widget

Kamis, 01 Juli 2010

KEPUTUSAN INDONESIA MENANDATANGANI CAFTA

KEPUTUSAN INDONESIA MENANDATANGANI CAFTA
(Perspektif International Soceity-Centric Constructivism)
Oleh
Heri Alfian


A. Pendahuluan
Berlakunya kesepakatan perdagangan bebas antara Cina-dengan negara-negara anggota ASEAN atau yang dikenal dengan China-ASEAN Free Trade Area atau CAFTA pada 1 Januari 2010 memunculkan beragam reaksi dari berbagai kalangan di Indonesia. Berbagai elemen masyarakat mulai dari masyarakat biasa, buruh pekerja industri, mahasiswa, akdemisi, tokoh masyarakat, pengamat ekonomi, pengusaha, sampai politisi berkomentar terhadap pemberlakuan kesepakatan tersebut. Komentar-komentar mereka terbelah ke dalam dua kubu yaitu kelompok yang mendukung pemberlakuan perdagangan CAFTA dan kelompok yang menolak. Kelompok pendukung berargumen seputar peluang dan keuntungan yang akan didapatkan oleh Indonesia dalam CAFTA yaitu potensi peningkatan ekspor Indonesia ke China yang sangat menjanjikan karena China memiliki penduduk 2 miliar orang lebih, yang menjadikannya pangsa pasar terbesar di dunia.
Sebaliknya, kelompok yang menolak menyatakan bahwa pemberlakuan CAFTA akan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia karena faktanya produk-produk Indonesia belum siap bersaing dengan produk-produk Cina. Industri Indonesia tidak akan mampu menyaingi produk-produk Cina yang sangat murah bahkan sebelum CAFTA diberlakukan yaitu 30 persen di bawah harga produk-produk Indonesia. Dapat dibayangkan bagaimana murahnya produk Cina setelah berlakunya CAFTA yang membebaskan tarif masuk barang-barang dari Cina menjadi nol persen. Dengan kemampuan daya beli masyarakat Indonesia yang tergolong masih rendah, maka kekhawatiran tersebut sangat masuk akal karena konsumen tentunya akan cenderung lebih memilih barang dengan harga lebih murah.
Penolakan terhadap CAFTA terus meluas karena berbagai dampak mulai dirasakan terutama oleh kalangan industri di mana banyak di antara mereka yang menutup usahanya karena tidak mampu bersaing. Sebagai gambaran dalam industri tekstil, pada 2009 hingga Juli, nilai ekspor industri ini sudah merosot sekitar 520 juta dolar Amerika Serikat. Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia juga menjerit. Sejak tahun 2000 ketika bea masuk masih diberlakukan, industri baja Indonesia terus mengalami defisit perdagangan karena kalah bersaing dengan produk impor. Defisit ini dipastikan membengkak, jika bea masuk jadi nol persen.
Kondisi-kondisi itu kemudian memunculkan tuntutan agar pemberlakukan CAFTA ditunda sampai Indonesia benar-benar siap menghadapi persaingan bebas dengan Cina. Atas berbagai reaksi tersebut, pemerintah berupaya bertahan atas kebijakan yang telah diambil dengan berargumen bahwa CAFTA adalah peluang besar dan merupakan momentum bagi Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi yang selama ini terjadi.
Dalam kajian politik luar negeri, fenomena di atas menarik untuk dikaji karena secara teoritis keputusan politik luar negeri adalah kepanjangan dari politik dalam negeri (foreign policy begins at home). Artinya keputusan politik luar negeri menjadi “hasil politik” yang menggambarkan pentingnya strategi politik untuk mencapai kesepakatan dengan situasi domestik untuk mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut. Berdasarkan ketentuan teori ini maka setiap keputusan politik luar negeri seharusnya adalah perwujudan dari keinginan masyarakat negara tersebut, sehingga pelaksanaannyapun akan mendapatkan dukungan dari mereka.
Atas dasar itu maka fenomena penolakan CAFTA di Indonesia dapat dikatakan tidak sejalan dengan apa yang digariskan oleh teori politik luar negeri pada umumnya. Tulisan ini akan menjelaskan apa sebenarnya yang melatarbelakangi Indonesia menandatangani dan menerapkan CAFTA dan memberikan gambaran tentang logika pengambilan keputusan luar negei oleh suatu negara dengan menggunakan CAFTA sebagai ilustrasi. Untuk tujuan tersebut, tulisan ini menggunakan pendekatan international society-centric constructivism (ISC) yang dikemukakan oleh Martha Finnemore. Tulisan ini dibagi ke dalam lima bagian yaitu pertama, pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang urgensi permasalahan, kedua memberikan gambaran tentang CAFTA. Bagian ketiga menjelaskan teori ISC, bagian keempat menjelaskan tentang keputusan Indonesia menandatangani dan memberlakukan CAFTA, dan bagian ke lima adalah kesimpulan dari keseluruhan isi tulisan.
B. China-Asean Free Trade Area
Terbentuknya CAFTA diawali oleh sejarah hubungan yang tergolong baru antara Cina-Asean. Hubungan Cina dengan negara-negara anggota Asean sebagai sebuah grup baru terjalin pada tahun 1994 yang ditandai dengan exchange of letters antara Sekjen Asean dengan Perdana Menteri China pada tanggal 23 Juli 1994 di Bangkok. Dua tahun berikutnya Asean menerima Cina sebagai Full Dialog Partner pada pertemuan Asean Ministerial Meeting (AMM) ke-29 di Jakarta yang menandakan perubahan satus Cina dari Consultative Partner sejak tahun 1991. Satu tahun berikutnya, tepatnya pada bulan Desember 1997, Presiden Cina Jiang Zemin melakukan pertemuan informal untuk pertama kalinya dengan seluruh pemimpin Asean (Asean Plus One) dan membicarakan tentang hubungan kemitraan sebagai negara yang bertetangga dan saling percaya menyongsong abad ke-21.
Kedekatan Cina-Asean terus berlanjut tapi belum mebicarakan masalah pembentukan area perdagangan bebas. Isyu perdagangan bebas baru muncul ke permukaan ketika PM Cina Zhu Rongji mengajukan proposal kerja sama ASEAN-China pada ASEAN+China Summit pada bulan November 2001. Pertemuan itu kemudian mendasari terbentuknya ASEAN-China Expert Group yang kemudian berhasil menyusun sebuah laporan yang berjudul Forging Closer ASEAN-China Economic Relations in the Twenty- First Century. Laporan tersebut berisi empat poin penting yaitu:
a. Pendirian Area Perdagangan Bebas Asean-Cina dalam jangka waktu 10 tahun.
b. Penyediaan berbagai fasilitas perdagangan dan ivestasi.
c. Pemberian technical assistance dan capacity building bagi negara-negara ASEAN, khususnya bagi negara-negara anggota baru ASEAN (Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam/ CLMV.
d. Perluasan kerja sama dalam berbagai bidang yaitu keuangan, pariwisata, pertanian, peningkatan sumber daya manusia, industri, hak kekayaan intelektual,usaha kecil dan menengah, lingkungan, kehutanan dan produk-produk hasil hutan, dan energi.
Tahun berikutnya, tepatnya pada Nopember 2002 negara-negara Cina dan negara-negara ASEAN mengesahkan ASEAN-China Framework Agreement on Economic Cooperation dalam KTT ASEAN di Phnom Penh, Kamboja. Dua tahun kemudian tepatnya pada 29 Nopember 2004, CAFTA ditandatangani oleh menteri-menteri negara Asean dan China pada 2004. Di bawah perjanjian tersebut tarif barang-barang yang diperdagangkan di antara enam negara-negara ASEAN (ASEAN 6) dan Cina dikurangi sampai nol persen pada tahun 2010, sedangkan untuk negara-negara ASEAN lainnya (CLMV) akan berlaku pada tahun 2015. Adapun untuk barang-barang yang termasuk dalam Early Harvest Product (EHP) telah dimulai pada tahun 2004.

B. Pendekatan International Society-Centric Constructivism
Politik luar negeri menurut asumsi tradisional selalu merujuk pada “world of states” di mana negara-negara adalah aktor utama dan mereka berlomba-lomba untuk meraih kepentingan nasional masing-masing yaitu upaya meraih kedaulatan dan kemerdekaan. Intinya secara sadar setiap kebijakan luar negeri ditujukan untuk meraih kepentingan nasional atas dasar prinsip memaksimalkan keuntungan dan menekan kerugian seminimal mungkin. Pada prinsipnya politik luar negeri berjalan pada logika untung rugi (cost-benefit logic), yang dikenal dengan politik luar negeri realisme.
Pada kenyataannya, tidak semua dan bahkan seringkali negara mengambil atau melakukan politik/kebijakan luar negeri tanpa didasarkan pada prinsip di atas. Negara-negara berkembang misalnya mengambil kebijakan luar negeri yang seringkali tidak didasarkan pada kepentingan nasionalnya, namun lebih disebabkan oleh tekanan dan tuntutan lingkungan internasional baik itu negara lain maupun organisasi-organisasi internasional.
Kenyataan itu memperlihatkan bahwa negara pada dasarnya adalah suatu entitas yang tidak mengetahui apa kepentingan dirinya. Negara seringkali bingung tentang apa yang seharusnya dilakukanya, sehingga seringkali negara membuat/melakukan suatu kebijakan yang meniru negara lain. Dalam bentuk lain ketidaktahuan itu diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang tidak merujuk pada kepentingan masyarakatnya (domestik), atau juga dalam bentuk kebijakan yang seringkali berubah-ubah tanpa tujuan yang jelas. Beberapa pendekatan di dalam studi hubungan internasional seperti neorealisme dan konstruktivis international (international society-centric constructivism) berusaha menjelaskan tentang fenomena itu. Menurut neorealis, di dalam sistem internasional negara hanya melakukan apa yang digariskan oleh sistem. Negara tidak bisa berbuat apa-apa untuk merubah sistem internasional yang anarki. Negara berada pada posisi pasif dan hanya dapat melakukan adaptasi atas lingkungan internasional.
Adapun menurut konstruktivis yang dikemukakan oleh Martha Finnemore (sociological institutionalism), kepentingan negara ditentukan oleh struktur sosial /norma internasional (international social/normative structure). Struktur sosial/norma utama internasional yang berlaku dominan pada suatu masa tertentu merupakan strukutur mendasar yang menjadi prinsip utama di dalam proses sosialisasi (the socializing principle) yang terjadi di dalam sistem internasional. Menurut Finnemore norma utama yang dominan di dalam sistem internasional pada dasarnya didefinisikan menjadi tiga yaitu bureaucracy, human quality, dan market. Bureaucracy merupakan norma yang berhubungan dengan otoritas, sedangkan human quality adalah norma yang menyangkut penghargaan terhadap hak asasi manusia dan menginginkan kesetaraan bagi semua manusia dalam bidang politik dan ekonomi. Market adalah norma yang merujuk pada cara yang paling sah (legitimate) untuk mengatur aspek ekonomi.
Logika berpikir ISC menyatakan bahwa negara berada pada posisi adaptif di mana kebijakan yang dilakukan oleh negara adalah bentuk dari ketundukannya terhadap norma internasional terutama salah satu dari ketiga norma di atas. Dengan kata lain norma internasional menentukan bentuk perilaku seperti apa yang harus diikuti oleh negara. Norma itu kemudian menentukan identitas negara, di mana perubahan identitas akan mengikuti perubahan yang terjadi pada norma internasional yang berkembang. Selanjutnya identitas tersebut akan menentukan kepentingan negara di mana kepentingan dalam hal ini lebih berorientasi pada upaya untuk menunjukkan ‘ketaatan’ dan upaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan internasional.

Gambar 1. The Logic of International Society-Centric Constructivism









Sumber: dimodifikasi dari Martha Finnemore, dalam John M. Hobson, The State and International Relations, Cambridge University Press, UK, 2000, hal. 158.

Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa lingkungan internasional menjadi faktor yang menetukan apa yang harus dilakukan oleh negara. Perubahan tindakan negara yang diawali dengan perubahan identitasnya akan mengikuti perubahan yang terjadi norma internasional. Negara dalam konteks ini hanya berposisi sebagai normative-adaptive state. Adaptasi itu dilakukan dalam rangka penyesuaian dan bukan untuk memperbesar power dalam politik internasional. Logika ini juga disebut dengan the logic of appropriateness. Berdasarkan logika ini, keputusan politik luar negeri suatu negara tidak ditujukan untuk mencapai kepentingan nasional yang didasarkan pada aspirasi domestik, tetapi lebih pada upaya penyesuaian diri terhadap kondisi dan tuntutan lingkungan internasionalnya. Intinya adalah keputusan politik luar negeri lebih didasarkan pada upaya untuk mendaptkan “good image” yang selaras dengan negara-negara lain. Dapat dikatakan bahwa suatu keputusan politik luar negeri ditujukan agar suatu negara bisa menjadi bagian masyarakat internasional
Perubahan identitas dan kepentingan/kebijakan negara menurut Finnemore terjadi melalui teaching process yang dilakukan oleh organisasi internasional ataupun aktor-aktor non state, sehingga kebijakan negara tergantung pada apa yang “diajarkan” oleh organisasi internasional seperti Unesco, Bank Dunia, IMF, ICRC dan WTO. Prose situ dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2. Teaching Process in International Society-Centric Constuctivism

T










Sumber: dimodifikasi dari Martha Finnemore, dalam John M. Hobson, The State and International Relations, Cambridge University Press, UK, 2000, hal. 150.

Teaching activities ini menurut Finnemore menyebabkan identitas negara-negara menjadi hampir sama dan itu berdampak pada kepentingan yang hampir seragam juga. Namun harus digarisbawahi bahwa Ia menolak adanya homogenisasi negara-negara karena pada dasarnya penyebaran struktur norma internasional tidak sama. Menurutnya, struktur norma internasional itu menyebar dari inti (core) ke batas terluar (periphery) sistem internasional. Penyebaran itu terjadi di dalam proses “teaching” terhadap negara-negara oleh organisasi internasional yang mulai dari bagian inti kemudian ke negara-negara pinggiran. Hal itu kemudian menyebabkan perbedaan tingkat penyerapan norma yang “diajarkan” kepada negara-negara. Satu hal yang dapat disepakati bahwa struktur utama dominan saat ini adalah norma pasar. Mengenai dampaknya terhadap negara-negara tentu secara faktual memang berbeda tingkat penyerapannya.
D. Keputusan Indonesia menandatangani China-Asean Free Trade Area
Keputusan Indonesia menandatangani dan memberlakukan CAFTA merupakan suatu keputusan politik luar negeri yang membawa konsekuensi bagi lingkugan domestik. Beberapa dari konsekuensi tersebut bersifat positif tetapi bisa juga negatif. Menurut pendekatan tradisional seperti teori decision making, kebijakan luar negeri adalah hasil pemilihan alternatif-alternatif yang tersedia, di mana pilihan yang didasarkan pada tujuan memperbesar keutungan dan dan meminimalisir kerugian. Jadi dapat dikatakan bahwa setiap kebijakan luar negeri seyogyanya bertujuan untuk meraih tujuan (kepentingan nasional) semaksimal mungkin. Berdasarkan asumsi ini maka sepatutnya setiap pengambilan kebijakan luar negeri suatu negara telah melalui proses menimbang dan mengukur baik buruk atau untung ruginya bagi kepentingan nasional.
Akan tetapi, pada kenyataannya, idealisme teoritis tersebut tidak selalu sesuai kenyataan. Banyak kasus keputusan politik luar negeri yang mendapat kritikan dan penolakan dari lingkungan domestik. Beberapa contoh yang terjadi di Indonesia misalnya, keputusan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengijinkan Singapura menggunakan beberapa wilayah Indonesia untuk melakukan latihan militer. Seperti diketahui, kebijakan tersebut merupakan hasil trade off antara Indonesia dengan Singapura, di mana Singapura akan menyetujui perjanjian ekstradisi dengan Indonesia dengan syarat Indonesia mengijinkannya melakukan latihan militer di wilayah Indonesia. Keputusan tersebut ternyata mendapat penolakan keras dari masyarakat. Masyrakat di berbagai wilayah melakukan demonstrasi memprotes kebijakan tersebut terutama dari daerah yang wilayahnya akan dijadikan medan latihan militer Singapura. Atas berbagai berbagai penolakan tersebut pemerintah akhirnya membatalkan perjanjian tersebut.
Pada tahun 2007, kebijakan luar negeri yang diambil pemerintah kembali mendapatkan penolakan luas dari masyarakat. Kebijakan itu terkait dengan dukungan Indonesia terhadap resolusi PBB 1747 yang berisi sanksi terhadap Iran atas program nuklir yang dilakukannya. Banyak kalangan menilai, kebijakan pemerintah itu bertentangan dengan keinginan sebagian besar masyarakat Indonesia yang menolak resolusi tersebut karena semata-mata merupakan hasil dari tekanan AS terhadap PBB. Mereka menilai bahwa dukungan atas resolusi tersebut sama saja dengan dukungan terhadap AS untuk menindas Iran, dan dalam spektrum yang lebih luas hal itu berarti dukunga terhadap penindasan dan penjajahan AS terhadap masyarakat muslim. Sebagai negara dengan mayoritas berpenduduk muslim maka kebijakan Indonesia tersebut sangat tidak sesuai dengan kondisi domestik yang ada.
Pada tahun 2010, keputusan Indonesia memberlakukan CAFTA juga mendapat protes dan penolakan luas dari berbagai elemen domestik, mulai dari kaum buruh industri, pengusaha, tokoh masyarakat, akademisi, politisi, dan bahkan pemerintah sendiri. Hal ini sangat mengherankan karena tentunya, sebelum kebijakan membuka perdagangan bebas dengan Cina (CAFTA), pemerintah telah mempertimbangakn kondisi lingkungan domestiknya. Berbagai penolakan yang muncul terhadap CAFTA didasarkan pada alasan bahwa Indonesia tidak atau belum siap bersaing dengan Cina. Produk-produk Cina yang sangat murah dan begitu massif dan selalu up to date tidak akan mampu disaingi oleh produk dalam negeri yang jauh lebih mahal dan lambat perkembangannya. Berbagai faktor mendasar yang melatarbelakangi ketidaksiapan tersebut adalah mulai dari pasokan energi terutama listrik yang tidak stabil dan pasokan bahan bakar minyak yang sering terganggu, tenaga kerja yang kurang terampil, sarana dan prasarana yang belum memadai terutama akses jalan, tingginya bunga pinjaman bank, pungutan liar, sampai pada kurangnya dukungan pemerintah termasuk birokrasi yang berbelit-belit dan lambat.
Pada titik ini maka hal penting yang harus dijawab adalah mengapa pemerintah mengambil kebijakan menyetujui dan meberlakukan CAFTA padahal kondisi domestik tidak memungkinkan? Apakah pemerintah tidak mengetahui kondisi-kondisi tersebut sehingga tidak menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan? Ataukan pemerintah mengetahui benar akan hak itu tetapi memang tidak dijadikan dasar pertimbangan yang penting? Bagian ini akan menjawab berbagai pertanyaan mendasar itu dengan menggunakan pendekatan international society-centric constructivism.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, terdapat tiga norma utama yang dominan di dalam sistem internasional yaitu bureaucracy, human quality, dan market. Jika merujuk pada kondisi saat ini dari ketiga norma tersebut, norma pasarlah yang paling dominan. Norma pasar seperti dikatakan oleh Finnemore merujuk pada pada cara yang paling sah (legitimate) untuk mengatur aspek ekonomi. Pasar menurut Robert Gilpin adalah:
as one in which goods and services are exchanged on the basis of relative prices; it is where transactions are negotiated and prices are determined. Its essence …is “the making of a price by haggling between buyers and sellers”.

Pada tingkatan yang lebih luas konsep pasar kemudian digunakan untuk menyebut berbagai bentuk pertukaran barang dan jasa di mana setiap individu memiliki kebebasan yang sama untuk bersaing di dalamnya, dan negara tidak boleh mencampuri atau mengintervensi mekanisme pasar yang diatur oleh penawaran dan permintaan.
Munculnya norma pasar berawal dari munculnya pemikiran kaum liberal yang berakar pada pemikiran Adam Smith. Smith megatakan bahwa kunci dari kekayaan dan power negara adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menurutnya ditentukan oleh pembagian kerja (division of labour) di mana hal itu sangat tergantung pada pasar. Atas dasar itu maka, jika suatu negara menjalankan kebijakan ekonomi merkantilisme yaitu menerapkan hambatan perdagangan atas barang dan perluasan pasar, maka negara tersebut telah mencegah kesejahteraan dan pertumbuhan ekonominya. Menurut David Ricardo, kesejahteraan negara dalam pandangan liberal akan didapatkan melalui apa yang disebut dengan comparative advantage yaitu keutungan yang diperoleh melalui spesialisasi yang dilakukan oleh negara pada produksi tertentu sesuai dengan sumber daya yang dimilikinya.
Sebagai sebuah norma, pasar yang dalam hal ini perdagangan bebas mengalami proses perkembangan pasang surut. Dinamika norma ini ditandai tidak hanya oleh dukungan tetapi juga kritikan dan pentangan terutama oleh negara-negara berkembang. Bagi negara berkembang sistem pasar dengan mekanisme perdagangan bebas adalah bentuk eksploitasi negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang. Berbagai penentangan itu misalnya dilakukan dalam bentuk upaya pemutusan hubungan dengan sistem perdagangan internasional, memaksa perubahan sistem, dan upaya pengintegrasian negara ke dalam rezim perdagangan yang ada. Akan tetapi, reaksi tersebut hanyalah riak kecil dalam perkembangan liberalisme beserta norma pasarnya, karena. Semakin lama norma itu semakin berkembang meskipun dengan berbagai penyesuaian seperti “diijinkannya” campur tangan pemerintah dalam pasar meskipun sangat terbatas. Pada awal dekade 1980-an hampir semua negara berkembang telah beralih ke ekonomi liberal yang berorientasi pada pasar, pencabutan intervensi, liberalisasi perdagangan dan investasi, dan privatisasi perusahaan negara.
Singkatnya, bentuk perekonomian dunia saat ini hampir sepenuhnya diatur oleh mekanisme penawaran dan permintaan. “Dogma” itu termanifestasikan pada perdagangan bebas yang telah mengglobal sedemikian rupa dan menyentuh hampir seluruh bagian dari dunia ini, di mana hampir tidak satupun negara yang tidak masuk dalam rezim perdagangan bebas. Francis Fukuyama bahkan mengatakan era saat ini sebagai kemenangan besar liberalisme dan menyebutnya sebagai the end of history.
Kemenangan liberalisme tersebut semakin dikuatkan oleh munculnya rezim perdagangan The General Agreement on Tarrifs and Trade (GATT) yang didirikan pada tahun 1948. Tujuan utama GATT adalah untuk menciptakan perdagangan internasional yang lebih bebas melalui pengurangan tarif dan menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan lainnya dan menciptakan regime atau aturan-aturan universal untuk melaksanakan commercial policy. Uruguay Round juga menetapkan tentang pemotongan tarif yang lebih besar, pengurangan yang signifikan dalam subsidi pertanian, penghilangan kuota tekstil lebih dari 10 tahun, atauran-aturan baru dalam services, intellectual property, trade related investment. Putaran ini juga merupakan asal mula dari terbentuknya organisasi World Trade Organization (WTO) yang merupakan bentuk baru (pengganti) dari GATT yang hanya berbentuk agreement. Sebagai suatu organisasi permanen, WTO telah memiliki struktur, aturan-aturan, dan prosedur-prosedur baru yang lebih komprehensif untuk mendukung tercapainya suatu rezim perdagangan internasional yang lebih bebas.
Beridirinya WTO ini kemudian mendorong lahirnya berbagai bentuk regionalisme ekonomi di hampir seluruh wilayah di berbagai belahan dunia. Regionalisme ekonomi merupakan suatu bentuk disain dan implementasi dari sekumpulan aturan/ kebijakan di dalam suatu kelompok negara-negara (region) yang bertujuan untuk mempermudah pertukaran barang di antara negara anggotanya. Berbagai organisasi ekonomi regional tersebut misalnya Uni Eropa (UE) yang didirikan pada tahun 1957, The Council of Arab Economic Unity/CAEU (1964), The Association of Southeast Asian Nations/ASEAN (1967), The Carribean Community and Common Market/CARICOM (1973), The Economic Community of West African States/ECOWAS (1975), The Latin American Integration Association/LAIA (1981), The South Asian Association for Regional Cooperation/SAARC (1985), The Asia-Pacific Economic Cooperation/APEC (1989), dan The Southern African Development Community/SADC (1992).
Di kawasan Asia Timur khususnya negara-negara Asean, era regionalisme ekonomi dimulai pada tahun 1980-an yang dipengaruhi oleh meningkatnya integrasi produksi regional dan jaringan perdagangan. Peningkatan kedua hal itu telah mendekatkan hubungan negara-negara ASEAN dengan negara-negara tetanggannya yaitu Jepang, negara-negara Industri Baru di Asia timur atau yang dikenal sebagai EANIcs, China dan Vietnam. Era keterbukaan itu juga ditandai dengan pembentukan area perdagangan bebas Asean Free Trade Area (AFTA) pada tahun 1992 di dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura. AFTA merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas yang akan dicapai dalam waktu 15 tahun yaitu dalam kurun waktu antara 1993-2008. Ketentuan itu kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002. ASEAN terus melakukan langkah internasionalisasi perdagangan dengan berpartisipasi aktif yan ditandai dengan munculnya upaya pembentukan East Asia Economic Group yang diusulkan oleh Perdana Menteri Malaysia Mahatir Mohammad pada tahun 1990. Keanggotaan EAEG akan mencakup seluruh negara Asia yang menjadi anggota APEC. Namun upaya ini tidak terlaksana karena munculnya konflik perdagangan AS-Jepang dan AS-Cina. Pada tabel berikut dapat dilihat perjanjian-perjanjian perdagangan bebas (FTA) dan kerja sama ekonomi yang melibatkan negara-negara Asia Timur dan negara-negara Asean.

Tabel 1. The FTAs and Economics Partnership Agreement Involving East Asian and Southeast Asian Countries

Sumber: Puspa Delima Amri, New Issues in the WTO: Where does Indonesia Stand?, yang dikutip dari Kawai (2004).
Dalam dalam www.delidn.ec.europa.eu/en/.../relations_1_trade10_wtonewissues0702.pdf. Diakses 5 Juni 2010.
Note: The shaded cells indicate those arrangements within East Asia, that is, ASEAN+3, Hong Kong (China), and
Taiwan (China).
n.a.= not applicable.
a. Lao People’s Democratic Republic.
b. The Pacific-3 are Chile, New Zealand, and Singapore.
c. CER is the Australia and New Zealand Closer Economic Relations Trade Agreement.
d. EFTA is the European Free Trade Association (Iceland, Liechtenstein, and Switzerland).
e. Macao Special Administrative Region (China).
f. Mercosur is the Southern Cone Common Market (Argentina, Brazil, Paraguay, Uruguay, and Venezuela).
g. ASEAN is the Association of Southeast Asian Nations.

Gelombang regionalisme dan kerja sama ekonomi yang menerpa kawasan tidak dapat dipungkiri menjadi faktor signifikan bagi Indonesia untuk melakukan hal serupa. Menurut catatan Amri pada tahun 2006 Indonesia sudah terlibat dalam sembilan perjanjian perdagangan (regionalisme) dengan berbagai negara. Keterlibatan Indonesia dalam perjanjian-perjanjian tersebut menurut Amri sebenarnya tidak signifikan bagi perekonomian Indonesia, namun lebih dipicu oleh tren yang terjadi di kawasan Asia Timur dan khususnya negara-negara Asean. Contohnya adalah ketika Thailand melakukan negosiasi untuk menjalin kerja sama ekonomi dengan Jepang dan Cina, Indonesia juga melakukannya hanya semata untuk alasan mempertahankan eksistensi pasarnya di Jepang dan Cina.

Table 2: Preferential Trade Agreements Involving Indonesia

Sumber: Puspa Delima Amri, New Issues in the WTO: Where does Indonesia Stand?, yang dikutip dari www.depdag.go.id, Soesastro (2004), www.bilaterals.org, EFTA Secretariat Website hhtp://secretariat.efta.int.dalam www.delidn.ec.europa.eu/en/.../relations_1_trade10_wtonewissues0702.pdf. Diakses 5 Juni 2010.

Argumentasi bahwa keputusan Indonesia menandatangani CAFTA dilatarbelakangi oleh pengaruh norma internasional yang berkembang terbukti dari posisi neraca perdagangan Indonesia terhadap Cina yang terus mengalami defisit. Pada table di bawah ini dapat dilihat neraca pergangan Indonesia-Cina sebelum CAFTA diberlakukan.
Tabel 3. Neraca Perdagangan Indonesia-China, 1990-2009 (Ribu USD)

Tahun Total Ekspor Impor Neraca Perdagangan
1990 1486729 834385.8 652343.4 182042.4
1995 3236941 1741718 1495223 246494.5
2000 4789679 2767708 2021971 745736.6
2005 12505216 6662354 5842863 819491.3
2009 20074672 9055010 11019662 -1964652

Pertumbuhan (%)
1990-1995 16.8 15.9 18.0 6.2
1995-2000 8.2 9.7 6.2 24.8
2000-2005 21.2 19.2 23.6 21.2
2005-2009 12.6 7.9 17.1 -
1990-2009 - 13.4 16.0 -

Sumber: Dihitung dari Statistik Perdagangan Luar Negeri dalm Latif Adam, ACFTA Dalam Perspektif Hubungan Dagang Indonesia-China
http://inspirasitabloid.wordpress.com/2010/03/19/acfta-dalam-perspektif-hubungan-dagang-indonesia-china. Diakses 5 Juni 2010.

Dari table tersebut dapat dilihat bahwa pada periode 1990-2009, pertumbuhan ekspor Indonesia ke China (7,9% per tahun) jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan impor Indonesia dari China (17,1 per tahun%). Ini menunjukkan bahwa kemampuan penetrasi produk China ke pasar Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan kemampuan penetrasi produk Indonesia ke pasar China.
Setelah empat bulan pelaksanaan, terbukti CAFTA menyebabkan defisit perdagangan Indonesia terhadap Cina. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan menuturkan selama empat bulan tahun 2010 ini, tercatat, hingga April besarnya defisit mencapai US$1,6 miliar. "April saja itu US$553,6 juta". Rusman menyebut, defisit itu terjadi karena nilai ekspor ke China lebih rendah dibanding impornya. Data BPS memperlihatkan, selama Januari-April 2010 jumlah ekspor RI ke China tercatat sebesar US$4,018 miliar, sedangkan nilai impornya mencapai US$5,61 miliar. Perdagangan itu lebih besar dibanding tahun lalu pada periode sama yang tercatat untuk ekspor sebesar US$2,274 miliar, sedangkan untuk impor sebesar US$3,794 miliar.

E. Kesimpulan

Ketentuan tarif masuk nol persen yang ditetapkan di dalam CAFTA dapat dipastikan akan menyebabkan pasar Indonesia akan semakin dibanjiri oleh produk-produk Cina. Kenyataan itu bisa dilihat di berbagai pasar besar maupun kecil di hampir seluruh Indonesia mulai dari kerajinan sederhana seperti anyaman bamboo, tusuk gigi. Mainan anak-anak, tekstil, meubel, garment, ponsel, sampai produk berteknologi tinggi seperti kendaaraan bermotor. Kondisi masyrakat Indonesia yang masih memiliki pendapatan rendah akan berakibat terupuruknya industri dalam negeri karena produk-produk yang dihasilkan lebih mahal dari produk Cina sehingga masyarakat tentunya akan lebih memilih produk murah.
Bagi pengusaha, murahnya harga produk Cina akan mendorong mereka untuk terus menambah impor karena tingginya permintaan sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran. Hal itu terbukti dari jumlah impor Indonesia dari Cina yang terus meningkat. Sebelum CAFTA diberlakukan secara penuh, pada periode 2003-2009, proporsi impor Indonesia dari China meningkat dari 8.8% menjadi 12,7%. Tidak mengherankan bila pada tahun 2009, China menduduki posisi kedua sebagai negara importir terbesar bagi Indonesia.
Dampak lanjutan yang akan ditimbulkan oleh kondisi tersebut adalah terjadinya deindustrialisasi dan meningkatnya pengangguran. Simulasi yang pernah dilakukan P2E-LIPI menunjukkan bahwa setiap penurunan kapasitas produksi sektor industri sebesar 10% berpotensi mendorong PHK (pengangguran) 500.000 orang. Betapa besarnya pengangguran yang akan muncul seandainya ACFTA menekan kapasitas produksi sektor industri sebesar 10% saja.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut kita mendapatkan gambaran bahwa keputusan Indonesia menandatangani dan memberlakukan AFTA lebih didasarkan pada upaya untuk memenuhi “tuntutan” lingkungan internasional yang dikuasai oleh norma pasar daripada untuk memenuhi kepentingan nasional. Pertanyaan sederhana yang dapat diajukan untuk menguatkan argumen tersebut adalah: apakah para pengambil kebijakan tidak mengetahui kondisi perekonomian dan dunia industri Indonesia? Sepertinya sangat sulit dipahami jika pemerintah tidak mengetahui hal itu sehingga tanpa pertimbangan memutuskan untuk menandatangani CAFTA.
DAFTAR PUSTAKA
Buku & Jurnal:
Biersteker,Thomas J., The “Triumph” of Liberal Economic Ideas in the Developing World, dalam Barbara Stallings, Global Change, Regional Response, The New International Context of Development, Cambridge University Press, USA, 1995.
Burchill, Scott and Andrew Linklater (eds), Theories of International Relations, ST. martin Press, N.Y., 1996.
Fukuyama, Francis, The End of History and the Last Man, Free Press, New York, 2006.
Gilpin, Robert, The Political Economy of International Relations, Princeton University Press, New Jersey, 1987.
Gilpin, Robert and Jean MillisGilpin, Tantangan Kapitalisme Global Ekonomi Dunia Abad Ke-21, Murai Kencana, 2003.
Hobson, John M., The State and International Relations, Cambridge University Press, UK, 2000.
Kegley, Charles W. Jr. and Eugene R. Wittkopf, World Politics Trend and Transformations, Sixth Edition, St. Martin’s Press, New York, 1997.
Lim, Linda Y. C., Southeast Asia: Success Through International Oppeness, dalam Barbara Stallings (ed), Global Change, Regional Response, The New International Context of Development, , Cambridge University Press, USA, 1995.
Neack, Hey and Haney dikutip oleh Anak Agung Banyu Perwita, dalam Politik Luar Negeri Indonesia dan Dunia Muslim, Unpar Press, Bandung. 2007.
Ruggie,John Gerrad, Constructing the World Polity,Essays on International Institutionalization Routledge, New York, 1998.
Spero, Joan Edelman dan Jeffrey A. Hart, The Politics of International Economic Relations, Fifth Edition, St. Martin’s Press, New York, 1997.
Webber, Mark and Michael Smith, Foreign Policy in a Transformed World, Prentice Hall, United Kingdom, 2002.
Wyatt-Walter, Andrew, Regionalism, Globalization, and World Economic Order, dalam Louise Fawcett and Andrew Hurrel (ed), Regionalism in World Politics Regional Organization and International Order, Oxford University Press, New York, 1995.

Koran & Internet:
Chia Siow Yue, ASEAN-China Free Trade Area, Singapore Institute of International Affairs, Paper for presentation at the AEP Conference Hong Kong, 12-13 April 2004, dalam www.hiebs.hku.hk/aep/chia.pdf, diakses 3 Januari 2010.
Dialog antara Depperindag, Bea Cukai, Pelaku Usaha, dan Anggota DPR RI di TV One dengan pada 20 Maret 2010.
DR. Rusman Heriawan (Kepala Badan Pusat Statistik), Posisi Dagang Indonesia Kalah Atas China, dalam http://bisnis.vivanews.com/news/read/154679-posisi_dagang_ri_lemah_terhadap_china, diakses tanggal 5 Juni 2010.
Jusuf Kalla dalam dialog interaktif di TV One, 22 Januari 2010, pukul 20.30.
http://berita.liputan6.com/producer/201001/257719/Perdagangan.Bebas.dan.Ketergopohan.Kita. Diakses 10 Januari 2010.
Latif Adam, ACFTA Dalam Perspektif Hubungan Dagang Indonesia-China http://inspirasitabloid.wordpress.com/2010/03/19/acfta-dalam-perspektif-hubungan-dagang-indonesia-china. Diakses 5 Juni 2010.
Puspa Delima Amri, New Issues in the WTO: Where does Indonesia Stand, Dalam www.delidn.ec.europa.eu/en/.../relations_1_trade10_wtonewissues0702.pdf.
Sheng Lijun, China-ASEAN Free Trade Area: Origins, Developments and Strategic Motivations, ISEAS Working Paper: International Politics & Security Issues Series No. 1(2003), dalam www.iseas.edu.sg/ipsi12003.pdf, diakses 10 Januari 2010.

Read more...

Senin, 24 Mei 2010

PENDEKATAN INTERNATIONAL SOCIETY-CENTRIC CONSTRUCTIVISM

PENDEKATAN INTERNATIONAL SOCIETY-CENTRIC CONSTRUCTIVISM
by:Heri Alfian

Politik luar negeri menurut asumsi tradisional selalu merujuk pada “world of states” di mana negara-negara adalah aktor utama dan mereka berlomba-lomba untuk meraih kepentingan nasional masing-masing yaitu upaya meraih kedaulatan dan kemerdekaan. Intinya secara sadar setiap kebijakan luar negeri ditujukan untuk meraih kepentingan nasional atas dasar prinsip memaksimalkan keuntungan dan menekan kerugian seminimal mungkin. Pada prinsipnya politik luar negeri berjalan pada logika untung rugi (cost-benefit logic), yang dikenal dengan politik luar negeri realisme.
Pada kenyataannya, tidak semua dan bahkan seringkali negara mengambil atau melakukan politik/kebijakan luar negeri tanpa didasarkan pada prinsip di atas. Negara-negara berkembang misalnya mengambil kebijakan luar negeri yang seringkali tidak didasrkan pada kepentingan nasionalnya, namun lebih disebabkan oleh tekanan dan tuntutan lingkungan internasional baik itu negara lain maupun organisasi-organisasi internasional.
Kenyataan itu memperlihatkan bahwa negara pada dasarnya adalah suatu entitas yang tidak mengetahui apa kepentingan dirinya. Negara seringkali bingung tentang apa yang seharusnya dilakukanya, sehingga seringkali negara membuat/melakukan suatu kebijakan yang meniru negara lain. Dalam bentuk lain ketidaktahuan itu diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang tidak merujuk pada kepentingan masyarakatnya (domestik), atau juga dalam bentuk kebijakan yang seringkali berubah-ubah tanpa tujuan yang jelas. Beberapa pendekatan di dalam studi hubungan internasional seperti neorealisme dan konstruktivis international (international society-centric constructivism) berusaha menjelaskan tentang fenomena itu. Menurut neorealis, di dalam sistem internasional negara hanya melakukan apa yang digariskan oleh sistem. Negara tidak bisa berbuat apa-apa untuk merubah sistem internasional yang anarki. Untuk bisa bertahan di dalam sistem tersebut, negara harus bisa beradaptasi yaitu dengan melakukan emualting dan balancing.
Adapun menurut konstruktivis yang dikemukakan oleh Martha Finnemore (sociological institutionalism), kepentingan negara ditentukan oleh struktur sosial /norma internasional (international social/normative structure). Struktur sosial/norma utama internasional yang berlaku dominan pada suatu masa tertentu merupakan strukutur mendasar yang menjadi prinsip utama di dalam proses sosialisasi (the socializing principle) yang terjadi di dalam sistem internasional. Menurut Finnemore norma utama yang dominan di dalam sistem internasional pada dasarnya didefinisikan menjadi tiga yaitu bureaucracy, human quality, dan market. Bureaucracy merupakan norma yang berhubungan dengan otoritas, sedangkan human quality adalah norma yang menyangkut penghargaan terhadap hak asasi manusia dan menginginkan kesetaraan bagi semua manusia dalam bidang politik dan ekonomi. Market adalah norma yang merujuk pada cara yang paling sah (legitimate) untuk mengatur aspek ekonomi.
Logika berpikir ISC menyatakan bahwa negara berada pada posisi adaptif di mana kebijakan yang dilakukan oleh negara adalah bentuk dari ketundukannya terhadap norma internasional terutama salah satu dari ketiga norma di atas. Dengan kata lain norma internasional menentukan bentuk perilaku seperti apa yang harus diikuti oleh negara. Norma itu kemudian menentukan identitas negara, di mana perubahan identitas akan mengikuti perubahan yang terjadi pada norma internasional yang berkembang. Selanjutnya identitas tersebut akan menentukan kepentingan negara di mana kepentingan dalam hal ini lebih berorientasi pada upaya untuk menunjukkan ‘ketaatan’ dan upaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan internasional (logic of appropriateness).





Gambar 1. The Logic of International Society-Centric Constructivism









Sumber: Martha Finnemore, dalam John M. Hobson, The State and International Relations, Cambridge University Press, UK, 2000, hal. 158.


Perubahan identitas dan kepentingan/kebijakan negara menurut Finnemore terjadi melalui teaching process yang dilakukan oleh organisasi internasional ataupun aktor-aktor non state. Dapat dikatakan bahwa kebijakan negara tergantung pada apa yang “diajarkan” oleh organisasi internasional.



Gambar 2. The Operational of International Society-Centric Constuctivism

T










Sumber: Martha Finnemore, dalam John M. Hobson, The State and International Relations, Cambridge University Press, UK, 2000, hal. 150.

Read more...

Selasa, 23 Maret 2010

IMF dan World Bank

IMF dan World Bank
by Heri Alfian
Sejak International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) didirikan oleh Amerika Serikat dan Inggris pada tahun 1944 di Bretton Woods, kedua organisasi finansial tersebut telah banyak memberikan bantuan keuangan bagi negara-negara berkembang. Sejak berakhirnya PD II IMF dan WB telah menyelamatkan perekonomian negara-negara Eropa yang hancur oleh PD II tersebut. Saat ini hampir semua negara di dunia mendanai sebagian besar pembangunannya dengan dana yang dipinjamkan oleh IMF dan WB. Dapat dikatakan bahwa bantuan keuangan IMF dan WB menjadi bagian yang sulit terpisahkan dari proses pembangunan negara-negara berkembang. Namun peran penting yang dapat dilihat sebagai dampak positif, bantuan IMF dan WB juga menyebabkan dampak negatif yang sangat merugikan negara-negara berkembang. Data statistik WB menunjukkan bahwa 23 negara mengalami pertumbuhan GNP per kapita negatif antara tahun 1965-1980. Jumlah tersebut meningkat antara tahun 1980-1991 menjadi 43 negara. Jika dilihat lebih jauh pada tahun 1995 data United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR) menunjukkan bahwa terdapat 27,4 juta pengungsi yang disebabkan oleh konflik di negara-negara dunia ketiga. Akar dari konflik tersebut adalah kemiskinan dan keterbelakangan “underdevelopment”.
Dalam hal memberikan bantuan keuangan terdapat perbedaan antara IMF dan WB. Sejak didirikan pada tahun 1944 IMF ditujukan untuk menjaga standard fixed exchange rates yang berlaku sejak berakhirnya perang dunia kedua. Tahun 1971 fungsi tersebut berubah sejalannya dihapuskannya standar emas, IMF memiliki misi baru yaitu menyediakan pinjaman bagi negara-negara yang mengalami permasalahan ekonomi (economically troubled countries). Lebih spesifik IMF berfungsi membantu negara-negara yang mengalami kesulitan balance of payment, yaitu penerimaan negara tersebut dari import dan sumber lainnya tidak cukup untuk membayar hutang luar negerinya. Fungsi IMF dalam hal ini adalah: pertama menyediakan pinjaman untuk menutupi hutang yang harus segera dibayar (immediate obligations) kepada kreditor luar negeri. Kedua IMF berfungsi sebagai “gatekeeper” yaitu IMF menjadi jaminan bagi suatu negara untuk mendapatkan bantuan dari institusi keuangan lainnya seperti World Bank. Artinya private lenders dan public lenders seperti WB tidak akan memebrikan pinjaman kepada negara-negara yang memiliki permasalahan ekonomi kecuali mereka memiliki perjanjian dalam hal peminjaman dari IMF.
Sedangkan World Bank berfungsi untuk memberikan bantuan bagi negara-negara dunia ketiga untuk membantu usaha-usaha pembangunannya. Bentuk-bentuk bantuan tersebut adalah proyek-proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan raya, hydroelectric dams, sekolah, instalasi air minum, listrik, dan lain sebagainya.
Pemberian bantuan IMF dan WB didasarkan atas instrumen structural adjusment loans dan sectoral adjusment loans. Kedua instrumen tersebut pada dasarnya sama yang membedakannya hanya cakupan luasnya kebijakan dan perubahan institusional yang diinginkan. Secara garis besar program adjusment mencakup 4 hal yaitu:
1. External trade- ukuran-ukuran yang mencakup devaluasi, penghapusan atas pembatasan-pembatasan quota, pemotongan tarif dan meningkatkan incentif eksport.
2. Resource mobilisation-mencakup penyesuaian suku bunga (interest rate adjusments), reformasi perpajakan, anggaran, cost recovery sytems terhadap perusahaan-perusahan publik dan memberlakukan kontrol yang lebih ketat terhadap level dan administrasi yang berkaitan dengan pinjaman luar negeri.
3. Efficient use of resources-mencakup pengurangan atau penghapusan subsidi makanan atau kebutuhan pokok, restrukturisasi dan rasionalisasi state marketing boards, melakukan perubahan dalam public expenditure seperti perubahan orientasi dari transportasi dan bangunan pemerintah ke sektor pertaian, kesehatan, dan pendidikan, dan melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan efisiensi energi.
4. Institutional reforms, mencakup privatisasi perusahaan-perusahaan negara, meningkatkan efisiensi terhadap perusahaan-perusahaan publik dan menetapkan target yang lebih baik terhadap pertanian dan program-program industri untuk meningkatkan evaluasi proyek dan manajemen atas perusahaan –perusahaan publik.

Adjusment programs tersebut merupakan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu negara sebelum mendapatkan bantuan dari IMF dan WB. Permasalahan yang dialami oleh negara-negara berkembangan yang menerima pinjaman dari kedua institusi tersebut berwal dari adjusment programs itu. Reasoningnya adalah ketentuan-ketentuan dalam adjusment programs yang disyaratkan oleh IMF seringkali tidak sesuai dengan sistem ekonomi dan politik negara penerima pinjaman tersebut. Sebagai contoh adalah negara Argentina. Kekacauan ekonomi Argentina sejak tahun 2002 adalah antiklimaks dari pertumbuhan semu yang di-back up oleh IMF dan WB.
Sejak 1980-an Argentina menerima banyak bantuan keuangan dari IMF. Hal itu memberikan “legitimasi” bagi IMF untuk mengontrol para policymaker Argentina untuk melakukan privatisasi perusahaan-perusahaan negara, liberalisasi investasi dan perdagangan luar negeri, dan memperketat kebijakan fiskal dan moneter. Ketentuan-ketentuan yang diresepkan IMF tersebut pada kenyataannya telah mendorong pertumbuhan ekonomi Argentina yang sejak 1990-an mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5% pertahunnya.
Namun sebenarnya pertumbuhan tersebut dibangun di atas fondasi yang lemah, dimana petumbuhan dihasilakan dari akumulasi pinjaman luar negeri yang terus meningkat (hutang kepada bank swasta, hutang kepada IMF, hutang kepada negara lain), perluasan pasar luar negeri terhadap ekspor barang-barang argentina yang sifatnya kebetulan saja “fortuitous”, injeksi-injeksi jangka pendek “short-termd injections” terhadap pendapatan negara yang diperoleh dari penjualan perusahaan negara. Akibat lemahnya fondasi tersebut sejak 1998 ekonomi argentina mengalami resesi yang dahsyat. Hutang luar negeri mencapai 155 milyar dollar yang merupakan hutang terbesar sepanjang sejarah, pemerintah membatasi atau melarang masyarakat untuk menarik uang mereka dari bank, jalan-jalan dipenuhi oleh massa yang melakukan demonstrase, lebih parah lagi adalah terjadinya kerusuhan akibat penjarahan.
Resesi ekonomi yang dialami oleh Argentina dapat ditelusuri sejak tahun1990 dimana atas dasar saran IMF melalui structural adjusment program-nya memerintahkan aregntina untuk melakukan kebijakan yang disebut “currency board”. Hal itu dilakukan untuk menekan inflasi yang semakin tinggi. Currency board adalh kebijakan yang mengatur mata uang negara yaitu agar satu peso Argentina bernilai satu dollar AS. Untuk menjaga atau menjamin fixede exchange rate itu, dewan (board) tetap mensuplai dollar ke reserve (cadangan), dan tidak bisa memperluas suplai peso tanpa peningkatan yang setara terhadap dolar. Currency board system (CBS) kelihatan menarik karena inflasi yang bisa dikatakan absurd dimana harga-harga melambung tinggi sampai 200% perbulan. Dengan membatasi pertumbuhan suplai uang, currency board system telah mengurangi inflasi secara sangat signifikan.
Namun sistem tersebut membawa dampak buruk bagi perekonomian Argentina, karena walaupun CBS berhasil mengurangi tingkat inflasi pada pertengahan tahun 1990-an, CBS juga menghilangkan fleksibilitas dalam kebijakan moneter. Ketika resesi mulai memburuk pada pertengahan 1990-an, pemerintah tidak bisa menstimulasi aktivitas ekonomi melalui perluasan suplai uang “money supply”. Lebih parah lagi ketika ekonomi terus memburuk, pemasukan atas dolar menurun, hal itu menyebabkan currency board membatasi suplai uang lebih banyak lagi. Dampak buruk lainnya adalah pada pertengahan 1990-an dollar AS terapresiasi terhadap mata uang lainnya, artinya (karena aturan one-to-one) maka nilai tukar peso juga terapresiasi. Hal itu menyebabkan harga barang-barang ekspor Aggentina menjadi naik, dan berdampak pada menurunnya permintaan terhadap barang-barang Argentina.
Dampak structural adjusment IMF berlanjut pada tahun 1998 dimana Argentina memasuki babak perekonomian yang semakin buruk, namun IMF tetap memberikan bantuan finansial. IMF memberikan pijaman “kecil” sebesar 3 milyar dollar AS pada awal 1998. ketika krisi semakin buruk IMF meningkatkan dukungan finansialnya dengan memberikan tambahan pinjaman sebesar $13,7 milyar dan menyediakan $26 milyar lebih dari dari sumber lain di akhir tahun 2000. Ketika keadaan semakin memburuk pada tahun 2001, IMF menjanjikan $8 milyar dollar.
IMF menyertakan pinjamannya dengan syarat bahwa Argentina harus menjamin atau menjaga kebijakan moneternya dan tetap meneruskan kebijakan pengetatan kebijakan fiskalnya dengan cara menghapuskan defisit anggarannya. Karena menurut IMF pengurangan deficsit adalah kunci utama untuk menciptakan kestabilan makroekonomi dan pertumbuhan ekonomi. Argentina melaksanakan pengurangan defisit dengan sungguh-sungguh dalam arti melakukan pengurangan secara drastis. Dalam keadaan ekonomi yang kacau dan pendapatan dari pajak yang sangat rendah, satu-satunya jalan untuk menyeimbangkan anggaran adalah memeotong secara drastis pembelanjaan pemerintah. Awal tahun 2001, sesaat sebelum pemerintah mengeluarkan surat-surat obligasi dalam jumlah besar, pejabat Argentina mengumumkan kebijakan pemotongan anggaran sebesar $1,6 milyar (sekitar 3% dari jumlah anggaran federal). Kebijakan tersebut diharapkan dapat menciptakan kembali kepercayaan investor asing terhadap Argentina dan menurunkan suku bunga.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya, investor melihat kebijakan pemotongan anggaran tersebut sebagai tanda lain dari semakin memburuknya krisis, dan surat-surat obligasi hanya dapat dijual pada tingkat suku bunga yang tinggi (yaitu 14%, karena sebelumnya surat obligasi serupa dijual pada tingkat bunga 9% hanya beberapa minggu sebelum keluarnya kebijakan pemotongan tersebut). Pada bulan desember kebijakan pemotongan anggaran kembali dilakukan bahkan dalam jumlah yang lebih besar yaitu sebesar $9,2 milyar pada sektor pembelanjaan atau sekitar 18% dari seluruh anggarannya.
Pemotongan tersebut berimplikasi pada pemotongan anggaran untuk program-program sosial dan mengurangi seluruh permintaan. Pada pertengahan desember, pemerintah mengumumkan bahwa kebijakan tersebut akan menyebabkan terjadinya pemotongan gaji pegawai pemerintah sebesar 20% dan mengurangi pembayaran uang pensiun. Pada saat yang sama dimana krisis semakin memburuk memunculkan kekhawatiran bahwa pemerintah Argentian akan melepaskan CBS dan mendevaluasi peso, pemerintah mengambil kebijakan yaitu mencegah rakyatnya untuk melakukan penukaran peso mereka dengan dollar dengan cara pembatasan penarikan uang dari bank.

Read more...

Jumat, 19 Maret 2010

IMF dan Eksploitasi Global

IMF DAN EKSPLOITASI GLOBAL
By Heri Alfian

Fungsi International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) dalam membantu negara-negara berkembang terkadang membingungkan karena peran kedua institusi tersebut yang seringkali overlapping. Namun secara mendasar terdapat perbedaan fungsi di antara keduanya yaitu : IMF sebagai Monetary Institution berfungsi untuk menstabilisasi sistem moneter dan menyediakan pendanaan (financing) bagi negara-negara yang mengalami temporary balance of payments deficit dan sifat loan-nya adalah short-term dimana repayment time-nya antara 3-5 tahun dan kadang-kadang sampai 10 tahun. Sementara WB sebagai Development Institution berfungsi untuk mendorong pembangunan ekonomi dan menyediakan pendanaan (financing) pembangunan ekonomi, dan sifat loan-nya adalah long term dimana repayment time-nya antara 15-20 tahun dan kadang-kadang sampai 40 tahun.
Dalam pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut, sejak tahun 1980-an IMF dan WB menetapkan persyaratan-persyaratan tertentu“seal approval” terhadap negara-negara yang ingin mendapatkan loan dari IMF dan WB. Kebijakan tersebut dikenal dengan adjusment lending policy yang dibedakan menjadi sectoral adjusment policy dan structural adjusment policy (SAPs). Adjusment policy pada dasarnya bentuk atau perwujudan dari penerapan konsep “neoliberalism”. Faktanya adalah kedua kebijakan tersebut sama-sama mendukung reformasi sektoral dan institusional, menyediakan balance of payments, mendorong perubahan dan pengesahan institusional. Perbedaannya terletak pada cakupan kebijakan dan reformasi institusional yang diinginkan. Umumnya structural adjusment policy adalah instrumen yang digunakan oleh IMF dan WB untuk memberikan pinjaman kepada negara-negara yang membutuhkan bantuan. Structural adjusment IMF dan WB pada dasarnya tidak memiliki perbedaan yang signifikan.
IMF dan WB merupakan institusi keuangan dan pembangunan yang paling kuat di dunia saat ini. Dengan cakupan wilayah operasional mencapai 175 negara maka hampir seluruh negara di dunia merasakan dampak bantuan dana dari kedua organisasi tersebut. Keberhasilan IMF dan WB dapat dilihat dari munculnya negara-negara Eropa Barat saat ini yang menjadi kekuatan ekonomi dunia. Kedua institusi tersebut berhasil membangkitkan negara-negara Eropa Barat dari kehancuran ekonomi setelah Perang Dunia II. Selain itu IMF dan WB berhasil membantu negara-negara berkembang bangkit dari krisis ekonomi seperti Korea Selatan,Taiwan, Singapura. Namun keberhasilan IMF dan WB harus dilihat secara kritis terutama peran keduanya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang. Karena sudah umum diketahui bahwa bantuan IMF dan WB melalui SAPs-nya membawa dampak sangat buruk bagi negara-negara “pasien” kedua institusi tersebut. Sebaliknya keuntungan yang diperoleh oleh negara-negara maju yang memegang kontrol atas IMF dan WB sangat besar. Seperti terlihat pada tabel berikut:

Structural Adjustment: How the IMF/World Bank Exploits the Globe

IMF / World Bank Demands Benefits for the Rich Impacts on the
Poor
Cut Social Spending:
Reduce expenditures on health and education. [IMF claims it is now making sure such spending goes up, but often it's to put in place systems to collect fees.] * More debts repaid. * Increased school fees force parents to pull children -usually girls-from school. Literacy rates go down.
* Poorly-educated generation not equipped for skilled jobs.
* Higher fees for medical service mean less treatment, more suffering, needless deaths.
Shrink Government:
Reduce budget expense by trimming payroll and programs. * Fewer government employees means less capacity to monitor businesses' adherence to labor, environmental, and financial rules.
* Frees up cash for debt service. * Massive layoffs in countries where government is the largest employer.
* Makes people desperate to work at any wage.
Increase Interest Rates: to combat inflation, increase interest charged for credit and awarded to savings. * Investors find country a profitable place to park cash, though they may pull it out at any moment. * Small farmers and businesses can't get capital to stay afloat.
* Small farmers sell land, work as tenants or move to worse lands.
* Businesses shut down, leaving workers unemployed.
Eliminate Regulations on Foreign Ownership of Resources and Businesses. * Multinational corporations can purchase or start enterprises easily.
* Countries compete for foreign investment by offering tax breaks, Low wages, free trade zones.
* Once in the country, corporations can turn to WTO for enforcement of "rights". * Control of entire sectors of economy can shift to foreign hands. o Governments offer implicit pledges not to enforce labor and environmental laws.
Eliminate Tariffs:
Stop collecting taxes on imports; these taxes are often applied to goods which would compete with domestically-produced goods. * Allows foreign goods easy access to domestic markets. * Makes it harder for domestic producers to compete against better-equipped and richer foreign suppliers.
* Leads to closure of businesses and Layoffs.
Cut Subsidies for Basic Goods:
Reduce government expenditures supporting basic necessities, food, etc. * Frees up more money for debt payments. * Raises cost of items needed to survive.
* Most frequent flashpoint for civil unrest.
Re-orient Economies from Subsistence to Export:
Give incentives for farmers to produce cash crops (coffee, cotton, etc.) for foreign markets rather than food for domestic ones; encourage manufacturing to focus on simple assembly (often clothing) for export rather than manufacturing for own country; encourage extraction of valuable mineral resources. * Produces hard currency to pay off more debts.
* Law of supply and demand pushes down price of commodities as more countries produce more, meaning guaranteed supply of low-cost products to export markets.
* Local competition eliminated for multinational corporations.
* Increased availability of low-cost labor. * Law of supply and demand pushes down price of commodities as more countries produce more, meaning local producers often lose money.
* Best lands devoted to cash crops; poorer land used for food crops, leading to soil erosion.
* Food security threatened
* Women often relegated to gathering all food for family while men work for cash.
* Makes country more dependent on imported food and manufactured goods.
* Forests and mineral resources (oil, copper, etc) overexploited, Leading to environmental destruction and displacement.
Contoh negara yang menerima bantuan IMF dan WB adalah Filipina.
Kehancuran ekonomi Filipina adalah efek dari strategi pembangunan yang disebut debt-dependent development strategy dan kebijakan makroekonomi yang pro kaum kaya “macroeconomic policy that have favored the wealthy”. Beban yang ditanggung Filipina akibat kebiajakan tersebut dapat dilihat dari beban tanggungan tenaga kerja sebesar US$29 milyar dan beban hutang domestik sebesar US$9 milyar. Beban untuk pembayaran hutang luar negeri sebesar US$ 18 milyar sejak 1986 dan jumlah tersebut bertambah 3 milyar pada tahun yang sama.
Filipina meminta bantuan IMF dan WB untuk mengatasi beban ekonomi tersebut. Untuk memberikan bantuan kepada Filipina IMF dan WB memberikan saran agar Filipina menerapkan kebijakan stabilisasi dan adjusment policy yang telah ditetapkan oleh IMF. Kebijakan tersebut dimaksudkan atau didisain untuk meningkatkan pendapatan untuk membayar hutang-hutang Filipina. Bentuk nyata dari kebijakan tersebut adalah mengutamakan pengembangan industri dan agribisnis yang padat modal. Artinya sektor yang padat tenaga kerja (labor intensive) seperti sektor pertanian ditinggalkan. Maka dampak nyata dari kebijakan tersebut adalah tidak terserapnya pengangguran yang mencapai angka 48%, dimana hanya 900.000 tenaga kerja yang terserap setiap tahunnya. Pertumbuhan ekonomi juga menjadi korban dari kebijakan tersebut dimana seiring dengan menurunnya angka inflasi yang mencapai 12%, berkurangnya defisit neraca berjalan, dan stabilnya cadangan Bank Sentral, kebijakan fiskal dan moneter yang ketat menyebabkan resesi ekonomi yang hebat.
Kebijakan stabilisasi yang digariskan oleh IMF adalah mengurangi permintaan domestik untuk tetap menjaga tersedianya dana yang cukup untuk pembayaran hutang luar negeri. Kebijakan itu mencakup pemotongan atau pembatasan pengeluaran pemerintah, menaikkan pajak dan mendorong peningkatan penarikan pajak, dan mengurangi subsidi untuk mencegah masyarakat mengkonsumsi barang-barang murah. Kebijakan tersebut memang berhasil meningkatkan cadangan internasional, mengurangi inflasi dan menurunkan defisit anggaran. Namun dampak yang ditimbulkannya menjadi salah satu penyebab utama krisis Filipina pada pertengahan 1980-an. Kebijakan menekan permintaan domestik telah menyebabkan masyarakat Filipina mengalami penderitaan yang dahsyat. Kebijakan yang berorientasi industri dan agribisnis menyebabkan aktifitas ekonomi pada sektor agrikultur dan non agrikultur menurun drastis setiap tahunnya. Terjadi penurunan sampai 25% antara tahun 1981 sampai 1987. Hal itu menyebabkan meningkatnya pengangguran dan menurunnya jumlah masyarakat yang mendapatkan upah real (real wages), sehingga menyebabkan peningkatan persentase masyarakat yang hidup dalam kemiskinan. Jumlah pengangguran yang sangat tinggi terutama terjadi di daerah pedesaan. Petani miskin yang tidak memiliki lahan berusaha untuk tetap survive dengan cara migrasi ke dataran-dataran tinggi di daerah pinggiran serta ke daerah-daerah laut (coastal). Maka dampaknya adalah terjadinya deforestation, hancurnya daerah-dareah penangkapan ikan, erosi tanah, hancurnya terumbu karang, dan pendangkalan dam dan sistem irigasi. Stabilisasi juga semakin menghambat pertumbuhan ekonomi yang mencapai kurang dari 1% pada tahun 1991.

Read more...

Minggu, 21 Februari 2010

Dinamika Kawasan Asia timur

ASIA TIMUR
by heri alfian
Isyu-isyu utama di kawasan Asia Timur diwarnai dengan ketegangan hubungan di antara negara-negara di kawasan. Ketegangan-ketegangan tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut: ketegangan antara Taiwan-Cina, Jepang-Korea Utara, Korea Utara-Korea-Selatan. Dua isyu terhangat yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir adalah ketegangan antara Jepang dengan Cina, dan ketegangan antara Jepang dengan Korea Selatan.
Ketegangan hubungan antara Taiwan dengan Cina terkait dengan keinginan Taiwan untuk menjadi sebuah negara merdeka sejak tahun 1949 dan melepaskan diri dari Cina. Akan tetapi bagi Cina, Taiwan adalah bagian dari wilayah Cina (salah satu provinsinya), sehingga menganggap tindakan Cina untuk untuk memisahkan diri sebagai tindakan separatisme. Cina menyebut taiwan sebagai a renegade province dan seringkali menyatakan akan menyerang Cina jika waktunya sudah tepat. Diktator Cina Deng Xiaoping menyatakan akan menginvasi Cina jika: Taiwan membangun kekuatan nuklirnya; Jika hubungan Taiwan menjalin hubungan dengan Rusia; Terjadinya kerusuhan besar-besaran (widescale) di Taiwan; Jika Taiwan mendeklarasikan kemerdekaannya; Jika Taiwan menolak untuk melakukan unifikasi dengan Cina.
Ketegangan hubungan antara Jepang dengan Korea Utara dilatarbelakangi oleh pendudukan Jepang terhadap Korea Utara pada tahun 1910 sampai 1945. Tindakan militeristis Jepang itu masih “melukai” perasaan rakyat Korea Utara sampai saat ini. Hal itu menyebabkan hubungan kedua negara tidak pernah membaik. Persoalan hubungan kedua negara semakin besar karena ketidaksetujuan Korea Utara terhadap adanya pangkalan militer Amerika Serikat di wilayah Jepang. Korea Utara menganggap keberadaan militer AS tersebut sebagai sebuah ancaman bagi keamanan Korea Utara. Persepsi itu dilatarbelakangi oleh ketagangan antara Korea Utara dengan AS, yaitu terkait isu kepemilikan dan pengembangan persenjataan nuklir Korea Utara. Bahkan bagi AS, Korea Utara merupakan the axis of evil atau poros kejahatan terkait dengan sikap Korea Utara yang selalu bertentangan dengan AS. Sedangkan bagi Jepang, keberadaan militer AS adalah sebagai penjamin keamanan wilayahnya dari serangan negara lain termasuk Korea Utara, karena Jepang tidak memiliki kekuatan militer sejak Perang Dunia II.
Ketegangan hubungan antara Korea Utara dengan Korea Selatan adalah isu yang selalu hangat di kawasan Asia Timur. Sejak pecahnya perang Korea pada tahun 1950-1953 yang berakibat pada terbaginya Korea menjadi dua Korea, permusuhan di antara kedua negara tidak pernah usai. Sejak 1953 sampai saat ini perang Korea masih berlanjut dengan cara yang berbeda. Kedua negara masih terlibat dalam tindakan spionase satu dengan yang lain, masih terjadinya perang-perang kecil di daerah Demilitarized Zone (DMZ), dan melakukan propaganda di daerah perbatasan. Kedua negara juga menjalin aliansi melalui pendekatan perdagangan dan diplomasi dengan negara lain untuk memperkuat posisi masing-masing. Kedua negara juga aktif meningkatkan kekuatan militer masing-masing, di mana Korea Utara membelanjakan sebagian besar Gross National Product-nya (GNP) untuk meningkatkan kekuatan militernya. Sedangkan Korea Selatan memiliki militer yang terlatih dengan baik dan memiliki persenjataan canggih serta di back-up oleh AS dengan keberadaan pangkalan militer di wilayahnya.
Ketegangan antara Jepang dengan Korea Selatan merupakan salah satu isyu hangat di kawasan Asia Timur saat ini. Ketagangan itu terkait dengan perselisihan tentang pulau Tokdo. Jepang mengklaim bahwa pulau tersebut adalah bagian dari wilayah Jepang yang dalam bahasa Jepang disebut dengan Takeshima atau Bamboo Island. Sebaliknya Korea Selatan juga menganggap pulau itu yang dalam bahasa Korea Selatan disebut dengan Tokdo atau Lonesome Island, sebagai wilayahnya.
Isyu lain yang menjadi tema hangat adalah ketegangan antara Jepang dengan Cina terkait dengan penerbitan buku pelajaran sejarah Jepang. Cina menganggap bahwa dalam buku sejarah tersebut Jepang tidak mengakui kekejaman tentaranya terhadap bangsa Cina ketika terjadi perang antara Jepang dengan Cina. Tindakan Jepang tersebut dikenal dengan “whitewash” yaitu Jepang tidak mengakui kekejaman kolonisasi dan agresi yang pernah dilakukannya selama Perang Dunia II. Jepang telah membolak-balikkan fakta sejarah “twisted history” dalam buku sejarah tersebut, sehingga membuat Cina sakit hati “deeply hurt”. Sikap Jepang yang tidak mau merubah isi buku tersebut sampai menyebabkan Ketua Parlemen Cina Li Peng menangguhkan kunjungan balasan ke Jepang yang semula dijadwalkan berlangsung dari tanggal 28 Mei, selama seminggu.
Sejak tahun 1949 perselisihan Cina dengan Taiwan tidak pernah usai, bahkan terus meningkat. Ketegangan hubungan kedua negara yang disebabkan oleh perbedaan pandangan mengenai status Taiwan, di mana Taiwan menganggap dirinya bukan bagian dari wilayah Cina, sementara Cina menganggap Taiwan adalah bagian dari wilayah Cina. Ketegangan selalu muncul ketika mencuat isu tentang keinginan Taiwan untuk mendeklarasikan kemerdekaannya. Cina menyebut Taiwan dengan Provinsi pembangkang atas tindakan tersebut. Bahkan Cina secara terang-terangan menyatakan akan menyerang Taiwan jika Taiwan mendeklarasikan kemerdekaan ataupun tidak mau melakukan unifikasi dengan Cina. Jika perang antara Cina dan Taiwan benar-benar terjadi menurut Hayes, maka perang tersebut akan melibatkan banyak negara yaitu Jepang, AS, dan Korea Utara. Sebagaimana diketahui bahwa AS adalah aliansi utama Taiwan yang menjamin keamanan wilayahnya selama ini dari serangan Cina. Jika Cina menyerang Taiwan maka sudah pasti AS akan membantu Taiwan.
Posisi Jepang dalam kasus ini juga sangat rawan karena Jepang merupakan sahabat dekat Taiwan dan juga negara aliansi AS. Jepang adalah salah satu penyuplai persenjataan terbesar Taiwan setelah AS. Cina seringkali mengingatkan Jepang untuk menghentikan penjualan senjatanya terhadap Taiwan. Sedangkan keterkaitan Jepang dengan AS akan menyeret Jepang ke dalam perang karena berdasarkan isi perjanjian aliansi keamanan Jepang dengan AS tahun 1960 Jepang berkewajiban untuk membantu AS jika terjadi Perang di kawasan Asia Timur. Pada sisi lain Korea Utara juga akan terlibat Perang karena Ia merupakan sekutu dari Cina. Dalam beberapa perselisihan yang timbul antara Jepang, AS dengan Korea Utara, Cina selalu mendukung Korea Utara. Dan jika perang antara Cina dengan Taiwan pecah sudah dipastikan bahwa Korea Utara akan mendukung Cina.
Permasalahan kedua yang memungkinkan terjadinya perang adalah adanya ancaman nuklir Korea Utara. Permasalahan antara Korea Utara dengan Korea Selatan serta dengan Jepang sangat rawan menimbulkan perang terbuka. Kepemilikan nuklir Korea Utara akan menyebabkan kemungkinan tersebut lebih besar. Sebab selama ini Korea Utara selalu mengunakan isu nuklirnya untuk dalam proses penyelesaian masalah dengan Jerpang dan Korea Selatan. Korea Utara selalu berusaha mendapatkan pay-off isu pengembangan nuklirnya dengan bantuan ekonomi dari kedua negara tersebut. Selama ini cara itu cukup berhasil membantu Korea Utara tetap survive sebagai sebuah negara miskin. Namun jika pada suatu kondisi tertentu proses pay-off tersebut tidak berjalan, di mana Korea Selatan dan Jepang tidak lagi mau memberikan bantuan ekonomi terhadap Korea Utara ataupun muncul isu-isu yang tidak mungkin diselesaikan dengan cara tersebut, maka perang terbuka tidak akan dapat dihindari. Jika perang itu terjadi maka tidak hanya ketiga negara tersebut yang akan terlibat tetapi juga akan melibatkan Amerika Serikat dan Cina.

Read more...

Selasa, 09 Februari 2010

SECURITY DILEMMA

by Heri Alfian


defines the security dilemma as a situation “in which the means by which a state tries to increase its security decreases the security of others.”

Security dilemma menjelaskan tentang suatu kondisi di mana usaha suatu negara untuk meningkatkan keamanan nasionalnya dengan menambah kapabilitas pertahanannya berdampak pada munculnya rasa terancam (ancaman) terhadap negara lain, hal itu kemudian memicu (memprovokasi) negara (lain) tersebut untuk meningkatkan kemampuan pertahanannya (militer) juga (military counter-moves); kondisi ini akhirnya menyebabkan menurunnya atau berkurangnya tingkat keamanan itu sendiri (lead to a net decrease in security). Securitry dilemma pada pada dasarnya merupakan refleksi dari kesulitan pemerintah suatu negara untuk menentukan pilihan kebijakan keamanannya. Jika suatu negara mengurangi usaha-usaha untuk memperkuat keamanannya dengan tujuan menciptakan hubungan yang damai (peaceful) dengan negara lain, maka konsekuensinya adalah negara tersebut rawan (vulnerable) untuk diserang oleh negara lain. Namun jika negara tersebut meningkatkan kekuatan pertahanannya maka akan menyebabkan munculnya prasangka atau kecurigaan negara-negara lain (dunia internasional) sehingga akan memicu terjadinya perlombaan senjata. Kondisi tersebut akan menghadapkan negara untuk lebih (cenderung) mengedepankan cara penyelesaian konflik dengan cara-cara militer (perang) daripada cara-cara diplomasi. Security dilemma seringkali disebabkan oleh adanya tanda yang ambigu (ambiguos signals) yang umumnya muncul dari military planning. Seperti dijelaskan oleh Nicholas Wheeler dan Ken Booth, bahwa Security dilemma muncul ketika:
“The military preparations of one state create an unresolvable uncertainty in the mind of another as to wether those preparations are for “defensive” purposes only (to enhance its security in uncertain world) or wether they are for offensive purposes ( to change the status quo to its advantage)”.
Security dillema umumnya bekerja pada suatu kondisi yaitu bilamana kebijakan keamanan suatu negara staus quo(meningkatkan kekuatan pertahanannya) yang murni ditujukan untuk self defense, yang seringkali ditanggapi oleh negara lain atau musuh (adversary) sebagai tujuan yang ofensif. Hal itu mendorong negara adversary membeli atau memproduksi senjata tambahan untuk meningkatkan kekuatan militernya. Hal itu disebabkan oleh adanya suatu kelaziman bahwa negara adversary selalu atau memiliki kecenderungan untuk mengambil asumsi terburuk yakni negara status quo meningkatkan kemampuan pertahanannya untuk tujuan menyerang (ofensif). Seperti dijelaskan oleh Robert Jervis:
..status quo will desire a military postures that resemble than of an aggressor. For this reason others cannot infermfrom its military forces and preparations wether the state is aggressive. State therefore tend to assume the worst.
Secara nyata security dilemma tidak menyumbang secara positif terhadap keamanan dunia, malah sebaliknya ikut menyumbang terhadap munculnya konflik dan peperangan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Norman Cousin yang meneliti tentang apakah perlombaan senjata merupakan penyebab perang ataukah penjamin perdamaian. Melalui studi komputer imajiner yang menyeluruh atas semua perlombaan senjata menemukan bahwa semenjak tahun 650 SM terdapat 1.956 perlombaan senjata ; hanya enam belas (16) diantaranya yang tidak berakhir dengan peperangan, sebagian besar diantaranya berakhir dengan kebangkrutan ekonomi. Kondisi perlombaan senjata antar negara yang terjadi dalam security dilemma pada saat tertentu akan mencapai puncaknya yaitu apabila salah satu negara tidak mempunyai kemampuan lagi untuk menambah atau mempercanggih kapabilitas pertahanannya (militer dan persenjataan). Jika kondisi ini terjadi maka kemungkinan negara yang lebih kuat kapabilitas militer dan persenjataannya akan menyerang negara musuhnya yang kapabilitas militer dan persenjataannya lebih lemah dari kekuatannya (negara yang kalah dalam perlombaan senjata).
Security dilemma tidak dapat dihentikan alasannya dengan beberapa alasan, pertama, adagium “Si vis pacem para bellum” masih menjadi mainstream utama negara-negara dalam usahanya menciptakan keamanan nasionalnya. Reasoning-nya adalah hampir semua negara di dunia ini melakukan pembelian senjata atau memproduksinya serta memperkuat kemampuan militernya. Apapun tujuannya, baik untuk defenseif maupun ofensif, tindakan memperkuat kemampuan militer dan persenjataan hampir pasti ditafsirkan sebagai persiapan untuk menyerang negara lain. Sesuai dengan asumsi dasar securitry dilemma maka negara yang merasa terancam akan melakukan tindakan serupa. Proses aksi- reaksi ini masih terjadi sampai saat ini dan sepertinya akan terus berlangsung selama entitas yang disebut negara masih ada. Kedua, argumen kaum liberal yang menyatakan bahwa dunia bisa menjadi damai dengan kerja sama ekonomi tidak bisa menghentikan security dilemma (perlombaan senjata). Fakta memperlihatkan bahwa globalisasi ekonomi yang terjadi di mana hubungan ekonomi antar negara semakin erat tidak menutup fakta bahwa dilema keamanan tetap mewarnai hubungan antar negara tersebut. Contoh nyata security dilemma di kawasan di kawasan Asia Timur Jauh (far east) yang meliputi Jepang, Cina, Korea Selatan, Korea Utara, Taiwan, dan dalam kasus tertentu melibatkan Rusia yang berada di luar kawasan. Sudah umum diketahui bahwa hubungan ekonomi negara-negara di kawasan ini sangat erat, di mana hampir sebagian besar investasi di Cina dilakukan oleh Taiwan, hubungan perdagangan Cina-Jepang yang volumenya selalu meningkat setiap tahun dengan nilai yang begitu besar, hubungan ekonomi Jepang-Korea Selatan, kemudian bantuan ekonomi Jepang yang terus diberikan kepada Korea Utara yang dapat dikatakan merupakan sumber utama perekonomian Korea Utara sampai saat ini, bantuan ekonomi Korea Selatan kepada Korea Utara, bantuan ekonomi Jepang kepada Rusia. Semua itu tidak menghilangkan kenyataan bahwa sampai saat ini kawasan far east adalah kawasan yang selalu dibayang-bayangi oleh perang karena security dilemma yang terus meningkat. Ketiga, fenomena terorisme menyebabkan security dilemma akan semakin meningkat, karena usaha-usaha yang dilakukan oleh banyak negara untuk menanggulangi terorisme menyebabkan terjadinya perlombaan senjata. Hal itu disebabkan oleh adanya tindakan di mana negara yang meningkatkan kemampuan persenjataan dan militernya untuk tujuan memberantas terorisme dicurigai oleh negara lain bahwa tindakan tersebut bertujuan untuk menyerang negaranya. Kasus nyata adalah kebijakan Jepang meluncurkan Program Rencana Pertahanan beberapa waktu yang lalu, yang ditujukan untuk menghadapi terorisme (kata Jepang) langsung mengundang reaksi keras negara-negara di kawasan Far East. Contoh lain adalah kebijakan Australia untuk memperkuat persenjataan dan peralatan militernya telah memancing reaksi keras dari Indeonesia. Aksi-reaksi tersebut dalam jangka waktu tertentu akan menyebabkan munculnya security dilemma. Jadi jelas bahwa security dilemma tidak dapat dihentikan.

Read more...

Rabu, 03 Februari 2010

DETERRENCE

by Heri Alfian
Deterrence secara harfiah adalah sebuah penangkisan, penolakan atau pencegahan, dalam hal ini maksud Deterrence adalah merupakan suatu strategi untuk mencegah terjadinya perang dengan cara ‘mengecilkan hati’ lawan (negara lain) yang mencoba menyerang. Tujuan utama defender disini adalah meyakinkan kepada negara lain bahwa kerugian yang ditimbulkan karena perang akan jauh melebihi keuntungan yang diharapkan. Hal ini biasanya diselesaikan dengan ancaman balas dendam secara militer atau membalas inisiator jika melakukan sesuatu yang tidak diinginkan. Lebih tepatnya defender harus menunjukkan komitmennya untuk menghukum atau membalas dan kemampuannya untuk melakukan hal tersebut untuk mendemonstrasikan credibility of the deterrence.
Konsep deterrence biasa diasosiasikan dengan kekuatan nuklir, tetapi penerapannya diperluas dalam berbagai situasi dimana salah satu pihak mencoba untuk mencegah pihak lain untuk melakukan tindakan yang belum dilakukan. Deterrence dapat pula digunakan dengan kekuatan untuk mencegah kelemahan dari percobaan penggulingan suatu negara.
Para ahli strategi mengidentifikasikan 4 macam deterrence. Dua jenis pertama yaitu General dan Immediate, dilakukan sesuai dengan kerangka waktu strategi. General deterrence adalah strategi jangka panjang yang dimaksudkan untuk “mengecilkan hati dengan pertimbangan yang serius atas segala bentuk ancaman kepentingan negara lain”. General deterrence berjalan setiap waktu, berusaha untuk mencegah negara lain yang mencoba menyerang dengan berbagai cara militer karena konsekuensi yang diinginkan. Immediate deterrence, sebaliknya, adalah suatu tanggapan terhadap yang ancaman yang jelas dan tegas atas kepentingan negara. Ketika aggressor mulai menyerang general deterrence dinyatakan gagal, tetapi immediate deterrence mungkin masih dapat dilakukan untuk meyakinkan aggressor untuk menghentikan dan tidak melanjutkan serangan.
Dua jenis deterrence yang lain berhubungan dengan lingkup geografis dari strategi yang dimaksud. Primary deterrence dimaksudkan untuk meminta negara lain untuk tidak menyerang wilayah suatu negara, selain itu extended deterrence adalah “mengecilkan hati” negara lain untuk tidak menyerang partner atau sekutu suatu negara.

Syarat-syarat deterrence
Terdapat tiga syarat atau kondisi yang harus dipenuhi dalam konsep deterrence.
Commitment, merupakan langkah pertama dalam pelaksanaan deterrence, defending state harus memiliki komitmen untuk membalas aggressor atau challenger ketika melakukan tindakan. Dalam kata lain defender harus membuat batas dan memperingatkan aggressor bahwa dia akan ‘menderita’ bila melewati atau melintasi batas tersebut. Komitmen tersebut harus jelas, tidak ambigu dan harus dinyatakan sebelum aggressor melakukan agresi. Komitmen yang ambigu dapat mendatangkan kerugian dari kepentingan aggressor dalam percobaan pemecahaan pertahanan. Deterrence seringkali gagal karena defender tidak menunjukkan dengan baik komitmen untuk membalas atau gagal dalam menetapkan tindakan pembalasan yang tepat dalam suatu kasus penyerangan.
Capability, komitmen yang jelas tidak akan berguna apabila negara tidak mempunyai cara atau sarana untuk menunjukkannya, ketika deterrence berputar sekitar menyakinkan aggressor bahwa kerugian dari tindakan tidak sebanding dengan keuntungannya, defender harus menyakinkan pula bahwa dia juga memiliki kemampuan untuk membalas. Sekalipun bila kemampuan deterrent negara lemah, dia tetap mencoba meyakinkan bahwa kemampuan untuk membalas yang dimiliki lebih kuat.
Credibility, suatu negara harus menyakinkan aggressor tentang keputusan dan keinginannya untuk menunjukkan komitmennya untuk menghukum atau membalas. Walaupun defender telah menyatakan komitmen dan menunjukkan kemampuannya untuk membalas, deterrence masih mungkin mengalami kegagalan jika aggressor meragukan keinginan defender mengambil resiko perang. Jelasnya, komitmen untuk membalas harus persuasive supaya tidak terdengar ‘gertak sambal’. Pada bagian lain keberhasilan defender bergantung pada reputasi perilaku dan image suatu negara.
Singkatnya, deterrence dapat mengalami kegagalan karena aggresor meragukan komitmen, kemampuan dan kredibilitas defender untuk membalas aggressor. Bagaimanapun, teori deterrence mengakui bahwa, defender harus dengan jelas menunjukkan komitmen serta kredibilitasnya untuk mempertahankan kepentingan negaranya, di sisi lain aggressor harus mengkalkulasikan juga keuntungan atau kerugian dari pembalasan (punishment), dalam hal ini masih sangat rational bagi aggressor untuk menyerang.

Dampak dan sumbangan teori deterrence
Bila diamati penerapan konsep deterrrence yang telah dilakukan oleh berbagai negara seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, dapat dikatakan bahwa deterrence telah memberikan dampak positif terhadap terciptanya keamanan nasional negara-negara tersebut serta berperan besar dalam menciptakan keamanan dunia. Alasan yang dapat diajukan adalah selama perang dingin tidak pernah terjadi perang terbuka (perang dalam arti sebenarnya) antara AS maupun Uni Soviet. Kekuatan nuklir yang dimiliki oleh kedua negara tidak pernah digunakan untuk saling menyerang, bahkan sampai hari ini. Karena masing-masing pihak merasa bahwa tidak akan mendapatkan keuntungan (politis maupun militer) apapun juga, sebaliknya akan sama-sama mengalami kehancuran jika persenjataan nuklir mereka digunakan untuk saling menyerang. Jadi pada dasarnya kekuatan nuklir Amerika Serikat dan Uni Soviet hanya sebagai alat untuk menciptakan efek psikologis yaitu masing-masing pihak takut untuk melakukan first strike, sehingga tidak terjadi perang terbuka.
Namun pada sisi lain banyak case yang memperlihatkan bahwa deterrence tidak memberikan dampak positif bagi keamanan nasional suatu negara dan keamanan dunia dan sebaliknya telah menyebabkan terjadinya perang terbuka. Hal itu disebabkan oleh adanya sifat vulnerability (mudah diserang) yang tinggi dalam penerapan konsep deterrence tersebut. Sifat vulnerability yang sering terjadi dalam penerapan deterrence yaitu:
• Adanya kesulitan untuk menentukan apakah deterrence yang dilakukan berhasil atau gagal
• Adanya kesalahan persepsi (misperception) terhadap tindakan ataupun “signal” yang dikirimkan oleh salah satu pihak
• Rasionalitas, menyangkut adanya keterbatasan keterbatasan decision maker untuk mencapai rasionalitas yang terbaik karena keterbatasan manusia untuk melakukan semua kalkulasi yang sangat banyak dan rumit.
Mengenai sumbangan yang diberikan terhadap pertahanan dan keamanan dunia dapat dilihat dari berbagai kasus penerapan deterrence yang dilakukan banyak negara terutama AS dan Uni Soviet yang tidak menyumbang secara positif terhadap keamanan nasional kedua negara tersebut, terlebih bagi keamanan dunia. Keamanan dalam hal ini mencakup keamanan dari rasa takut dan kecemasan dan tidak semata-mata hanya terhindar dari pecahnya perang terbuka. Tidak dapat dipungkiri bahwa selama Perang Dingin, masyarakat kedua negara berada dalam kondisi psikologis yang penuh dengan rasa ketakutan dan kecemasan akan pecahnya perang secara tiba-tiba. Selain itu deterrence yang dilakukan oleh AS dan Uni Soviet tidak menciptakan keamanan serta perdamaian bagi dunia karena perdamaian yang tampak sifatnya sangat artifisial.

Read more...

Jumat, 29 Januari 2010

BUKU: REMILITERISASI JEPANG PASCA PD II



Author: Heri alfian

Buku ini mengupas tentang latar belakang pengembangan militer Jepang Setelah Perang Dunia II (PD II) dengan menggunakan perspektif konstruktivis. Ada dua argumen dikemukakan, yaitu: Pertama, kerangka berpikir konstruktivis hadir sebagai penyeimbang ataupun sanggahan terhadap pandangan teori-teori rasionalis yang menganggap bahwa pengembangan militer Jepang setelah PD II merupakan resultan dari upaya Jepang untuk survive di dalam lingkungan internasional yang anarkis. Kebijakan Jepang membangun kembali kekuatan militernya setelah PD II tidak dapat dijelaskan dengan menggunakan kerangka berpikir teori-teori rasionalis seperti neoliberal dan neorealis. Teori-teori tersebut tidak mampu memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti mengapa inklinasi kekuatan militer Jepang tidak berjalan linear? Mengapa kekuatan Jepang tidak meningkat seiring (tidak berbanding lurus) dengan peningkatan kemampuan ekonominya? Mengapa kekuatan militer Jepang tidak meningkat sejalan dengan persepsi ancaman yang dirasakannya dari negara-negara tetangganya? Kegagalan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut terakumulasi pada satu argumen penting yaitu pengembangan kekuatan militer setelah PD II bukanlah semata-mata hasil dari upaya Jepang untuk survive di dalam lingkungan internasional yang menurut para rasionalis bersifat anarkis. Kedua, terkait dengan argumen itu, konstruktivis melihat bahwa pengembangan kekuatan militer Jepang setelah PD II adalah resultansi dari interaksi Jepang dengan significant other-nya yaitu Amerika Serikat dan negara-negara tetangganya melalui evolusi kerja sama, serta adanya intentional effort Jepang untuk merubah struktur identitas dan kepentingannya. Proses pengembangan kekuatan militer itu dalam kerangka berpikir konstruktivis tidak berjalan secara linear karena hal itu dipengaruhi oleh tarik-menarik antara identifikasi positif dan negatif Jepang dengan significant other-nya serta bentuk-bentuk effort Jepang sendiri yang termanifestasikan di dalam bentuk-bentuk perubahan sikap dan kebijakan yang terkait dengan militer. full version contact me at alfianheri@yahoo.com

Read more...

Jumat, 22 Januari 2010

Desain Intruksional Transnasionalisme dalam Politik Dunia

SILABUS MATA KULIAH
Mata Kuliah / Kode : Transnasionalisme dalam Politik Dunia
Semester / SKS : VII / 2 SKS
Prasyarat : Hubungan Internasional
Pembina Mata Kuliah : Heri Alfian, MSi
1. Standar Kompetensi:
Mahasiswa memamahi transnasionalisme secara komprehensiff dan mampu melakukan analisa atas pengaruh transnasionalisme terhadap negara dan politik internasional
2. Kompetensi Dasar.
a. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang bentuk hubungan transnasionalme dan politik Internasional secara holistik.
b. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang pengaruh aktor-aktor dan hubungan Transnasionalisme terhadap negara dan politik Internasional.
c. Mahasiswa mampu memahami teori Tranansionalisme.
d. Mahasiswa mampu menganalisa berbagai kasus hubungan transnasionalisme di berbagai negara dengan menggunakan teori-teori transnasionalisme.

3. Deskripsi Materi:
Materi dalam perkulihan ini meliputi pengertian, sejarah, bentuk dan aktor, dan teori Transnasionalisme, sekaligus tinjaun kritis terhadap bentuk politik internasional.selengkapnya lihat

Read more...

Sabtu, 16 Januari 2010

Resensi Buku:

Privatisasi BUMN Tak Memihak Rakyat
Harian Sindo, Saturday, 16 January 2010

Konsep tentang neoliberal saat ini menjadi sesuatu yang menarik untuk dicermati. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, wacana publik tentang neoliberal menjadi komoditas politik yang sedang memanas dan menarik saat ini.

Kedua, konsep neoliberal dalam praktiknya di Indonesia telah dilakukan sejak era Presiden Soeharto hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Apa yang salah dengan neoliberal, menjadi pertanyaan menarik. Tokoh yang terkenal penganjur paham ini adalah Milton Friedman, seorang pemikir yang masih percaya pada kapitalisme klasik yang berpendapat bahwa urusan negara hanya masalah tentara dan polisi, yang melindungi hidup warganya.

Negara tidak boleh mencampuri perekonomian dan menarik pajak dari rakyatnya, karena menurutnya telah terbukti bahwa krisis ekonomi semakin memburuk jika negara berusaha mengatasinya.. Lebih jauh paham Neoliberal percaya bahwa tujuan negara adalah untuk melindungi individu, khususnya dunia usaha (pasar),kebebasan dan hak-hak kepemilikan. Dan privatisasi harus dilakukan.

Privatisasi dimaksudkan untuk mengurangi peran pemerintah atau meningkatkan peranan dari sektor swasta dalam kegiatan atau pun dalam pemilikan harta kekayaan (Savas,1987). Paham ini juga diterapkan secara internasional dalam bentuk implementasi perdagangan dan pasar bebas. Paham neoliberal sangat percaya bahwa mekanisme pasar adalah cara optimal dalam mengorganisir barang dan jasa.

Perdagangan dan pasar bebas membangkitkan potensi-potensi kreatif dan kewiraswastaan dan karena itu menuju ke arah kebebasan individu dan kesejahteraan serta efisiensi dalam alokasi sumber daya. Menurut paham neoliberal ekonomi moneter mendominasi makroekonomi dan intervensi ekonomi negara tidak diharapkan, karena akan mengganggu logika pasar dan mengurangi efisiensi ekonomi.

Paham ini juga mendukung perdagangan bebas secara internasional. Implikasinya, kekayaan dan kekuasaan tidak lagi berada di tangan pemerintah yang dipilih oleh rakyat melainkan pada kelompok-kelompok elite bisnis dan perusahaanperusahaan multinasional. Privatisasi BUMN sebagai bagian dari doktrin neoliberal pada intinya adalah pemindahan pengelolaan dari sektor publik ke sektor swasta.

Gagasan utama di belakang proyek privatisasi adalah kredo private is good,public is bad,sehingga dibutuhkan pendefinisian ulang peran negara dalam pasar. Konsep privatisasi, dalam sejarahnya, menandai awal terjadinya pergeseran pendulum ekonomi dunia dari model liberal kepada bentuk kapitalisme terbaru yaitu model neoliberal. Bersamaan dengan itu agenda globalisasi di bidang ekonomi dan demokratisasi di bidang politik mendapatkan simpati masyarakat dunia.

Ada beberapa alasan yang dikemukakan kaum neoliberal mengenai privatisasi BUMN.Pertama, mengurangi beban keuangan pemerintah. Kedua, meningkatkan efisiensi pengelolaan perusahaan. Ketiga, meningkatkan profesionalitas pengelolaan perusahaan. Keempat, mengurangi campur tangan birokrasi/ pemerintah terhadap pengelolaan perusahaan. Kelima, mendukung pengembangan pasar modal dalam negeri.

Walau demikian, dalam implementasi kebijakan privatisasi BUMN telah mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa BUMN adalah aset negara yang harus tetap dipertahankan kepemilikannya oleh pemerintah, walaupun tidak mendatangkan manfaat karena terus merugi. Sementara itu,ada sebagian masyarakat berpikir secara realistis.

Mereka berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu sepenuhnya memiliki BUMN, terutama yang tidak mendatangkan keuntungan. Bukti empiris menunjukkan bahwa kebijakan privatisasi di negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia lebih merupakan agenda restrukturisasi ekonomi yang dipaksakan oleh IMF dan Bank Dunia.

Gagasan privatisasi yang bersumber di negara-negara maju dicangkokkan mentah-mentah tanpa melihat perbedaan yang ada dalam struktur sosial, ekonomi, maupun politik antara negara berkembang dan negara maju.Sehingga terjadilah penyimpangan yang kemudian menimbulkan banyak kontroversi. Buku ini mengungkap secara komprehensif mengapa privatisasi BUMN mengandung kontroversi.

Kontroversi ini sebagian besarnya menyangkut masalah hilangnya wewenang pemerintah dalam mengontrol pengelolaan perusahaan. Pemerintah tidak lagi memiliki otoritas untuk berpartisipasi menentukan strategi dan sasaran ke depan yang ingin ditempuh perusahaan.Pemerintah juga tidak punya kapasitas untuk intervensi keputusan pengelola swasta yang merugikan atau menimbulkan biaya sosial bagi publik.

Singkatnya, pemerintah tidak memiliki power untuk mengontrol fungsi pelayanan, distribusi, dan keadilan berkonsumsi. Padahal di negara maju sendiri, peran pemerintah tetap dipertahankan lewat kepemilikan golden share. Buku ini sangat bermanfaat bagi siapa saja,terutama bagi mereka yang memiliki komitmen untuk menghasilkan sebuah kebijakan yang tidak merugikan publik.

Buku ini patut diapresiasi karena mengungkap sebuah kebijakan yang tidak lagi berpihak kepada publik dan berorientasi pasar.Bagi decision maker, buku ini dapat menjadi rujukan dalam merumuskan, mengimplementasi, dan mengevaluasi kebijakan di masa mendatang agar lebih mengedepankan prinsipprinsip administrasi.(*)

Heri Alfian,
Dosen Jurusan Hubungan Internasional
FISIP Universitas Jember

Read more...

Kamis, 14 Januari 2010

Hukum Internasional: Desain Instruksional Hukum Interasional

SILABUS MATA KULIAH
Mata Kuliah / Kode : Hukum Internasional
Semester / SKS : III/3 SKS
Prasyarat : Pengantar Ilmu Hukum
Pembina Mata Kuliah : 1. Dra. Sri Yuniati, MSi
2. Heri Alfian, MSi
1. Standar Kompetensi:
Mahasiswa mampu menganalisis kasus-kasus hukum internasional yang muncul dalam hubungan internasional
2. Kompetensi Dasar.
a. Mahasiswa memamahi konsep-konsep dasar dan subyek-subyek hukum internasional
b. Mahasiswa memahami posisi hukum internasional dalam hubungan internasional
c. Mahasiswa mampu menganalisa berbagai persoalan hukum internasional dalam hubungan internasional
3. Deskripsi Materi
Perkuliahan ini akan memperkenalkan mahasiswa tentang konsep-konsep dasar, aktor, dan sumber hukum internasional serta posisi dan peran hukum internasional di dalam hubungan internasional.
4. Kegiatan Pembelajaran
a. Ceramah dan Diskusi : 10 X 150 Menit
b. Seminar : 4 X 150 Menit
5. Assesmen
a. Tes : Tes tulis, tes kinerja
b. Non Tes : Observasi
6. Referensi
1. Amstrong, David (ed). (2009), Routledge Handbook of International Law; New York, Routledge.
2. Byers. Michael (ed,) (2000) ‘The Role of Law in International Relations Essays in International Relations and International Law, New York, Oxford University Press.
3. Goldstein, Judith et.al, Legalization and World Politics, International Organization, Volume 54, Number 3, Summer 2000.
4. Kegley Jr, Charles W (1995),’ Controversies in International Relations,’ New York, St. Martin Press.
5. Kusumaatmadja, Mochtar & Etty R. Agoes, (2003) ‘Pengantar Hukum Internasional’ Bandung, P.T. Alumni.
6. Mauna, Bour, (2005) ‘HUkum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global’ Bandung, P.T. Alumni
7. Rudi, T. May, (2002) ‘ Hukum Internasional 1’, Bandung, Rafika Aditama.
8. Rudi, T. May, (2002) ‘ Hukum Internasional 2’, Bandung, Rafika Aditama. selengkapnya lihat

Read more...

Minggu, 03 Januari 2010

JAPAN MILITARY BUILDUP

KERJA SAMA KEAMANAN JEPANG-AMERIKA SERIKAT DAN DINAMIKA KEBANGKITAN MILITER JEPANG

Abstract:
Discussing Japan military after World War II (WW II) is always interesting because at one side there is assumption considered that after WW II until present, Japan changed from military state to non-military state and concluded that it has no military forces and become pacifist state. On the contrary, there is assumption that argued the earlier by showing facts Japan has already built its military forces. Actually, Japan had been started its military buildup after signing Treaty of Mutual Cooperation and Security Between Japan and the United States of America in 1951. This article is going to show that The Japan-US security cooperation has a significant influence in every step of Japan military buildup until present day.

Pendahuluan
Sistem pertahanan dan keamanan Jepang mengalami perubahan besar pada tahun 1945 atau di akhir Perang Dunia II (PD II). Jepang berubah total dari salah satu negara adidaya menjadi tidak memiliki kekuatan militer sama sekali untuk sistem pertahanannya, bahkan tidak memiliki polisi di dalam negeri. Fenomena tersebut menarik untuk dikaji karena termasuk unik, yaitu ada negara tanpa militer. Pertahanannya sepenuhnya tergantung pada Amerika Serikat. Padahal secara de facto dan de jure, Jepang adalah negara merdeka.
Secara teoritis, negara merdeka bebas menentukan seluruh kebijakan yang menyangkut kepentingan nasional primernya, termasuk dalam hal ini kebijakan yang menyangkut pertahanan keamanan, tanpa campur tangan negara lain. Namun yang terjadi dengan Jepang adalah sesuatu yang di luar kebiasaan umum, karena sejak 1950-an yaitu ketika pendudukan sekutu terhadap Jepang telah berakhir, Jepang tetap berada di bawah pengaruh Amerika Serikat, terutama dalam penentuan kebijakan pertahanan keamanan.
Selain negara merdeka, dewasa ini Jepang juga merupakan salah satu negara yang memiliki perekenomian termaju di dunia. Namun, kemajuan ekonomi tersebut tidak diikuti oleh pembangunan militer sebagaimana dilakukan oleh negara-negara maju lainnya. Prosentase dari Gross National Product (GNP) untuk anggaran pertahanannya adalah paling kecil dibandingkan negara-negara maju lainnya seperti Jerman, Inggris, Prancis bahkan dari negara-negara Asia seperti Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan. Anggaran pertahanannya tidak pernah lebih dari1% dari GNP sampai tahun 1984 .
Tulisan ini akan menjelaskan tentang kebangkitan militer Jepang setelah Perang Dunia. Tema ini menarik karena, pendapat banyak pengamat yang mengatakan bahwa Jepang bukanlah negara normal dalam arti tidak memiliki militer, tidaklah benar karena pada dasarnya Jepang telah memulai pembangunan militernya sejak tahun 1951. Tulisan ini akan memperlihatkan bahwa pembangunan militer Jepang tersebut dilakukan karena pengaruh besar dari AS yaitu melalui instrumen Perjanjian Aliansi Keamanan Jepang-AS tahun 1951.

Negara Tanpa Militer
Keadaan Jepang yang tidak memiliki militer mandiri, berawal dari kekalahan Jepang dalam PD II yang ditandai dengan penandatanganan perjanjian penyerahahan diri Jepang pada Sekutu, yang tertuang dalam potsdam declaration pada tanggal 26 Agustus 1945. Akibatnya Jepang harus menerima kenyataan bahwa kekuatan militer yang pernah dibanggakan harus dilucuti pasukan Sekutu yang sebagian besar terdiri dari tentara-tentara Amerika Serikat . Amerika Serikat mengambil alih sistem pemerintahan Jepang dan harus tunduk di bawah sistemnya, dan juga harus mengakui Jenderal Angkatan Laut Amerika Serikat, Douglas MacArthur sebagai komandan tertinggi kekuatan sekutu Pasifik , selaku officer pendudukan di Jepang.
Demi keamanan dunia, Sekutu juga melakukan perubahan terhadap konstitusi Jepang, yang mengisyaratkan agar Jepang tidak lagi mengembangkan kekuatan militer di kemudian hari. Konstitusi baru tersebut menetapkan tiga prinsip dasar yang salah satunya menegaskan tentang sikap negara Jepang yang cinta damai. Untuk melaksanakan prinsip tersebut, pada artikel 9 Konstitusi 1947, secara tegas disebutkan tentang pelarangan penggunaan militer ke luar negeri berdasarkan keputusan sendiri.
Untuk menjaga keamanan wilayahnya, khususnya terhadap serangan dari luar, Jepang dipaksa mengadakan aliansi keamanan dengan Amerika Serikat. Aliansi keamanan tersebut dituangkan dalam The US-Japan Treaty Mutual Cooperation and Security yang ditandatangani tahun 1951 dan berlaku mulai bulan April 1952. Selain alasan keamanan Jepang, aliansi tersebut juga dilatarbelakangi keinginan Sekutu untuk mempertahankan keberadaannya dikawasan Asia, khususnya di Asia Timur, karena pendudukan sekutu akan berakhir pada tahun 1952. Amerika Serikat berkepentingan untuk menjaga agar pengaruh komunis tidak meluas ke negara-negara Asia Pasifik khususnya di kawasan Asia Timur.
Perjanjian tersebut mewajibkan Jepang untuk mengorbankan semua wilayah yang didudukinya sejak 1895, serta memasukkan Jepang ke dalam sistem keamanan Amerika Serikat. Amerika Serikat menandatangani perjanjian berikutnya dengan Jepang pada tahun 1954 yang isinya adalah menyediakan perlengkapan-perlengkapan, alat-alat, dan lainnya bagi Jepang. Sebaliknya Jepang menyediakan basis-basis militer dan alat-alat yang diperlukan oleh Amerika Serikat . Perjanjian tersebut adalah awal dimulainya babak baru negara Jepang yang tidak mempunyai militer, pertahanan dan keamanan sendiri.
Sejak tidak memiliki kekuatan militer yang berarti, Jepang berkonsentrasi di bidang ekonomi yang disebut kebijakan seikei bunri, yaitu pemusatan pada masalah-masalah ekonomi dan menghindarkan diri dari keterlibatan dalam masalah politik dan keamanan . Sebagai hasilnya pada tahun 1969 hingga 1981 rata-rata pertumbuhan tahunan Gross National Product (GNP) per kapita Jepang 3,3 kali lebih besar ketimbang rata-rata gabungan Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Prancis, dan Jerman Barat. (Pertumbuhan ini menurun ke tingkat yang sama dengan negara-negara tersebut akibat resesi tahun 1981-1983). Dalam GNP (dibandingkan dengan GNP per kapita), produktifitas Jepang meningkat 12 kali lipat antara tahun 1950 hingga 1976, sementara GNP Amerika Serikat hanya meningkat 2,3 kali lipat, dan negara-negara Eropa Barat meningkat tiga kali lipat. Selain itu, kemantapan neraca pembayaran dan perdagangan berkat kebangkitan yang luar biasa selepas PD II memungkinkan yen Jepang bersaing dengan mark Jerman sebagai mata uang yang paling bernilai dan disukai di dunia. Dalam segala bidang, kecuali kekuatan militer, Jepang sudah menjadi kekuatan utama selama satu setengah dekade .
Pesatnya perkembangan ekonomi tersebut, tidak mendorong Jepang terlibat aktif secara langsung dalam penataan stabilitas dan keamanan internasional. Hal ini dipandang sebagai sesuatu yang tidak wajar, karena Jepang merupakan negara yang paling berkepentingan terhadap terciptanya stabilitas dan keamanan internasional karena Jepang adalah salah satu negara industri yang menggantungkan ekonominya pada perdagangan internasional, sehingga sangat tergantung pada keamanan jalur-jalur pelayaran, penerbangan, serta jalur-jalur transportasi internasional lainnya. Atas dasar itu maka peran Jepang secara langsung pada dasarnya sangat diperlukan dalam rangka menentukan aman atau tidaknya pasokan minyak, bahan mentah, serta ekspor hasil-hasil industri Jepang.
Selama ini keterlibatan Jepang dalam penataan keamanan internasional diwakili oleh Amerika Serikat. Sedangkan keterlibatan Jepang hanya secara tidak langsung yaitu melalui kebijakan-kebijakan yang menekankan pendekatan-pendekatan dan kepentingan ekonomi. Jepang menggunakan kemampuan ekonominya sebagai alat untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain yaitu melalui pemberian bantuan ekonomi.
Bantuan ekonomi Jepang sering dikaitkan dengan masalah stabilitas dan keamanan. Dari sinilah lahir istilah bantuan strategis (strategic aid), konsep ini merujuk pada kebijaksanaan luar negeri Jepang melalui saluran hubungan ekonomi sebagai hasil koordinasi dengan Amerika Serikat dalam persaingan global dengan Uni Soviet. Dimensi keamanan dan straegis dari strategic aid direalisir dalam bentuk bantuan kepada countries bordering conflict dan areas which are important to maintenance of the peace and stability of the world. Karena itu aktifitas ekonomi Jepang tidak semata-mata bersifat ekonomis , melainkan juga sebagai salah satu cara untuk menyumbang stabilitas dan keamanan internasional. Perkembangan terakhir di mana pemerintah Jepang mengusulkan agar Official Develovment Assistance (ODA) diberikan dengan mempertimbangkan tingkat belanja militer pada negara sasaran, menunjukkan dimensi politik dan keamanan kebijaksanaan ekonomi Jepang terhadap negara-negara penerima .

Kerja Sama Keamanan Jepang AS dan Dinamika Kebangkitan Militer Jepang
Adanya ketentuan bahwa pasukannya sudah harus ditarik dari Jepang pada 1952, menyebabkan Amerika Serikat mengambil keputusan untuk memberikan jaminan keamanan kepada Jepang. Amerika Serikat tetap mempertahankan pasukannya di Jepang, karena dalam pandangan Amerika Serikat sangat berbahaya meninggalkan Jepang dalam keadaan tanpa militer. Sementara pada saat yang sama peneyebaran komunisme sudah sampai ke Cina. Hal itu ditandai dengan penandatanganan Sino-Soviet Treaty of Friendship, Alliance and Mutual Assistance, pada tanggal 14 Februari 1950. Hal ini akan memudahkan Uni Soviet untuk menganeksasi Jepang, seperti halnya Korea Utara. Penegasan Amerika Serikat untuk tetap mempertahankan militernya di Jepang dapat dilihat dalam pidato Sekretaris Negara Dean Acheson di depan National Press Club pada 12 Januari 1950:
“The defeat and disarmament of Japan have placed upon United States the necessity of assuming the military defense of Japan so long as that is required, both in the interest of our security and in the interest of the security of the entire Pacific area and, in all honor, in the interest of Japanese security…I can assure you that there is no intention of any sort of abandoning or weakening the defense of Japan…that defense must and shall be maintained.”

Berdasarkan pemikiran tersebut maka satu-satunya cara untuk membendung penyebaran komunisme adalah dengan tetap “menduduki” Jepang. Seperti digambarkan dalam kebijakan Containment Strategy Amerika Serikat, yang digariskan pertama kali dalam “Doktrin Truman” oleh Presiden Harry Truman pada tahun 1947. Inti dari strategi Amerika Serikat tersebut adalah:
“menahan ekspansi komunisme dan Uni Soviet dengan kekuatan militer, nuklir dan konvensional; memberi bantuan ekonomi dan militer kepada negara-negara sekutu dan negara-negara sahabat lainnya yang bersedia membantu mencegah ekspasi Uni Soviet itu; dan mendorong meluasnya sistem pemerintahan yang demokratis. Dan kaitannya dengan Jepang Amerika Serikat ingin menjadikan Jepang sebagai benteng pertahanan (bulkwark) melawan potensi ancaman agresi komunis di Northeast Asia”.

Doktrin Truman menggariskan instrumen dasar terbentuknya aliansi Amerika Serikat-Jepang adalah dengan memberikan jaminan militer dan bantuan ekonomi terhadap negara-negara yang rentan terhadap bahaya ekspansi komunis. Atas dasar kebijakan itu Amerika Serikat telah memberikan dua bantuan kepada Jepang. Pertama adalah bantuan militer, yaitu dengan berjanji tidak menarik pasukannya dari Jepang setelah masa pendudukan. Sehinga Jepang tidak perlu membangun militernya, karena sudah menjadi sekutu Amerika Serikat. Bagi Amerika Serikat hal ini akan memberikannya keleluasaan untuk mengawasi gerak-gerik Uni Soviet, karena letaknya yang berdekatan dengan Jepang, bahkan pangkalan militer terbesar Uni Soviet Vladivostok berjarak sangat dekat dengan kepulauan Utara Jepang.
Kedua adalah bantuan ekonomi, Amerika Serikat menginginkan Jepang untuk memperkuat ekonominya sebagai bagian dari cara untuk membendung komunisme, karena dalam pandangan Amerika Serikat komunisme tidak akan berkembang di negara yang perekonomiannya maju. Seperti dikatakan oleh Kennan Pada bulan Februari1948, sebelum berangkat ke Tokyo,
“…we device policies toward Japan which assure the security of that country from Communist Soviet Union and would permits Japan’s economic potential to become once again an important force in the affairs of the area, conducive to peace and stability.”

Implementasi aliansi keamanan Amerika Serikat-Jepang tercantum di dalam Perjanjian Keamanan Amerika Serikat-Jepang atau yang dikenal dengan The US-Japan Treaty Mutual Cooperation and Security. Perjanjian keamanan itu ditandatangani oleh Jepang di Sanfrancisco pada tanggal 8 September 1951 dan mulai berlaku pada bulan 28 April tahun yang sama.
Perjanjian menyatakan bahwa Amerika Serikat dapat menempatkan pasukannya di Jepang (mempunyai pangkalan militer) untuk melindungi Jepang dan untuk perdamaian internasional di kawasan Timur Jauh. Perjanjian juga menjelaskan tentang kekuatan militer Jepang adalah defensif dan pasukan militer Amerika Serikat akan melindungi seluruh wilayah Jepang.
Dengan Prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam Perjajian Keamanan itu, Amerika Serikat telah menentukan format perkembangan militer Jepang masa depan. Ada tiga hal penting yang dapat dijadikan acuan untuk melihat perkembangan militer Jepang sesuai dengan isi perjanjian keamanan Jepang-Amerika Serikat.
1. Pada pembukaan perjanjian adannya pengakuan atas hak-hak Jepang untuk melindungi diri sendiri dan hak untuk memasuki pakta keamanan bersama “collective security”.
2. Pembukaan memperlihatkan adanya keingian atau kesediaan Amerika Serikat untuk menjaga kekuatan militernya di Jepang, dengan harapan bahwa dalam kurun waktu itu Jepang akan melaksanakan kewajibannya terhadap pertahannnya sendiri, dengan menghindari persenjataan yang bersifat ofensif atau menjadi ancaman bagi pihak lain, dan harus lebih ditujukan untuk menciptakan perdamaian dan keamanan sesuai dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip yang ada dalam piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Kekuatan militer Amerika Serikat di Jepang bisa digunakan atas permintaan pemeintah Jepang untuk memadamkan kerusuhan dalam negeri serta untuk mengatasi ancaman dari luar.
Amerika Serikat melaksanakan poin-poin tersebut sampai pada titik di mana Jepang hanyalah sebuah negara yang harus selalu tergantung padanya. Pernyataan pada nomer satu seperti terlihat sama sekali jauh dari kenyataan. Hak Jepang untuk mempertahankan diri, bagi Amerika Serikat adalah dengan keberadaan pasukan Amerika Serikat di Jepang untuk menjamin keamanan Jepang. Ketentuan tersebut sama sekali tidak melibatkan kemampuan militer Jepang yang memang tidak ada. Ketentuan bahwa Jepang juga berhak untuk memasuki collective securirty, tidak mungkin dilaksanakan, karena adanya larangan dalam konstitusi 1947, artikel 9. Bagaimana mungkin Jepang akan bergabung dalam pertahanan kolektif sementara ia tidak boleh mengirim pasukannya ke luar negeri. Sementara seperti diketahui konstitusi 1947 adalah hasil paksaan Amerika Serikat terhadap Jepang.
Menyikapi kenyataan tersebut Amerika Serikat menegaskan bahwa dengan keberadaan pasukannya di Jepang, segala kelemahan Jepang dapat diatasi. Hal ini berarti telah menanamkan pemikiran dan anggapan pada masyarakat Jepang bahwa untuk apa memiliki militer jika sudah ada yang menjamin. Seperti jelas tertera dalam pernyataan nomor dua, keleluasaan Amerika Serikat untuk mengontrol pertahanan dan keamanan Jepang baik di dalam maupun di luar. Hal itu akan menghilangkan arti poin berikutnya yang menyatakan bahwa Jepang secara bertahap harus membangun militernya. Selain sudah merasa aman, Jepang menyadari bahwa konstitusi melarang hal itu.
Grand design Amerika Serikat pada dasarnya adalah bukan melindungi Jepang tetapi melindungi diri sendiri seaman dan sedini mungkin. Hal itu dapat dilihat dari perubahan kebijakan Amerika Serikat terhadap keberadaan miiter Jepang. Pecahnya perang Korea mendorong Amerika Serikat untuk menekan Jepang agar memabngaun militernya. Seperti telah disebutkan dalam bab sebelumnya sejak 1950 Amerika Serikat telah meminta Jepang membangun kembali militernya.
Tekanan Amerika Serikat secara nyata mulai meningkat pada tahun 1949, yaitu ketika hubungan Amerika Serikat dengan Uni Soviet mulai memburuk (deteriorating) , disebabkan isu Korea. Isu perang Korea telah memecah konsenterasi Amerika Serikat dalam menjaga keamanan wilayah Far East, termasuk menjaga keamanan wilayah Jepang. Amerika Serikat membutuhkan pasukannya yang berada di Jepang untuk keperluan perang Korea. Hal ini akan menyebabkan terjadi kekosongan pasukan di wilayah Jepang. Sehingga akan memudahkan Uni Soviet untuk melakukan serangan terhadap Jepang. Seperti dikatakan oleh George Kennan, yang di kemudian hari menjadi Director of State Departement’s Policy Planning Staf,
”…that totally disarmed and demilitarized Japan, “semi-surrounded” as she was by military positions of the Soviet Union, would be dangerously vulnerable to Communist political pressures. … that no one was planning for the defense of Japan in the post-treaty period”.

Amerika Serikat melihat bahwa perang Korea adalah saat yang tepat bagi Jepang untuk mulai membangun militernya. Karena pada saat itu Amerika Serikat merasa tidak mungkin terus-menerus sepenuhnya dapat menjamin keamanan Jepang. Seperti dikatakan oleh Peter J. Katzenstein,”The Korean war to all intens and and purposes stopped this American policy and prompted policy makers to begin reestablishing Japanese Security forces”.
Pertimbangan lain yang menyebabkan Amerika Serikat mulai menekan Jepang agar membangun militernya adalah kondisi pemerintah dan masyarakat yang sudah cukup demokratis. Sejak terbentuknya konstitusi 1947 kekuasaan kaisar sudah terkikis dan hanya berperan seremonial. Pemerintahan sudah berbentuk monarki konstitusioanl dengan sistem parlementer dengan kepala pemerintahan Perdana Menteri. Dengan sistem multipartai, maka proses pengambilan kebijakan publik melibatkan banyak pihak, yang berarti semakin demokratis. Kondisi ini mengurangi kekhawatiran Amerika Serikat akan bangkitnya militerisme ekspansionis Jepang.


Selama kurun waktu terjadinya perang antara 1950-1953, keamanan Jepang sangat dirasakan mulai terancam. Hal ini disebabkan oleh pemindahan pasukan Amerika Serikat yang berada di Jepang ke arena perang Korea. Sementara itu karena jarak kantong-kantong pasukan dan logistik Amerika Serikat untuk suplies pasukan dan logistic lebih jauh dibandingkan dengan jarak kantong-kantong militer Uni Soviet untuk mencapai arena perang maka peregerakan pasukan Uni Soviet dan Korea Utara akan lebih cepat mencapai wilayah Jepang. Mulai munculnya perasaan terancam ini telah menyebabkan Jepang untuk menerima desakan Amerika Serikat untuk membangun kembali militernya. Walaupun saat itu Jepang masih dihadapkan pada masih kuatnya perasaan traumatik masyarakat Jepang sehingga menyebabkan resistensi kuat terhadap upaya tersebut.
Menyadari akan besarnya resistensi tersebut, pemerintah Jepang akhirnya mengambil jalan tengah untuk menjaga pertahanan dan keamanannya, yaitu dengan menandatangani Perjanjian Keamanan Timbal-balik Jepang-Amerika Serikat pada tahun 1951. Pemerintah menginginkan agar ketetapan konstitusi tentang larangan memiliki militer tidak dilanggar, seklaigus pertahanan keamanan negara dapat terjaga. Satu-satunya cara untuk mewujudkan hal itu adalah dengan mengadakan aliansi keamanan dengan Amerika Serikat. Kebijakan jalan tengah tersebut dapat dicermati dari alasan-alasan yang dikemukakan oleh PM Yoshida, adalah:
“aliansi keamanan Jepang-Amerika Serikat merupkan cara untuk menjaga hubungan ekonomi dan diplomatik dengan negara-negara Barat, cara menjaga agar militer tidak kuat di Asia (a low military profile), mengizinkan Amerika Serikat untuk mengamankan pangkalan tepi pantai dan untuk menangkal ancaman China dan Uni Soviet.”
Beberapa alasan tersebut mengisyaratkan bahwa Jepang hanya bertanggungjawab terhadap pertahanan dalam negeri. Artinya hal itu tidak melanggar konstitusi, karena yang dilarang adalah pengiriman tentara ke luar negeri. Seperti disebutkan dalam isi perjanjian Keamanan Timbal-balik Jepang-Amerika Serikat bahwa Perjanjian akan dilaksanakan dalam batas-batas yang ditetapkan Konstitusi. Hal ini tercantum dalam klausa penyangkalan perang. Seperti tertera dalam artikel III Treaty of Mutual Cooperation and Security Between Japan and the United States of America:
”The Parties, individually and in cooperation with each other, by means of continuous and effective self-help and mutual aid will maintain and develop, subject to their costitutional provisions, their capacities to resist armed attack.
Dengan ketentuan tersebut maka pengembangan kekuatan militer Jepang harus berdasarkan ketetapan yang digariskan dalam artikel 9 konstitusi 1947, yaitu militer tidak boleh dikirim ke luar negeri. Dapat dilihat pada masa-masa awal perjanian ini bahwa kekuatan militer Jepang hanya sebatas permintaan atau hasil tekanan Amerika Serikat dengan kekuatan yang sangat terbatas. Permintaan Amerika Serikat mendapat jawaban yang tidak responsif dari Jepang. Pada masa-masa itu resistensi masyarakat terhadap rearmament masih sangat besar. Alasan yang sering dilontarkan kepada pemerintah Amerika Serikat adalah adanya larangan konstitusi. Pemerintah menyatakan bahwa konstitusi dengan jelas mengatakan bahwa Jepang tidak boleh mengirim militer ke luar negeri, melanggar ketentuan itu berarti melanggar konstitusi --sebagaiamana kritik yang sering dilontarkan oleh partai kiri terhadap desakan Amerika Serikat-- sehingga sedapat mungkin Jepang selalu menolak desakan Amerika Serikat dengan alasan konstitusi. Seperti dikatakan oleh John K. Emmerson bahwa:
“Since the treaty with Japan applies explicitly only to those territories under the administration of Japan, Japan is not obliged to come to the aid of the United States, but only to defend her self. This is necessary because of Article 9, the”no-war” caluse, of the Japanese Constitution”.
Jepang juga menyalahkan Amerika Serikat atas sikapnya itu karena pada dasarnya Amerika Serikat-lah yang menyebabkan Jepang mengambil sikap seperti itu. Sebut saja contoh Amerika Serikat yang memaksa Jepang membuat konstitusi 1947 dengan alasan pencegahan terhadap sifat militeristik Jepang. Dalam hal ini Jepang benar, seperti Wakil Presiden Nixon yang juga menyalahkan konstitusi 1947 artikel 9 yang dibuat sendiri oleh Amerika Serikat. Seperti ditunjukkan dalam pernyataan Nixon kepada warga Tokyo pada September 1953, bahwa ”that article 9 had been mistake.”
Di samping itu, Amerika Serikat jugalah yang menyebabkan Jepang sampai saat ini menggantungkan keamanannya pada Amerika Serikat yaitu untuk kepentingan Amerika Serikat di kawasan Timur Jauh. Dengan demikian, semua kesulitan Amerika Serikat adalah bumerang bagi Amerika Serikat sendiri karena bagaimanapun juga Jepang akan tetap mempertahankan konstitusi tersebut, seperti pernyataan Perdana Menteri (PM) Yoshida, “konstitusi 1947 harus tetap dipertahankan dan tidak perlu dirubah”. Juga sebagaimana pernyataan Wakil Menteri Luar Negeri Kodaki pada 3 September 1953 di Surat Kabar Yoimuri:
“It is America which destroy our mighty army and navy and the munitions industry on which it was based, and even dumped research equipment into the ocean. It is also America which, with an air of importance, forced on Japan a silly constitution renouncing arms. America instilled antimilitary thought in the Japanese; America opened all Japan to the communist party. In short, it is America which made Japan such that it cannot meet the American demands today …If America wishes to have Japan as its true ally, it must first recognize its past errors.”

Alasan Jepang yang tidak kalah penting untuk menolak tekanan Amerika Serikat adalah alasan ekonomi. Seperti telah digariskan dalam doktrin Yoshida bahwa tujuan utama kebijakan Jepang adalah ekonomi. Dengan alasan masa lalu di mana Jepang menjadi negara yang paling menderita akibat perang maka Yoshida mengaggap bahwa ekonomi lebih penting dari militer. Kosaka Masataka, seorang ilmuan politik berpengaruh, dalam artikelnya ”Japan as Maritime Nation” di Chuo Karan mengatakan:
“Japan postwar involvment with West…has been primarily economic rather than military, an emphasis chosen by Prime Minister Yoshida Shigeru at the time of Japan’s negotiations with America over the 1951 San Francisco Peace Treaty. Yoshida believed that economic matters are more important than military, and, for this reason, he rejected America’s suggestion that Japan rearm and spearhead American military strategy in the Far East”.

Masyarakat Jepang dengan alasan yang sama, merasa kehidupan yang sedang mereka nikmati dengan ekonomi yang maju walaupun tanpa militer, yang dalam istilah Ichiro Ozawa sering disebut negara “tidak normal” adalah lebih baik sehingga tidak perlu lagi untuk memaksa Jepang memiliki militer. Yoshida berkata kepada Dulles bahwa keadaan Jepang saat ini merupakan “A gift of the gods”. Kata-kata ini mengutip MacArthur yang memberi dukungan Jepang di mana selama ini berkonsenterasi dalam bidang ekonomi, dan telah mensejahterakan mayarakat Jepang.
Yoshida juga menyatakan bahwa Jepang dapat melindungi dirinya sendiri dengan keadaannya sebagai negara demokratis, aman, serta berlindung di bawah opini dunia. Rearmament hanya akan menyebabkan Jepang menjadi miskin dan dapat menyebabkan keresahan sosial (social unrest) seperti yang diinginkan oleh komunis. Ia juga mengatakan tentang ketakutan negara-negara lain akan bangkitnya kembali militer Jepang.
Kesimpulan
Kerja sama keamanan Jepang-AS seperti telah dijelaskan telah menjadi faktor penting kebangkitan militer Jepang. Pada tahun 1951 setelah pendatangan Perjanjian Aliansi Keamanan Jepang-AS, Jepang membangun militernya Jepang (atau lebih tepatnya milisi) saat itu sebesar 75.000. Militer yang dibangun dimaksudkan hanya untuk mempertahankan diri karena bagaimanapun Jepang tetap berpegang pada janji Amerika Serikat bahwa untuk pertahanan luar negeri Jepang dijamin oleh Amerika Serikat. Seperti tertera pada artikel V Perjanjian Keamanan Amerika Serikat-Jepang 1951 yang mengatakan :
“Each Party recognizes that an armed attack against either Party in the territories under the administration of Japan would be dangerous to its own peace and safety and declares that it would act to meet the common danger in accordance with its provisions and processes”.

Ketentuan ini hanya menyebutkan bahwa kedua belah pihak bertanggungjawab terhadap keamanan wilayah yang berada dalam wilayah kekuasaan Jepang. Artinya Amerika Serikat berkewajiban menjaga keamanan wilayah Jepang terhadap serangan dari luar, namun sebaliknya Jepang tidak berkewajiban untuk mejaga kepentingan Amerika Serikat di luar kawasan Jepang . Seperti dikutip di bawah ini :
“Since the treaty with Japan applies explicitly only to those territories under the administration of Japan, Japan is not obliged to come to the aid of the United States, but only to defend her self. This is necessary because of Article 9, the”no-war” caluse, of the Japanese Constitution”.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebijakan pembentukan kekuatan militer adalah konsekuensi dari ketentuan perjanjian, dan bukan keinginan Jepang sendiri. Alasan tersebut menjadi pegangan utama pemerintah, dalam hal ini partai kanan untuk menjawab resistensi kuat terutama dari kelompok kiri yang menginginkan Jepang sebagai negara “unarmed neutrality.”
Pada tahun-tahun berikutnya, Jepang terus membangun kekuatan militernya, namun semua itu dilakukan di bawah desakan AS. Pada awal mulainya Perang Dingin (tahun 1953), Jepang membangun 152.000 personil militer dari 172.000 yang diminta oleh AS. Pada tahun 1955 Jepang kembali membangun militernya menjadi 156.834 dari total 179.737 yang diminta oleh AS. Pada momentum perang Vietnam tahun 1960 jumlah tersebut meningkat menjadi 206.001 atas dasar permintaan AS dari total 300.000 personil. Pada tahun 1973 yaitu ketika AS kalah dalam Perang Vietnam dan kemudian AS mundur dan mengurangi kekuatan militernya di kawasan Far East, Jepang kembali membangun sebanyak 286.200 dari total 350.000 personil yang diminta oleh AS.
Sejak tahun 2001, di bawah program Mid-tem Defense Program didesakkan oleh AS (MTDP 2001-2005), Jepang memusatkan peningkatan kapabilitas militernya pada, pengembangan kemampuan untuk counter cyber-attack dan mengamankan information technology serta jaringan komunikasi internasional. Kedua, mengembangkan counter attack by irregular forces, possibly armed with nuclear, biological or chemical devices. Dana yang diterima kabinet Jepang untuk pelaksanaan MTDP sejak 5 desember 2000 sampai 2005 adalah 25 triliun Yen (kira-kira US$203 milyar).










Daftar Pustaka
Buku dan Jurnal:
Defense of Japan 1970, Japan Agency, 1970.
Emmerson, John K. Arms, Yen, and Power: The Japan Dillemma, Charles E. Tuttle Company, Tokyo, 1971.
Cliffs, N.J, Englewood., Problem in International Relatios, Prentice Hall, INC., New Jresey.
George, Aurelia Japan’s America Problem: The Japanese Response to U.S. Pressure, The Washington Quarterly, Summer, 1991.
Habib, A. Hasnan Kapita Selekta: Strategi dan Hubungan Internasional, Center for Strategic and International Studies, Jakarta, 1997.
International Institute for Strategic Studies, The Military Balance 1999-2000, Oxford University Press, London, 2000.
Jepang Dewasa ini, Kementrian Luar Negeri Jepang, 1979.
Jones, Walter S, Logika Hubungan Internasional 1: Persepsi Nasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.
Kalder, Kent E. Asia’s Deadly Triangle: How Arms, Energy, and Growth , Threaten to Destabilize Asia Pacific, Nicholas Brealy Publishing Limited, London, 1996.
Kataoka, Tetsuya, Waiting for a “pearl Harbour”: Japan Debates Defense, The Board of Trustees of the Leland Junior University, USA, 1980.
Katzenstein, Peter J. Cultural Norms and National Security, Police and Military In Postwar Japan, Conell University Press, New York, 1996.
Macintosh, Malcolm, Japan Rearmed, New York, 1986.
Mendel Jr, Douglas H, The Japanese People and Foreign Policy: Study of Public Opinion in Post Treaty Japan, Greenwood Press, California, 1961.
National Studies on Internatinal Organization, Japan and the United Nations, Report of Study Group Set Up by the Japanese Association if International Law, Greenwood Press Publisher.
Ogawa, Ichiro, Blue Print Jepang Masa Depan, Tiara Wacana Yogyakakarta, 1995.
Pyle,Kenneth B., Changing Conceptions of Japan’s International Role, dalam Japan and the Pacific Quadrille, The Major Power in East Asia, Westview Press, Colorado.

Internet dan Surat Kabar:

International Trade Statistics, Imports 1997-2001, Product Group 891: Arms and Amunition, di download dari www.intracen.org/menus/products.
US-Japan Military Technology Exchange--Japan to Scale America’s last Export Bastion di dalam www.globalsecurity.org/world/japan.
http://news.bbc.co.uk/hi/english.world/asia-pacific.
Twelfth US-Japan Technology Forum, May 8 & 9, 2001, Centre for US Japan Studies and Cooperation, Vanderbilt Institute for Public Policy Studies 1207,18th avenue South Nashville,Tennesse,37212, didownload dari www.Vanderbilt..doc.
www.iiss.org/milbalregions.php?PHPSESSID=9288a3e2a27a9e5be259db50a14e92b.
www. MOFA.GO.JP.
Foreign Bureau Information Service / East Asia (6 Maret 1991)
Kompas, 11/12/2004

Read more...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP