk lainnya.

2. Pemilihan Bentuk Legalisasi (Landasan Teoritis)
Secara teoritis alasan negara-negara lebih memilih bentuk hard law adalah: untuk mengikat masing-masing pihak yang terlibat di dalam perjanjian dengan komitmen yang kuat (credible commitments). Kedua, untuk mengurangi resiko-resiko yang mungkin muncul di masa mendatang (reducing transaction costs), di mana perjanjian yang berbentuk hard law akan memaksa negara-negara yang terikat perjanjian untuk mematuhi semua aturan yang telah disepakati bersama, karena biasanya terdapat ketentuan tentang sanksi bagi yang melanggar kesepakatan. Ketiga, memungkinkan negara-negara mengubah strategi politiknya. Hal ini terutama akan menguntungkan negara-negara yang kuat, karena dengan hard law mereka dapat mengambil kebijakan-kebijakan yang menguntungkan di mana negara lain tidak dapat melakukannya karena keterbatasan power. Keempat, untuk mencegah masalah-masalah yang mungkin timbul di masa mendatang jika perjanjian tersebut tidak lengkap.
Adapaun alasan-alasan menagapa negara-negara lebih memilih bentuk perjanjian yang soft law adalah, pertama, mengurangi “biaya-biaya” yang timbul pada saat proses pembuatan perjanjian yang meliputi pertemuan-pertemuan awal, proses mempelajari isu-isu, proses negosiasi terutama jika isu yang dibahas sifatnya kompleks dan tidak familiar. Kedua, mengurangi resiko yang terkait dengan kedaulatan. Hal ini menyangkut kemungkinan berkurangnya otoritas pemerintah suatu negara untuk membuat keputusan Ketiga, menyangkut masih banykanya kondisi-kondisi yang tidak pasti. Bentuk perjanjian yang soft akan memberikan kemudahan bagi negara-negara yang terkait untuk menyesuaikan dengan perubahan yang akan muncul dari kondisi-kondisi yang belum pasti tersebut, di mana biasanya ketidakpastian akan cenderung mengalami perubahan yang tidak terduga. Keempat, negara-negara lebih memilih bentuk sof law sebagai alat untuk melakukan kompromi. Bentuk perjanjian yang soft dapat digunakan untuk mengkompromikan kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda di antara negara. Dengan kata lain fase ini akan menjadi ruang untuk mencapai kesesuaian-kesesuaian dari perbedaan-perbedaan yang ada.

3. Legalisasi Common Effective Preferential Tariff
Pada dasarnya setiap perjanjian untuk membentuk Free Trade Area (FTA) seperti AFTA ditujukan untuk untuk membuka selebar-lebarnya pasar domestik masing-masing negara terhadap negara lainnya. FTA dibuat untuk menciptakan hubungan yang win-win game. Pemikiran ini juga menjadi salah satu dasar pendirian Common Efective Preferential Tariff (CEPT). Common Efective Preferential Tariff (CEPT) merupakan salah satu produk hukum yang dihasilkan oleh ASEAN. Pembentukan CEPT ditujukan untuk memperlancar kinerja ASEAN Free Trade Area (AFTA). Isi AFTA tidak hanya penurunan tarif saja, tetapi juga pembatasan hambatan kuantitatif dan hampatan non tarif serta pengecualian terhadap pembatasan nilai tukar terhadap produk-produk CEPT. AFTA melalui CEPT merupakan wujud dari kesepakatan negara-negara anggota ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia. CEPT merupakan sebuah mekanisme AFTA, yang isinya merupakan aturan-aturan yang telah disepakati bersama oleh negara ASEAN dalam mengimplementasikan AFTA.
Secara ringkas bentuk legalisasi CEPT-AFTA dapat diklasifikasikan ke dalam moderate legalization atau moderate law. Kesimpulan itu merujuk pada bentuk obligasi, presisi, dan delegasi CEPT-AFTA yang moderat. Sifat obligasi CEPT yang moderat didasarkan pada analisa bahwa terdapat pasal-pasal yang secara tegas menyebutkan tentang sifat binding-nya seperti tertera di dalam bagian pertama sampai bagian kedelapan. Namun di bagian kesembilan sifat binding tersebut dilemahkan dengan adanya penegasan bahwa negara-negara anggota dapat melakukan tindakan yang “melanggar” atau tepatnya tidak mematuhi aturan-aturan di dalam CEPT jika terdapat kondisi-kondisi yang dapat mengancam kepentingan nasionalnya.
Adapun Presisi CEPT yang moderat ditunjukkan dengan fakta bahwa dari keseluruhan pasal CEPT terdapat 5 bagian (artikel) yang memiliki presisi tinggi, 2 moderat dan 3 rendah. Dengan merujuk pada ketentuan teori legalisasi maka dapat disimpulkan bahwa CEPT memiliki tingkat presisi yang moderat.
Adapun bentuk Delegasi CEPT yang moderat ditunjukkan oleh tidak adanya satu ketentuanpun di dalam CEPT yang menyebutkan tentang bentuk hukuman (punishment) bagai pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan-aturan CEPT. Kondisi itu semakin lemah karena tidak disebutkan pihak ketiga yang dapat menentukan apakah negara anggota telah melakukan tindakan pelanggaran atau tidak. Mekanisme yang ada hanya sebatas penilain dari negara anggota terhadap negara lainnya, dan itupun harus melalui penilaian negara lain yang subyektif sekali sifatnya. Dalam perjanjian CEPT-AFTA, perselisihan atau sengketa dapat diproses penyelesaiannya secara formal melalui Dispute Settlement Mechanism. Namun dalam prakteknya tidak ada sengketa yang diproses secara formal melalui mekanisme ini. Sengketa yang terjadi diselesaikan melalui semangat ASEAN dan secara kekeluargaan, melalui pertemuan yang bertingkat-tingkat dalam Working Group, Senior Economic Official Meeting (SEOM), AFTA Council dan Menteri-menteri Ekonomi ASEAN (AEM).
Selain itu dan yang terpenting adalah tidak adanya satu ketentuanpun di dalam CEPT yang menyebutkan tentang bentuk hukuman (punishment) bagai pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan-aturan CEPT. Kondisi itu semakin lemah karena tidak disebutkan pihak ketiga yang dapat menentukan apakah negara anggota telah melakukan tindakan pelanggaran atau tidak. Mekanisme yang ada hanya sebatas penilain dari negara anggota terhadap negara lainnya, dan itupun harus melalui penilaian negara lain yang subyektif sekali sifatnya. Dalam perjanjian CEPT-AFTA, perselisihan atau sengketa dapat diproses penyelesaiannya secara formal melalui Dispute Settlement Mechanism. Namun dalam prakteknya tidak ada sengketa yang diproses secara formal melalui mekanisme ini. Sengketa yang terjadi diselesaikan melalui semangat ASEAN dan secara kekeluargaan, melalui pertemuan yang bertingkat-tingkat dalam Working Group, Senior Economic Official Meeting (SEOM), AFTA Council dan Menteri-menteri Ekonomi ASEAN (AEM). Sesuai dengan teori legalisasi maka dapat disimpulkan bahwa bentuk legalisasi CEPT adalah Moderate legalizatin yang berarti bentuk hukumnya adalah Moderate Law.
3. Alasan-alasan Anggota AFTA Memilih Bentuk Moderate Law
Berikut ini akan dijelaskan alasan-alasan negara anggota ASEAN memilih bentuk legalisasi moderate law atas perjanjian Common Effective Preferential Tariff. Bentuk legalisasi CEPT yang moderate merupakan bentuk hukum yang memiliki kekuatan mengikat yang tegas terhadap negara-negara anggota ASEAN, namun masih memberikan peluang untuk terjadinya kompromi-kompromi tertentu. Kompromi itu dimungkinkan karena adanya pasal-pasal di dalam CEPT yang sifatnya multitafsir, artinya memberikan ruang untuk menanfsirkan hukum dengan pemahaman yang berbeda bagi negara-negara anggota. Dalam perspektif hukum internasional hal itu berarti masih adanya aspek politik yang terkandung di dalam aturan-aturan CEPT.
Dalam The Concept of Legalizations, Abbot dkk. menjelaskan bahwa hukum internasional merupakan hasil dari proses legalisasi yang dilakukan oleh institusi internasional ataupun kesepakatan antar negara memiliki aspek hukum dan aspek politik. Antara kedua aspek ini terdapat keterkaitan yang kuat (intertwined) dalam setiap tingkat proses legalization. Atas dasar pengertian ini maka Abbot dkk. menolak tegas adanya suatu dichotomy yang rigid antara aspek hukum dan politik tersebut. Karena menurutnya tidak ada suatu legalisasi yang benar-benar tidak memiliki aspek politik di dalamnya. Sebaliknya, tidak ada suatu bentuk legalisasi yang benar-benar hanya memiliki aspek politis tanpa ada aspek hukum di dalamnya.
Alasan pertama mengapa CEPT berbentuk moderate law adalah karena perbedaan tingkat perekonomian yang cukup besar di antara negara-negara anggotanya. ASEAN tidak bersedia untuk “go all out” dan mengarah pada pembentukan suatu uni ekonomi. Salah satu sebabnya, dan ini pula yang membedakannya dengan Uni Eropa, adalah adanya perbedaan tingkat perkembangan ekonomi yang cukup besar. Pendapatan per kepala di Singapura 50 kali pendapatan per kepala di Laos. Pendapatan per kepala di Jerman paling tinggi hanya 4 kali pendapatan per kepala di Portugal. Perbedaan lain antara ASEAN dan Uni Eropa yang mempengaruhi langkah integrasi kawasan adalah luasnya pasar dan sifat komplementaritas ekonomi. Pasar Eropa sangat besar dan karena itu negara-negara anggota EU bisa menggantungkan sebagian besar perdagangannya pada kawasan bersangkutan. Sekitar 70-an persen total perdagangan negara-negara EU adalah antara sesama anggota. Sebaliknya, perdagangan intra-kawasan di ASEAN hanya sekitar 20 persen. Ini pun untuk sebagian terbesar melibatkan hanya tiga negara yaitu Singapura-Malaysia-Indonesia.
Adalah suatu kenyataan bahwa anggota-anggota ASEAN lebih banyak berdagang dengan negara-negara di luar kawasan. Hal ini disebabkan karena komplementaritas ekonomi yang rendah. Ada kemungkinan sebagai akibat AFTA, komplementaritas ini akan meningkat dan sebagai akibatnya perdagangan intra-kawasan akan meningkat pula. Bagaimana ini akan terjadi? Upaya meliberalisasi perdagangan antara negara-negara ASEAN bukan dimaksudkan untuk meningkatkan perdagangan intra-kawasan per se. Dari segi ekonomi tujuan seperti ini tidak rasional, yang rasional adalah bila suatu negara bisa mengimpor barang dari sumber mana saja yang termurah. Peningkatan perdagangan intra-kawasan bisa mempunyai tujuan politik bila yang ingin dibina adalah suatu solidaritas. Solidaritas serupa ini dijelmakan dalam kesepakatan saling membeli dari sesama. Dengan demikian maka jelas bahwa CEPT merupakan aturan-aturan yang mengatur mekanisme di dalam AFTA yang di satu sisi akan memberikan keuntungan bagi anggota-anggotanya, namun di lain sisi dirancang agar memberikan ruang penyusuaian bagi anggota-anggotanya untuk bentuk yang lebih maju yaitu suatu Uni Ekonomi.
Alasan kedua adalah untuk menghindari kerugian bagi negara-negara anggota ASEAN. Hal itu terkait dengan alasan bahwa suatu FTA bisa membawa dampak buruk. Secara teoritis, pemberlakuan tarif preferensial dalam FTA akan menyebabkan harga suatu barang dari sesama peserta FTA menjadi lebih murah daripada harga barang yang datang dari negara bukan peserta FTA, walaupun sebenarnya ongkos produksinya lebih murah. Atas dasar itu FTA bisa menyebabkan terjadinya “pengalihan perdagangan” atau trade diversion.
Secara teoritis trade diversion ini berdampak negatif karena menurunkan kesejahteraan dunia. Sementara itu FTA yang baik adalah yang “menciptakan perdagangan” atau trade creation. Artinya, kebersamaan itu menciptakan suatu sinergi dalam arti bahwa perdagangan peserta FTA meningkat baik antara sesama peserta maupun dengan pihak-pihak bukan peserta karena terjadi peningkatan efisiensi. Peningkatan efisiensi ini lah yang dituju oleh AFTA. Dengan dihilangkannya hambatan perdagangan antara sesama negara anggota diharapkan ASEAN bisa “dijual” kepada para investor global sebagai suatu kawasan yang menarik, yang berdaya saing internasional yang tinggi. Sebab, kawasan ini menawarkan “keunggulan” yang beragam. Comparative advantage (keunggulan komparatif) Indonesia jelas berbeda dari keunggulan komparatif Singapura. Bila keunggulan itu dapat dipadukan maka bisa tercipta suatu competitive advantage bagi kawasan secara keseluruhan. Dengan demikian ASEAN bisa menjadi suatu production plaform atau export platform bagi para investor dunia, termasuk para MNCs (perusahaan multinasional).
Alasan ketiga terkait dengan alasan pertama dan kedua yaitu dalam rangka mendapatkan keuntungan yang maksimal dari keberadaan AFTA, maka negara-negara anggota ASEAN harus mempersiapkan diri terhadap masuknya investasi asing. Dengan menggunakan investasi asing dan teknologi serta aset-aset ekonomi lainnya yang ikut masuk ke kawasan maka negara-negara kawasan dapat memperoleh bagian yang lebih besar dan terus meningkat dalam produksi dunia. Selain itu aturan-aturan CEPT juga menjadi guiding bagi masa-masa di mana negara-negara anggota ASEAN melakukan latihan (training ground) bagi pembukaan ekonomi terhadap dunia secara keseluruhan.
Dalam era globalisasi, suatu negara harus membuka pasarnya sendiri bila ingin memanfaatkan pasar lain. Pasar dunia sangat besar bagi negara-negara ASEAN dibandingkan dengan pasar masing-masing dan pasar kawasan secara keseluruhan. Oleh karena ini ASEAN berkepentingan bahwa pasar dunia terbuka bagi barang-barang produksi ASEAN. Tetapi untuk itu pasar ASEAN tidak bisa ditutup dan diproteksi terus menerus. ASEAN harus membuka pasarnya. Prinsip resiprositas sudah berlaku bagi ASEAN. Prinsip ini berarti bahwa perlakuan yang diperoleh sebanding (tidak perlu sama persis) dengan perlakuan yang diberikan. Semakin maju suatu negara dan semakin berhasil negara tersebut dalam perdagangan internasional maka prinsip ini diberlakukan. Di waktu lalu negara-negara berkembang tidak perlu membalas perlakuan yang diberikan oleh negara-negara maju. Tetapi semakin banyak negara berkembang bisa naik kelas (graduate) maka negara berkembang dituntut untuk juga memberikan konsesinya. Dahulu, dengan prinsip special and differential (S&D) treament, negara-negara berkembang boleh menikmati free riding. Karena dianggap lemah, maka mereka tidak diharapkan memberi konsesi apa-apa tetapi ikut menikmati konsesi yang saling dipertukarkan (melalui perundingan dalam rangka GATT, General Agreement on Tariff and Trade) di antara negara-negara maju. Kini ASEAN sudah menjadi peserta aktif dalam WTO. Tetapi negara-negara ASEAN dan negara berkembang lain masih diberi kelonggaran dalam arti jangka waktu yang lebih lama untuk menurunkan tarif perdagangannya dibandingkan dengan negara maju. Walaupun demikian pada suatu waktu, tarif-tarif perdagangan ASEAN terhadap dunia secara keseluruhan (tarif MFN) akan menjadi sangat rendah. Masing-masing negara ASEAN (anggota WTO) sudah membuat komitmen liberalisasi perdagangan dalam apa yang dikenal sebagai Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang disepakati tahun 1994.
Jika ditarik garis besar dari alasan-alasan tersebut maka bentuk CEPT yang moderate bertujuan pada satu tujuan utama yaitu untuk memberikan ruang bagi bentuk kawasan perdagangan bebas yang lebih luas yang tidak terbatas hanya antar negara-negara anggota ASEAN saja. Melalui AFTA, negara-negara ASEAN berharap dapat saling memperkuat proses liberalisasi masing-masing. Caranya adalah dengan membuka pasar bagi sesama tetangga dahulu, dan kalau bisa ditunjukkan bahwa kemampuan itu ada, maka akan terbentuk keyakinan yang lebih besar untuk membuka pasar bagi yang lainnya. Liberalisasi perdagangan dalam rangka APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) yang melibatkan lebih banyak negara juga dapat dilihat sebagai langkah berikutnya ke arah liberalisasi secara global. Dan memang ini lah agenda liberalisasi perdagangan APEC. Modalitasnya, yaitu melalui apa yang disebut concerted unilateral liberalization, jelas menunjukkan maksud ini. Karena kemampuan anggotanya begitu berbeda-beda, maka masing-masing dipersilahkan mengatur jadwal dan kecepatan dari liberalisasinya, tetapi dengan melaksanakannya dalam suatu kesepakatan bersama (concerted) maka diharapkan terjadi saling mendorong (mutual encouragement) dan saling membantu melalui proyek-proyek APEC lainnya (facilitation dan economic and technical cooperation). Maka AFTA sebenarnya baru langkah awal dalam suatu proses liberalisasi secara global. Intinya adalah kerja sama kawasan untuk memperbesar kesempatan masing-masing dalam mengahadapi tantangan global.

A. Realitas Pelaksanaan CEPT-AFTA
ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. AFTA dibentuk pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Pada KTT tersebut ditetapkan bahwa ASEAN sebagai basis produksi dunia akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002.
Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk mewujudkan AFTA melalui : penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kwantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand pada tahun 2010, sedangkan bagi Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015.
Pada kenyataannya, upaya pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut terus dilakukan. Saat ini lebih dari 99% produk yang termasuk di dalam CEPT Inclusion List (IL) dari Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura and Thailand, telah diturunkan ke menjadi 0-5 %. Anggota ASEAN lainnya yaitu Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam tidak lama lagi akan ikut serta melaksanakan ketentuan-ketentuan CEPT. Negara-negara tersebut telah telah memasukkan sekitar 80% produknya ke dalam CEPT-ILS. Di antara produk-produk tersebut, sekitar 66% telah diberlakukan tarif antara 0-5%. Sejak penandatanganan amandemen perjanjian CEPT-AFTA untuk menghilangkan hambatan impor pada tanggal 30 Januari 2003, ASEAN-6 berkomitmen untuk menghilangkan hambatan tarif sebesar 60% atas produk-produk mereka di dalam IL. Hal itu baru tercapai pada tahun 2005 di mana pengurangan tarif telah mencapai 64.12%.
Melihat perkembangan tersebut, sekilas tampak bahwa implementasi CEPT cukup menggembirakan, dalam arti pengurangan tarif dan non tarif memang dilaksanaakan. Namun untuk dapat dikatakan efektif perlu dianalisa lebih lanjut, terutama terkait dengan jadwal pengurangan tarif seperti diatur di dalam CEPT. Seperti diketahui maksud utama dari penerapan CEPT tersebut adalah untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka menuju integrsi ekonomi regional. Jadi dapat dikatakan bahwa penerapan perdagangan bebas (free trade area atau FTA) adalah tahapan yang paling awal dari proses integrasi ekonomi di antara para pesertanya. Dalam suatu FTA para pesertanya sepakat untuk saling menurunkan tarif perdagangan di antara sesama peserta. Tarif ini disebut tarif preferensial (preferential tariffs). Dalam AFTA, tarif itu disebut AFTA preferential tariffs atau disingkat AFTA tariffs, tetapi juga disebut sebagai CEPT atau Common Effective Preferential Tariffs.
Berikut adalah kronologis jadwal pengurangan tarif berdasarkan Skema CEPT:
1. Perdagangan bebas ASEAN (AFTA = ASEAN Free Trade Area) disetujui pada KTT-ASEAN di Singapura tahun 1992, dengan tujuan untuk meningkatkan perdagangan intra-ASEAN dan pendayagunaan bersama semua sumber daya dari dan oleh negara-negara ASEAN. Pada waktu disetujuinya AFTA tersebut, target implementasi penuhnya adalah pada 1 Januari 2008, dengan cakupannya adalah produk industri.
2. Sejak tahun 1993, dimulailah program penurunan tarif masing-masing negara ASEAN-6, melalui penyampaian Legal Enactment yang dikeluarkan setiap tanggal 1 Januari.
3. Pada tahun 1994, sidang Menteri Ekonomi ASEAN memutuskan untuk mempercepat implementasi penuh AFTA menjadi 1 Januari 2003, dengan cakupannya termasuk produk hasil pertanian.
4. Pada tahun 1998, KTT-ASEAN di Hanoi mempercepat implementasi penuh AFTA menjadi 1 Januari 2002, dengan fleksibilitas. Fleksibilitas di sini berarti bahwa beberapa produk yang dirasakan masih belum siap, dapat ditunda pelaksanaannya sampai 1 Januari 2003.
5. KTT-ASEAN tahun 1998 tersebut juga menyepakati target-target penurunan tarif sebagai berikut :
a. Tahun 2000 : menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak 85% dari seluruh jumlah pos tarif yang dimasukkan dalam Inclusion List (IL).
b. Tahun 2001 : menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak 90% dari seluruh pos tarif yang dimasukkan dalam IL.
c. Tahun 2002 : menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak 100% dari seluruh pos tarif yang dimasukkan dalam IL, dengan fleksibilitas.
d. Tahun 2003 : menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak 100% dari seluruh pos tarif yang dimasukkan dalam IL, tanpa fleksibilitas.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka, CEPT dapat dikatakan efektif jika semuanya terealisasi sesuai dengan ketentuan. Yang diartikan dengan realisasi di sini adalah bahwa bagi masing-masing anggota, tarif perdagangan (impor) untuk hampir semua mata dagangan, yang diberlakukan bagi sesama anggota ASEAN, sudah diturunkan menjadi antara 0 sampai 5 persen. CEPT juga mengatur mata dagangan yang dikecualikan untuk seterusnya dan yang masih dilindungi untuk sementara. Tetapi proses ini tidak berhenti pada tanggal 1 Januari 2002 ini. Mata dagangan yang berada dalam daftar pengecualian sementara secara berangsur-angsur akan hilang. Selain itu para anggota ASEAN juga memutuskan untuk menurunkan tarif semua mata dagangan menjadi 0 persen pada tahun 2010 untuk keenam anggota lama ASEAN dan pada tahun 2015 untuk keempat anggota baru ASEAN. Apabila rencana ini terlaksana maka paling lambat pada tahun 2015 perdagangan antar semua negara ASEAN tidak lagi menghadapi hambatan. Hambatan yang dimaksud bukan semata-mata hambatan tarif (pajak) tetapi juga hambatan-hambatan non-tarif seperti aturan kesehatan.
AFTA hingga saat ini hanya mencakup perdagangan barang. Liberalisasi sektor jasa dilaksanakan melalui suatu ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS). Tetapi liberalisasi jasa-jasa ini berjalan lambat. Kemajuan yang berarti baru tercapai dalam bidang pariwisata. Ada usulan untuk menyatukan upaya liberalisasi perdagangan barang dan jasa ini dalam suatu kerangka yang koheren dan komprehensif. Beberapa pihak melontarkan gagasan AFTA Plus sebagai kerangka besar untuk menggabungkan berbagai upaya liberalisasi dalam ASEAN. AFTA Plus ini juga dimaksudkan untuk mengakomodasi upaya di bidang investasi, yang kini dilaksanakan melalui proyek ASEAN Investment Area (AIA), dan di bidang hak milik intelektual, yang kini dilaksanakan melalui ASEAN Framework Agreement on Intellecual Property Cooperation. Jadi, walaupun secara resmi 1 Januari 2002 ditetapkan sebagai tahun terbentuknya AFTA, proyek AFTA ini masih akan terus berlanjut karena programnya sangat mungkin akan diperluas dan diperdalam terus.

4. Kesimpulan
Penjelasan di atas meperlihatkan bahwa terdapat kaitan yang erat antara bentuk legalisasi suatu hukum internasional dengan efektifitas implementasinya. Bentuk legalisasi CEPT-AFTA yang moderat berakibat pada implementasinya yang cukup efektif, artinya aturan-aturan yang disepakati di dalam CEPT sebagian besar dapat terlaksana. Hal itu berarti juga adanya sebagian kecil aturan-aturan yang belum terlaksana karena aturan-aturan itu sendiri memberikan peluang untuk itu.
Kaitan tersebut terlihat jelas pada fakta bahwa adanya sebagian ketentuan dalam CEPT yang telah terlaksana dan sebagian lainnya berpotensi tertunda namun cenderung akan terlaksana. CEPT dapat dikatakan efektif jika semuanya terealisasi sesuai dengan ketentuan. Beberpa ketentuan mendasar yang telah terlaksana misalnya tarif perdagangan (impor) untuk hampir semua mata dagangan, yang diberlakukan bagi sesama anggota ASEAN, sudah diturunkan menjadi antara 0 sampai 5 persen. CEPT juga mengatur mata dagangan yang dikecualikan untuk seterusnya dan yang masih dilindungi untuk sementara. Tetapi proses ini tidak berhenti pada tanggal 1 Januari 2002 ini. Mata dagangan yang berada dalam daftar pengecualian sementara secara berangsur-angsur hilang. Selain itu para anggota ASEAN juga memutuskan untuk menurunkan tarif semua mata dagangan menjadi 0 persen pada tahun 2010 untuk keenam anggota lama ASEAN dan pada tahun 2015 untuk keempat anggota baru ASEAN. Apabila rencana ini terlaksana maka paling lambat pada tahun 2015 perdagangan antar semua negara ASEAN tidak lagi menghadapi hambatan. Hambatan yang dimaksud bukan semata-mata hambatan tarif (pajak) tetapi juga hambatan-hambatan non-tarif seperti aturan kesehatan.
Selain fakta-fakta tersebut, AFTA hingga saat ini hanya mencakup perdagangan barang dan belum sepenuhnya mencakup liberalisasi jasa. Liberalisasi sektor jasa dilaksanakan melalui suatu ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS). Tetapi liberalisasi jasa-jasa ini berjalan lambat. Kemajuan yang berarti baru tercapai dalam bidang pariwisata. Ada usulan untuk menyatukan upaya liberalisasi perdagangan barang dan jasa ini dalam suatu kerangka yang koheren dan komprehensif. Beberapa pihak melontarkan gagasan AFTA Plus sebagai kerangka besar untuk menggabungkan berbagai upaya liberalisasi dalam ASEAN. AFTA Plus ini juga dimaksudkan untuk mengakomodasi upaya di bidang investasi, yang kini dilaksanakan melalui proyek ASEAN Investment Area (AIA), dan di bidang hak milik intelektual, yang kini dilaksanakan melalui ASEAN Framework Agreement on Intellecual Property Cooperation. Jadi, walaupun secara resmi 1 Januari 2002 ditetapkan sebagai tahun terbentuknya AFTA, proyek AFTA ini masih akan terus berlanjut karena programnya sangat mungkin akan diperluas dan diperdalam terus.




























DAFTAR PUSTAKA

Abbot, Kenneth W, and Duncan Snidal. 2000. Hard and Soft Law in International Governance, dalam Judith Goldstein, Miles Kahler, Robert O Keohane, Anne-Marie Slaughter (eds). International Organizations, Volume 54 Number 3, Summer 2000, MIT Press.

Abbot, Kenneth W, Robert O. Keohane, Andrew Moravcsik, Anne-Marie Slaughter, Duncan Snidal. 2000. The Concept Of Legalization dalam Judith Goldstein, Miles Kahler, Robert Keohane dan Anne Marie Slaughter, (eds). 2000. Legalization and World Politics: An Introduction. International Organizations, volume 54, No 3, Summer 2000. MIT Press.

Goldstein, Judith Miles Kahler, Robert Keohane dan Anne Marie Slaughter, Legalization and World Politics: An Introduction, International Organizations, volume 54, No 3, Summer 2000, MIT Press.

Soesastro, Hadi. 2004. Kebijakan Persaingan, Daya Saing, Liberalisasi, Globalisasi, Regionalisasi dan Semua Itu, Jakarta: CSIS working Paper Series, March 2004.

Watts KCMG QC, Sir Arthur. 2000. The Importance of International Law, dalam Michael Byers (ed). 2000. The Role of Law in International Politics, Essays in International Relations and International Law. New York: Oxford University Press.

Xizhen, Zhang. 2004. Northeast Asian FTA: Dogged Down and Seeking Breakthrough, dalam Amitav Acharya & Lee Lai To (eds), Asia in the New Millenium APISA. First Congress Proceedings 27-30 November 2003, Marshall Cavendish, Singapore. 2004.

Internet:


http://www.dprin.go.id/Ind/publikasi/djkipi/afta.htm, (03 Januari 20008)
Agreement On The Common Effective Preferential Tariff Scheme For The Asean Free Trade Area, http://www.aseansec.org/12021.htm (01 Januari 2009)

Read more...

HUKUM INTERNASIONAL: TEORI LEGALISASI

HUKUM INTERNASIONAL: TEORI LEGALISASI
BENTUK LEGALISASI DAN EFEKTIFITAS HUKUM INTERNASIONAL
STUDI KASUS LEGALISASI COMMON EFFECTIVE PREFERENTIAL TARIFF
By: Heri Alfian∗
Abstract: This article is basically an introductory exploration of legalization theory. Legalization is an important tool in determining the form of legalization of international law. The presence of this theory has a significant meaning among the rise of pessimistic view of international law which is often show as ineffective and even cannot merit the name of law because it lacks automatic and centralized coercive enforcement mechanism. Those view basically a mistake because every international law has its strength and weakness degree, which is, determines by its legalization form whether soft, moderate or hard. Every form will determines the degree of its binding strength.

Key Words: Legalisasi, Obligasi, Presisi, Delegasi, CEPT,AFTA

1. Pendahuluan
Di dalam kajian hukum internasional seringkali muncul pertanyaan yang meragukan apakah hukum internasional itu adalah hukum atau bukan. Beberapa alasan yang selalu dikemukakan oleh pihak-pihak yang pesimis dengan keberadaan hukum internasional seringkali merujuk pada ketiadaan kekuasaan eksekutif pusat yang kuat seperti dalam negara-negara nasional. Pihak-pihak tersebut melihat hukum internasional semata-mata hanya sebagai hukum koordinasi di antara negara-negara berdaulat. Bahkan menurut Louis Goldie hukum yang tidak mempunyai mekanisme kekuatan memaksa yang terpusat tidak bisa disebut hukum. Satu-satunya hukum yang diakui oleh kelompok pesimis tersebut adalah hukum kriminal karena memiliki kekuatan memaksa.
Pandangan-pandangan pesimis itu disebabkan karena berbagai kejadian yang terkait dengan praktek hukum internasional memperlihatkan bahwa hukum internasional lebih besar aspek politisnya dibandingkan aspek hukumnya. Aspek politik itu menjadi sesuatu yang menonjol karena adanya unsur kedaulatan negara (sovereignty) di dalam politik internasional yang narkis. Kedaulatan menyebabkan tidak adanya hirarki dalam struktur internasional. Artinya tidak ada suatu negara yang lebih tinggi kedudukannya di dalam struktur internasional, sehingga tidak satu otoritas tertinggi yang dapat memberikan punishment bagi negara-negara yang melanggar aturan-aturan dalam hukum internasional. Lalu apakah kenyataan ini menyebabkan hukum internasional benar-benar tidak berfungsi sehingga tidak ada keteraturan dalam dunia internasional?
Asumsi tersebut perlu dikaji ulang, karena bagaimanapun kita tidak bisa menafikan bahwa hukum internasional telah menciptakan keteraturan di dalam dunia internasional. Contoh jelas yang bisa disebutkan misalnya perang antar negara saat ini telah jauh berkurang jika dibandingkan dengan keadaan pada masa sebelum abad keenambelas. Di dalam dokumen-dokumen sejarah kita menemukan bahwa Eropa selalu diwarnai oleh peperangan antar suku, antar raja, antar agama dan antar kerajaan serta antar kekaisaran. Penyebab utama semua itu adalah karena belum adanya hukum internasional. Saat ini memang perang masih terjadi namun frekuensinya sangat sedikit. Hal itu adalah bukti bahwa hukum internasional efektif dalam menciptakan keteraturan di dalam hubungan antar negara di tengah-tengah sistem internasional yang anarkis ini. Bahkan menurut Sir. Arthur efektifitas (keberhasilan) hukum internasional mencapai angka 95 persen.
Pada dasarnya asumsi yang menyatakan bahwa hukum internasional itu tidak efektik adalah keliru. Kekeliruan itu terutama terletak pada reasoningnya yang menyatakan bahwa hal itu disebabkan karena pada kenyataannya yaitu hukum internasional itu selalu lebih besar aspek politisnya. Artinya efektif atau tidaknya hukum internasional selalu dikaitkan dengan power yang melekat pada negara. Singkatnya jika negara yang memiliki power besar maka akan mudah baginya untuk melanggar ketentuan-ketentuan dalam hukum tersebut tanpa ada otoritas yang dapat memebrikannya sangsi. Sebaliknya jika negara yang tidak memiliki power besar melanggar hukum internasional, maka dengan mudah akan terkena sanksi dari negara-negara yang memiliki power besar.
Asumsi-asumsi tersebut keliru karena pada dasarnya, efektif atau tidaknya hukum internasional harus dilihat secara proporsional berdasarkan pada derajat legalisasinya. Bentuk legalisasi suatu hukum internasional akan menentukan apakah aspek politik atau aspek hukum lebih menonjol di dalam hukum tersebut. Jika legalisasi hukum tersebut berbentuk hard law maka aspek hukum lebih menonjol daripada aspek politiknya, sebaliknya jika berbentuk soft law, maka aspek politiknya akan lebih menonjol daripada aspek hukumnya. Dengan kerangka berpikir ini maka judgment bahwa hukum internasional itu efektif atau tidak harus dikaji dulu dengan menggunakan pendekatan legalisasi hukum internasional.

2. Legalisasi Hukum Internasional
Dalam The Concept of Legalization, Abbot dkk, menjelaskan bahwa efektif atau tidaknya implementasi suatu hukum atau perundang-undangan internasional sangat ditentukan oleh bentuk hukum tersebut, yaitu apakah berbentuk soft law ataukah hard law. Kedua bentuk ini merujuk pada longgar (weak) atau kuat (rigid) tidaknya aturan-aturan di dalam hukum tersebut mengikat (binding) antar negara-negara atau anggota suatu organisasi internasional yang menandatangani perjanjian tersebut. Menurut Abbot dkk, bentuk suatu produk hukum (soft atau hard) sangat ditentukan oleh bentuk legalisasinya. Legalisasi dapat didefinisikan sebagai:
the degree to wich rules are obligatory, the precision of those rules, and the delegation of some functions of interpretation, monitoring, and implementation to a third party.
Berdasarkan definisi itu maka legalisasi pada dasarnya memiliki level-level tertentu yang dapat diidentifikasi dengan mengukur tiga aspek yaitu obligation, precision, dan delegation. Tingkat keberadaan ketiga aspek ini dalam suatu legalisasi akan menentukan apakah legalisasi itu tergolong “hard” ataukah “soft”. End point-nya adalah bentuk legalisasi itu akan berpengaruh pada efektivitas pelaksanaannya di dalam hubungan antar negara.
• Obligation berarti Negara atau aktor lain diikat oleh suatu aturan atau komitmen atau oleh sekumpulan aturan atau sekumpulan komitmen. Hal ini juga berarti tingkah laku dan tindakan aktor-aktor tersebut ditentukan oleh aturan-aturan umum, prosedur-prosedur dan diskursus-diskursus hukum internasional, dan juga hukum domestik.
• Precision berarti aturan-aturan itu secara jelas (unambiguously) menjadi acuan bagi tingkah laku yang dibutuhkan, disahkan/dibolehkan atau yang dilarang.
• Delegation berarti pihak ketiga yang diberi kuasa untuk mengimplementasikan, menginterpretasikan, dan mengaplikasikan peraturan-peraturan tersebut; menyelesaikan perselisihan: dan juga kemungkinan membuat peraturan baru.
Suatu legalisasi dapat dikatakan hard legalization jika ketiga aspek tersebut atau setidaknya obligasi dan delegasi-nya tinggi. Sebaliknya jika aspek-aspek tersebut rendah (low) maka legalisasti itu tergolong soft legalization. Dan yang terakhir adalah tidak adanya ketiga aspek tersebut sama sekali.
Abbot menjelaskan bahwa ketiga aspek tersebut tidak bisa dilihat sebagi faktor tunggal yang menentukan bentuk legalisasi. Masing-masing aspek tersebut bisa memiliki tingkat (degree) rendah atau tinggi secara independent. Ia menyebut kondisi tersebut dengan “The Dimension of Legalization”. Dimensi ini menyebabkan adanya hukum internasional yang unsur obligation, precision dan delegation yang tinggi seperti Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property (TRIPs), ada yang unsur obligation dan precision-nya tinggi tapi unsur delegasinya rendah seperti The Treaty Banning Nuclear Weapons Tests in the Atmosphere, in Outer Space, and Under Water tahun 1963, ada juga legalisasi di mana ketiga aspek tersebut rendah yaitu The Helsinski Conference on Security and Cooperation in Europe tahun 1975.
Tabel 1. Forms of international legalization
Type Obligation Precision Delegation Examples
Ideal type:
Hard Law
I High High High EC, WTO-TRIPs, European Human Right Convention, International Criminal Court
II High Low High EEC Antitrust, WTO-National Treatment
III High High Low Soviet Arms Control Treaties, Montreal Protocol
IV Low High High (moderate) UN Committee on Sustainable Development (agenda 21)
V High Low Low Vienna Ozone Convention, European Framework Convention on National Minorities
VI Low Low High (moderate) UN Specialized Agencies, World Bank, OSCE High Commissioner on National Minorities
VII Low High Low Helsinki Final Act, Nonbinding Forest Principles: technical Standards
VIII Low Low Low Group of 7: spheres of influence; balance of power
Ideal type:
Anarchy
Sumber : Kenneth W. Abbot, Robert O. Keohane, Andrew Moravcsik, Anne-Marie Slaughter, Duncan Snidal, The Concept Of Legalization, dalam Judith Goldstein, Miles Kahler, Robert O. Keohane, Anne-Marie Slaughter, Legalization and World Politics International Organization, Volume 54, Number 3, Summer, 2000, hal. 406.
Menurut Abbot konsep legalisasi harus dipahami sebagai suatu proses yang meliputi rangkaian kesatuan yang multidimensional (a multidimensional continuum), yaitu legalization memiliki titik ideal “ideal type” di mana legalization itu tergolong hard sampai pada titik yang “less ideal” di mana legalization tergolong soft.
Figure 1. The Dimension of Legalization






Sumber : Kenneth W. Abbot, Robert O. Keohane, Andrew Moravcsik, Anne-Marie Slaughter, Duncan Snidal, The Concept Of Legalization, dalam Judith Goldstein, Miles Kahler, Robert O. Keohane, Anne-Marie Slaughter, Legalization and World Politics International Organization, Volume 54, Number 3, Summer, 2000, hal. 404.

Bentuk legalisasi itu akan berpengaruh pada efektifitas pelaksanaannya di dalam hubungan antar negara. Aktor-aktor internasional menata hubungan di antara mereka melalui hukum internasional dan mendisain treaties dan legal arranggements lainnya untuk memecahkan kebuntuan politik di antara mereka.

3. Legalisasi Common Effective Preferential Tariff
Pada dasarnya setiap perjanjian untuk membentuk Free Trade Area (FTA) seperti AFTA ditujukan untuk untuk membuka selebar-lebarnya pasar domestik masing-masing negara terhadap negara lainnya. FTA dibuat untuk menciptakan hubungan yang win-win game. Pemikiran ini juga menjadi salah satu dasar pendirian Common Efective Preferential Tariff (CEPT). Common Efective Preferential Tariff (CEPT) merupakan salah satu produk hukum yang dihasilkan oleh ASEAN. Pembentukan CEPT ditujukan untuk memperlancar kinerja ASEAN Free Trade Area (AFTA). Isi AFTA tidak hanya penurunan tarif saja, tetapi juga pembatasan hambatan kuantitatif dan hampatan non tarif serta pengecualian terhadap pembatasan nilai tukar terhadap produk-produk CEPT. AFTA melalui CEPT merupakan wujud dari kesepakatan negara-negara anggota ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia. CEPT merupakan sebuah mekanisme AFTA, yang isinya merupakan aturan-aturan yang telah disepakati bersama oleh negara ASEAN dalam mengimplementasikan AFTA.
Pada KTT IV telah diputuskan bahwa AFTA akan segera diwujudkan dalam waktu 15 tahun (1 Januari 1993-1 Januari 2008) dan hanya menyangkut produk manufaktur, kemudian dipercepat pelaksanaannya pada tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002. Produk manufaktur yang dimaksud termasuk di dalamnya adalah : (a) barang-barang modal, dan (b) produk pertanian yang diproses. Produk-produk yang berada di luar kategori “produk pertanian yang belum diproses” juga tercakup dalam program CEPT.
Sampai pada tahun 2002 tarif/bea masuk impor yang dikenakan terhadap barang-barang yang diperdagangkan di antara kawasan ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filiphina, dan Brunei) akan diturunkan sampai pada tingkat 0-5%, yang mengecualikan produk sensitif (seperti beras) dan produk-produk yang secara tetap dikecualikan produk sensitif (seperti narkotika dan substansi psikotropika). Sedangkan untuk negara-negara ASEAN yang baru mendapatkan tenggang waktu yang berbeda dalam mencapai tarif 0-5% yaitu Vietnam 2006, Laos dan Myanmar 2008, dan Kamboja 2010.
Secara faktual dapat dilihat bahwa upaya pelaksanaan ketentuan-ketentuan di dalam CEPT terus dilakukan. Sejak penandatanganan amandemen perjanjian CEPT-AFTA untuk menghilangkan hambatan impor pada tanggal 30 Januari 2003, ASEAN-6 berkomitmen untuk menghilangkan hambatan tariff sebesar 60% atas produk-produk mereka di dalam IL pada tahun 2003.
Ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam AFTA tidak semuanya berjalan mulus. Banyak aturan seperti kesepakatan tentang waktu penurunan tariff yang berubah-ubah dan tidak sesuai dengan jadwal. Selain itu kesepakatan tentang bidang atau produk yang akan diliberalisasi juga selalu menjadi perdebatan yang akhirnya tidak sesuai dengan waktu yang telah disepakatai. Dinamika ini adalah proses penyesuaian-penyesuaian yang terjadi di dalam AFTA sehingga tidak bisa serta-merta dijustifikasi sebagai tidak efektifnya aturan-aturan CEPT di dalam AFTA.

A. Obligasi Common Effective Preferential Tariff
Obligasi merujuk pada suatu aturan atau komitmen atau oleh sekumpulan aturan atau sekumpulan komitmen yang menikat negara-negara atua aktor yang terlibat di dalam perjanjian tersebut. Hal ini juga berarti tingkah laku dan tindakan aktor-aktor tersebut ditentukan oleh aturan-aturan umum, prosedur-prosedur dan diskursus-diskursus hukum internasional, dan juga hukum domestik. Untuk menentukan apakah suatu perjanjian atau hukum internasional memiliki obligasi yang kuat atau lemah, maka harus dilakukan penelaahan terhadap seluruh isi perjanjian tersebut. Penelaahan terutama difokuskan pada pasal-pasal yang mengatur tentang kekuatan mengikat (binding) aturan tersebut. Intinya analisis terhadap elemen ini akan memberiakn bentuk yang jelas yaitu apakah hukum internasional tersebut mempunyai sifat mengikat atau tidak.
Berikut akan dianalisa tingkat obligasi Common Effective Preferential Tariff (CEPT) dengan meneliti pasal-pasalnya. Bagian pertama (article) yang mejelaskan tentang definisi CEPT secara eksplisit juga ditegaskan tentang sifat mengikat dari CEPT tersebut. Sifat mengikat tersebut disebutkan di dalam pasal pertama yang menggunakan kata to be applied, untuk menegaskan bahwa CEPT akan diterapkan terhadap barang-barang yang dihasilkan oleh negara-negara anggota ASEAN. Di bagian kedua terutama pada pasal pertama secara tegas disebutkan tentang keharusan semuya negara anggota ASEAN untuk berpartisipasi di dalam skema SEPT.
Bagian ketiga CEPT menegaskan tentang keharusan agar perjanjian CEPT diterapkan terhaap semua produk-produk manufaktur yang mencakup barang-barang modal, barang-barang produksi pertanian. Di bagian keempat ditegaskan tentang kesepakatan negara-negara anggota untuk mengikuti jadwal penerapan pengurangan tarif yaitu pengurangan tarif 20% dalam waktu 5 sampai 8 tahun yang dimuali dari 1 januari 1993.
Di bagian ke lima ditegaskan tentang kewajiban negara-negara anggota ASEAN untuk menghapuskan hambatan-hambatan kuantitatif terhadap produk-produk yang merupakan bagian dari konsesi sesuai dengan peraturan di dalam CEPT scheme. Bagian ini juga menegaskan tentang kewajiban negara-negara anggota untuk menghapuskan hambatan-hambatan non-tarif secara gradual dalam jangka waktu 5 tahun terhadap barang-barang yang termasuk di dalam kategori konsesi tersebut.
Negara-negara anggota juga diharuskan untuk membuat suatu institusi yang disebut dengan ministerial-level Council dalam rangka untuk menunjang terlaksananya CEPT. Di bagian ke delapan ditegaskan tentang keharusan negara-negara anggota untuk memberikan kesempatan bagi negara anggota yang ingin melakukan konsultasi jika terdapat suatu permasalahan yang diakibatkan oleh penerapan CEPT.
Bagian kesembilan merupakan bagian penting untuk menilai obligasi CEPT, karena di dalam bagian ini disebutkanb dengan jelas bahwa tidak ada satupun bagian dari isi perjanjian ini yang dapat mencegah negara anggota untuk melakukan tindakan ataupun pencegahan tertentu yang dianggap perlu utnuk melindungi kepentingan nasionalnya. Artinya setiap negara anggota boleh melakukan tindakan yang diperlukan jika pelaksanaan ketentuan-ketentuan di dalam CEPT dapat merugikan kepentingan nasional negara tersebut. Singkat kata hal itu berarti negara anggota boleh tidak mematuhi ketentuan-ketentuan yang diatur oleh CEPT jika berbenturan dengan kepentingan nasional negara tersebut terutama yang menyangkut keamanan nasional, moral masyarakat, kemanusiaan, kehidupan dan kesehatan binatang atau tumbuhan, kesenian, sejarah dan nilai-nilai arkeologi.
Di bagian kesepuluh ditegaskan tentang kewajiban negara-negara anggota untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditentuakn di dalam perjanjian. Selain itu ditegaskan pula di bagian ketiga bahwa perjanjian ini efektif berlaku sejak ditandatangani oleh negara-negara anggota ASEAN.
Dapat disimpilkan bahwa obligasi CEPT bersifat moderat. Hal itu di dasarkan pada adanya psal-pasal yang secara tegas menyebutkan tentang sifat binding-nya seperti tertera di dalam bagian pertama sampai bagian kedelapan. Namaun di bagian kesembilan sifat binding tersebut dilemahkan dengan adanya penegasan bahwa negara-negara anggota dapat melakukan tindakan yang “melanggar” atau tepatnya tidak mematuhi aturan-aturan di dalam CEPT jikla terdapat kondisi-kondisi yang dapat mengancam kepentingan nasionalnya.
B. Presisi Common Effective Preferential Tariff
Presisi merujuk pada apakah aturan-aturan yang terdapat didalam suatu hukum internasional mengikat secara jelas, yang berarti bahwa aturan tersebut memang secara spesifik berisi ketentuan tertentu yang harus dipatuhi. Hal itu berarti bahwa aturan-aturan itu secara jelas (unambiguously) menjadi acuan bagi tingkah laku yang dibutuhkan, disahkan/dibolehkan atau yang dilarang. Titik tekannya di sini adalah pada tingkat kedetailan kata-kata yang dituliskan di dalam aturan-aturan tersbut. Semakin detail atau semakin spesifik kata-kata yang digunakan maka akan semakin sempit interpretasinya dan semakin sempit pula celah atau kelemahan aturan tersebut. Dengan demikian tidak akan terjadi multitafsir yang akan berakibat pada penyelewengan atupun pemamnfaatan celah hukum. Sebaliknya semakin umum kata-kata yang dipakai maka akan semakin banyak tafsir dan celah atau kelemahannya. Dengan demikian, maka kemungkinan akan terjadinya pelanggaaran hukum akan semakin besar. Berikut ini akan dianalisa tingkat presisi CEPT untuk mengetahui apakah CEPT memiliki tingkat presisi yang tingi atau rendah.
Di bagian pertama secara detail dijelaskan tentang tujuan perjanjian CEPT, termasuk juga definisi CEPT dan definisi hal-hal yang berkaitan dengan Non-tariff barriers, Quantitative restrictions, Foreign exchange restrictions, Preferential Trading Arrangements, Exclusion List, Agricultural products. Masing-masing term tersebut dijelaskan satu persatu dengan bahasa yang spesifik sehingga tidak akan memunculkan multi tafsir bagi pihak-pihak yang membaca istilah-istilah tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bagian ini memiliki tingkat presisi yang tinggi.
Artikel kedua yang terdiri dari tujuh pasal yang menjelaskan tentang syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan umum perjanjian. Pasal pertama mengatur dengan tegas tentang kewajiban semua negara anggota untuk berpartsisipasi di dalam CEPT Scheme. Penggunaan kata “Shall" menunjukkan ketegasan yang kuat sehingga tidak akan memunculkan interpretasi lain selain semua anggota berkewajiban (harus) ikut serta di dalam skema CEPT. Pasal kedua tentang sayart-syarat produk yang termasuk di dalam skema CEPT diatur dengan jelas yaitu dengan mengacu pada ketentuan harmonised system (HS) seperti disebutkan di dalam bagian pengantar perjanjian.
Pasal ketiga menjelaskan tentang produk-produk yang tidak termasuk di dalam dalam kisaran 8/9 digit diperbolehkan untuk tidak dimasukkan sementara ke dalam skema CEPT. Lebih rinci lagi dijelaskan tentang produk tertentu yang sifatnya sensistif bagi negara anggota sebagaimana diatur di dalam Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation diperbolehkan untuk tidak dimasukkan ke dalam skema CEPT. Jadi jelas bahwa pasal ini tidak akan menimbulkan interpretasi yang luas.
Pasal keempat secara jelas mengatur tentang produk yang bisa dikategorikan berasal dari negara anggota yaitu harus memenuhi content yang berasal dari negara anggota sekurang-kurangnya 40%. Artinya jika kurang dari ketentuan tersebut maka produk tersebut tidak termasuk kategori barang hasil negara anggota. Pasal kelima dengan spesifik menjelaskan tentang barang-barang manufaktur, di mana semua bentuk produk manufaktur termasuk barang produksi, barang-barang produksi pertanian dan semua barang yang tidak masuk di dalam definisi barang pertanian sebagaimana disebutkan di dalam perjanjian, mka harus dimasukkan ke dalam Skema CEPT. Disebutkan pula bahwa barang-barang tersebut secara otomatis merupakan barang yang terkena jadwal pengurangan tarif seperti disebutkan di dalam artikel 4. Selanjutnya di dalam pasal keenam lebih jauh dijelaskan bahwa semua produk yang tidak dimasukkan ke dalam Skema CEPT masih bisa berada di dalam ketentuan margin of preference (MOP) yang telah ditetapkan pada tanggal 31 Desember 1992.
Pasal ketujuh secara spesifik dan jelas menyebutkan bahwa bagi negara anggota yang produknya telah terkena pengurangan tarif dari 20% dan di bawah 0-5% masih mendapatkan konsesi meskipun ketentuan tersebut telah secara tegas disebutkan di dalam MFN. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa artikel kedua ini memiliki tingkat presisi yang tinggi.
Bagian ketiga yang berisi ketentuan cakupan produk Pasal kelima dengan spesifik menjelaskan tentang barang-barang manufaktur, di mana semua bentuk produk manufaktur termasuk barang produksi (capital goods), barang-barang produksi pertanian dan semua barang yang tidak masuk di dalam definisi barang pertanian sebagaimana disebutkan di dalam perjanjian, mka harus dimasukkan ke dalam Skema CEPT. Bagian ini merupakan penguatan dari ketentuan pada bagian ketiga terutama pasal kelima. Penggunaan kata “shall” menunjukkan bahwa bagian ini memiliki presisi yang tinggi.
Artikel keempat terdiri dari tiga (3) pasal yang mengatur tentang jadual pengurangan tarif. Pasal pertama mengatakan bahwa negara-negara anggota menyetujui jadwal pengurangan tarif dengan ketentuan yang sangat spesifik yaitu:
• Pengurangan tarif dari jumlah yang ada sampai pada tingkat 20% harus telah dilakukan dalam jangka waktu 5-10 tahun, dimulai pada 1 januari 1993.
• Pengurangan tarif berikutnya yaitu sebesar 20% atau kurang dari itu harus telah tercapai/dilakukan dalam jangka waktu tujuh )7) tahun. Paling sedikit pengurangan tersebut adalah 5%.
• Untuk produk yang belum dikuarngi tarifnya sampai 20% atau kuarang dari itu, maka negara anggota harus melakukan pengurangan dalam jangka waktu yang ditentukan dan harus diumumkan sejak pengurangan itu dimulai.
Di dalam pasal berikutnya lebih jauh dijelaskan bahwa jika ketentuan di dalam pasal 1(a) (b) dan (c) telah tercapai yaitu pengurangan tarif 20% atau di bawahnya, maka produk-produk tersebut tetap mendapatkan konsesi. Pasal ketiga menjelaskan bahwa ketentuan di dalam pasal 1 dan 2 artikel 4 tidak menghalangi negara anggota untuk melakukan pengurangan tarif yang dipercepat yang berkisar pada 0-5%. Jika dilihat kata-kata yang digunakan di dalam pasal-pasal bagian keempat ini, maka tidak ditemukan sesuatu yang ambigu ataupun sesuatu yang umum. Interpretasinya juga sempit sehingga dapat dikatakan tingkat presisinya tinggi.
Artikel kelima menjelaskan tentang ketentuan-ketuan lain dan terdiri dari 5 pasal. Pasal A, B, C, dan D menjelaskan hal yang berbeda-beda. Pasal A (pertama) secara detail menyebutkan aturan tentang pembatasan kuantitatif dan hambatan non tarif. Pasal B mengatur tentang pembatasan pertukaran mata uang. Pasal C mengatur tentang kerja sama pada biadang-bidang lain dan pasal D mengatur tentang konsesi pemeliharaan. Semua pasal tersebut diawali dengan kata-kata yang tegas yaitu “Member states shall” yang berarti keharusan. Penggunaan kata kata-kata tersebut langsung dapat dimengerti tanpa menimbulakan pertanyaan lebih jauh lagi. Dengan demikian bagian ini sangat jelas di mana range of interpretation-nya sempit sehingga dapt dikatakan bahwa tingkat obligasinya tinggi.
Artikel keenam berisi tiga buah pasal yang menjelaskan tentang keadaan-keadaan atau tindakan-tindakan darurat. Pasal pertama mengatur tentang keadaan di mana negara anggota boleh melakukan tindakan penundaan atau lebih tepatnya melakukan penundaan sementara (tidak melaksanakan) pelaksanaan aturan-aturan yang ada di dalam CEPT. Hal itu diperbolehkan jika negara anggota yang mengimpor produk tertentu mengalami peningkatan impor yang tinggi dan dapat membahayakan sektor produksinya dan akan berakibat buruk terhadap perekonomian negaranya. Pasal ini memiliki presisi yang rendah karena terdapat kata-kata yang belum jelas ataupun memiliki ruang interpretasi yang luas. Hal itu terlihat dari tidak adanya ketentuan/keadaan yang pasti tentang kondisi membahayakan yang dimaksudkan oleh pasal tersebut. Selain itu batas waktu penundaan juga tidak disebuitkan. Pasal kedua juga tergolong memiliki presisi yang rendah karena tidak secara spesifik menyebutkan tentang kondisi-kondisi yang memperbolehkan negara anggota untuk melakukan tindakan pembatasan impor ataupun bentuk pembatasan lainnya. Hal itu terkait dengan adanya ancaman terhadap stabilitas moneter negara anggota yang terganggu oleh masuknya impor. Apalagi di dalam pasal ini terdapat kata prejudice yang berarti mencurigai, yaitu terkait dengan tindakan restriksi oleh negara anggota, di mana kata tersebut sangat subyektif sifatnya, sehingga akan sangat sulit untuk mengukur tingkat keurgensian suatu negara untuk melakukan tindakan restriksi. Bagaimana misalnya jika negara tersebut secara subyektif mengatakan bahwa kondisi moneternya betul-betul terancam padahal sebenarnya keadaannya tidak demikian? Pasal ketiga juga memiliki presisi yang rendah karena kewajiban untuk memebritahukan ataupun melaporkan tindakan darurat yang diambil tidak disebutkan secara spesifik. Kata yang digunakan adalah immediate (segera) yang tafsirannya bisa berbeda-beda bagi setiap negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa artikel keenam ini memiliki presisi yang rendah.
Artikel ketujuh terdiri dari tiga (3) pasal yang mengatur tentang susunan institusi. Pasal pertama yang mengatur tentang kewajiban ASEAN Economic Ministers (AEM) untuk membentuk council setingkat menteri sifatnya moderat. Pasal ini menggunakan kata “shall” yang berarti keharusan/kewajiban, namun tidak ada batas waktu yang jelas tentang kapan waktu council tersebut harus dibentuk. Pasal kedua juga sifatnya moderat karena tidak tegas menyebutkan tentang waktu untuk memberitahukan negara lain dalam hal jika negara tersebut melakukan perjanjian bilateral tentang pengurangan tarif dengan negara anggota lain. Pasal ketiga memiliki presisi yang tinggi karena secra tegas mewajibkan Sekretariat ASEAN untuk melakukan monitoring dan pelaporan kepada SEOM atas pelaksanaan perjanjian seperti dimaksudkan di dalam artikel III pasal 2 dan 8. pasal ini juga secara tegas dan jelas (menggunakan kata shall) mengharuskan negara anggota untuk bekerja sama dengan Sekretariat ASEAN untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Dengan demikian artikel ketujuh ini tergolong memiliki presisi yang moderat.
Artikel kedelapan terdiri dari tiga pasal yang mengatur tentang konsultasi bagi negara-negara anggota menyangkut masalah-masalah yang muncul dalam pelaksanaan CEPT. Pasal pertama meiliki presisi yang moderat, karena pada dasarnya pasal itu mengharuskan (shall) negara anggota untuk menyediakan atau memberikan kesempatan berkonsultasi bagi negara yang ingin melakukan konsultasi. Namun, tidak dijelaskan lebih jauh bentuk konsltasi tersebut dan bagaimana bentuk dan waktu pelaksanaannya juga tidak disebutkan. Hal itu rentan terhadap penyelewengan karena dapat menimbulkan multitafsir. Oleh karena itu maka pasal ini digolongkan ke dalam pasal yang berpresisi moderat. Pasal kedua memiliki presisi yang rendah karena pernyataan tentang kemungkinan negara anggota untuk membuat proposal dalam rangka melaporkan kecurangan yang dilakukan oleh negara anggota lain tidak spesifik. Artinya tidak ada keterangan yang cukup spesifik tentang tindakan suatu yang dianggap menghilangkan (nullifications) ataupun menutupnutupi (impairment) keuntungan yang diperolehnya. Hal akan berakibat pada munculnya pemahan yang berbeda-beda tentang bnetuk tindakan yang merugikan, sehingga rawan memunculkan konflik antar negara anggota. Sangat besar kemungkinan suatu negara akan melaporkan negara anggota lainnya karena latar belakang perselisihan bilateral. Pasala ketiga memiliki persisi yang rendah karena statementnya masih bersifat umum dan perlu penafisran lebih jauh. Kewajiban negara anggota untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan dengan cara damai sebisa mungkin ( dengan menggunakan kata as far as possible) mengandung banyak kemungkinan. Artinya tidak ada batasan yang jelas tentang bentuk-bentuk kondisi tertentu yang menjadi batas tidak tercapainya kompromi damai yang dimaksudkan. Statement berikutnya tentang kewajiban untuk menyelesaikan perbedaan yang ada jika tidak bisa secara damai maka diajukan kepada Concil dan jika perlu ke AEM, juga dapat menimbulkan tafsir yang luas. Kata “necessary” yang digunakan dalam bagian akhir statement sangat relatif sifatnya. Dapat disimpulkan bahwa artikel kedelapan memiliki presisi yang rendah.
Artikel kesembilan yang mengatur pengecualian umum merupakan bagian dari CEPT yang secara nyata memiliki presisi yang rendah. Secra tegas dan jelas dikatakan bahwa:
Nothing in this Agreement shall prevent any Member State from taking action and adopting measures, which it considers necessary for the protection of its national security, the protection of public morals, the protection of human, animal or plant life and health, and the protection of articles of artistic, historic and archaeological value.
Jadi jelas bahwa semua bentuk aturan yang ada di dalam CEPT boleh tidak dilaksanakan jika negara anggota dihadapkan pada kondisi yang dapat mengancam keamanan nasionalnya, moral masyarakat, manusia, binatang, tumbuhan dan ancaman terhadap benda-benda seni, sjarah dan nilai-nailai arkeologi. Jelas pula bahwa cakupan hal-hal yang dapat memungkinkan negara untuk tidak melkukan kewajiban-kewajiban CEPT sangat luas. Selain itu pasal ini juga tidak menjelsakan sama sekali tentang bentuk kondisi yang mengancam tersebut. Arttinya kondisi mengancam dapat sangat subyektif sifatnya dalam konteks ini. Dengan demikian tersedia ruang interpretasi yang luas sekali terhadap pasal ini.
Artikel kesepuluh mengatur tentang ketentuan-ketentuan final dari CEPT. Lima pasal dari bagian ini secara tegas mengatur ketentuan tentang kejiban untuk melakukan upaya-upaya dalam rangka melakukan aturan-aturan CEPT, amndemen, ketentuan tentang waktu pemberalukan, pengesahan, dan ketentuan tentang tidak adanya keberatan (reservation). Namun pada dasarnya pasal ini juga memiliki ruang interpretasi yang luas. Pada pasal pertama terdapat kata “the appropriate measures” yang merujuk pada bentuk tindakan yang perlu dilakukan oleh negara anggota dalam rangka memenuhi aturanaturan CEPT. Kata tersebut tentu tidak mengandung makna yang spesifik karena term approperiate yang secar leksikal berati cocok atau pantas sangat subyektif sifatnya. Dengan demikian, artikel ke sepuluh ini memiliki presisi yang moderat.
Dari keseluruhan pasal CEPT tersebut dapat diringkas bahwa terdapat 5 bagian (artikel) yang memiliki presisi tinggi, 2 moderat dan 3 rendah. Dengan merujuk pada ketentuan teori legalisasi maka dapat disimpulkan bahwa CEPT memiliki tingkat presisi yang moderat.
C. Delegasi Common Effective Preferential Tariff
Delegasi adalah elemen ketiga dari teori legalisai hukum internasional yang merujuk pada pihak ketiga yang diberi kuasa untuk mengimplementasikan, menginterpretasikan, dan mengaplikasikan peraturan-peraturan tersebut; menyelesaikan perselisihan: dan juga kemungkinan membuat peraturan baru. Delegasi adalah bagian yang sanagt penting dari sebuah perjanjian internasional karena semua bentuk ketentuan yang ada di dalam suatu perjanjian sulit dilaksanakan dengan efektif jika tidak ada delegasi. Fungsi delegasi sebagai pihak yang berwenang melakukan implementasi, interpretasi dan pemberi hukuman bagi pihak yang melanggar seringkali menjadi penentu bagi efektif atau tidaknya suatu perjanjian (hukum internasional).
Berkaitan dengan hal itu, di dalam CEPT telah disebutkan tentang adanya pihak ketiga tersebut yang disebut dengan Council. Hal itu terdapat di dalam artikel ketujuh pasal pertama dan artikel kedelapan pasal pertama. Namun hal itu tidak kemudian menjadikan CEPT memiliki tingkat delegasi yang tinggi, karena, fungsi Council sebagaimana disebutkan di dalam artikel ketujuh hanya untuk mengkoordinasikan dan mereview pelaksanaan aturan-aturan CEPT. Lebih jauh, di dalam semua pasal CEPT tidak dtemukan tentang siapa yang bertugas menginterpretasi dan menjelaskan aturan-aturan yang kurang jelas atau masih membutuhkan penafsiran tertentu. Di dalam artikel ketujuh tersebut juga tergambar bahwa kewenangan Council sangat terbatas, karena, Council masih harus mendapat dukungan dari Secretary-General of the ASEAN Secretariat dalam melaksanakan tugas koordinasinya. Hal itu berarti Council memang tidak punya kewenangan penuh.
Selain itu dan yang terpenting adalah tidak adanya satu ketentuanpun di dalam CEPT yang menyebutkan tentang bentuk hukuman (punishment) bagai pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan-aturan CEPT. Kondisi itu semakin lemah karena tidak disebutkan pihak ketiga yang dapat menentukan apakah negara anggota telah melakukan tindakan pelanggaran atau tidak. Mekanisme yang ada hanya sebatas penilain dari negara anggota terhadap negara lainnya, dan itupun harus melalui penilaian negara lain yang subyektif sekali sifatnya. Dalam perjanjian CEPT-AFTA, perselisihan atau sengketa dapat diproses penyelesaiannya secara formal melalui Dispute Settlement Mechanism. Namun dalam prakteknya tidak ada sengketa yang diproses secara formal melalui mekanisme ini. Sengketa yang terjadi diselesaikan melalui semangat ASEAN dan secara kekeluargaan, melalui pertemuan yang bertingkat-tingkat dalam Working Group, Senior Economic Official Meeting (SEOM), AFTA Council dan Menteri-menteri Ekonomi ASEAN (AEM). Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa tingkat delegasi CEPT tergong moderat.
4. Kesimpulan
Bentuk legalisasi CEPT ditentukan oleh kombinasi tingkat obligasi, presisi, dan obligasionya. Setelah menganalisa tingkat obligasi, presisi dan delegasi CEPT ditemukan bahwa tingkat obligasinya moderat, preisinya moderat, dan delegasinya moderat. Sesuai dengan teori legalissi maka maka dapat disimpulkan bahwa bentuk legalisasi CEPT adalah Moderate legalizatin yang berarti bentuk hukumnya adalah Moderate Law.
Bentuk legaisasi ini berarti bahwa aturan-aturan yang terdapat di dalam CEPT masih memiliki ruang-ruang yang memungkinkan terjadinya tafsir yang berbeda-beda di antara negara-negara anggota AFTA. Konsekuensinya adalah munculnya kebijakan-kebijakan yang berbeda-beda pula. Kebijakan satu negara akan dilihat melanggar ketentuan oleh negara lain, namun negara yang dianggap melangar tentu akan memandang kebijakannya benar sesuai dengan interpretasinya.
Perbedaan-perbedaan itu rentan memunculkan konflik di antara negara-negara anggota. Keadaan ini cenderung akan dilihat sebagai bentuk tidak efektifnya aturan-aturan AFTA, padahal secara mendasar hal itu tidaklah tepat karena aturan-aturan tersebut memang dirancang pada sebatas bentuk hukum yang moderat. Hal itu dilakukan bukan tanpa alasan karena setiap perjanjian yang disetujui oleh masing-masing negara tentunya didasari oleh pertimbangan-pertimbangan matang dengan segala konsekuensinya. Salah satu pertimbangan dipilihnya bentuk hukum yang soft ataupun moderate adalah proses penyesuaian yang dibutuhkan oleh masing-masing negara terhadap kerja sama yang akan mereka lakukan. Artinya, masing-masing negara memerlukan kesiapan yang matang sebelum perjanjian mereka ditingkatkan ke bentuk hard legalization. Dengan demikian, efektif atau tidaknya hukum internasional seperti CEPT harus dilihat secara proprsional yaitu dengan melihat terlebih dahulu bentuk legalisasinya.




















DAFTAR PUSTAKA

Abbot, Kenneth W, and Duncan Snidal. 2000. Hard and Soft Law in International Governance, dalam Judith Goldstein, Miles Kahler, Robert O Keohane, Anne-Marie Slaughter (eds). International Organizations, Volume 54 Number 3, Summer 2000, MIT Press.
Abbot, Kenneth W, Robert O. Keohane, Andrew Moravcsik, Anne-Marie Slaughter, Duncan Snidal. 2000. The Concept Of Legalization dalam Judith Goldstein, Miles Kahler, Robert Keohane dan Anne Marie Slaughter, (eds). 2000. Legalization and World Politics: An Introduction. International Organizations, volume 54, No 3, Summer 2000. MIT Press.
Kegley Jr, Charles W. 1995. Controversies in International Relations Theory, St. New York: Martin Press.
Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT.Alumni Bandung.
Watts KCMG QC, Sir Arthur. 2000. The Importance of International Law, dalam Michael Byers (ed). 2000. The Role of Law in International Politics, Essays in International Relations and International Law. New York: Oxford University Press.
Xizhen, Zhang. 2004. Northeast Asian FTA: Dogged Down and Seeking Breakthrough, dalam Amitav Acharya & Lee Lai To (eds), Asia in the New Millenium APISA. First Congress Proceedings 27-30 November 2003, Marshall Cavendish, Singapore. 2004.

Internet:
http://www.dprin.go.id/Ind/publikasi/djkipi/afta.htm,
http://www.aseansec.org/12021.htm
Artikel 9 CEPT,

Read more...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP