tag:blogger.com,1999:blog-40214669338356649382024-03-20T02:48:32.207-07:00HERI ALFIANinternational relationsheri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.comBlogger29125tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-69782675897987732952010-07-01T08:53:00.000-07:002010-07-01T08:55:44.467-07:00KEPUTUSAN INDONESIA MENANDATANGANI CAFTAKEPUTUSAN INDONESIA MENANDATANGANI CAFTA<br />
(Perspektif International Soceity-Centric Constructivism)<br />
Oleh<br />
Heri Alfian <blockquote></blockquote><br />
A. Pendahuluan<br />
Berlakunya kesepakatan perdagangan bebas antara Cina-dengan negara-negara anggota ASEAN atau yang dikenal dengan China-ASEAN Free Trade Area atau CAFTA pada 1 Januari 2010 memunculkan beragam reaksi dari berbagai kalangan di Indonesia. Berbagai elemen masyarakat mulai dari masyarakat biasa, buruh pekerja industri, mahasiswa, akdemisi, tokoh masyarakat, pengamat ekonomi, pengusaha, sampai politisi berkomentar terhadap pemberlakuan kesepakatan tersebut. Komentar-komentar mereka terbelah ke dalam dua kubu yaitu kelompok yang mendukung pemberlakuan perdagangan CAFTA dan kelompok yang menolak. Kelompok pendukung berargumen seputar peluang dan keuntungan yang akan didapatkan oleh Indonesia dalam CAFTA yaitu potensi peningkatan ekspor Indonesia ke China yang sangat menjanjikan karena China memiliki penduduk 2 miliar orang lebih, yang menjadikannya pangsa pasar terbesar di dunia. <br />
Sebaliknya, kelompok yang menolak menyatakan bahwa pemberlakuan CAFTA akan berdampak buruk bagi perekonomian Indonesia karena faktanya produk-produk Indonesia belum siap bersaing dengan produk-produk Cina. Industri Indonesia tidak akan mampu menyaingi produk-produk Cina yang sangat murah bahkan sebelum CAFTA diberlakukan yaitu 30 persen di bawah harga produk-produk Indonesia. Dapat dibayangkan bagaimana murahnya produk Cina setelah berlakunya CAFTA yang membebaskan tarif masuk barang-barang dari Cina menjadi nol persen. Dengan kemampuan daya beli masyarakat Indonesia yang tergolong masih rendah, maka kekhawatiran tersebut sangat masuk akal karena konsumen tentunya akan cenderung lebih memilih barang dengan harga lebih murah. <br />
Penolakan terhadap CAFTA terus meluas karena berbagai dampak mulai dirasakan terutama oleh kalangan industri di mana banyak di antara mereka yang menutup usahanya karena tidak mampu bersaing. Sebagai gambaran dalam industri tekstil, pada 2009 hingga Juli, nilai ekspor industri ini sudah merosot sekitar 520 juta dolar Amerika Serikat. Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia juga menjerit. Sejak tahun 2000 ketika bea masuk masih diberlakukan, industri baja Indonesia terus mengalami defisit perdagangan karena kalah bersaing dengan produk impor. Defisit ini dipastikan membengkak, jika bea masuk jadi nol persen. <br />
Kondisi-kondisi itu kemudian memunculkan tuntutan agar pemberlakukan CAFTA ditunda sampai Indonesia benar-benar siap menghadapi persaingan bebas dengan Cina. Atas berbagai reaksi tersebut, pemerintah berupaya bertahan atas kebijakan yang telah diambil dengan berargumen bahwa CAFTA adalah peluang besar dan merupakan momentum bagi Indonesia untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi yang selama ini terjadi. <br />
Dalam kajian politik luar negeri, fenomena di atas menarik untuk dikaji karena secara teoritis keputusan politik luar negeri adalah kepanjangan dari politik dalam negeri (foreign policy begins at home). Artinya keputusan politik luar negeri menjadi “hasil politik” yang menggambarkan pentingnya strategi politik untuk mencapai kesepakatan dengan situasi domestik untuk mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut. Berdasarkan ketentuan teori ini maka setiap keputusan politik luar negeri seharusnya adalah perwujudan dari keinginan masyarakat negara tersebut, sehingga pelaksanaannyapun akan mendapatkan dukungan dari mereka. <br />
Atas dasar itu maka fenomena penolakan CAFTA di Indonesia dapat dikatakan tidak sejalan dengan apa yang digariskan oleh teori politik luar negeri pada umumnya. Tulisan ini akan menjelaskan apa sebenarnya yang melatarbelakangi Indonesia menandatangani dan menerapkan CAFTA dan memberikan gambaran tentang logika pengambilan keputusan luar negei oleh suatu negara dengan menggunakan CAFTA sebagai ilustrasi. Untuk tujuan tersebut, tulisan ini menggunakan pendekatan international society-centric constructivism (ISC) yang dikemukakan oleh Martha Finnemore. Tulisan ini dibagi ke dalam lima bagian yaitu pertama, pendahuluan yang menjelaskan tentang latar belakang urgensi permasalahan, kedua memberikan gambaran tentang CAFTA. Bagian ketiga menjelaskan teori ISC, bagian keempat menjelaskan tentang keputusan Indonesia menandatangani dan memberlakukan CAFTA, dan bagian ke lima adalah kesimpulan dari keseluruhan isi tulisan. <br />
B. China-Asean Free Trade Area <br />
Terbentuknya CAFTA diawali oleh sejarah hubungan yang tergolong baru antara Cina-Asean. Hubungan Cina dengan negara-negara anggota Asean sebagai sebuah grup baru terjalin pada tahun 1994 yang ditandai dengan exchange of letters antara Sekjen Asean dengan Perdana Menteri China pada tanggal 23 Juli 1994 di Bangkok. Dua tahun berikutnya Asean menerima Cina sebagai Full Dialog Partner pada pertemuan Asean Ministerial Meeting (AMM) ke-29 di Jakarta yang menandakan perubahan satus Cina dari Consultative Partner sejak tahun 1991. Satu tahun berikutnya, tepatnya pada bulan Desember 1997, Presiden Cina Jiang Zemin melakukan pertemuan informal untuk pertama kalinya dengan seluruh pemimpin Asean (Asean Plus One) dan membicarakan tentang hubungan kemitraan sebagai negara yang bertetangga dan saling percaya menyongsong abad ke-21. <br />
Kedekatan Cina-Asean terus berlanjut tapi belum mebicarakan masalah pembentukan area perdagangan bebas. Isyu perdagangan bebas baru muncul ke permukaan ketika PM Cina Zhu Rongji mengajukan proposal kerja sama ASEAN-China pada ASEAN+China Summit pada bulan November 2001. Pertemuan itu kemudian mendasari terbentuknya ASEAN-China Expert Group yang kemudian berhasil menyusun sebuah laporan yang berjudul Forging Closer ASEAN-China Economic Relations in the Twenty- First Century. Laporan tersebut berisi empat poin penting yaitu: <br />
a. Pendirian Area Perdagangan Bebas Asean-Cina dalam jangka waktu 10 tahun.<br />
b. Penyediaan berbagai fasilitas perdagangan dan ivestasi.<br />
c. Pemberian technical assistance dan capacity building bagi negara-negara ASEAN, khususnya bagi negara-negara anggota baru ASEAN (Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam/ CLMV.<br />
d. Perluasan kerja sama dalam berbagai bidang yaitu keuangan, pariwisata, pertanian, peningkatan sumber daya manusia, industri, hak kekayaan intelektual,usaha kecil dan menengah, lingkungan, kehutanan dan produk-produk hasil hutan, dan energi. <br />
Tahun berikutnya, tepatnya pada Nopember 2002 negara-negara Cina dan negara-negara ASEAN mengesahkan ASEAN-China Framework Agreement on Economic Cooperation dalam KTT ASEAN di Phnom Penh, Kamboja. Dua tahun kemudian tepatnya pada 29 Nopember 2004, CAFTA ditandatangani oleh menteri-menteri negara Asean dan China pada 2004. Di bawah perjanjian tersebut tarif barang-barang yang diperdagangkan di antara enam negara-negara ASEAN (ASEAN 6) dan Cina dikurangi sampai nol persen pada tahun 2010, sedangkan untuk negara-negara ASEAN lainnya (CLMV) akan berlaku pada tahun 2015. Adapun untuk barang-barang yang termasuk dalam Early Harvest Product (EHP) telah dimulai pada tahun 2004. <br />
<br />
B. Pendekatan International Society-Centric Constructivism<br />
Politik luar negeri menurut asumsi tradisional selalu merujuk pada “world of states” di mana negara-negara adalah aktor utama dan mereka berlomba-lomba untuk meraih kepentingan nasional masing-masing yaitu upaya meraih kedaulatan dan kemerdekaan. Intinya secara sadar setiap kebijakan luar negeri ditujukan untuk meraih kepentingan nasional atas dasar prinsip memaksimalkan keuntungan dan menekan kerugian seminimal mungkin. Pada prinsipnya politik luar negeri berjalan pada logika untung rugi (cost-benefit logic), yang dikenal dengan politik luar negeri realisme. <br />
Pada kenyataannya, tidak semua dan bahkan seringkali negara mengambil atau melakukan politik/kebijakan luar negeri tanpa didasarkan pada prinsip di atas. Negara-negara berkembang misalnya mengambil kebijakan luar negeri yang seringkali tidak didasarkan pada kepentingan nasionalnya, namun lebih disebabkan oleh tekanan dan tuntutan lingkungan internasional baik itu negara lain maupun organisasi-organisasi internasional. <br />
Kenyataan itu memperlihatkan bahwa negara pada dasarnya adalah suatu entitas yang tidak mengetahui apa kepentingan dirinya. Negara seringkali bingung tentang apa yang seharusnya dilakukanya, sehingga seringkali negara membuat/melakukan suatu kebijakan yang meniru negara lain. Dalam bentuk lain ketidaktahuan itu diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang tidak merujuk pada kepentingan masyarakatnya (domestik), atau juga dalam bentuk kebijakan yang seringkali berubah-ubah tanpa tujuan yang jelas. Beberapa pendekatan di dalam studi hubungan internasional seperti neorealisme dan konstruktivis international (international society-centric constructivism) berusaha menjelaskan tentang fenomena itu. Menurut neorealis, di dalam sistem internasional negara hanya melakukan apa yang digariskan oleh sistem. Negara tidak bisa berbuat apa-apa untuk merubah sistem internasional yang anarki. Negara berada pada posisi pasif dan hanya dapat melakukan adaptasi atas lingkungan internasional. <br />
Adapun menurut konstruktivis yang dikemukakan oleh Martha Finnemore (sociological institutionalism), kepentingan negara ditentukan oleh struktur sosial /norma internasional (international social/normative structure). Struktur sosial/norma utama internasional yang berlaku dominan pada suatu masa tertentu merupakan strukutur mendasar yang menjadi prinsip utama di dalam proses sosialisasi (the socializing principle) yang terjadi di dalam sistem internasional. Menurut Finnemore norma utama yang dominan di dalam sistem internasional pada dasarnya didefinisikan menjadi tiga yaitu bureaucracy, human quality, dan market. Bureaucracy merupakan norma yang berhubungan dengan otoritas, sedangkan human quality adalah norma yang menyangkut penghargaan terhadap hak asasi manusia dan menginginkan kesetaraan bagi semua manusia dalam bidang politik dan ekonomi. Market adalah norma yang merujuk pada cara yang paling sah (legitimate) untuk mengatur aspek ekonomi. <br />
Logika berpikir ISC menyatakan bahwa negara berada pada posisi adaptif di mana kebijakan yang dilakukan oleh negara adalah bentuk dari ketundukannya terhadap norma internasional terutama salah satu dari ketiga norma di atas. Dengan kata lain norma internasional menentukan bentuk perilaku seperti apa yang harus diikuti oleh negara. Norma itu kemudian menentukan identitas negara, di mana perubahan identitas akan mengikuti perubahan yang terjadi pada norma internasional yang berkembang. Selanjutnya identitas tersebut akan menentukan kepentingan negara di mana kepentingan dalam hal ini lebih berorientasi pada upaya untuk menunjukkan ‘ketaatan’ dan upaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan internasional. <br />
<br />
Gambar 1. The Logic of International Society-Centric Constructivism<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Sumber: dimodifikasi dari Martha Finnemore, dalam John M. Hobson, The State and International Relations, Cambridge University Press, UK, 2000, hal. 158.<br />
<br />
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa lingkungan internasional menjadi faktor yang menetukan apa yang harus dilakukan oleh negara. Perubahan tindakan negara yang diawali dengan perubahan identitasnya akan mengikuti perubahan yang terjadi norma internasional. Negara dalam konteks ini hanya berposisi sebagai normative-adaptive state. Adaptasi itu dilakukan dalam rangka penyesuaian dan bukan untuk memperbesar power dalam politik internasional. Logika ini juga disebut dengan the logic of appropriateness. Berdasarkan logika ini, keputusan politik luar negeri suatu negara tidak ditujukan untuk mencapai kepentingan nasional yang didasarkan pada aspirasi domestik, tetapi lebih pada upaya penyesuaian diri terhadap kondisi dan tuntutan lingkungan internasionalnya. Intinya adalah keputusan politik luar negeri lebih didasarkan pada upaya untuk mendaptkan “good image” yang selaras dengan negara-negara lain. Dapat dikatakan bahwa suatu keputusan politik luar negeri ditujukan agar suatu negara bisa menjadi bagian masyarakat internasional<br />
Perubahan identitas dan kepentingan/kebijakan negara menurut Finnemore terjadi melalui teaching process yang dilakukan oleh organisasi internasional ataupun aktor-aktor non state, sehingga kebijakan negara tergantung pada apa yang “diajarkan” oleh organisasi internasional seperti Unesco, Bank Dunia, IMF, ICRC dan WTO. Prose situ dapat dilihat pada gambar berikut.<br />
Gambar 2. Teaching Process in International Society-Centric Constuctivism<br />
<br />
T<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Sumber: dimodifikasi dari Martha Finnemore, dalam John M. Hobson, The State and International Relations, Cambridge University Press, UK, 2000, hal. 150.<br />
<br />
Teaching activities ini menurut Finnemore menyebabkan identitas negara-negara menjadi hampir sama dan itu berdampak pada kepentingan yang hampir seragam juga. Namun harus digarisbawahi bahwa Ia menolak adanya homogenisasi negara-negara karena pada dasarnya penyebaran struktur norma internasional tidak sama. Menurutnya, struktur norma internasional itu menyebar dari inti (core) ke batas terluar (periphery) sistem internasional. Penyebaran itu terjadi di dalam proses “teaching” terhadap negara-negara oleh organisasi internasional yang mulai dari bagian inti kemudian ke negara-negara pinggiran. Hal itu kemudian menyebabkan perbedaan tingkat penyerapan norma yang “diajarkan” kepada negara-negara. Satu hal yang dapat disepakati bahwa struktur utama dominan saat ini adalah norma pasar. Mengenai dampaknya terhadap negara-negara tentu secara faktual memang berbeda tingkat penyerapannya. <br />
D. Keputusan Indonesia menandatangani China-Asean Free Trade Area <br />
Keputusan Indonesia menandatangani dan memberlakukan CAFTA merupakan suatu keputusan politik luar negeri yang membawa konsekuensi bagi lingkugan domestik. Beberapa dari konsekuensi tersebut bersifat positif tetapi bisa juga negatif. Menurut pendekatan tradisional seperti teori decision making, kebijakan luar negeri adalah hasil pemilihan alternatif-alternatif yang tersedia, di mana pilihan yang didasarkan pada tujuan memperbesar keutungan dan dan meminimalisir kerugian. Jadi dapat dikatakan bahwa setiap kebijakan luar negeri seyogyanya bertujuan untuk meraih tujuan (kepentingan nasional) semaksimal mungkin. Berdasarkan asumsi ini maka sepatutnya setiap pengambilan kebijakan luar negeri suatu negara telah melalui proses menimbang dan mengukur baik buruk atau untung ruginya bagi kepentingan nasional.<br />
Akan tetapi, pada kenyataannya, idealisme teoritis tersebut tidak selalu sesuai kenyataan. Banyak kasus keputusan politik luar negeri yang mendapat kritikan dan penolakan dari lingkungan domestik. Beberapa contoh yang terjadi di Indonesia misalnya, keputusan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengijinkan Singapura menggunakan beberapa wilayah Indonesia untuk melakukan latihan militer. Seperti diketahui, kebijakan tersebut merupakan hasil trade off antara Indonesia dengan Singapura, di mana Singapura akan menyetujui perjanjian ekstradisi dengan Indonesia dengan syarat Indonesia mengijinkannya melakukan latihan militer di wilayah Indonesia. Keputusan tersebut ternyata mendapat penolakan keras dari masyarakat. Masyrakat di berbagai wilayah melakukan demonstrasi memprotes kebijakan tersebut terutama dari daerah yang wilayahnya akan dijadikan medan latihan militer Singapura. Atas berbagai berbagai penolakan tersebut pemerintah akhirnya membatalkan perjanjian tersebut. <br />
Pada tahun 2007, kebijakan luar negeri yang diambil pemerintah kembali mendapatkan penolakan luas dari masyarakat. Kebijakan itu terkait dengan dukungan Indonesia terhadap resolusi PBB 1747 yang berisi sanksi terhadap Iran atas program nuklir yang dilakukannya. Banyak kalangan menilai, kebijakan pemerintah itu bertentangan dengan keinginan sebagian besar masyarakat Indonesia yang menolak resolusi tersebut karena semata-mata merupakan hasil dari tekanan AS terhadap PBB. Mereka menilai bahwa dukungan atas resolusi tersebut sama saja dengan dukungan terhadap AS untuk menindas Iran, dan dalam spektrum yang lebih luas hal itu berarti dukunga terhadap penindasan dan penjajahan AS terhadap masyarakat muslim. Sebagai negara dengan mayoritas berpenduduk muslim maka kebijakan Indonesia tersebut sangat tidak sesuai dengan kondisi domestik yang ada. <br />
Pada tahun 2010, keputusan Indonesia memberlakukan CAFTA juga mendapat protes dan penolakan luas dari berbagai elemen domestik, mulai dari kaum buruh industri, pengusaha, tokoh masyarakat, akademisi, politisi, dan bahkan pemerintah sendiri. Hal ini sangat mengherankan karena tentunya, sebelum kebijakan membuka perdagangan bebas dengan Cina (CAFTA), pemerintah telah mempertimbangakn kondisi lingkungan domestiknya. Berbagai penolakan yang muncul terhadap CAFTA didasarkan pada alasan bahwa Indonesia tidak atau belum siap bersaing dengan Cina. Produk-produk Cina yang sangat murah dan begitu massif dan selalu up to date tidak akan mampu disaingi oleh produk dalam negeri yang jauh lebih mahal dan lambat perkembangannya. Berbagai faktor mendasar yang melatarbelakangi ketidaksiapan tersebut adalah mulai dari pasokan energi terutama listrik yang tidak stabil dan pasokan bahan bakar minyak yang sering terganggu, tenaga kerja yang kurang terampil, sarana dan prasarana yang belum memadai terutama akses jalan, tingginya bunga pinjaman bank, pungutan liar, sampai pada kurangnya dukungan pemerintah termasuk birokrasi yang berbelit-belit dan lambat. <br />
Pada titik ini maka hal penting yang harus dijawab adalah mengapa pemerintah mengambil kebijakan menyetujui dan meberlakukan CAFTA padahal kondisi domestik tidak memungkinkan? Apakah pemerintah tidak mengetahui kondisi-kondisi tersebut sehingga tidak menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan? Ataukan pemerintah mengetahui benar akan hak itu tetapi memang tidak dijadikan dasar pertimbangan yang penting? Bagian ini akan menjawab berbagai pertanyaan mendasar itu dengan menggunakan pendekatan international society-centric constructivism. <br />
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, terdapat tiga norma utama yang dominan di dalam sistem internasional yaitu bureaucracy, human quality, dan market. Jika merujuk pada kondisi saat ini dari ketiga norma tersebut, norma pasarlah yang paling dominan. Norma pasar seperti dikatakan oleh Finnemore merujuk pada pada cara yang paling sah (legitimate) untuk mengatur aspek ekonomi. Pasar menurut Robert Gilpin adalah: <br />
as one in which goods and services are exchanged on the basis of relative prices; it is where transactions are negotiated and prices are determined. Its essence …is “the making of a price by haggling between buyers and sellers”. <br />
<br />
Pada tingkatan yang lebih luas konsep pasar kemudian digunakan untuk menyebut berbagai bentuk pertukaran barang dan jasa di mana setiap individu memiliki kebebasan yang sama untuk bersaing di dalamnya, dan negara tidak boleh mencampuri atau mengintervensi mekanisme pasar yang diatur oleh penawaran dan permintaan. <br />
Munculnya norma pasar berawal dari munculnya pemikiran kaum liberal yang berakar pada pemikiran Adam Smith. Smith megatakan bahwa kunci dari kekayaan dan power negara adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menurutnya ditentukan oleh pembagian kerja (division of labour) di mana hal itu sangat tergantung pada pasar. Atas dasar itu maka, jika suatu negara menjalankan kebijakan ekonomi merkantilisme yaitu menerapkan hambatan perdagangan atas barang dan perluasan pasar, maka negara tersebut telah mencegah kesejahteraan dan pertumbuhan ekonominya. Menurut David Ricardo, kesejahteraan negara dalam pandangan liberal akan didapatkan melalui apa yang disebut dengan comparative advantage yaitu keutungan yang diperoleh melalui spesialisasi yang dilakukan oleh negara pada produksi tertentu sesuai dengan sumber daya yang dimilikinya. <br />
Sebagai sebuah norma, pasar yang dalam hal ini perdagangan bebas mengalami proses perkembangan pasang surut. Dinamika norma ini ditandai tidak hanya oleh dukungan tetapi juga kritikan dan pentangan terutama oleh negara-negara berkembang. Bagi negara berkembang sistem pasar dengan mekanisme perdagangan bebas adalah bentuk eksploitasi negara-negara maju terhadap negara-negara berkembang. Berbagai penentangan itu misalnya dilakukan dalam bentuk upaya pemutusan hubungan dengan sistem perdagangan internasional, memaksa perubahan sistem, dan upaya pengintegrasian negara ke dalam rezim perdagangan yang ada. Akan tetapi, reaksi tersebut hanyalah riak kecil dalam perkembangan liberalisme beserta norma pasarnya, karena. Semakin lama norma itu semakin berkembang meskipun dengan berbagai penyesuaian seperti “diijinkannya” campur tangan pemerintah dalam pasar meskipun sangat terbatas. Pada awal dekade 1980-an hampir semua negara berkembang telah beralih ke ekonomi liberal yang berorientasi pada pasar, pencabutan intervensi, liberalisasi perdagangan dan investasi, dan privatisasi perusahaan negara. <br />
Singkatnya, bentuk perekonomian dunia saat ini hampir sepenuhnya diatur oleh mekanisme penawaran dan permintaan. “Dogma” itu termanifestasikan pada perdagangan bebas yang telah mengglobal sedemikian rupa dan menyentuh hampir seluruh bagian dari dunia ini, di mana hampir tidak satupun negara yang tidak masuk dalam rezim perdagangan bebas. Francis Fukuyama bahkan mengatakan era saat ini sebagai kemenangan besar liberalisme dan menyebutnya sebagai the end of history. <br />
Kemenangan liberalisme tersebut semakin dikuatkan oleh munculnya rezim perdagangan The General Agreement on Tarrifs and Trade (GATT) yang didirikan pada tahun 1948. Tujuan utama GATT adalah untuk menciptakan perdagangan internasional yang lebih bebas melalui pengurangan tarif dan menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan lainnya dan menciptakan regime atau aturan-aturan universal untuk melaksanakan commercial policy. Uruguay Round juga menetapkan tentang pemotongan tarif yang lebih besar, pengurangan yang signifikan dalam subsidi pertanian, penghilangan kuota tekstil lebih dari 10 tahun, atauran-aturan baru dalam services, intellectual property, trade related investment. Putaran ini juga merupakan asal mula dari terbentuknya organisasi World Trade Organization (WTO) yang merupakan bentuk baru (pengganti) dari GATT yang hanya berbentuk agreement. Sebagai suatu organisasi permanen, WTO telah memiliki struktur, aturan-aturan, dan prosedur-prosedur baru yang lebih komprehensif untuk mendukung tercapainya suatu rezim perdagangan internasional yang lebih bebas. <br />
Beridirinya WTO ini kemudian mendorong lahirnya berbagai bentuk regionalisme ekonomi di hampir seluruh wilayah di berbagai belahan dunia. Regionalisme ekonomi merupakan suatu bentuk disain dan implementasi dari sekumpulan aturan/ kebijakan di dalam suatu kelompok negara-negara (region) yang bertujuan untuk mempermudah pertukaran barang di antara negara anggotanya. Berbagai organisasi ekonomi regional tersebut misalnya Uni Eropa (UE) yang didirikan pada tahun 1957, The Council of Arab Economic Unity/CAEU (1964), The Association of Southeast Asian Nations/ASEAN (1967), The Carribean Community and Common Market/CARICOM (1973), The Economic Community of West African States/ECOWAS (1975), The Latin American Integration Association/LAIA (1981), The South Asian Association for Regional Cooperation/SAARC (1985), The Asia-Pacific Economic Cooperation/APEC (1989), dan The Southern African Development Community/SADC (1992). <br />
Di kawasan Asia Timur khususnya negara-negara Asean, era regionalisme ekonomi dimulai pada tahun 1980-an yang dipengaruhi oleh meningkatnya integrasi produksi regional dan jaringan perdagangan. Peningkatan kedua hal itu telah mendekatkan hubungan negara-negara ASEAN dengan negara-negara tetanggannya yaitu Jepang, negara-negara Industri Baru di Asia timur atau yang dikenal sebagai EANIcs, China dan Vietnam. Era keterbukaan itu juga ditandai dengan pembentukan area perdagangan bebas Asean Free Trade Area (AFTA) pada tahun 1992 di dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura. AFTA merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas yang akan dicapai dalam waktu 15 tahun yaitu dalam kurun waktu antara 1993-2008. Ketentuan itu kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002. ASEAN terus melakukan langkah internasionalisasi perdagangan dengan berpartisipasi aktif yan ditandai dengan munculnya upaya pembentukan East Asia Economic Group yang diusulkan oleh Perdana Menteri Malaysia Mahatir Mohammad pada tahun 1990. Keanggotaan EAEG akan mencakup seluruh negara Asia yang menjadi anggota APEC. Namun upaya ini tidak terlaksana karena munculnya konflik perdagangan AS-Jepang dan AS-Cina. Pada tabel berikut dapat dilihat perjanjian-perjanjian perdagangan bebas (FTA) dan kerja sama ekonomi yang melibatkan negara-negara Asia Timur dan negara-negara Asean.<br />
<br />
Tabel 1. The FTAs and Economics Partnership Agreement Involving East Asian and Southeast Asian Countries <br />
<br />
Sumber: Puspa Delima Amri, New Issues in the WTO: Where does Indonesia Stand?, yang dikutip dari Kawai (2004).<br />
Dalam dalam www.delidn.ec.europa.eu/en/.../relations_1_trade10_wtonewissues0702.pdf. Diakses 5 Juni 2010.<br />
Note: The shaded cells indicate those arrangements within East Asia, that is, ASEAN+3, Hong Kong (China), and<br />
Taiwan (China).<br />
n.a.= not applicable.<br />
a. Lao People’s Democratic Republic.<br />
b. The Pacific-3 are Chile, New Zealand, and Singapore.<br />
c. CER is the Australia and New Zealand Closer Economic Relations Trade Agreement.<br />
d. EFTA is the European Free Trade Association (Iceland, Liechtenstein, and Switzerland).<br />
e. Macao Special Administrative Region (China).<br />
f. Mercosur is the Southern Cone Common Market (Argentina, Brazil, Paraguay, Uruguay, and Venezuela).<br />
g. ASEAN is the Association of Southeast Asian Nations.<br />
<br />
Gelombang regionalisme dan kerja sama ekonomi yang menerpa kawasan tidak dapat dipungkiri menjadi faktor signifikan bagi Indonesia untuk melakukan hal serupa. Menurut catatan Amri pada tahun 2006 Indonesia sudah terlibat dalam sembilan perjanjian perdagangan (regionalisme) dengan berbagai negara. Keterlibatan Indonesia dalam perjanjian-perjanjian tersebut menurut Amri sebenarnya tidak signifikan bagi perekonomian Indonesia, namun lebih dipicu oleh tren yang terjadi di kawasan Asia Timur dan khususnya negara-negara Asean. Contohnya adalah ketika Thailand melakukan negosiasi untuk menjalin kerja sama ekonomi dengan Jepang dan Cina, Indonesia juga melakukannya hanya semata untuk alasan mempertahankan eksistensi pasarnya di Jepang dan Cina. <br />
<br />
Table 2: Preferential Trade Agreements Involving Indonesia <br />
<br />
Sumber: Puspa Delima Amri, New Issues in the WTO: Where does Indonesia Stand?, yang dikutip dari www.depdag.go.id, Soesastro (2004), www.bilaterals.org, EFTA Secretariat Website hhtp://secretariat.efta.int.dalam www.delidn.ec.europa.eu/en/.../relations_1_trade10_wtonewissues0702.pdf. Diakses 5 Juni 2010.<br />
<br />
Argumentasi bahwa keputusan Indonesia menandatangani CAFTA dilatarbelakangi oleh pengaruh norma internasional yang berkembang terbukti dari posisi neraca perdagangan Indonesia terhadap Cina yang terus mengalami defisit. Pada table di bawah ini dapat dilihat neraca pergangan Indonesia-Cina sebelum CAFTA diberlakukan. <br />
Tabel 3. Neraca Perdagangan Indonesia-China, 1990-2009 (Ribu USD)<br />
<br />
Tahun Total Ekspor Impor Neraca Perdagangan<br />
1990 1486729 834385.8 652343.4 182042.4<br />
1995 3236941 1741718 1495223 246494.5<br />
2000 4789679 2767708 2021971 745736.6<br />
2005 12505216 6662354 5842863 819491.3<br />
2009 20074672 9055010 11019662 -1964652<br />
<br />
Pertumbuhan (%) <br />
1990-1995 16.8 15.9 18.0 6.2<br />
1995-2000 8.2 9.7 6.2 24.8<br />
2000-2005 21.2 19.2 23.6 21.2<br />
2005-2009 12.6 7.9 17.1 -<br />
1990-2009 - 13.4 16.0 -<br />
<br />
Sumber: Dihitung dari Statistik Perdagangan Luar Negeri dalm Latif Adam, ACFTA Dalam Perspektif Hubungan Dagang Indonesia-China <br />
http://inspirasitabloid.wordpress.com/2010/03/19/acfta-dalam-perspektif-hubungan-dagang-indonesia-china. Diakses 5 Juni 2010.<br />
<br />
Dari table tersebut dapat dilihat bahwa pada periode 1990-2009, pertumbuhan ekspor Indonesia ke China (7,9% per tahun) jauh lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan impor Indonesia dari China (17,1 per tahun%). Ini menunjukkan bahwa kemampuan penetrasi produk China ke pasar Indonesia relatif lebih tinggi dibandingkan kemampuan penetrasi produk Indonesia ke pasar China. <br />
Setelah empat bulan pelaksanaan, terbukti CAFTA menyebabkan defisit perdagangan Indonesia terhadap Cina. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan menuturkan selama empat bulan tahun 2010 ini, tercatat, hingga April besarnya defisit mencapai US$1,6 miliar. "April saja itu US$553,6 juta". Rusman menyebut, defisit itu terjadi karena nilai ekspor ke China lebih rendah dibanding impornya. Data BPS memperlihatkan, selama Januari-April 2010 jumlah ekspor RI ke China tercatat sebesar US$4,018 miliar, sedangkan nilai impornya mencapai US$5,61 miliar. Perdagangan itu lebih besar dibanding tahun lalu pada periode sama yang tercatat untuk ekspor sebesar US$2,274 miliar, sedangkan untuk impor sebesar US$3,794 miliar. <br />
<br />
E. Kesimpulan<br />
<br />
Ketentuan tarif masuk nol persen yang ditetapkan di dalam CAFTA dapat dipastikan akan menyebabkan pasar Indonesia akan semakin dibanjiri oleh produk-produk Cina. Kenyataan itu bisa dilihat di berbagai pasar besar maupun kecil di hampir seluruh Indonesia mulai dari kerajinan sederhana seperti anyaman bamboo, tusuk gigi. Mainan anak-anak, tekstil, meubel, garment, ponsel, sampai produk berteknologi tinggi seperti kendaaraan bermotor. Kondisi masyrakat Indonesia yang masih memiliki pendapatan rendah akan berakibat terupuruknya industri dalam negeri karena produk-produk yang dihasilkan lebih mahal dari produk Cina sehingga masyarakat tentunya akan lebih memilih produk murah. <br />
Bagi pengusaha, murahnya harga produk Cina akan mendorong mereka untuk terus menambah impor karena tingginya permintaan sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran. Hal itu terbukti dari jumlah impor Indonesia dari Cina yang terus meningkat. Sebelum CAFTA diberlakukan secara penuh, pada periode 2003-2009, proporsi impor Indonesia dari China meningkat dari 8.8% menjadi 12,7%. Tidak mengherankan bila pada tahun 2009, China menduduki posisi kedua sebagai negara importir terbesar bagi Indonesia. <br />
Dampak lanjutan yang akan ditimbulkan oleh kondisi tersebut adalah terjadinya deindustrialisasi dan meningkatnya pengangguran. Simulasi yang pernah dilakukan P2E-LIPI menunjukkan bahwa setiap penurunan kapasitas produksi sektor industri sebesar 10% berpotensi mendorong PHK (pengangguran) 500.000 orang. Betapa besarnya pengangguran yang akan muncul seandainya ACFTA menekan kapasitas produksi sektor industri sebesar 10% saja. <br />
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut kita mendapatkan gambaran bahwa keputusan Indonesia menandatangani dan memberlakukan AFTA lebih didasarkan pada upaya untuk memenuhi “tuntutan” lingkungan internasional yang dikuasai oleh norma pasar daripada untuk memenuhi kepentingan nasional. Pertanyaan sederhana yang dapat diajukan untuk menguatkan argumen tersebut adalah: apakah para pengambil kebijakan tidak mengetahui kondisi perekonomian dan dunia industri Indonesia? Sepertinya sangat sulit dipahami jika pemerintah tidak mengetahui hal itu sehingga tanpa pertimbangan memutuskan untuk menandatangani CAFTA.<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
Buku & Jurnal:<br />
Biersteker,Thomas J., The “Triumph” of Liberal Economic Ideas in the Developing World, dalam Barbara Stallings, Global Change, Regional Response, The New International Context of Development, Cambridge University Press, USA, 1995.<br />
Burchill, Scott and Andrew Linklater (eds), Theories of International Relations, ST. martin Press, N.Y., 1996.<br />
Fukuyama, Francis, The End of History and the Last Man, Free Press, New York, 2006.<br />
Gilpin, Robert, The Political Economy of International Relations, Princeton University Press, New Jersey, 1987.<br />
Gilpin, Robert and Jean MillisGilpin, Tantangan Kapitalisme Global Ekonomi Dunia Abad Ke-21, Murai Kencana, 2003.<br />
Hobson, John M., The State and International Relations, Cambridge University Press, UK, 2000.<br />
Kegley, Charles W. Jr. and Eugene R. Wittkopf, World Politics Trend and Transformations, Sixth Edition, St. Martin’s Press, New York, 1997.<br />
Lim, Linda Y. C., Southeast Asia: Success Through International Oppeness, dalam Barbara Stallings (ed), Global Change, Regional Response, The New International Context of Development, , Cambridge University Press, USA, 1995.<br />
Neack, Hey and Haney dikutip oleh Anak Agung Banyu Perwita, dalam Politik Luar Negeri Indonesia dan Dunia Muslim, Unpar Press, Bandung. 2007.<br />
Ruggie,John Gerrad, Constructing the World Polity,Essays on International Institutionalization Routledge, New York, 1998.<br />
Spero, Joan Edelman dan Jeffrey A. Hart, The Politics of International Economic Relations, Fifth Edition, St. Martin’s Press, New York, 1997.<br />
Webber, Mark and Michael Smith, Foreign Policy in a Transformed World, Prentice Hall, United Kingdom, 2002.<br />
Wyatt-Walter, Andrew, Regionalism, Globalization, and World Economic Order, dalam Louise Fawcett and Andrew Hurrel (ed), Regionalism in World Politics Regional Organization and International Order, Oxford University Press, New York, 1995.<br />
<br />
Koran & Internet:<br />
Chia Siow Yue, ASEAN-China Free Trade Area, Singapore Institute of International Affairs, Paper for presentation at the AEP Conference Hong Kong, 12-13 April 2004, dalam www.hiebs.hku.hk/aep/chia.pdf, diakses 3 Januari 2010.<br />
Dialog antara Depperindag, Bea Cukai, Pelaku Usaha, dan Anggota DPR RI di TV One dengan pada 20 Maret 2010. <br />
DR. Rusman Heriawan (Kepala Badan Pusat Statistik), Posisi Dagang Indonesia Kalah Atas China, dalam http://bisnis.vivanews.com/news/read/154679-posisi_dagang_ri_lemah_terhadap_china, diakses tanggal 5 Juni 2010.<br />
Jusuf Kalla dalam dialog interaktif di TV One, 22 Januari 2010, pukul 20.30. <br />
http://berita.liputan6.com/producer/201001/257719/Perdagangan.Bebas.dan.Ketergopohan.Kita. Diakses 10 Januari 2010.<br />
Latif Adam, ACFTA Dalam Perspektif Hubungan Dagang Indonesia-China http://inspirasitabloid.wordpress.com/2010/03/19/acfta-dalam-perspektif-hubungan-dagang-indonesia-china. Diakses 5 Juni 2010.<br />
Puspa Delima Amri, New Issues in the WTO: Where does Indonesia Stand, Dalam www.delidn.ec.europa.eu/en/.../relations_1_trade10_wtonewissues0702.pdf.<br />
Sheng Lijun, China-ASEAN Free Trade Area: Origins, Developments and Strategic Motivations, ISEAS Working Paper: International Politics & Security Issues Series No. 1(2003), dalam www.iseas.edu.sg/ipsi12003.pdf, diakses 10 Januari 2010.heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-12670697881988417552010-05-24T08:00:00.000-07:002010-05-24T08:00:24.679-07:00PENDEKATAN INTERNATIONAL SOCIETY-CENTRIC CONSTRUCTIVISMPENDEKATAN INTERNATIONAL SOCIETY-CENTRIC CONSTRUCTIVISM<br />
by:Heri Alfian<br />
<br />
Politik luar negeri menurut asumsi tradisional selalu merujuk pada “world of states” di mana negara-negara adalah aktor utama dan mereka berlomba-lomba untuk meraih kepentingan nasional masing-masing yaitu upaya meraih kedaulatan dan kemerdekaan. Intinya secara sadar setiap kebijakan luar negeri ditujukan untuk meraih kepentingan nasional atas dasar prinsip memaksimalkan keuntungan dan menekan kerugian seminimal mungkin. Pada prinsipnya politik luar negeri berjalan pada logika untung rugi (cost-benefit logic), yang dikenal dengan politik luar negeri realisme. <br />
Pada kenyataannya, tidak semua dan bahkan seringkali negara mengambil atau melakukan politik/kebijakan luar negeri tanpa didasarkan pada prinsip di atas. Negara-negara berkembang misalnya mengambil kebijakan luar negeri yang seringkali tidak didasrkan pada kepentingan nasionalnya, namun lebih disebabkan oleh tekanan dan tuntutan lingkungan internasional baik itu negara lain maupun organisasi-organisasi internasional. <br />
Kenyataan itu memperlihatkan bahwa negara pada dasarnya adalah suatu entitas yang tidak mengetahui apa kepentingan dirinya. Negara seringkali bingung tentang apa yang seharusnya dilakukanya, sehingga seringkali negara membuat/melakukan suatu kebijakan yang meniru negara lain. Dalam bentuk lain ketidaktahuan itu diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang tidak merujuk pada kepentingan masyarakatnya (domestik), atau juga dalam bentuk kebijakan yang seringkali berubah-ubah tanpa tujuan yang jelas. Beberapa pendekatan di dalam studi hubungan internasional seperti neorealisme dan konstruktivis international (international society-centric constructivism) berusaha menjelaskan tentang fenomena itu. Menurut neorealis, di dalam sistem internasional negara hanya melakukan apa yang digariskan oleh sistem. Negara tidak bisa berbuat apa-apa untuk merubah sistem internasional yang anarki. Untuk bisa bertahan di dalam sistem tersebut, negara harus bisa beradaptasi yaitu dengan melakukan emualting dan balancing. <br />
Adapun menurut konstruktivis yang dikemukakan oleh Martha Finnemore (sociological institutionalism), kepentingan negara ditentukan oleh struktur sosial /norma internasional (international social/normative structure). Struktur sosial/norma utama internasional yang berlaku dominan pada suatu masa tertentu merupakan strukutur mendasar yang menjadi prinsip utama di dalam proses sosialisasi (the socializing principle) yang terjadi di dalam sistem internasional. Menurut Finnemore norma utama yang dominan di dalam sistem internasional pada dasarnya didefinisikan menjadi tiga yaitu bureaucracy, human quality, dan market. Bureaucracy merupakan norma yang berhubungan dengan otoritas, sedangkan human quality adalah norma yang menyangkut penghargaan terhadap hak asasi manusia dan menginginkan kesetaraan bagi semua manusia dalam bidang politik dan ekonomi. Market adalah norma yang merujuk pada cara yang paling sah (legitimate) untuk mengatur aspek ekonomi. <br />
Logika berpikir ISC menyatakan bahwa negara berada pada posisi adaptif di mana kebijakan yang dilakukan oleh negara adalah bentuk dari ketundukannya terhadap norma internasional terutama salah satu dari ketiga norma di atas. Dengan kata lain norma internasional menentukan bentuk perilaku seperti apa yang harus diikuti oleh negara. Norma itu kemudian menentukan identitas negara, di mana perubahan identitas akan mengikuti perubahan yang terjadi pada norma internasional yang berkembang. Selanjutnya identitas tersebut akan menentukan kepentingan negara di mana kepentingan dalam hal ini lebih berorientasi pada upaya untuk menunjukkan ‘ketaatan’ dan upaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan internasional (logic of appropriateness). <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Gambar 1. The Logic of International Society-Centric Constructivism<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Sumber: Martha Finnemore, dalam John M. Hobson, The State and International Relations, Cambridge University Press, UK, 2000, hal. 158.<br />
<br />
<br />
Perubahan identitas dan kepentingan/kebijakan negara menurut Finnemore terjadi melalui teaching process yang dilakukan oleh organisasi internasional ataupun aktor-aktor non state. Dapat dikatakan bahwa kebijakan negara tergantung pada apa yang “diajarkan” oleh organisasi internasional. <br />
<br />
<br />
<br />
Gambar 2. The Operational of International Society-Centric Constuctivism<br />
<br />
T<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Sumber: Martha Finnemore, dalam John M. Hobson, The State and International Relations, Cambridge University Press, UK, 2000, hal. 150.heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-28213008335916280752010-03-23T18:42:00.000-07:002010-03-23T18:42:09.859-07:00IMF dan World BankIMF dan World Bank<br />
by Heri Alfian<br />
Sejak International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) didirikan oleh Amerika Serikat dan Inggris pada tahun 1944 di Bretton Woods, kedua organisasi finansial tersebut telah banyak memberikan bantuan keuangan bagi negara-negara berkembang. Sejak berakhirnya PD II IMF dan WB telah menyelamatkan perekonomian negara-negara Eropa yang hancur oleh PD II tersebut. Saat ini hampir semua negara di dunia mendanai sebagian besar pembangunannya dengan dana yang dipinjamkan oleh IMF dan WB. Dapat dikatakan bahwa bantuan keuangan IMF dan WB menjadi bagian yang sulit terpisahkan dari proses pembangunan negara-negara berkembang. Namun peran penting yang dapat dilihat sebagai dampak positif, bantuan IMF dan WB juga menyebabkan dampak negatif yang sangat merugikan negara-negara berkembang. Data statistik WB menunjukkan bahwa 23 negara mengalami pertumbuhan GNP per kapita negatif antara tahun 1965-1980. Jumlah tersebut meningkat antara tahun 1980-1991 menjadi 43 negara. Jika dilihat lebih jauh pada tahun 1995 data United Nations High Commisioner for Refugees (UNHCR) menunjukkan bahwa terdapat 27,4 juta pengungsi yang disebabkan oleh konflik di negara-negara dunia ketiga. Akar dari konflik tersebut adalah kemiskinan dan keterbelakangan “underdevelopment”. <br />
Dalam hal memberikan bantuan keuangan terdapat perbedaan antara IMF dan WB. Sejak didirikan pada tahun 1944 IMF ditujukan untuk menjaga standard fixed exchange rates yang berlaku sejak berakhirnya perang dunia kedua. Tahun 1971 fungsi tersebut berubah sejalannya dihapuskannya standar emas, IMF memiliki misi baru yaitu menyediakan pinjaman bagi negara-negara yang mengalami permasalahan ekonomi (economically troubled countries). Lebih spesifik IMF berfungsi membantu negara-negara yang mengalami kesulitan balance of payment, yaitu penerimaan negara tersebut dari import dan sumber lainnya tidak cukup untuk membayar hutang luar negerinya. Fungsi IMF dalam hal ini adalah: pertama menyediakan pinjaman untuk menutupi hutang yang harus segera dibayar (immediate obligations) kepada kreditor luar negeri. Kedua IMF berfungsi sebagai “gatekeeper” yaitu IMF menjadi jaminan bagi suatu negara untuk mendapatkan bantuan dari institusi keuangan lainnya seperti World Bank. Artinya private lenders dan public lenders seperti WB tidak akan memebrikan pinjaman kepada negara-negara yang memiliki permasalahan ekonomi kecuali mereka memiliki perjanjian dalam hal peminjaman dari IMF.<br />
Sedangkan World Bank berfungsi untuk memberikan bantuan bagi negara-negara dunia ketiga untuk membantu usaha-usaha pembangunannya. Bentuk-bentuk bantuan tersebut adalah proyek-proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan raya, hydroelectric dams, sekolah, instalasi air minum, listrik, dan lain sebagainya. <br />
Pemberian bantuan IMF dan WB didasarkan atas instrumen structural adjusment loans dan sectoral adjusment loans. Kedua instrumen tersebut pada dasarnya sama yang membedakannya hanya cakupan luasnya kebijakan dan perubahan institusional yang diinginkan. Secara garis besar program adjusment mencakup 4 hal yaitu:<br />
1. External trade- ukuran-ukuran yang mencakup devaluasi, penghapusan atas pembatasan-pembatasan quota, pemotongan tarif dan meningkatkan incentif eksport.<br />
2. Resource mobilisation-mencakup penyesuaian suku bunga (interest rate adjusments), reformasi perpajakan, anggaran, cost recovery sytems terhadap perusahaan-perusahan publik dan memberlakukan kontrol yang lebih ketat terhadap level dan administrasi yang berkaitan dengan pinjaman luar negeri.<br />
3. Efficient use of resources-mencakup pengurangan atau penghapusan subsidi makanan atau kebutuhan pokok, restrukturisasi dan rasionalisasi state marketing boards, melakukan perubahan dalam public expenditure seperti perubahan orientasi dari transportasi dan bangunan pemerintah ke sektor pertaian, kesehatan, dan pendidikan, dan melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan efisiensi energi.<br />
4. Institutional reforms, mencakup privatisasi perusahaan-perusahaan negara, meningkatkan efisiensi terhadap perusahaan-perusahaan publik dan menetapkan target yang lebih baik terhadap pertanian dan program-program industri untuk meningkatkan evaluasi proyek dan manajemen atas perusahaan –perusahaan publik.<br />
<br />
Adjusment programs tersebut merupakan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu negara sebelum mendapatkan bantuan dari IMF dan WB. Permasalahan yang dialami oleh negara-negara berkembangan yang menerima pinjaman dari kedua institusi tersebut berwal dari adjusment programs itu. Reasoningnya adalah ketentuan-ketentuan dalam adjusment programs yang disyaratkan oleh IMF seringkali tidak sesuai dengan sistem ekonomi dan politik negara penerima pinjaman tersebut. Sebagai contoh adalah negara Argentina. Kekacauan ekonomi Argentina sejak tahun 2002 adalah antiklimaks dari pertumbuhan semu yang di-back up oleh IMF dan WB.<br />
Sejak 1980-an Argentina menerima banyak bantuan keuangan dari IMF. Hal itu memberikan “legitimasi” bagi IMF untuk mengontrol para policymaker Argentina untuk melakukan privatisasi perusahaan-perusahaan negara, liberalisasi investasi dan perdagangan luar negeri, dan memperketat kebijakan fiskal dan moneter. Ketentuan-ketentuan yang diresepkan IMF tersebut pada kenyataannya telah mendorong pertumbuhan ekonomi Argentina yang sejak 1990-an mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5% pertahunnya.<br />
Namun sebenarnya pertumbuhan tersebut dibangun di atas fondasi yang lemah, dimana petumbuhan dihasilakan dari akumulasi pinjaman luar negeri yang terus meningkat (hutang kepada bank swasta, hutang kepada IMF, hutang kepada negara lain), perluasan pasar luar negeri terhadap ekspor barang-barang argentina yang sifatnya kebetulan saja “fortuitous”, injeksi-injeksi jangka pendek “short-termd injections” terhadap pendapatan negara yang diperoleh dari penjualan perusahaan negara. Akibat lemahnya fondasi tersebut sejak 1998 ekonomi argentina mengalami resesi yang dahsyat. Hutang luar negeri mencapai 155 milyar dollar yang merupakan hutang terbesar sepanjang sejarah, pemerintah membatasi atau melarang masyarakat untuk menarik uang mereka dari bank, jalan-jalan dipenuhi oleh massa yang melakukan demonstrase, lebih parah lagi adalah terjadinya kerusuhan akibat penjarahan.<br />
Resesi ekonomi yang dialami oleh Argentina dapat ditelusuri sejak tahun1990 dimana atas dasar saran IMF melalui structural adjusment program-nya memerintahkan aregntina untuk melakukan kebijakan yang disebut “currency board”. Hal itu dilakukan untuk menekan inflasi yang semakin tinggi. Currency board adalh kebijakan yang mengatur mata uang negara yaitu agar satu peso Argentina bernilai satu dollar AS. Untuk menjaga atau menjamin fixede exchange rate itu, dewan (board) tetap mensuplai dollar ke reserve (cadangan), dan tidak bisa memperluas suplai peso tanpa peningkatan yang setara terhadap dolar. Currency board system (CBS) kelihatan menarik karena inflasi yang bisa dikatakan absurd dimana harga-harga melambung tinggi sampai 200% perbulan. Dengan membatasi pertumbuhan suplai uang, currency board system telah mengurangi inflasi secara sangat signifikan.<br />
Namun sistem tersebut membawa dampak buruk bagi perekonomian Argentina, karena walaupun CBS berhasil mengurangi tingkat inflasi pada pertengahan tahun 1990-an, CBS juga menghilangkan fleksibilitas dalam kebijakan moneter. Ketika resesi mulai memburuk pada pertengahan 1990-an, pemerintah tidak bisa menstimulasi aktivitas ekonomi melalui perluasan suplai uang “money supply”. Lebih parah lagi ketika ekonomi terus memburuk, pemasukan atas dolar menurun, hal itu menyebabkan currency board membatasi suplai uang lebih banyak lagi. Dampak buruk lainnya adalah pada pertengahan 1990-an dollar AS terapresiasi terhadap mata uang lainnya, artinya (karena aturan one-to-one) maka nilai tukar peso juga terapresiasi. Hal itu menyebabkan harga barang-barang ekspor Aggentina menjadi naik, dan berdampak pada menurunnya permintaan terhadap barang-barang Argentina.<br />
Dampak structural adjusment IMF berlanjut pada tahun 1998 dimana Argentina memasuki babak perekonomian yang semakin buruk, namun IMF tetap memberikan bantuan finansial. IMF memberikan pijaman “kecil” sebesar 3 milyar dollar AS pada awal 1998. ketika krisi semakin buruk IMF meningkatkan dukungan finansialnya dengan memberikan tambahan pinjaman sebesar $13,7 milyar dan menyediakan $26 milyar lebih dari dari sumber lain di akhir tahun 2000. Ketika keadaan semakin memburuk pada tahun 2001, IMF menjanjikan $8 milyar dollar.<br />
IMF menyertakan pinjamannya dengan syarat bahwa Argentina harus menjamin atau menjaga kebijakan moneternya dan tetap meneruskan kebijakan pengetatan kebijakan fiskalnya dengan cara menghapuskan defisit anggarannya. Karena menurut IMF pengurangan deficsit adalah kunci utama untuk menciptakan kestabilan makroekonomi dan pertumbuhan ekonomi. Argentina melaksanakan pengurangan defisit dengan sungguh-sungguh dalam arti melakukan pengurangan secara drastis. Dalam keadaan ekonomi yang kacau dan pendapatan dari pajak yang sangat rendah, satu-satunya jalan untuk menyeimbangkan anggaran adalah memeotong secara drastis pembelanjaan pemerintah. Awal tahun 2001, sesaat sebelum pemerintah mengeluarkan surat-surat obligasi dalam jumlah besar, pejabat Argentina mengumumkan kebijakan pemotongan anggaran sebesar $1,6 milyar (sekitar 3% dari jumlah anggaran federal). Kebijakan tersebut diharapkan dapat menciptakan kembali kepercayaan investor asing terhadap Argentina dan menurunkan suku bunga.<br />
Namun yang terjadi adalah sebaliknya, investor melihat kebijakan pemotongan anggaran tersebut sebagai tanda lain dari semakin memburuknya krisis, dan surat-surat obligasi hanya dapat dijual pada tingkat suku bunga yang tinggi (yaitu 14%, karena sebelumnya surat obligasi serupa dijual pada tingkat bunga 9% hanya beberapa minggu sebelum keluarnya kebijakan pemotongan tersebut). Pada bulan desember kebijakan pemotongan anggaran kembali dilakukan bahkan dalam jumlah yang lebih besar yaitu sebesar $9,2 milyar pada sektor pembelanjaan atau sekitar 18% dari seluruh anggarannya.<br />
Pemotongan tersebut berimplikasi pada pemotongan anggaran untuk program-program sosial dan mengurangi seluruh permintaan. Pada pertengahan desember, pemerintah mengumumkan bahwa kebijakan tersebut akan menyebabkan terjadinya pemotongan gaji pegawai pemerintah sebesar 20% dan mengurangi pembayaran uang pensiun. Pada saat yang sama dimana krisis semakin memburuk memunculkan kekhawatiran bahwa pemerintah Argentian akan melepaskan CBS dan mendevaluasi peso, pemerintah mengambil kebijakan yaitu mencegah rakyatnya untuk melakukan penukaran peso mereka dengan dollar dengan cara pembatasan penarikan uang dari bank.heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-78992735072547835632010-03-19T03:33:00.001-07:002010-03-19T03:33:37.452-07:00IMF dan Eksploitasi GlobalIMF DAN EKSPLOITASI GLOBAL<br />
By Heri Alfian<br />
<br />
Fungsi International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB) dalam membantu negara-negara berkembang terkadang membingungkan karena peran kedua institusi tersebut yang seringkali overlapping. Namun secara mendasar terdapat perbedaan fungsi di antara keduanya yaitu : IMF sebagai Monetary Institution berfungsi untuk menstabilisasi sistem moneter dan menyediakan pendanaan (financing) bagi negara-negara yang mengalami temporary balance of payments deficit dan sifat loan-nya adalah short-term dimana repayment time-nya antara 3-5 tahun dan kadang-kadang sampai 10 tahun. Sementara WB sebagai Development Institution berfungsi untuk mendorong pembangunan ekonomi dan menyediakan pendanaan (financing) pembangunan ekonomi, dan sifat loan-nya adalah long term dimana repayment time-nya antara 15-20 tahun dan kadang-kadang sampai 40 tahun. <br />
Dalam pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut, sejak tahun 1980-an IMF dan WB menetapkan persyaratan-persyaratan tertentu“seal approval” terhadap negara-negara yang ingin mendapatkan loan dari IMF dan WB. Kebijakan tersebut dikenal dengan adjusment lending policy yang dibedakan menjadi sectoral adjusment policy dan structural adjusment policy (SAPs). Adjusment policy pada dasarnya bentuk atau perwujudan dari penerapan konsep “neoliberalism”. Faktanya adalah kedua kebijakan tersebut sama-sama mendukung reformasi sektoral dan institusional, menyediakan balance of payments, mendorong perubahan dan pengesahan institusional. Perbedaannya terletak pada cakupan kebijakan dan reformasi institusional yang diinginkan. Umumnya structural adjusment policy adalah instrumen yang digunakan oleh IMF dan WB untuk memberikan pinjaman kepada negara-negara yang membutuhkan bantuan. Structural adjusment IMF dan WB pada dasarnya tidak memiliki perbedaan yang signifikan. <br />
IMF dan WB merupakan institusi keuangan dan pembangunan yang paling kuat di dunia saat ini. Dengan cakupan wilayah operasional mencapai 175 negara maka hampir seluruh negara di dunia merasakan dampak bantuan dana dari kedua organisasi tersebut. Keberhasilan IMF dan WB dapat dilihat dari munculnya negara-negara Eropa Barat saat ini yang menjadi kekuatan ekonomi dunia. Kedua institusi tersebut berhasil membangkitkan negara-negara Eropa Barat dari kehancuran ekonomi setelah Perang Dunia II. Selain itu IMF dan WB berhasil membantu negara-negara berkembang bangkit dari krisis ekonomi seperti Korea Selatan,Taiwan, Singapura. Namun keberhasilan IMF dan WB harus dilihat secara kritis terutama peran keduanya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang. Karena sudah umum diketahui bahwa bantuan IMF dan WB melalui SAPs-nya membawa dampak sangat buruk bagi negara-negara “pasien” kedua institusi tersebut. Sebaliknya keuntungan yang diperoleh oleh negara-negara maju yang memegang kontrol atas IMF dan WB sangat besar. Seperti terlihat pada tabel berikut:<br />
<br />
Structural Adjustment: How the IMF/World Bank Exploits the Globe<br />
<br />
IMF / World Bank Demands Benefits for the Rich Impacts on the <br />
Poor<br />
Cut Social Spending: <br />
Reduce expenditures on health and education. [IMF claims it is now making sure such spending goes up, but often it's to put in place systems to collect fees.] * More debts repaid. * Increased school fees force parents to pull children -usually girls-from school. Literacy rates go down.<br />
* Poorly-educated generation not equipped for skilled jobs.<br />
* Higher fees for medical service mean less treatment, more suffering, needless deaths. <br />
Shrink Government: <br />
Reduce budget expense by trimming payroll and programs. * Fewer government employees means less capacity to monitor businesses' adherence to labor, environmental, and financial rules.<br />
* Frees up cash for debt service. * Massive layoffs in countries where government is the largest employer. <br />
* Makes people desperate to work at any wage.<br />
Increase Interest Rates: to combat inflation, increase interest charged for credit and awarded to savings. * Investors find country a profitable place to park cash, though they may pull it out at any moment. * Small farmers and businesses can't get capital to stay afloat.<br />
* Small farmers sell land, work as tenants or move to worse lands. <br />
* Businesses shut down, leaving workers unemployed.<br />
Eliminate Regulations on Foreign Ownership of Resources and Businesses. * Multinational corporations can purchase or start enterprises easily. <br />
* Countries compete for foreign investment by offering tax breaks, Low wages, free trade zones. <br />
* Once in the country, corporations can turn to WTO for enforcement of "rights". * Control of entire sectors of economy can shift to foreign hands. o Governments offer implicit pledges not to enforce labor and environmental laws.<br />
Eliminate Tariffs: <br />
Stop collecting taxes on imports; these taxes are often applied to goods which would compete with domestically-produced goods. * Allows foreign goods easy access to domestic markets. * Makes it harder for domestic producers to compete against better-equipped and richer foreign suppliers.<br />
* Leads to closure of businesses and Layoffs.<br />
Cut Subsidies for Basic Goods: <br />
Reduce government expenditures supporting basic necessities, food, etc. * Frees up more money for debt payments. * Raises cost of items needed to survive. <br />
* Most frequent flashpoint for civil unrest.<br />
Re-orient Economies from Subsistence to Export: <br />
Give incentives for farmers to produce cash crops (coffee, cotton, etc.) for foreign markets rather than food for domestic ones; encourage manufacturing to focus on simple assembly (often clothing) for export rather than manufacturing for own country; encourage extraction of valuable mineral resources. * Produces hard currency to pay off more debts.<br />
* Law of supply and demand pushes down price of commodities as more countries produce more, meaning guaranteed supply of low-cost products to export markets. <br />
* Local competition eliminated for multinational corporations. <br />
* Increased availability of low-cost labor. * Law of supply and demand pushes down price of commodities as more countries produce more, meaning local producers often lose money. <br />
* Best lands devoted to cash crops; poorer land used for food crops, leading to soil erosion. <br />
* Food security threatened <br />
* Women often relegated to gathering all food for family while men work for cash. <br />
* Makes country more dependent on imported food and manufactured goods. <br />
* Forests and mineral resources (oil, copper, etc) overexploited, Leading to environmental destruction and displacement.<br />
Contoh negara yang menerima bantuan IMF dan WB adalah Filipina. <br />
Kehancuran ekonomi Filipina adalah efek dari strategi pembangunan yang disebut debt-dependent development strategy dan kebijakan makroekonomi yang pro kaum kaya “macroeconomic policy that have favored the wealthy”. Beban yang ditanggung Filipina akibat kebiajakan tersebut dapat dilihat dari beban tanggungan tenaga kerja sebesar US$29 milyar dan beban hutang domestik sebesar US$9 milyar. Beban untuk pembayaran hutang luar negeri sebesar US$ 18 milyar sejak 1986 dan jumlah tersebut bertambah 3 milyar pada tahun yang sama. <br />
Filipina meminta bantuan IMF dan WB untuk mengatasi beban ekonomi tersebut. Untuk memberikan bantuan kepada Filipina IMF dan WB memberikan saran agar Filipina menerapkan kebijakan stabilisasi dan adjusment policy yang telah ditetapkan oleh IMF. Kebijakan tersebut dimaksudkan atau didisain untuk meningkatkan pendapatan untuk membayar hutang-hutang Filipina. Bentuk nyata dari kebijakan tersebut adalah mengutamakan pengembangan industri dan agribisnis yang padat modal. Artinya sektor yang padat tenaga kerja (labor intensive) seperti sektor pertanian ditinggalkan. Maka dampak nyata dari kebijakan tersebut adalah tidak terserapnya pengangguran yang mencapai angka 48%, dimana hanya 900.000 tenaga kerja yang terserap setiap tahunnya. Pertumbuhan ekonomi juga menjadi korban dari kebijakan tersebut dimana seiring dengan menurunnya angka inflasi yang mencapai 12%, berkurangnya defisit neraca berjalan, dan stabilnya cadangan Bank Sentral, kebijakan fiskal dan moneter yang ketat menyebabkan resesi ekonomi yang hebat.<br />
Kebijakan stabilisasi yang digariskan oleh IMF adalah mengurangi permintaan domestik untuk tetap menjaga tersedianya dana yang cukup untuk pembayaran hutang luar negeri. Kebijakan itu mencakup pemotongan atau pembatasan pengeluaran pemerintah, menaikkan pajak dan mendorong peningkatan penarikan pajak, dan mengurangi subsidi untuk mencegah masyarakat mengkonsumsi barang-barang murah. Kebijakan tersebut memang berhasil meningkatkan cadangan internasional, mengurangi inflasi dan menurunkan defisit anggaran. Namun dampak yang ditimbulkannya menjadi salah satu penyebab utama krisis Filipina pada pertengahan 1980-an. Kebijakan menekan permintaan domestik telah menyebabkan masyarakat Filipina mengalami penderitaan yang dahsyat. Kebijakan yang berorientasi industri dan agribisnis menyebabkan aktifitas ekonomi pada sektor agrikultur dan non agrikultur menurun drastis setiap tahunnya. Terjadi penurunan sampai 25% antara tahun 1981 sampai 1987. Hal itu menyebabkan meningkatnya pengangguran dan menurunnya jumlah masyarakat yang mendapatkan upah real (real wages), sehingga menyebabkan peningkatan persentase masyarakat yang hidup dalam kemiskinan. Jumlah pengangguran yang sangat tinggi terutama terjadi di daerah pedesaan. Petani miskin yang tidak memiliki lahan berusaha untuk tetap survive dengan cara migrasi ke dataran-dataran tinggi di daerah pinggiran serta ke daerah-daerah laut (coastal). Maka dampaknya adalah terjadinya deforestation, hancurnya daerah-dareah penangkapan ikan, erosi tanah, hancurnya terumbu karang, dan pendangkalan dam dan sistem irigasi. Stabilisasi juga semakin menghambat pertumbuhan ekonomi yang mencapai kurang dari 1% pada tahun 1991.heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-66559248918876725142010-02-21T07:54:00.001-08:002010-02-21T16:53:41.530-08:00Dinamika Kawasan Asia timurASIA TIMUR<br />
by heri alfian<br />
Isyu-isyu utama di kawasan Asia Timur diwarnai dengan ketegangan hubungan di antara negara-negara di kawasan. Ketegangan-ketegangan tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut: ketegangan antara Taiwan-Cina, Jepang-Korea Utara, Korea Utara-Korea-Selatan. Dua isyu terhangat yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir adalah ketegangan antara Jepang dengan Cina, dan ketegangan antara Jepang dengan Korea Selatan. <br />
Ketegangan hubungan antara Taiwan dengan Cina terkait dengan keinginan Taiwan untuk menjadi sebuah negara merdeka sejak tahun 1949 dan melepaskan diri dari Cina. Akan tetapi bagi Cina, Taiwan adalah bagian dari wilayah Cina (salah satu provinsinya), sehingga menganggap tindakan Cina untuk untuk memisahkan diri sebagai tindakan separatisme. Cina menyebut taiwan sebagai a renegade province dan seringkali menyatakan akan menyerang Cina jika waktunya sudah tepat. Diktator Cina Deng Xiaoping menyatakan akan menginvasi Cina jika: Taiwan membangun kekuatan nuklirnya; Jika hubungan Taiwan menjalin hubungan dengan Rusia; Terjadinya kerusuhan besar-besaran (widescale) di Taiwan; Jika Taiwan mendeklarasikan kemerdekaannya; Jika Taiwan menolak untuk melakukan unifikasi dengan Cina. <br />
Ketegangan hubungan antara Jepang dengan Korea Utara dilatarbelakangi oleh pendudukan Jepang terhadap Korea Utara pada tahun 1910 sampai 1945. Tindakan militeristis Jepang itu masih “melukai” perasaan rakyat Korea Utara sampai saat ini. Hal itu menyebabkan hubungan kedua negara tidak pernah membaik. Persoalan hubungan kedua negara semakin besar karena ketidaksetujuan Korea Utara terhadap adanya pangkalan militer Amerika Serikat di wilayah Jepang. Korea Utara menganggap keberadaan militer AS tersebut sebagai sebuah ancaman bagi keamanan Korea Utara. Persepsi itu dilatarbelakangi oleh ketagangan antara Korea Utara dengan AS, yaitu terkait isu kepemilikan dan pengembangan persenjataan nuklir Korea Utara. Bahkan bagi AS, Korea Utara merupakan the axis of evil atau poros kejahatan terkait dengan sikap Korea Utara yang selalu bertentangan dengan AS. Sedangkan bagi Jepang, keberadaan militer AS adalah sebagai penjamin keamanan wilayahnya dari serangan negara lain termasuk Korea Utara, karena Jepang tidak memiliki kekuatan militer sejak Perang Dunia II. <br />
Ketegangan hubungan antara Korea Utara dengan Korea Selatan adalah isu yang selalu hangat di kawasan Asia Timur. Sejak pecahnya perang Korea pada tahun 1950-1953 yang berakibat pada terbaginya Korea menjadi dua Korea, permusuhan di antara kedua negara tidak pernah usai. Sejak 1953 sampai saat ini perang Korea masih berlanjut dengan cara yang berbeda. Kedua negara masih terlibat dalam tindakan spionase satu dengan yang lain, masih terjadinya perang-perang kecil di daerah Demilitarized Zone (DMZ), dan melakukan propaganda di daerah perbatasan. Kedua negara juga menjalin aliansi melalui pendekatan perdagangan dan diplomasi dengan negara lain untuk memperkuat posisi masing-masing. Kedua negara juga aktif meningkatkan kekuatan militer masing-masing, di mana Korea Utara membelanjakan sebagian besar Gross National Product-nya (GNP) untuk meningkatkan kekuatan militernya. Sedangkan Korea Selatan memiliki militer yang terlatih dengan baik dan memiliki persenjataan canggih serta di back-up oleh AS dengan keberadaan pangkalan militer di wilayahnya. <br />
Ketegangan antara Jepang dengan Korea Selatan merupakan salah satu isyu hangat di kawasan Asia Timur saat ini. Ketagangan itu terkait dengan perselisihan tentang pulau Tokdo. Jepang mengklaim bahwa pulau tersebut adalah bagian dari wilayah Jepang yang dalam bahasa Jepang disebut dengan Takeshima atau Bamboo Island. Sebaliknya Korea Selatan juga menganggap pulau itu yang dalam bahasa Korea Selatan disebut dengan Tokdo atau Lonesome Island, sebagai wilayahnya. <br />
Isyu lain yang menjadi tema hangat adalah ketegangan antara Jepang dengan Cina terkait dengan penerbitan buku pelajaran sejarah Jepang. Cina menganggap bahwa dalam buku sejarah tersebut Jepang tidak mengakui kekejaman tentaranya terhadap bangsa Cina ketika terjadi perang antara Jepang dengan Cina. Tindakan Jepang tersebut dikenal dengan “whitewash” yaitu Jepang tidak mengakui kekejaman kolonisasi dan agresi yang pernah dilakukannya selama Perang Dunia II. Jepang telah membolak-balikkan fakta sejarah “twisted history” dalam buku sejarah tersebut, sehingga membuat Cina sakit hati “deeply hurt”. Sikap Jepang yang tidak mau merubah isi buku tersebut sampai menyebabkan Ketua Parlemen Cina Li Peng menangguhkan kunjungan balasan ke Jepang yang semula dijadwalkan berlangsung dari tanggal 28 Mei, selama seminggu. <br />
Sejak tahun 1949 perselisihan Cina dengan Taiwan tidak pernah usai, bahkan terus meningkat. Ketegangan hubungan kedua negara yang disebabkan oleh perbedaan pandangan mengenai status Taiwan, di mana Taiwan menganggap dirinya bukan bagian dari wilayah Cina, sementara Cina menganggap Taiwan adalah bagian dari wilayah Cina. Ketegangan selalu muncul ketika mencuat isu tentang keinginan Taiwan untuk mendeklarasikan kemerdekaannya. Cina menyebut Taiwan dengan Provinsi pembangkang atas tindakan tersebut. Bahkan Cina secara terang-terangan menyatakan akan menyerang Taiwan jika Taiwan mendeklarasikan kemerdekaan ataupun tidak mau melakukan unifikasi dengan Cina. Jika perang antara Cina dan Taiwan benar-benar terjadi menurut Hayes, maka perang tersebut akan melibatkan banyak negara yaitu Jepang, AS, dan Korea Utara. Sebagaimana diketahui bahwa AS adalah aliansi utama Taiwan yang menjamin keamanan wilayahnya selama ini dari serangan Cina. Jika Cina menyerang Taiwan maka sudah pasti AS akan membantu Taiwan.<br />
Posisi Jepang dalam kasus ini juga sangat rawan karena Jepang merupakan sahabat dekat Taiwan dan juga negara aliansi AS. Jepang adalah salah satu penyuplai persenjataan terbesar Taiwan setelah AS. Cina seringkali mengingatkan Jepang untuk menghentikan penjualan senjatanya terhadap Taiwan. Sedangkan keterkaitan Jepang dengan AS akan menyeret Jepang ke dalam perang karena berdasarkan isi perjanjian aliansi keamanan Jepang dengan AS tahun 1960 Jepang berkewajiban untuk membantu AS jika terjadi Perang di kawasan Asia Timur. Pada sisi lain Korea Utara juga akan terlibat Perang karena Ia merupakan sekutu dari Cina. Dalam beberapa perselisihan yang timbul antara Jepang, AS dengan Korea Utara, Cina selalu mendukung Korea Utara. Dan jika perang antara Cina dengan Taiwan pecah sudah dipastikan bahwa Korea Utara akan mendukung Cina.<br />
Permasalahan kedua yang memungkinkan terjadinya perang adalah adanya ancaman nuklir Korea Utara. Permasalahan antara Korea Utara dengan Korea Selatan serta dengan Jepang sangat rawan menimbulkan perang terbuka. Kepemilikan nuklir Korea Utara akan menyebabkan kemungkinan tersebut lebih besar. Sebab selama ini Korea Utara selalu mengunakan isu nuklirnya untuk dalam proses penyelesaian masalah dengan Jerpang dan Korea Selatan. Korea Utara selalu berusaha mendapatkan pay-off isu pengembangan nuklirnya dengan bantuan ekonomi dari kedua negara tersebut. Selama ini cara itu cukup berhasil membantu Korea Utara tetap survive sebagai sebuah negara miskin. Namun jika pada suatu kondisi tertentu proses pay-off tersebut tidak berjalan, di mana Korea Selatan dan Jepang tidak lagi mau memberikan bantuan ekonomi terhadap Korea Utara ataupun muncul isu-isu yang tidak mungkin diselesaikan dengan cara tersebut, maka perang terbuka tidak akan dapat dihindari. Jika perang itu terjadi maka tidak hanya ketiga negara tersebut yang akan terlibat tetapi juga akan melibatkan Amerika Serikat dan Cina.heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-65448197765120852782010-02-09T07:19:00.000-08:002010-02-09T07:19:21.284-08:00SECURITY DILEMMAby Heri Alfian<br />
<br />
<br />
defines the security dilemma as a situation “in which the means by which a state tries to increase its security decreases the security of others.” <br />
<br />
Security dilemma menjelaskan tentang suatu kondisi di mana usaha suatu negara untuk meningkatkan keamanan nasionalnya dengan menambah kapabilitas pertahanannya berdampak pada munculnya rasa terancam (ancaman) terhadap negara lain, hal itu kemudian memicu (memprovokasi) negara (lain) tersebut untuk meningkatkan kemampuan pertahanannya (militer) juga (military counter-moves); kondisi ini akhirnya menyebabkan menurunnya atau berkurangnya tingkat keamanan itu sendiri (lead to a net decrease in security). Securitry dilemma pada pada dasarnya merupakan refleksi dari kesulitan pemerintah suatu negara untuk menentukan pilihan kebijakan keamanannya. Jika suatu negara mengurangi usaha-usaha untuk memperkuat keamanannya dengan tujuan menciptakan hubungan yang damai (peaceful) dengan negara lain, maka konsekuensinya adalah negara tersebut rawan (vulnerable) untuk diserang oleh negara lain. Namun jika negara tersebut meningkatkan kekuatan pertahanannya maka akan menyebabkan munculnya prasangka atau kecurigaan negara-negara lain (dunia internasional) sehingga akan memicu terjadinya perlombaan senjata. Kondisi tersebut akan menghadapkan negara untuk lebih (cenderung) mengedepankan cara penyelesaian konflik dengan cara-cara militer (perang) daripada cara-cara diplomasi. Security dilemma seringkali disebabkan oleh adanya tanda yang ambigu (ambiguos signals) yang umumnya muncul dari military planning. Seperti dijelaskan oleh Nicholas Wheeler dan Ken Booth, bahwa Security dilemma muncul ketika:<br />
“The military preparations of one state create an unresolvable uncertainty in the mind of another as to wether those preparations are for “defensive” purposes only (to enhance its security in uncertain world) or wether they are for offensive purposes ( to change the status quo to its advantage)”. <br />
Security dillema umumnya bekerja pada suatu kondisi yaitu bilamana kebijakan keamanan suatu negara staus quo(meningkatkan kekuatan pertahanannya) yang murni ditujukan untuk self defense, yang seringkali ditanggapi oleh negara lain atau musuh (adversary) sebagai tujuan yang ofensif. Hal itu mendorong negara adversary membeli atau memproduksi senjata tambahan untuk meningkatkan kekuatan militernya. Hal itu disebabkan oleh adanya suatu kelaziman bahwa negara adversary selalu atau memiliki kecenderungan untuk mengambil asumsi terburuk yakni negara status quo meningkatkan kemampuan pertahanannya untuk tujuan menyerang (ofensif). Seperti dijelaskan oleh Robert Jervis: <br />
..status quo will desire a military postures that resemble than of an aggressor. For this reason others cannot infermfrom its military forces and preparations wether the state is aggressive. State therefore tend to assume the worst. <br />
Secara nyata security dilemma tidak menyumbang secara positif terhadap keamanan dunia, malah sebaliknya ikut menyumbang terhadap munculnya konflik dan peperangan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Norman Cousin yang meneliti tentang apakah perlombaan senjata merupakan penyebab perang ataukah penjamin perdamaian. Melalui studi komputer imajiner yang menyeluruh atas semua perlombaan senjata menemukan bahwa semenjak tahun 650 SM terdapat 1.956 perlombaan senjata ; hanya enam belas (16) diantaranya yang tidak berakhir dengan peperangan, sebagian besar diantaranya berakhir dengan kebangkrutan ekonomi. Kondisi perlombaan senjata antar negara yang terjadi dalam security dilemma pada saat tertentu akan mencapai puncaknya yaitu apabila salah satu negara tidak mempunyai kemampuan lagi untuk menambah atau mempercanggih kapabilitas pertahanannya (militer dan persenjataan). Jika kondisi ini terjadi maka kemungkinan negara yang lebih kuat kapabilitas militer dan persenjataannya akan menyerang negara musuhnya yang kapabilitas militer dan persenjataannya lebih lemah dari kekuatannya (negara yang kalah dalam perlombaan senjata).<br />
Security dilemma tidak dapat dihentikan alasannya dengan beberapa alasan, pertama, adagium “Si vis pacem para bellum” masih menjadi mainstream utama negara-negara dalam usahanya menciptakan keamanan nasionalnya. Reasoning-nya adalah hampir semua negara di dunia ini melakukan pembelian senjata atau memproduksinya serta memperkuat kemampuan militernya. Apapun tujuannya, baik untuk defenseif maupun ofensif, tindakan memperkuat kemampuan militer dan persenjataan hampir pasti ditafsirkan sebagai persiapan untuk menyerang negara lain. Sesuai dengan asumsi dasar securitry dilemma maka negara yang merasa terancam akan melakukan tindakan serupa. Proses aksi- reaksi ini masih terjadi sampai saat ini dan sepertinya akan terus berlangsung selama entitas yang disebut negara masih ada. Kedua, argumen kaum liberal yang menyatakan bahwa dunia bisa menjadi damai dengan kerja sama ekonomi tidak bisa menghentikan security dilemma (perlombaan senjata). Fakta memperlihatkan bahwa globalisasi ekonomi yang terjadi di mana hubungan ekonomi antar negara semakin erat tidak menutup fakta bahwa dilema keamanan tetap mewarnai hubungan antar negara tersebut. Contoh nyata security dilemma di kawasan di kawasan Asia Timur Jauh (far east) yang meliputi Jepang, Cina, Korea Selatan, Korea Utara, Taiwan, dan dalam kasus tertentu melibatkan Rusia yang berada di luar kawasan. Sudah umum diketahui bahwa hubungan ekonomi negara-negara di kawasan ini sangat erat, di mana hampir sebagian besar investasi di Cina dilakukan oleh Taiwan, hubungan perdagangan Cina-Jepang yang volumenya selalu meningkat setiap tahun dengan nilai yang begitu besar, hubungan ekonomi Jepang-Korea Selatan, kemudian bantuan ekonomi Jepang yang terus diberikan kepada Korea Utara yang dapat dikatakan merupakan sumber utama perekonomian Korea Utara sampai saat ini, bantuan ekonomi Korea Selatan kepada Korea Utara, bantuan ekonomi Jepang kepada Rusia. Semua itu tidak menghilangkan kenyataan bahwa sampai saat ini kawasan far east adalah kawasan yang selalu dibayang-bayangi oleh perang karena security dilemma yang terus meningkat. Ketiga, fenomena terorisme menyebabkan security dilemma akan semakin meningkat, karena usaha-usaha yang dilakukan oleh banyak negara untuk menanggulangi terorisme menyebabkan terjadinya perlombaan senjata. Hal itu disebabkan oleh adanya tindakan di mana negara yang meningkatkan kemampuan persenjataan dan militernya untuk tujuan memberantas terorisme dicurigai oleh negara lain bahwa tindakan tersebut bertujuan untuk menyerang negaranya. Kasus nyata adalah kebijakan Jepang meluncurkan Program Rencana Pertahanan beberapa waktu yang lalu, yang ditujukan untuk menghadapi terorisme (kata Jepang) langsung mengundang reaksi keras negara-negara di kawasan Far East. Contoh lain adalah kebijakan Australia untuk memperkuat persenjataan dan peralatan militernya telah memancing reaksi keras dari Indeonesia. Aksi-reaksi tersebut dalam jangka waktu tertentu akan menyebabkan munculnya security dilemma. Jadi jelas bahwa security dilemma tidak dapat dihentikan.heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-57434227881576449922010-02-03T18:01:00.000-08:002010-02-03T18:08:02.159-08:00DETERRENCEby Heri Alfian<br />Deterrence secara harfiah adalah sebuah penangkisan, penolakan atau pencegahan, dalam hal ini maksud Deterrence adalah merupakan suatu strategi untuk mencegah terjadinya perang dengan cara ‘mengecilkan hati’ lawan (negara lain) yang mencoba menyerang. Tujuan utama defender disini adalah meyakinkan kepada negara lain bahwa kerugian yang ditimbulkan karena perang akan jauh melebihi keuntungan yang diharapkan. Hal ini biasanya diselesaikan dengan ancaman balas dendam secara militer atau membalas inisiator jika melakukan sesuatu yang tidak diinginkan. Lebih tepatnya defender harus menunjukkan komitmennya untuk menghukum atau membalas dan kemampuannya untuk melakukan hal tersebut untuk mendemonstrasikan credibility of the deterrence.<br /> Konsep deterrence biasa diasosiasikan dengan kekuatan nuklir, tetapi penerapannya diperluas dalam berbagai situasi dimana salah satu pihak mencoba untuk mencegah pihak lain untuk melakukan tindakan yang belum dilakukan. Deterrence dapat pula digunakan dengan kekuatan untuk mencegah kelemahan dari percobaan penggulingan suatu negara.<br /> Para ahli strategi mengidentifikasikan 4 macam deterrence. Dua jenis pertama yaitu General dan Immediate, dilakukan sesuai dengan kerangka waktu strategi. General deterrence adalah strategi jangka panjang yang dimaksudkan untuk “mengecilkan hati dengan pertimbangan yang serius atas segala bentuk ancaman kepentingan negara lain”. General deterrence berjalan setiap waktu, berusaha untuk mencegah negara lain yang mencoba menyerang dengan berbagai cara militer karena konsekuensi yang diinginkan. Immediate deterrence, sebaliknya, adalah suatu tanggapan terhadap yang ancaman yang jelas dan tegas atas kepentingan negara. Ketika aggressor mulai menyerang general deterrence dinyatakan gagal, tetapi immediate deterrence mungkin masih dapat dilakukan untuk meyakinkan aggressor untuk menghentikan dan tidak melanjutkan serangan.<br /> Dua jenis deterrence yang lain berhubungan dengan lingkup geografis dari strategi yang dimaksud. Primary deterrence dimaksudkan untuk meminta negara lain untuk tidak menyerang wilayah suatu negara, selain itu extended deterrence adalah “mengecilkan hati” negara lain untuk tidak menyerang partner atau sekutu suatu negara.<br /><br />Syarat-syarat deterrence<br /> Terdapat tiga syarat atau kondisi yang harus dipenuhi dalam konsep deterrence.<br />Commitment, merupakan langkah pertama dalam pelaksanaan deterrence, defending state harus memiliki komitmen untuk membalas aggressor atau challenger ketika melakukan tindakan. Dalam kata lain defender harus membuat batas dan memperingatkan aggressor bahwa dia akan ‘menderita’ bila melewati atau melintasi batas tersebut. Komitmen tersebut harus jelas, tidak ambigu dan harus dinyatakan sebelum aggressor melakukan agresi. Komitmen yang ambigu dapat mendatangkan kerugian dari kepentingan aggressor dalam percobaan pemecahaan pertahanan. Deterrence seringkali gagal karena defender tidak menunjukkan dengan baik komitmen untuk membalas atau gagal dalam menetapkan tindakan pembalasan yang tepat dalam suatu kasus penyerangan.<br />Capability, komitmen yang jelas tidak akan berguna apabila negara tidak mempunyai cara atau sarana untuk menunjukkannya, ketika deterrence berputar sekitar menyakinkan aggressor bahwa kerugian dari tindakan tidak sebanding dengan keuntungannya, defender harus menyakinkan pula bahwa dia juga memiliki kemampuan untuk membalas. Sekalipun bila kemampuan deterrent negara lemah, dia tetap mencoba meyakinkan bahwa kemampuan untuk membalas yang dimiliki lebih kuat. <br />Credibility, suatu negara harus menyakinkan aggressor tentang keputusan dan keinginannya untuk menunjukkan komitmennya untuk menghukum atau membalas. Walaupun defender telah menyatakan komitmen dan menunjukkan kemampuannya untuk membalas, deterrence masih mungkin mengalami kegagalan jika aggressor meragukan keinginan defender mengambil resiko perang. Jelasnya, komitmen untuk membalas harus persuasive supaya tidak terdengar ‘gertak sambal’. Pada bagian lain keberhasilan defender bergantung pada reputasi perilaku dan image suatu negara.<br />Singkatnya, deterrence dapat mengalami kegagalan karena aggresor meragukan komitmen, kemampuan dan kredibilitas defender untuk membalas aggressor. Bagaimanapun, teori deterrence mengakui bahwa, defender harus dengan jelas menunjukkan komitmen serta kredibilitasnya untuk mempertahankan kepentingan negaranya, di sisi lain aggressor harus mengkalkulasikan juga keuntungan atau kerugian dari pembalasan (punishment), dalam hal ini masih sangat rational bagi aggressor untuk menyerang.<br /><br />Dampak dan sumbangan teori deterrence<br />Bila diamati penerapan konsep deterrrence yang telah dilakukan oleh berbagai negara seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, dapat dikatakan bahwa deterrence telah memberikan dampak positif terhadap terciptanya keamanan nasional negara-negara tersebut serta berperan besar dalam menciptakan keamanan dunia. Alasan yang dapat diajukan adalah selama perang dingin tidak pernah terjadi perang terbuka (perang dalam arti sebenarnya) antara AS maupun Uni Soviet. Kekuatan nuklir yang dimiliki oleh kedua negara tidak pernah digunakan untuk saling menyerang, bahkan sampai hari ini. Karena masing-masing pihak merasa bahwa tidak akan mendapatkan keuntungan (politis maupun militer) apapun juga, sebaliknya akan sama-sama mengalami kehancuran jika persenjataan nuklir mereka digunakan untuk saling menyerang. Jadi pada dasarnya kekuatan nuklir Amerika Serikat dan Uni Soviet hanya sebagai alat untuk menciptakan efek psikologis yaitu masing-masing pihak takut untuk melakukan first strike, sehingga tidak terjadi perang terbuka. <br />Namun pada sisi lain banyak case yang memperlihatkan bahwa deterrence tidak memberikan dampak positif bagi keamanan nasional suatu negara dan keamanan dunia dan sebaliknya telah menyebabkan terjadinya perang terbuka. Hal itu disebabkan oleh adanya sifat vulnerability (mudah diserang) yang tinggi dalam penerapan konsep deterrence tersebut. Sifat vulnerability yang sering terjadi dalam penerapan deterrence yaitu:<br />• Adanya kesulitan untuk menentukan apakah deterrence yang dilakukan berhasil atau gagal<br />• Adanya kesalahan persepsi (misperception) terhadap tindakan ataupun “signal” yang dikirimkan oleh salah satu pihak<br />• Rasionalitas, menyangkut adanya keterbatasan keterbatasan decision maker untuk mencapai rasionalitas yang terbaik karena keterbatasan manusia untuk melakukan semua kalkulasi yang sangat banyak dan rumit. <br />Mengenai sumbangan yang diberikan terhadap pertahanan dan keamanan dunia dapat dilihat dari berbagai kasus penerapan deterrence yang dilakukan banyak negara terutama AS dan Uni Soviet yang tidak menyumbang secara positif terhadap keamanan nasional kedua negara tersebut, terlebih bagi keamanan dunia. Keamanan dalam hal ini mencakup keamanan dari rasa takut dan kecemasan dan tidak semata-mata hanya terhindar dari pecahnya perang terbuka. Tidak dapat dipungkiri bahwa selama Perang Dingin, masyarakat kedua negara berada dalam kondisi psikologis yang penuh dengan rasa ketakutan dan kecemasan akan pecahnya perang secara tiba-tiba. Selain itu deterrence yang dilakukan oleh AS dan Uni Soviet tidak menciptakan keamanan serta perdamaian bagi dunia karena perdamaian yang tampak sifatnya sangat artifisial.heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-81063394919323479152010-01-29T03:03:00.000-08:002010-01-29T03:09:31.100-08:00BUKU: REMILITERISASI JEPANG PASCA PD II<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8HC1UH3tknVNMDOZZ1cw0P48oBW-GOljlsFa1wrbzo510DIyGpN7OtZGCT-VJQKKlRq__Ex885dbQUpsW5i4ftk_zRcDgQWq1B325WRJLtIs8lJf5TASBvbvQWNiEWWbbp8UuV3rTGZE/s1600-h/book.jpg"><img style="float:left; margin:0 10px 10px 0;cursor:pointer; cursor:hand;width: 150px; height: 107px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8HC1UH3tknVNMDOZZ1cw0P48oBW-GOljlsFa1wrbzo510DIyGpN7OtZGCT-VJQKKlRq__Ex885dbQUpsW5i4ftk_zRcDgQWq1B325WRJLtIs8lJf5TASBvbvQWNiEWWbbp8UuV3rTGZE/s320/book.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5432116238760156658" /></a><br /><br />Author: Heri alfian<br /><br />Buku ini mengupas tentang latar belakang pengembangan militer Jepang Setelah Perang Dunia II (PD II) dengan menggunakan perspektif konstruktivis. Ada dua argumen dikemukakan, yaitu: Pertama, kerangka berpikir konstruktivis hadir sebagai penyeimbang ataupun sanggahan terhadap pandangan teori-teori rasionalis yang menganggap bahwa pengembangan militer Jepang setelah PD II merupakan resultan dari upaya Jepang untuk survive di dalam lingkungan internasional yang anarkis. Kebijakan Jepang membangun kembali kekuatan militernya setelah PD II tidak dapat dijelaskan dengan menggunakan kerangka berpikir teori-teori rasionalis seperti neoliberal dan neorealis. Teori-teori tersebut tidak mampu memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti mengapa inklinasi kekuatan militer Jepang tidak berjalan linear? Mengapa kekuatan Jepang tidak meningkat seiring (tidak berbanding lurus) dengan peningkatan kemampuan ekonominya? Mengapa kekuatan militer Jepang tidak meningkat sejalan dengan persepsi ancaman yang dirasakannya dari negara-negara tetangganya? Kegagalan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut terakumulasi pada satu argumen penting yaitu pengembangan kekuatan militer setelah PD II bukanlah semata-mata hasil dari upaya Jepang untuk survive di dalam lingkungan internasional yang menurut para rasionalis bersifat anarkis. Kedua, terkait dengan argumen itu, konstruktivis melihat bahwa pengembangan kekuatan militer Jepang setelah PD II adalah resultansi dari interaksi Jepang dengan significant other-nya yaitu Amerika Serikat dan negara-negara tetangganya melalui evolusi kerja sama, serta adanya intentional effort Jepang untuk merubah struktur identitas dan kepentingannya. Proses pengembangan kekuatan militer itu dalam kerangka berpikir konstruktivis tidak berjalan secara linear karena hal itu dipengaruhi oleh tarik-menarik antara identifikasi positif dan negatif Jepang dengan significant other-nya serta bentuk-bentuk effort Jepang sendiri yang termanifestasikan di dalam bentuk-bentuk perubahan sikap dan kebijakan yang terkait dengan militer. full version contact me at alfianheri@yahoo.comheri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-81543252938536624602010-01-22T05:56:00.000-08:002010-01-22T06:02:23.781-08:00Desain Intruksional Transnasionalisme dalam Politik DuniaSILABUS MATA KULIAH<br />Mata Kuliah / Kode : Transnasionalisme dalam Politik Dunia<br />Semester / SKS : VII / 2 SKS<br />Prasyarat : Hubungan Internasional<br />Pembina Mata Kuliah : Heri Alfian, MSi<br />1. Standar Kompetensi:<br />Mahasiswa memamahi transnasionalisme secara komprehensiff dan mampu melakukan analisa atas pengaruh transnasionalisme terhadap negara dan politik internasional<br />2. Kompetensi Dasar.<br />a. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang bentuk hubungan transnasionalme dan politik Internasional secara holistik.<br />b. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang pengaruh aktor-aktor dan hubungan Transnasionalisme terhadap negara dan politik Internasional.<br />c. Mahasiswa mampu memahami teori Tranansionalisme. <br />d. Mahasiswa mampu menganalisa berbagai kasus hubungan transnasionalisme di berbagai negara dengan menggunakan teori-teori transnasionalisme.<br /><br />3. Deskripsi Materi:<br />Materi dalam perkulihan ini meliputi pengertian, sejarah, bentuk dan aktor, dan teori Transnasionalisme, sekaligus tinjaun kritis terhadap bentuk politik internasional.<a href="https://docs.google.com/leaf?id=0BzkeUo1JZyZ6YTBkYzAwZDItOTdiYi00NmUyLWFkYzUtYTQ4YjNmMTQzNDBm&hl=en">selengkapnya lihat</a>heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-22684764632734380792010-01-16T19:20:00.000-08:002010-01-16T19:22:14.961-08:00Resensi Buku:Privatisasi BUMN Tak Memihak Rakyat<br />Harian Sindo, Saturday, 16 January 2010<br /><br />Konsep tentang neoliberal saat ini menjadi sesuatu yang menarik untuk dicermati. Setidaknya ada dua alasan. Pertama, wacana publik tentang neoliberal menjadi komoditas politik yang sedang memanas dan menarik saat ini.<br /><br />Kedua, konsep neoliberal dalam praktiknya di Indonesia telah dilakukan sejak era Presiden Soeharto hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Apa yang salah dengan neoliberal, menjadi pertanyaan menarik. Tokoh yang terkenal penganjur paham ini adalah Milton Friedman, seorang pemikir yang masih percaya pada kapitalisme klasik yang berpendapat bahwa urusan negara hanya masalah tentara dan polisi, yang melindungi hidup warganya.<br /><br />Negara tidak boleh mencampuri perekonomian dan menarik pajak dari rakyatnya, karena menurutnya telah terbukti bahwa krisis ekonomi semakin memburuk jika negara berusaha mengatasinya.. Lebih jauh paham Neoliberal percaya bahwa tujuan negara adalah untuk melindungi individu, khususnya dunia usaha (pasar),kebebasan dan hak-hak kepemilikan. Dan privatisasi harus dilakukan.<br /><br />Privatisasi dimaksudkan untuk mengurangi peran pemerintah atau meningkatkan peranan dari sektor swasta dalam kegiatan atau pun dalam pemilikan harta kekayaan (Savas,1987). Paham ini juga diterapkan secara internasional dalam bentuk implementasi perdagangan dan pasar bebas. Paham neoliberal sangat percaya bahwa mekanisme pasar adalah cara optimal dalam mengorganisir barang dan jasa.<br /><br />Perdagangan dan pasar bebas membangkitkan potensi-potensi kreatif dan kewiraswastaan dan karena itu menuju ke arah kebebasan individu dan kesejahteraan serta efisiensi dalam alokasi sumber daya. Menurut paham neoliberal ekonomi moneter mendominasi makroekonomi dan intervensi ekonomi negara tidak diharapkan, karena akan mengganggu logika pasar dan mengurangi efisiensi ekonomi.<br /><br />Paham ini juga mendukung perdagangan bebas secara internasional. Implikasinya, kekayaan dan kekuasaan tidak lagi berada di tangan pemerintah yang dipilih oleh rakyat melainkan pada kelompok-kelompok elite bisnis dan perusahaanperusahaan multinasional. Privatisasi BUMN sebagai bagian dari doktrin neoliberal pada intinya adalah pemindahan pengelolaan dari sektor publik ke sektor swasta.<br /><br />Gagasan utama di belakang proyek privatisasi adalah kredo private is good,public is bad,sehingga dibutuhkan pendefinisian ulang peran negara dalam pasar. Konsep privatisasi, dalam sejarahnya, menandai awal terjadinya pergeseran pendulum ekonomi dunia dari model liberal kepada bentuk kapitalisme terbaru yaitu model neoliberal. Bersamaan dengan itu agenda globalisasi di bidang ekonomi dan demokratisasi di bidang politik mendapatkan simpati masyarakat dunia.<br /><br />Ada beberapa alasan yang dikemukakan kaum neoliberal mengenai privatisasi BUMN.Pertama, mengurangi beban keuangan pemerintah. Kedua, meningkatkan efisiensi pengelolaan perusahaan. Ketiga, meningkatkan profesionalitas pengelolaan perusahaan. Keempat, mengurangi campur tangan birokrasi/ pemerintah terhadap pengelolaan perusahaan. Kelima, mendukung pengembangan pasar modal dalam negeri.<br /><br />Walau demikian, dalam implementasi kebijakan privatisasi BUMN telah mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa BUMN adalah aset negara yang harus tetap dipertahankan kepemilikannya oleh pemerintah, walaupun tidak mendatangkan manfaat karena terus merugi. Sementara itu,ada sebagian masyarakat berpikir secara realistis.<br /><br />Mereka berpendapat bahwa pemerintah tidak perlu sepenuhnya memiliki BUMN, terutama yang tidak mendatangkan keuntungan. Bukti empiris menunjukkan bahwa kebijakan privatisasi di negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia lebih merupakan agenda restrukturisasi ekonomi yang dipaksakan oleh IMF dan Bank Dunia.<br /><br />Gagasan privatisasi yang bersumber di negara-negara maju dicangkokkan mentah-mentah tanpa melihat perbedaan yang ada dalam struktur sosial, ekonomi, maupun politik antara negara berkembang dan negara maju.Sehingga terjadilah penyimpangan yang kemudian menimbulkan banyak kontroversi. Buku ini mengungkap secara komprehensif mengapa privatisasi BUMN mengandung kontroversi.<br /><br />Kontroversi ini sebagian besarnya menyangkut masalah hilangnya wewenang pemerintah dalam mengontrol pengelolaan perusahaan. Pemerintah tidak lagi memiliki otoritas untuk berpartisipasi menentukan strategi dan sasaran ke depan yang ingin ditempuh perusahaan.Pemerintah juga tidak punya kapasitas untuk intervensi keputusan pengelola swasta yang merugikan atau menimbulkan biaya sosial bagi publik.<br /><br />Singkatnya, pemerintah tidak memiliki power untuk mengontrol fungsi pelayanan, distribusi, dan keadilan berkonsumsi. Padahal di negara maju sendiri, peran pemerintah tetap dipertahankan lewat kepemilikan golden share. Buku ini sangat bermanfaat bagi siapa saja,terutama bagi mereka yang memiliki komitmen untuk menghasilkan sebuah kebijakan yang tidak merugikan publik.<br /><br />Buku ini patut diapresiasi karena mengungkap sebuah kebijakan yang tidak lagi berpihak kepada publik dan berorientasi pasar.Bagi decision maker, buku ini dapat menjadi rujukan dalam merumuskan, mengimplementasi, dan mengevaluasi kebijakan di masa mendatang agar lebih mengedepankan prinsipprinsip administrasi.(*)<br /><br />Heri Alfian,<br />Dosen Jurusan Hubungan Internasional<br />FISIP Universitas Jemberheri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-37203139037186843012010-01-14T17:11:00.000-08:002010-01-14T17:26:03.805-08:00Hukum Internasional: Desain Instruksional Hukum InterasionalSILABUS MATA KULIAH<br />Mata Kuliah / Kode : Hukum Internasional<br />Semester / SKS : III/3 SKS<br />Prasyarat : Pengantar Ilmu Hukum<br />Pembina Mata Kuliah : 1. Dra. Sri Yuniati, MSi<br /> 2. Heri Alfian, MSi<br />1. Standar Kompetensi:<br />Mahasiswa mampu menganalisis kasus-kasus hukum internasional yang muncul dalam hubungan internasional<br />2. Kompetensi Dasar.<br />a. Mahasiswa memamahi konsep-konsep dasar dan subyek-subyek hukum internasional<br />b. Mahasiswa memahami posisi hukum internasional dalam hubungan internasional<br />c. Mahasiswa mampu menganalisa berbagai persoalan hukum internasional dalam hubungan internasional<br />3. Deskripsi Materi<br />Perkuliahan ini akan memperkenalkan mahasiswa tentang konsep-konsep dasar, aktor, dan sumber hukum internasional serta posisi dan peran hukum internasional di dalam hubungan internasional.<br />4. Kegiatan Pembelajaran<br />a. Ceramah dan Diskusi : 10 X 150 Menit<br />b. Seminar : 4 X 150 Menit<br />5. Assesmen<br />a. Tes : Tes tulis, tes kinerja <br />b. Non Tes : Observasi<br />6. Referensi<br />1. Amstrong, David (ed). (2009), Routledge Handbook of International Law; New York, Routledge.<br />2. Byers. Michael (ed,) (2000) ‘The Role of Law in International Relations Essays in International Relations and International Law, New York, Oxford University Press. <br />3. Goldstein, Judith et.al, Legalization and World Politics, International Organization, Volume 54, Number 3, Summer 2000.<br />4. Kegley Jr, Charles W (1995),’ Controversies in International Relations,’ New York, St. Martin Press.<br />5. Kusumaatmadja, Mochtar & Etty R. Agoes, (2003) ‘Pengantar Hukum Internasional’ Bandung, P.T. Alumni.<br />6. Mauna, Bour, (2005) ‘HUkum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global’ Bandung, P.T. Alumni<br />7. Rudi, T. May, (2002) ‘ Hukum Internasional 1’, Bandung, Rafika Aditama.<br />8. Rudi, T. May, (2002) ‘ Hukum Internasional 2’, Bandung, Rafika Aditama. <a href="https://docs.google.com/leaf?id=0BzkeUo1JZyZ6ZThiMjM0ZDktZmY4ZC00YjE2LWJmYjgtN2FlYWQ4ZTI0MmIw&hl=en">selengkapnya lihat</a>heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-79379435802139069172010-01-03T07:48:00.002-08:002010-01-03T08:51:53.530-08:00JAPAN MILITARY BUILDUPKERJA SAMA KEAMANAN JEPANG-AMERIKA SERIKAT DAN DINAMIKA KEBANGKITAN MILITER JEPANG<br /><br />Abstract:<br />Discussing Japan military after World War II (WW II) is always interesting because at one side there is assumption considered that after WW II until present, Japan changed from military state to non-military state and concluded that it has no military forces and become pacifist state. On the contrary, there is assumption that argued the earlier by showing facts Japan has already built its military forces. Actually, Japan had been started its military buildup after signing Treaty of Mutual Cooperation and Security Between Japan and the United States of America in 1951. This article is going to show that The Japan-US security cooperation has a significant influence in every step of Japan military buildup until present day. <br /><br />Pendahuluan<br />Sistem pertahanan dan keamanan Jepang mengalami perubahan besar pada tahun 1945 atau di akhir Perang Dunia II (PD II). Jepang berubah total dari salah satu negara adidaya menjadi tidak memiliki kekuatan militer sama sekali untuk sistem pertahanannya, bahkan tidak memiliki polisi di dalam negeri. Fenomena tersebut menarik untuk dikaji karena termasuk unik, yaitu ada negara tanpa militer. Pertahanannya sepenuhnya tergantung pada Amerika Serikat. Padahal secara de facto dan de jure, Jepang adalah negara merdeka. <br />Secara teoritis, negara merdeka bebas menentukan seluruh kebijakan yang menyangkut kepentingan nasional primernya, termasuk dalam hal ini kebijakan yang menyangkut pertahanan keamanan, tanpa campur tangan negara lain. Namun yang terjadi dengan Jepang adalah sesuatu yang di luar kebiasaan umum, karena sejak 1950-an yaitu ketika pendudukan sekutu terhadap Jepang telah berakhir, Jepang tetap berada di bawah pengaruh Amerika Serikat, terutama dalam penentuan kebijakan pertahanan keamanan.<br />Selain negara merdeka, dewasa ini Jepang juga merupakan salah satu negara yang memiliki perekenomian termaju di dunia. Namun, kemajuan ekonomi tersebut tidak diikuti oleh pembangunan militer sebagaimana dilakukan oleh negara-negara maju lainnya. Prosentase dari Gross National Product (GNP) untuk anggaran pertahanannya adalah paling kecil dibandingkan negara-negara maju lainnya seperti Jerman, Inggris, Prancis bahkan dari negara-negara Asia seperti Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan. Anggaran pertahanannya tidak pernah lebih dari1% dari GNP sampai tahun 1984 . <br />Tulisan ini akan menjelaskan tentang kebangkitan militer Jepang setelah Perang Dunia. Tema ini menarik karena, pendapat banyak pengamat yang mengatakan bahwa Jepang bukanlah negara normal dalam arti tidak memiliki militer, tidaklah benar karena pada dasarnya Jepang telah memulai pembangunan militernya sejak tahun 1951. Tulisan ini akan memperlihatkan bahwa pembangunan militer Jepang tersebut dilakukan karena pengaruh besar dari AS yaitu melalui instrumen Perjanjian Aliansi Keamanan Jepang-AS tahun 1951. <br /><br />Negara Tanpa Militer<br />Keadaan Jepang yang tidak memiliki militer mandiri, berawal dari kekalahan Jepang dalam PD II yang ditandai dengan penandatanganan perjanjian penyerahahan diri Jepang pada Sekutu, yang tertuang dalam potsdam declaration pada tanggal 26 Agustus 1945. Akibatnya Jepang harus menerima kenyataan bahwa kekuatan militer yang pernah dibanggakan harus dilucuti pasukan Sekutu yang sebagian besar terdiri dari tentara-tentara Amerika Serikat . Amerika Serikat mengambil alih sistem pemerintahan Jepang dan harus tunduk di bawah sistemnya, dan juga harus mengakui Jenderal Angkatan Laut Amerika Serikat, Douglas MacArthur sebagai komandan tertinggi kekuatan sekutu Pasifik , selaku officer pendudukan di Jepang.<br />Demi keamanan dunia, Sekutu juga melakukan perubahan terhadap konstitusi Jepang, yang mengisyaratkan agar Jepang tidak lagi mengembangkan kekuatan militer di kemudian hari. Konstitusi baru tersebut menetapkan tiga prinsip dasar yang salah satunya menegaskan tentang sikap negara Jepang yang cinta damai. Untuk melaksanakan prinsip tersebut, pada artikel 9 Konstitusi 1947, secara tegas disebutkan tentang pelarangan penggunaan militer ke luar negeri berdasarkan keputusan sendiri. <br />Untuk menjaga keamanan wilayahnya, khususnya terhadap serangan dari luar, Jepang dipaksa mengadakan aliansi keamanan dengan Amerika Serikat. Aliansi keamanan tersebut dituangkan dalam The US-Japan Treaty Mutual Cooperation and Security yang ditandatangani tahun 1951 dan berlaku mulai bulan April 1952. Selain alasan keamanan Jepang, aliansi tersebut juga dilatarbelakangi keinginan Sekutu untuk mempertahankan keberadaannya dikawasan Asia, khususnya di Asia Timur, karena pendudukan sekutu akan berakhir pada tahun 1952. Amerika Serikat berkepentingan untuk menjaga agar pengaruh komunis tidak meluas ke negara-negara Asia Pasifik khususnya di kawasan Asia Timur. <br />Perjanjian tersebut mewajibkan Jepang untuk mengorbankan semua wilayah yang didudukinya sejak 1895, serta memasukkan Jepang ke dalam sistem keamanan Amerika Serikat. Amerika Serikat menandatangani perjanjian berikutnya dengan Jepang pada tahun 1954 yang isinya adalah menyediakan perlengkapan-perlengkapan, alat-alat, dan lainnya bagi Jepang. Sebaliknya Jepang menyediakan basis-basis militer dan alat-alat yang diperlukan oleh Amerika Serikat . Perjanjian tersebut adalah awal dimulainya babak baru negara Jepang yang tidak mempunyai militer, pertahanan dan keamanan sendiri.<br />Sejak tidak memiliki kekuatan militer yang berarti, Jepang berkonsentrasi di bidang ekonomi yang disebut kebijakan seikei bunri, yaitu pemusatan pada masalah-masalah ekonomi dan menghindarkan diri dari keterlibatan dalam masalah politik dan keamanan . Sebagai hasilnya pada tahun 1969 hingga 1981 rata-rata pertumbuhan tahunan Gross National Product (GNP) per kapita Jepang 3,3 kali lebih besar ketimbang rata-rata gabungan Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Prancis, dan Jerman Barat. (Pertumbuhan ini menurun ke tingkat yang sama dengan negara-negara tersebut akibat resesi tahun 1981-1983). Dalam GNP (dibandingkan dengan GNP per kapita), produktifitas Jepang meningkat 12 kali lipat antara tahun 1950 hingga 1976, sementara GNP Amerika Serikat hanya meningkat 2,3 kali lipat, dan negara-negara Eropa Barat meningkat tiga kali lipat. Selain itu, kemantapan neraca pembayaran dan perdagangan berkat kebangkitan yang luar biasa selepas PD II memungkinkan yen Jepang bersaing dengan mark Jerman sebagai mata uang yang paling bernilai dan disukai di dunia. Dalam segala bidang, kecuali kekuatan militer, Jepang sudah menjadi kekuatan utama selama satu setengah dekade . <br />Pesatnya perkembangan ekonomi tersebut, tidak mendorong Jepang terlibat aktif secara langsung dalam penataan stabilitas dan keamanan internasional. Hal ini dipandang sebagai sesuatu yang tidak wajar, karena Jepang merupakan negara yang paling berkepentingan terhadap terciptanya stabilitas dan keamanan internasional karena Jepang adalah salah satu negara industri yang menggantungkan ekonominya pada perdagangan internasional, sehingga sangat tergantung pada keamanan jalur-jalur pelayaran, penerbangan, serta jalur-jalur transportasi internasional lainnya. Atas dasar itu maka peran Jepang secara langsung pada dasarnya sangat diperlukan dalam rangka menentukan aman atau tidaknya pasokan minyak, bahan mentah, serta ekspor hasil-hasil industri Jepang. <br />Selama ini keterlibatan Jepang dalam penataan keamanan internasional diwakili oleh Amerika Serikat. Sedangkan keterlibatan Jepang hanya secara tidak langsung yaitu melalui kebijakan-kebijakan yang menekankan pendekatan-pendekatan dan kepentingan ekonomi. Jepang menggunakan kemampuan ekonominya sebagai alat untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain yaitu melalui pemberian bantuan ekonomi. <br />Bantuan ekonomi Jepang sering dikaitkan dengan masalah stabilitas dan keamanan. Dari sinilah lahir istilah bantuan strategis (strategic aid), konsep ini merujuk pada kebijaksanaan luar negeri Jepang melalui saluran hubungan ekonomi sebagai hasil koordinasi dengan Amerika Serikat dalam persaingan global dengan Uni Soviet. Dimensi keamanan dan straegis dari strategic aid direalisir dalam bentuk bantuan kepada countries bordering conflict dan areas which are important to maintenance of the peace and stability of the world. Karena itu aktifitas ekonomi Jepang tidak semata-mata bersifat ekonomis , melainkan juga sebagai salah satu cara untuk menyumbang stabilitas dan keamanan internasional. Perkembangan terakhir di mana pemerintah Jepang mengusulkan agar Official Develovment Assistance (ODA) diberikan dengan mempertimbangkan tingkat belanja militer pada negara sasaran, menunjukkan dimensi politik dan keamanan kebijaksanaan ekonomi Jepang terhadap negara-negara penerima .<br /><br />Kerja Sama Keamanan Jepang AS dan Dinamika Kebangkitan Militer Jepang<br />Adanya ketentuan bahwa pasukannya sudah harus ditarik dari Jepang pada 1952, menyebabkan Amerika Serikat mengambil keputusan untuk memberikan jaminan keamanan kepada Jepang. Amerika Serikat tetap mempertahankan pasukannya di Jepang, karena dalam pandangan Amerika Serikat sangat berbahaya meninggalkan Jepang dalam keadaan tanpa militer. Sementara pada saat yang sama peneyebaran komunisme sudah sampai ke Cina. Hal itu ditandai dengan penandatanganan Sino-Soviet Treaty of Friendship, Alliance and Mutual Assistance, pada tanggal 14 Februari 1950. Hal ini akan memudahkan Uni Soviet untuk menganeksasi Jepang, seperti halnya Korea Utara. Penegasan Amerika Serikat untuk tetap mempertahankan militernya di Jepang dapat dilihat dalam pidato Sekretaris Negara Dean Acheson di depan National Press Club pada 12 Januari 1950: <br />“The defeat and disarmament of Japan have placed upon United States the necessity of assuming the military defense of Japan so long as that is required, both in the interest of our security and in the interest of the security of the entire Pacific area and, in all honor, in the interest of Japanese security…I can assure you that there is no intention of any sort of abandoning or weakening the defense of Japan…that defense must and shall be maintained.” <br /><br />Berdasarkan pemikiran tersebut maka satu-satunya cara untuk membendung penyebaran komunisme adalah dengan tetap “menduduki” Jepang. Seperti digambarkan dalam kebijakan Containment Strategy Amerika Serikat, yang digariskan pertama kali dalam “Doktrin Truman” oleh Presiden Harry Truman pada tahun 1947. Inti dari strategi Amerika Serikat tersebut adalah: <br />“menahan ekspansi komunisme dan Uni Soviet dengan kekuatan militer, nuklir dan konvensional; memberi bantuan ekonomi dan militer kepada negara-negara sekutu dan negara-negara sahabat lainnya yang bersedia membantu mencegah ekspasi Uni Soviet itu; dan mendorong meluasnya sistem pemerintahan yang demokratis. Dan kaitannya dengan Jepang Amerika Serikat ingin menjadikan Jepang sebagai benteng pertahanan (bulkwark) melawan potensi ancaman agresi komunis di Northeast Asia”.<br /><br />Doktrin Truman menggariskan instrumen dasar terbentuknya aliansi Amerika Serikat-Jepang adalah dengan memberikan jaminan militer dan bantuan ekonomi terhadap negara-negara yang rentan terhadap bahaya ekspansi komunis. Atas dasar kebijakan itu Amerika Serikat telah memberikan dua bantuan kepada Jepang. Pertama adalah bantuan militer, yaitu dengan berjanji tidak menarik pasukannya dari Jepang setelah masa pendudukan. Sehinga Jepang tidak perlu membangun militernya, karena sudah menjadi sekutu Amerika Serikat. Bagi Amerika Serikat hal ini akan memberikannya keleluasaan untuk mengawasi gerak-gerik Uni Soviet, karena letaknya yang berdekatan dengan Jepang, bahkan pangkalan militer terbesar Uni Soviet Vladivostok berjarak sangat dekat dengan kepulauan Utara Jepang.<br />Kedua adalah bantuan ekonomi, Amerika Serikat menginginkan Jepang untuk memperkuat ekonominya sebagai bagian dari cara untuk membendung komunisme, karena dalam pandangan Amerika Serikat komunisme tidak akan berkembang di negara yang perekonomiannya maju. Seperti dikatakan oleh Kennan Pada bulan Februari1948, sebelum berangkat ke Tokyo,<br />“…we device policies toward Japan which assure the security of that country from Communist Soviet Union and would permits Japan’s economic potential to become once again an important force in the affairs of the area, conducive to peace and stability.” <br /><br />Implementasi aliansi keamanan Amerika Serikat-Jepang tercantum di dalam Perjanjian Keamanan Amerika Serikat-Jepang atau yang dikenal dengan The US-Japan Treaty Mutual Cooperation and Security. Perjanjian keamanan itu ditandatangani oleh Jepang di Sanfrancisco pada tanggal 8 September 1951 dan mulai berlaku pada bulan 28 April tahun yang sama. <br />Perjanjian menyatakan bahwa Amerika Serikat dapat menempatkan pasukannya di Jepang (mempunyai pangkalan militer) untuk melindungi Jepang dan untuk perdamaian internasional di kawasan Timur Jauh. Perjanjian juga menjelaskan tentang kekuatan militer Jepang adalah defensif dan pasukan militer Amerika Serikat akan melindungi seluruh wilayah Jepang. <br />Dengan Prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam Perjajian Keamanan itu, Amerika Serikat telah menentukan format perkembangan militer Jepang masa depan. Ada tiga hal penting yang dapat dijadikan acuan untuk melihat perkembangan militer Jepang sesuai dengan isi perjanjian keamanan Jepang-Amerika Serikat. <br />1. Pada pembukaan perjanjian adannya pengakuan atas hak-hak Jepang untuk melindungi diri sendiri dan hak untuk memasuki pakta keamanan bersama “collective security”. <br />2. Pembukaan memperlihatkan adanya keingian atau kesediaan Amerika Serikat untuk menjaga kekuatan militernya di Jepang, dengan harapan bahwa dalam kurun waktu itu Jepang akan melaksanakan kewajibannya terhadap pertahannnya sendiri, dengan menghindari persenjataan yang bersifat ofensif atau menjadi ancaman bagi pihak lain, dan harus lebih ditujukan untuk menciptakan perdamaian dan keamanan sesuai dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip yang ada dalam piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Kekuatan militer Amerika Serikat di Jepang bisa digunakan atas permintaan pemeintah Jepang untuk memadamkan kerusuhan dalam negeri serta untuk mengatasi ancaman dari luar. <br />Amerika Serikat melaksanakan poin-poin tersebut sampai pada titik di mana Jepang hanyalah sebuah negara yang harus selalu tergantung padanya. Pernyataan pada nomer satu seperti terlihat sama sekali jauh dari kenyataan. Hak Jepang untuk mempertahankan diri, bagi Amerika Serikat adalah dengan keberadaan pasukan Amerika Serikat di Jepang untuk menjamin keamanan Jepang. Ketentuan tersebut sama sekali tidak melibatkan kemampuan militer Jepang yang memang tidak ada. Ketentuan bahwa Jepang juga berhak untuk memasuki collective securirty, tidak mungkin dilaksanakan, karena adanya larangan dalam konstitusi 1947, artikel 9. Bagaimana mungkin Jepang akan bergabung dalam pertahanan kolektif sementara ia tidak boleh mengirim pasukannya ke luar negeri. Sementara seperti diketahui konstitusi 1947 adalah hasil paksaan Amerika Serikat terhadap Jepang. <br />Menyikapi kenyataan tersebut Amerika Serikat menegaskan bahwa dengan keberadaan pasukannya di Jepang, segala kelemahan Jepang dapat diatasi. Hal ini berarti telah menanamkan pemikiran dan anggapan pada masyarakat Jepang bahwa untuk apa memiliki militer jika sudah ada yang menjamin. Seperti jelas tertera dalam pernyataan nomor dua, keleluasaan Amerika Serikat untuk mengontrol pertahanan dan keamanan Jepang baik di dalam maupun di luar. Hal itu akan menghilangkan arti poin berikutnya yang menyatakan bahwa Jepang secara bertahap harus membangun militernya. Selain sudah merasa aman, Jepang menyadari bahwa konstitusi melarang hal itu.<br />Grand design Amerika Serikat pada dasarnya adalah bukan melindungi Jepang tetapi melindungi diri sendiri seaman dan sedini mungkin. Hal itu dapat dilihat dari perubahan kebijakan Amerika Serikat terhadap keberadaan miiter Jepang. Pecahnya perang Korea mendorong Amerika Serikat untuk menekan Jepang agar memabngaun militernya. Seperti telah disebutkan dalam bab sebelumnya sejak 1950 Amerika Serikat telah meminta Jepang membangun kembali militernya.<br />Tekanan Amerika Serikat secara nyata mulai meningkat pada tahun 1949, yaitu ketika hubungan Amerika Serikat dengan Uni Soviet mulai memburuk (deteriorating) , disebabkan isu Korea. Isu perang Korea telah memecah konsenterasi Amerika Serikat dalam menjaga keamanan wilayah Far East, termasuk menjaga keamanan wilayah Jepang. Amerika Serikat membutuhkan pasukannya yang berada di Jepang untuk keperluan perang Korea. Hal ini akan menyebabkan terjadi kekosongan pasukan di wilayah Jepang. Sehingga akan memudahkan Uni Soviet untuk melakukan serangan terhadap Jepang. Seperti dikatakan oleh George Kennan, yang di kemudian hari menjadi Director of State Departement’s Policy Planning Staf,<br />”…that totally disarmed and demilitarized Japan, “semi-surrounded” as she was by military positions of the Soviet Union, would be dangerously vulnerable to Communist political pressures. … that no one was planning for the defense of Japan in the post-treaty period”. <br /><br />Amerika Serikat melihat bahwa perang Korea adalah saat yang tepat bagi Jepang untuk mulai membangun militernya. Karena pada saat itu Amerika Serikat merasa tidak mungkin terus-menerus sepenuhnya dapat menjamin keamanan Jepang. Seperti dikatakan oleh Peter J. Katzenstein,”The Korean war to all intens and and purposes stopped this American policy and prompted policy makers to begin reestablishing Japanese Security forces”. <br />Pertimbangan lain yang menyebabkan Amerika Serikat mulai menekan Jepang agar membangun militernya adalah kondisi pemerintah dan masyarakat yang sudah cukup demokratis. Sejak terbentuknya konstitusi 1947 kekuasaan kaisar sudah terkikis dan hanya berperan seremonial. Pemerintahan sudah berbentuk monarki konstitusioanl dengan sistem parlementer dengan kepala pemerintahan Perdana Menteri. Dengan sistem multipartai, maka proses pengambilan kebijakan publik melibatkan banyak pihak, yang berarti semakin demokratis. Kondisi ini mengurangi kekhawatiran Amerika Serikat akan bangkitnya militerisme ekspansionis Jepang.<br /><br /><br />Selama kurun waktu terjadinya perang antara 1950-1953, keamanan Jepang sangat dirasakan mulai terancam. Hal ini disebabkan oleh pemindahan pasukan Amerika Serikat yang berada di Jepang ke arena perang Korea. Sementara itu karena jarak kantong-kantong pasukan dan logistik Amerika Serikat untuk suplies pasukan dan logistic lebih jauh dibandingkan dengan jarak kantong-kantong militer Uni Soviet untuk mencapai arena perang maka peregerakan pasukan Uni Soviet dan Korea Utara akan lebih cepat mencapai wilayah Jepang. Mulai munculnya perasaan terancam ini telah menyebabkan Jepang untuk menerima desakan Amerika Serikat untuk membangun kembali militernya. Walaupun saat itu Jepang masih dihadapkan pada masih kuatnya perasaan traumatik masyarakat Jepang sehingga menyebabkan resistensi kuat terhadap upaya tersebut. <br />Menyadari akan besarnya resistensi tersebut, pemerintah Jepang akhirnya mengambil jalan tengah untuk menjaga pertahanan dan keamanannya, yaitu dengan menandatangani Perjanjian Keamanan Timbal-balik Jepang-Amerika Serikat pada tahun 1951. Pemerintah menginginkan agar ketetapan konstitusi tentang larangan memiliki militer tidak dilanggar, seklaigus pertahanan keamanan negara dapat terjaga. Satu-satunya cara untuk mewujudkan hal itu adalah dengan mengadakan aliansi keamanan dengan Amerika Serikat. Kebijakan jalan tengah tersebut dapat dicermati dari alasan-alasan yang dikemukakan oleh PM Yoshida, adalah:<br />“aliansi keamanan Jepang-Amerika Serikat merupkan cara untuk menjaga hubungan ekonomi dan diplomatik dengan negara-negara Barat, cara menjaga agar militer tidak kuat di Asia (a low military profile), mengizinkan Amerika Serikat untuk mengamankan pangkalan tepi pantai dan untuk menangkal ancaman China dan Uni Soviet.”<br />Beberapa alasan tersebut mengisyaratkan bahwa Jepang hanya bertanggungjawab terhadap pertahanan dalam negeri. Artinya hal itu tidak melanggar konstitusi, karena yang dilarang adalah pengiriman tentara ke luar negeri. Seperti disebutkan dalam isi perjanjian Keamanan Timbal-balik Jepang-Amerika Serikat bahwa Perjanjian akan dilaksanakan dalam batas-batas yang ditetapkan Konstitusi. Hal ini tercantum dalam klausa penyangkalan perang. Seperti tertera dalam artikel III Treaty of Mutual Cooperation and Security Between Japan and the United States of America: <br />”The Parties, individually and in cooperation with each other, by means of continuous and effective self-help and mutual aid will maintain and develop, subject to their costitutional provisions, their capacities to resist armed attack. <br />Dengan ketentuan tersebut maka pengembangan kekuatan militer Jepang harus berdasarkan ketetapan yang digariskan dalam artikel 9 konstitusi 1947, yaitu militer tidak boleh dikirim ke luar negeri. Dapat dilihat pada masa-masa awal perjanian ini bahwa kekuatan militer Jepang hanya sebatas permintaan atau hasil tekanan Amerika Serikat dengan kekuatan yang sangat terbatas. Permintaan Amerika Serikat mendapat jawaban yang tidak responsif dari Jepang. Pada masa-masa itu resistensi masyarakat terhadap rearmament masih sangat besar. Alasan yang sering dilontarkan kepada pemerintah Amerika Serikat adalah adanya larangan konstitusi. Pemerintah menyatakan bahwa konstitusi dengan jelas mengatakan bahwa Jepang tidak boleh mengirim militer ke luar negeri, melanggar ketentuan itu berarti melanggar konstitusi --sebagaiamana kritik yang sering dilontarkan oleh partai kiri terhadap desakan Amerika Serikat-- sehingga sedapat mungkin Jepang selalu menolak desakan Amerika Serikat dengan alasan konstitusi. Seperti dikatakan oleh John K. Emmerson bahwa:<br /> “Since the treaty with Japan applies explicitly only to those territories under the administration of Japan, Japan is not obliged to come to the aid of the United States, but only to defend her self. This is necessary because of Article 9, the”no-war” caluse, of the Japanese Constitution”. <br />Jepang juga menyalahkan Amerika Serikat atas sikapnya itu karena pada dasarnya Amerika Serikat-lah yang menyebabkan Jepang mengambil sikap seperti itu. Sebut saja contoh Amerika Serikat yang memaksa Jepang membuat konstitusi 1947 dengan alasan pencegahan terhadap sifat militeristik Jepang. Dalam hal ini Jepang benar, seperti Wakil Presiden Nixon yang juga menyalahkan konstitusi 1947 artikel 9 yang dibuat sendiri oleh Amerika Serikat. Seperti ditunjukkan dalam pernyataan Nixon kepada warga Tokyo pada September 1953, bahwa ”that article 9 had been mistake.” <br />Di samping itu, Amerika Serikat jugalah yang menyebabkan Jepang sampai saat ini menggantungkan keamanannya pada Amerika Serikat yaitu untuk kepentingan Amerika Serikat di kawasan Timur Jauh. Dengan demikian, semua kesulitan Amerika Serikat adalah bumerang bagi Amerika Serikat sendiri karena bagaimanapun juga Jepang akan tetap mempertahankan konstitusi tersebut, seperti pernyataan Perdana Menteri (PM) Yoshida, “konstitusi 1947 harus tetap dipertahankan dan tidak perlu dirubah”. Juga sebagaimana pernyataan Wakil Menteri Luar Negeri Kodaki pada 3 September 1953 di Surat Kabar Yoimuri: <br />“It is America which destroy our mighty army and navy and the munitions industry on which it was based, and even dumped research equipment into the ocean. It is also America which, with an air of importance, forced on Japan a silly constitution renouncing arms. America instilled antimilitary thought in the Japanese; America opened all Japan to the communist party. In short, it is America which made Japan such that it cannot meet the American demands today …If America wishes to have Japan as its true ally, it must first recognize its past errors.” <br /><br />Alasan Jepang yang tidak kalah penting untuk menolak tekanan Amerika Serikat adalah alasan ekonomi. Seperti telah digariskan dalam doktrin Yoshida bahwa tujuan utama kebijakan Jepang adalah ekonomi. Dengan alasan masa lalu di mana Jepang menjadi negara yang paling menderita akibat perang maka Yoshida mengaggap bahwa ekonomi lebih penting dari militer. Kosaka Masataka, seorang ilmuan politik berpengaruh, dalam artikelnya ”Japan as Maritime Nation” di Chuo Karan mengatakan:<br />“Japan postwar involvment with West…has been primarily economic rather than military, an emphasis chosen by Prime Minister Yoshida Shigeru at the time of Japan’s negotiations with America over the 1951 San Francisco Peace Treaty. Yoshida believed that economic matters are more important than military, and, for this reason, he rejected America’s suggestion that Japan rearm and spearhead American military strategy in the Far East”. <br /><br />Masyarakat Jepang dengan alasan yang sama, merasa kehidupan yang sedang mereka nikmati dengan ekonomi yang maju walaupun tanpa militer, yang dalam istilah Ichiro Ozawa sering disebut negara “tidak normal” adalah lebih baik sehingga tidak perlu lagi untuk memaksa Jepang memiliki militer. Yoshida berkata kepada Dulles bahwa keadaan Jepang saat ini merupakan “A gift of the gods”. Kata-kata ini mengutip MacArthur yang memberi dukungan Jepang di mana selama ini berkonsenterasi dalam bidang ekonomi, dan telah mensejahterakan mayarakat Jepang.<br />Yoshida juga menyatakan bahwa Jepang dapat melindungi dirinya sendiri dengan keadaannya sebagai negara demokratis, aman, serta berlindung di bawah opini dunia. Rearmament hanya akan menyebabkan Jepang menjadi miskin dan dapat menyebabkan keresahan sosial (social unrest) seperti yang diinginkan oleh komunis. Ia juga mengatakan tentang ketakutan negara-negara lain akan bangkitnya kembali militer Jepang.<br />Kesimpulan<br />Kerja sama keamanan Jepang-AS seperti telah dijelaskan telah menjadi faktor penting kebangkitan militer Jepang. Pada tahun 1951 setelah pendatangan Perjanjian Aliansi Keamanan Jepang-AS, Jepang membangun militernya Jepang (atau lebih tepatnya milisi) saat itu sebesar 75.000. Militer yang dibangun dimaksudkan hanya untuk mempertahankan diri karena bagaimanapun Jepang tetap berpegang pada janji Amerika Serikat bahwa untuk pertahanan luar negeri Jepang dijamin oleh Amerika Serikat. Seperti tertera pada artikel V Perjanjian Keamanan Amerika Serikat-Jepang 1951 yang mengatakan :<br /> “Each Party recognizes that an armed attack against either Party in the territories under the administration of Japan would be dangerous to its own peace and safety and declares that it would act to meet the common danger in accordance with its provisions and processes”. <br /><br />Ketentuan ini hanya menyebutkan bahwa kedua belah pihak bertanggungjawab terhadap keamanan wilayah yang berada dalam wilayah kekuasaan Jepang. Artinya Amerika Serikat berkewajiban menjaga keamanan wilayah Jepang terhadap serangan dari luar, namun sebaliknya Jepang tidak berkewajiban untuk mejaga kepentingan Amerika Serikat di luar kawasan Jepang . Seperti dikutip di bawah ini :<br /> “Since the treaty with Japan applies explicitly only to those territories under the administration of Japan, Japan is not obliged to come to the aid of the United States, but only to defend her self. This is necessary because of Article 9, the”no-war” caluse, of the Japanese Constitution”. <br />Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebijakan pembentukan kekuatan militer adalah konsekuensi dari ketentuan perjanjian, dan bukan keinginan Jepang sendiri. Alasan tersebut menjadi pegangan utama pemerintah, dalam hal ini partai kanan untuk menjawab resistensi kuat terutama dari kelompok kiri yang menginginkan Jepang sebagai negara “unarmed neutrality.” <br /> Pada tahun-tahun berikutnya, Jepang terus membangun kekuatan militernya, namun semua itu dilakukan di bawah desakan AS. Pada awal mulainya Perang Dingin (tahun 1953), Jepang membangun 152.000 personil militer dari 172.000 yang diminta oleh AS. Pada tahun 1955 Jepang kembali membangun militernya menjadi 156.834 dari total 179.737 yang diminta oleh AS. Pada momentum perang Vietnam tahun 1960 jumlah tersebut meningkat menjadi 206.001 atas dasar permintaan AS dari total 300.000 personil. Pada tahun 1973 yaitu ketika AS kalah dalam Perang Vietnam dan kemudian AS mundur dan mengurangi kekuatan militernya di kawasan Far East, Jepang kembali membangun sebanyak 286.200 dari total 350.000 personil yang diminta oleh AS. <br />Sejak tahun 2001, di bawah program Mid-tem Defense Program didesakkan oleh AS (MTDP 2001-2005), Jepang memusatkan peningkatan kapabilitas militernya pada, pengembangan kemampuan untuk counter cyber-attack dan mengamankan information technology serta jaringan komunikasi internasional. Kedua, mengembangkan counter attack by irregular forces, possibly armed with nuclear, biological or chemical devices. Dana yang diterima kabinet Jepang untuk pelaksanaan MTDP sejak 5 desember 2000 sampai 2005 adalah 25 triliun Yen (kira-kira US$203 milyar). <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Daftar Pustaka<br />Buku dan Jurnal:<br />Defense of Japan 1970, Japan Agency, 1970.<br />Emmerson, John K. Arms, Yen, and Power: The Japan Dillemma, Charles E. Tuttle Company, Tokyo, 1971. <br />Cliffs, N.J, Englewood., Problem in International Relatios, Prentice Hall, INC., New Jresey.<br />George, Aurelia Japan’s America Problem: The Japanese Response to U.S. Pressure, The Washington Quarterly, Summer, 1991.<br />Habib, A. Hasnan Kapita Selekta: Strategi dan Hubungan Internasional, Center for Strategic and International Studies, Jakarta, 1997.<br />International Institute for Strategic Studies, The Military Balance 1999-2000, Oxford University Press, London, 2000.<br />Jepang Dewasa ini, Kementrian Luar Negeri Jepang, 1979.<br />Jones, Walter S, Logika Hubungan Internasional 1: Persepsi Nasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.<br />Kalder, Kent E. Asia’s Deadly Triangle: How Arms, Energy, and Growth , Threaten to Destabilize Asia Pacific, Nicholas Brealy Publishing Limited, London, 1996.<br />Kataoka, Tetsuya, Waiting for a “pearl Harbour”: Japan Debates Defense, The Board of Trustees of the Leland Junior University, USA, 1980.<br />Katzenstein, Peter J. Cultural Norms and National Security, Police and Military In Postwar Japan, Conell University Press, New York, 1996.<br />Macintosh, Malcolm, Japan Rearmed, New York, 1986.<br />Mendel Jr, Douglas H, The Japanese People and Foreign Policy: Study of Public Opinion in Post Treaty Japan, Greenwood Press, California, 1961.<br />National Studies on Internatinal Organization, Japan and the United Nations, Report of Study Group Set Up by the Japanese Association if International Law, Greenwood Press Publisher.<br />Ogawa, Ichiro, Blue Print Jepang Masa Depan, Tiara Wacana Yogyakakarta, 1995.<br />Pyle,Kenneth B., Changing Conceptions of Japan’s International Role, dalam Japan and the Pacific Quadrille, The Major Power in East Asia, Westview Press, Colorado.<br /><br />Internet dan Surat Kabar:<br /><br />International Trade Statistics, Imports 1997-2001, Product Group 891: Arms and Amunition, di download dari www.intracen.org/menus/products.<br />US-Japan Military Technology Exchange--Japan to Scale America’s last Export Bastion di dalam www.globalsecurity.org/world/japan.<br />http://news.bbc.co.uk/hi/english.world/asia-pacific.<br />Twelfth US-Japan Technology Forum, May 8 & 9, 2001, Centre for US Japan Studies and Cooperation, Vanderbilt Institute for Public Policy Studies 1207,18th avenue South Nashville,Tennesse,37212, didownload dari www.Vanderbilt..doc.<br />www.iiss.org/milbalregions.php?PHPSESSID=9288a3e2a27a9e5be259db50a14e92b.<br />www. MOFA.GO.JP.<br />Foreign Bureau Information Service / East Asia (6 Maret 1991)<br />Kompas, 11/12/2004heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-7255850731166296142010-01-03T07:48:00.000-08:002010-01-03T08:51:08.453-08:00JAPAN MILITARY BUILDUPKERJA SAMA KEAMANAN JEPANG-AMERIKA SERIKAT DAN DINAMIKA KEBANGKITAN MILITER JEPANG<br /><br />Abstract:<br />Discussing Japan military after World War II (WW II) is always interesting because at one side there is assumption considered that after WW II until present, Japan changed from military state to non-military state and concluded that it has no military forces and become pacifist state. On the contrary, there is assumption that argued the earlier by showing facts Japan has already built its military forces. Actually, Japan had been started its military buildup after signing Treaty of Mutual Cooperation and Security Between Japan and the United States of America in 1951. This article is going to show that The Japan-US security cooperation has a significant influence in every step of Japan military buildup until present day. <br /><br />Pendahuluan<br />Sistem pertahanan dan keamanan Jepang mengalami perubahan besar pada tahun 1945 atau di akhir Perang Dunia II (PD II). Jepang berubah total dari salah satu negara adidaya menjadi tidak memiliki kekuatan militer sama sekali untuk sistem pertahanannya, bahkan tidak memiliki polisi di dalam negeri. Fenomena tersebut menarik untuk dikaji karena termasuk unik, yaitu ada negara tanpa militer. Pertahanannya sepenuhnya tergantung pada Amerika Serikat. Padahal secara de facto dan de jure, Jepang adalah negara merdeka. <br />Secara teoritis, negara merdeka bebas menentukan seluruh kebijakan yang menyangkut kepentingan nasional primernya, termasuk dalam hal ini kebijakan yang menyangkut pertahanan keamanan, tanpa campur tangan negara lain. Namun yang terjadi dengan Jepang adalah sesuatu yang di luar kebiasaan umum, karena sejak 1950-an yaitu ketika pendudukan sekutu terhadap Jepang telah berakhir, Jepang tetap berada di bawah pengaruh Amerika Serikat, terutama dalam penentuan kebijakan pertahanan keamanan.<br />Selain negara merdeka, dewasa ini Jepang juga merupakan salah satu negara yang memiliki perekenomian termaju di dunia. Namun, kemajuan ekonomi tersebut tidak diikuti oleh pembangunan militer sebagaimana dilakukan oleh negara-negara maju lainnya. Prosentase dari Gross National Product (GNP) untuk anggaran pertahanannya adalah paling kecil dibandingkan negara-negara maju lainnya seperti Jerman, Inggris, Prancis bahkan dari negara-negara Asia seperti Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan. Anggaran pertahanannya tidak pernah lebih dari1% dari GNP sampai tahun 1984 . <br />Tulisan ini akan menjelaskan tentang kebangkitan militer Jepang setelah Perang Dunia. Tema ini menarik karena, pendapat banyak pengamat yang mengatakan bahwa Jepang bukanlah negara normal dalam arti tidak memiliki militer, tidaklah benar karena pada dasarnya Jepang telah memulai pembangunan militernya sejak tahun 1951. Tulisan ini akan memperlihatkan bahwa pembangunan militer Jepang tersebut dilakukan karena pengaruh besar dari AS yaitu melalui instrumen Perjanjian Aliansi Keamanan Jepang-AS tahun 1951. <br /><br />Negara Tanpa Militer<br />Keadaan Jepang yang tidak memiliki militer mandiri, berawal dari kekalahan Jepang dalam PD II yang ditandai dengan penandatanganan perjanjian penyerahahan diri Jepang pada Sekutu, yang tertuang dalam potsdam declaration pada tanggal 26 Agustus 1945. Akibatnya Jepang harus menerima kenyataan bahwa kekuatan militer yang pernah dibanggakan harus dilucuti pasukan Sekutu yang sebagian besar terdiri dari tentara-tentara Amerika Serikat . Amerika Serikat mengambil alih sistem pemerintahan Jepang dan harus tunduk di bawah sistemnya, dan juga harus mengakui Jenderal Angkatan Laut Amerika Serikat, Douglas MacArthur sebagai komandan tertinggi kekuatan sekutu Pasifik , selaku officer pendudukan di Jepang.<br />Demi keamanan dunia, Sekutu juga melakukan perubahan terhadap konstitusi Jepang, yang mengisyaratkan agar Jepang tidak lagi mengembangkan kekuatan militer di kemudian hari. Konstitusi baru tersebut menetapkan tiga prinsip dasar yang salah satunya menegaskan tentang sikap negara Jepang yang cinta damai. Untuk melaksanakan prinsip tersebut, pada artikel 9 Konstitusi 1947, secara tegas disebutkan tentang pelarangan penggunaan militer ke luar negeri berdasarkan keputusan sendiri. <br />Untuk menjaga keamanan wilayahnya, khususnya terhadap serangan dari luar, Jepang dipaksa mengadakan aliansi keamanan dengan Amerika Serikat. Aliansi keamanan tersebut dituangkan dalam The US-Japan Treaty Mutual Cooperation and Security yang ditandatangani tahun 1951 dan berlaku mulai bulan April 1952. Selain alasan keamanan Jepang, aliansi tersebut juga dilatarbelakangi keinginan Sekutu untuk mempertahankan keberadaannya dikawasan Asia, khususnya di Asia Timur, karena pendudukan sekutu akan berakhir pada tahun 1952. Amerika Serikat berkepentingan untuk menjaga agar pengaruh komunis tidak meluas ke negara-negara Asia Pasifik khususnya di kawasan Asia Timur. <br />Perjanjian tersebut mewajibkan Jepang untuk mengorbankan semua wilayah yang didudukinya sejak 1895, serta memasukkan Jepang ke dalam sistem keamanan Amerika Serikat. Amerika Serikat menandatangani perjanjian berikutnya dengan Jepang pada tahun 1954 yang isinya adalah menyediakan perlengkapan-perlengkapan, alat-alat, dan lainnya bagi Jepang. Sebaliknya Jepang menyediakan basis-basis militer dan alat-alat yang diperlukan oleh Amerika Serikat . Perjanjian tersebut adalah awal dimulainya babak baru negara Jepang yang tidak mempunyai militer, pertahanan dan keamanan sendiri.<br />Sejak tidak memiliki kekuatan militer yang berarti, Jepang berkonsentrasi di bidang ekonomi yang disebut kebijakan seikei bunri, yaitu pemusatan pada masalah-masalah ekonomi dan menghindarkan diri dari keterlibatan dalam masalah politik dan keamanan . Sebagai hasilnya pada tahun 1969 hingga 1981 rata-rata pertumbuhan tahunan Gross National Product (GNP) per kapita Jepang 3,3 kali lebih besar ketimbang rata-rata gabungan Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Prancis, dan Jerman Barat. (Pertumbuhan ini menurun ke tingkat yang sama dengan negara-negara tersebut akibat resesi tahun 1981-1983). Dalam GNP (dibandingkan dengan GNP per kapita), produktifitas Jepang meningkat 12 kali lipat antara tahun 1950 hingga 1976, sementara GNP Amerika Serikat hanya meningkat 2,3 kali lipat, dan negara-negara Eropa Barat meningkat tiga kali lipat. Selain itu, kemantapan neraca pembayaran dan perdagangan berkat kebangkitan yang luar biasa selepas PD II memungkinkan yen Jepang bersaing dengan mark Jerman sebagai mata uang yang paling bernilai dan disukai di dunia. Dalam segala bidang, kecuali kekuatan militer, Jepang sudah menjadi kekuatan utama selama satu setengah dekade . <br />Pesatnya perkembangan ekonomi tersebut, tidak mendorong Jepang terlibat aktif secara langsung dalam penataan stabilitas dan keamanan internasional. Hal ini dipandang sebagai sesuatu yang tidak wajar, karena Jepang merupakan negara yang paling berkepentingan terhadap terciptanya stabilitas dan keamanan internasional karena Jepang adalah salah satu negara industri yang menggantungkan ekonominya pada perdagangan internasional, sehingga sangat tergantung pada keamanan jalur-jalur pelayaran, penerbangan, serta jalur-jalur transportasi internasional lainnya. Atas dasar itu maka peran Jepang secara langsung pada dasarnya sangat diperlukan dalam rangka menentukan aman atau tidaknya pasokan minyak, bahan mentah, serta ekspor hasil-hasil industri Jepang. <br />Selama ini keterlibatan Jepang dalam penataan keamanan internasional diwakili oleh Amerika Serikat. Sedangkan keterlibatan Jepang hanya secara tidak langsung yaitu melalui kebijakan-kebijakan yang menekankan pendekatan-pendekatan dan kepentingan ekonomi. Jepang menggunakan kemampuan ekonominya sebagai alat untuk menjalin hubungan dengan negara-negara lain yaitu melalui pemberian bantuan ekonomi. <br />Bantuan ekonomi Jepang sering dikaitkan dengan masalah stabilitas dan keamanan. Dari sinilah lahir istilah bantuan strategis (strategic aid), konsep ini merujuk pada kebijaksanaan luar negeri Jepang melalui saluran hubungan ekonomi sebagai hasil koordinasi dengan Amerika Serikat dalam persaingan global dengan Uni Soviet. Dimensi keamanan dan straegis dari strategic aid direalisir dalam bentuk bantuan kepada countries bordering conflict dan areas which are important to maintenance of the peace and stability of the world. Karena itu aktifitas ekonomi Jepang tidak semata-mata bersifat ekonomis , melainkan juga sebagai salah satu cara untuk menyumbang stabilitas dan keamanan internasional. Perkembangan terakhir di mana pemerintah Jepang mengusulkan agar Official Develovment Assistance (ODA) diberikan dengan mempertimbangkan tingkat belanja militer pada negara sasaran, menunjukkan dimensi politik dan keamanan kebijaksanaan ekonomi Jepang terhadap negara-negara penerima .<br /><br />Kerja Sama Keamanan Jepang AS dan Dinamika Kebangkitan Militer Jepang<br />Adanya ketentuan bahwa pasukannya sudah harus ditarik dari Jepang pada 1952, menyebabkan Amerika Serikat mengambil keputusan untuk memberikan jaminan keamanan kepada Jepang. Amerika Serikat tetap mempertahankan pasukannya di Jepang, karena dalam pandangan Amerika Serikat sangat berbahaya meninggalkan Jepang dalam keadaan tanpa militer. Sementara pada saat yang sama peneyebaran komunisme sudah sampai ke Cina. Hal itu ditandai dengan penandatanganan Sino-Soviet Treaty of Friendship, Alliance and Mutual Assistance, pada tanggal 14 Februari 1950. Hal ini akan memudahkan Uni Soviet untuk menganeksasi Jepang, seperti halnya Korea Utara. Penegasan Amerika Serikat untuk tetap mempertahankan militernya di Jepang dapat dilihat dalam pidato Sekretaris Negara Dean Acheson di depan National Press Club pada 12 Januari 1950: <br />“The defeat and disarmament of Japan have placed upon United States the necessity of assuming the military defense of Japan so long as that is required, both in the interest of our security and in the interest of the security of the entire Pacific area and, in all honor, in the interest of Japanese security…I can assure you that there is no intention of any sort of abandoning or weakening the defense of Japan…that defense must and shall be maintained.” <br /><br />Berdasarkan pemikiran tersebut maka satu-satunya cara untuk membendung penyebaran komunisme adalah dengan tetap “menduduki” Jepang. Seperti digambarkan dalam kebijakan Containment Strategy Amerika Serikat, yang digariskan pertama kali dalam “Doktrin Truman” oleh Presiden Harry Truman pada tahun 1947. Inti dari strategi Amerika Serikat tersebut adalah: <br />“menahan ekspansi komunisme dan Uni Soviet dengan kekuatan militer, nuklir dan konvensional; memberi bantuan ekonomi dan militer kepada negara-negara sekutu dan negara-negara sahabat lainnya yang bersedia membantu mencegah ekspasi Uni Soviet itu; dan mendorong meluasnya sistem pemerintahan yang demokratis. Dan kaitannya dengan Jepang Amerika Serikat ingin menjadikan Jepang sebagai benteng pertahanan (bulkwark) melawan potensi ancaman agresi komunis di Northeast Asia”.<br /><br />Doktrin Truman menggariskan instrumen dasar terbentuknya aliansi Amerika Serikat-Jepang adalah dengan memberikan jaminan militer dan bantuan ekonomi terhadap negara-negara yang rentan terhadap bahaya ekspansi komunis. Atas dasar kebijakan itu Amerika Serikat telah memberikan dua bantuan kepada Jepang. Pertama adalah bantuan militer, yaitu dengan berjanji tidak menarik pasukannya dari Jepang setelah masa pendudukan. Sehinga Jepang tidak perlu membangun militernya, karena sudah menjadi sekutu Amerika Serikat. Bagi Amerika Serikat hal ini akan memberikannya keleluasaan untuk mengawasi gerak-gerik Uni Soviet, karena letaknya yang berdekatan dengan Jepang, bahkan pangkalan militer terbesar Uni Soviet Vladivostok berjarak sangat dekat dengan kepulauan Utara Jepang.<br />Kedua adalah bantuan ekonomi, Amerika Serikat menginginkan Jepang untuk memperkuat ekonominya sebagai bagian dari cara untuk membendung komunisme, karena dalam pandangan Amerika Serikat komunisme tidak akan berkembang di negara yang perekonomiannya maju. Seperti dikatakan oleh Kennan Pada bulan Februari1948, sebelum berangkat ke Tokyo,<br />“…we device policies toward Japan which assure the security of that country from Communist Soviet Union and would permits Japan’s economic potential to become once again an important force in the affairs of the area, conducive to peace and stability.” <br /><br />Implementasi aliansi keamanan Amerika Serikat-Jepang tercantum di dalam Perjanjian Keamanan Amerika Serikat-Jepang atau yang dikenal dengan The US-Japan Treaty Mutual Cooperation and Security. Perjanjian keamanan itu ditandatangani oleh Jepang di Sanfrancisco pada tanggal 8 September 1951 dan mulai berlaku pada bulan 28 April tahun yang sama. <br />Perjanjian menyatakan bahwa Amerika Serikat dapat menempatkan pasukannya di Jepang (mempunyai pangkalan militer) untuk melindungi Jepang dan untuk perdamaian internasional di kawasan Timur Jauh. Perjanjian juga menjelaskan tentang kekuatan militer Jepang adalah defensif dan pasukan militer Amerika Serikat akan melindungi seluruh wilayah Jepang. <br />Dengan Prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam Perjajian Keamanan itu, Amerika Serikat telah menentukan format perkembangan militer Jepang masa depan. Ada tiga hal penting yang dapat dijadikan acuan untuk melihat perkembangan militer Jepang sesuai dengan isi perjanjian keamanan Jepang-Amerika Serikat. <br />1. Pada pembukaan perjanjian adannya pengakuan atas hak-hak Jepang untuk melindungi diri sendiri dan hak untuk memasuki pakta keamanan bersama “collective security”. <br />2. Pembukaan memperlihatkan adanya keingian atau kesediaan Amerika Serikat untuk menjaga kekuatan militernya di Jepang, dengan harapan bahwa dalam kurun waktu itu Jepang akan melaksanakan kewajibannya terhadap pertahannnya sendiri, dengan menghindari persenjataan yang bersifat ofensif atau menjadi ancaman bagi pihak lain, dan harus lebih ditujukan untuk menciptakan perdamaian dan keamanan sesuai dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip yang ada dalam piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Kekuatan militer Amerika Serikat di Jepang bisa digunakan atas permintaan pemeintah Jepang untuk memadamkan kerusuhan dalam negeri serta untuk mengatasi ancaman dari luar. <br />Amerika Serikat melaksanakan poin-poin tersebut sampai pada titik di mana Jepang hanyalah sebuah negara yang harus selalu tergantung padanya. Pernyataan pada nomer satu seperti terlihat sama sekali jauh dari kenyataan. Hak Jepang untuk mempertahankan diri, bagi Amerika Serikat adalah dengan keberadaan pasukan Amerika Serikat di Jepang untuk menjamin keamanan Jepang. Ketentuan tersebut sama sekali tidak melibatkan kemampuan militer Jepang yang memang tidak ada. Ketentuan bahwa Jepang juga berhak untuk memasuki collective securirty, tidak mungkin dilaksanakan, karena adanya larangan dalam konstitusi 1947, artikel 9. Bagaimana mungkin Jepang akan bergabung dalam pertahanan kolektif sementara ia tidak boleh mengirim pasukannya ke luar negeri. Sementara seperti diketahui konstitusi 1947 adalah hasil paksaan Amerika Serikat terhadap Jepang. <br />Menyikapi kenyataan tersebut Amerika Serikat menegaskan bahwa dengan keberadaan pasukannya di Jepang, segala kelemahan Jepang dapat diatasi. Hal ini berarti telah menanamkan pemikiran dan anggapan pada masyarakat Jepang bahwa untuk apa memiliki militer jika sudah ada yang menjamin. Seperti jelas tertera dalam pernyataan nomor dua, keleluasaan Amerika Serikat untuk mengontrol pertahanan dan keamanan Jepang baik di dalam maupun di luar. Hal itu akan menghilangkan arti poin berikutnya yang menyatakan bahwa Jepang secara bertahap harus membangun militernya. Selain sudah merasa aman, Jepang menyadari bahwa konstitusi melarang hal itu.<br />Grand design Amerika Serikat pada dasarnya adalah bukan melindungi Jepang tetapi melindungi diri sendiri seaman dan sedini mungkin. Hal itu dapat dilihat dari perubahan kebijakan Amerika Serikat terhadap keberadaan miiter Jepang. Pecahnya perang Korea mendorong Amerika Serikat untuk menekan Jepang agar memabngaun militernya. Seperti telah disebutkan dalam bab sebelumnya sejak 1950 Amerika Serikat telah meminta Jepang membangun kembali militernya.<br />Tekanan Amerika Serikat secara nyata mulai meningkat pada tahun 1949, yaitu ketika hubungan Amerika Serikat dengan Uni Soviet mulai memburuk (deteriorating) , disebabkan isu Korea. Isu perang Korea telah memecah konsenterasi Amerika Serikat dalam menjaga keamanan wilayah Far East, termasuk menjaga keamanan wilayah Jepang. Amerika Serikat membutuhkan pasukannya yang berada di Jepang untuk keperluan perang Korea. Hal ini akan menyebabkan terjadi kekosongan pasukan di wilayah Jepang. Sehingga akan memudahkan Uni Soviet untuk melakukan serangan terhadap Jepang. Seperti dikatakan oleh George Kennan, yang di kemudian hari menjadi Director of State Departement’s Policy Planning Staf,<br />”…that totally disarmed and demilitarized Japan, “semi-surrounded” as she was by military positions of the Soviet Union, would be dangerously vulnerable to Communist political pressures. … that no one was planning for the defense of Japan in the post-treaty period”. <br /><br />Amerika Serikat melihat bahwa perang Korea adalah saat yang tepat bagi Jepang untuk mulai membangun militernya. Karena pada saat itu Amerika Serikat merasa tidak mungkin terus-menerus sepenuhnya dapat menjamin keamanan Jepang. Seperti dikatakan oleh Peter J. Katzenstein,”The Korean war to all intens and and purposes stopped this American policy and prompted policy makers to begin reestablishing Japanese Security forces”. <br />Pertimbangan lain yang menyebabkan Amerika Serikat mulai menekan Jepang agar membangun militernya adalah kondisi pemerintah dan masyarakat yang sudah cukup demokratis. Sejak terbentuknya konstitusi 1947 kekuasaan kaisar sudah terkikis dan hanya berperan seremonial. Pemerintahan sudah berbentuk monarki konstitusioanl dengan sistem parlementer dengan kepala pemerintahan Perdana Menteri. Dengan sistem multipartai, maka proses pengambilan kebijakan publik melibatkan banyak pihak, yang berarti semakin demokratis. Kondisi ini mengurangi kekhawatiran Amerika Serikat akan bangkitnya militerisme ekspansionis Jepang.<br /><br /><br />Selama kurun waktu terjadinya perang antara 1950-1953, keamanan Jepang sangat dirasakan mulai terancam. Hal ini disebabkan oleh pemindahan pasukan Amerika Serikat yang berada di Jepang ke arena perang Korea. Sementara itu karena jarak kantong-kantong pasukan dan logistik Amerika Serikat untuk suplies pasukan dan logistic lebih jauh dibandingkan dengan jarak kantong-kantong militer Uni Soviet untuk mencapai arena perang maka peregerakan pasukan Uni Soviet dan Korea Utara akan lebih cepat mencapai wilayah Jepang. Mulai munculnya perasaan terancam ini telah menyebabkan Jepang untuk menerima desakan Amerika Serikat untuk membangun kembali militernya. Walaupun saat itu Jepang masih dihadapkan pada masih kuatnya perasaan traumatik masyarakat Jepang sehingga menyebabkan resistensi kuat terhadap upaya tersebut. <br />Menyadari akan besarnya resistensi tersebut, pemerintah Jepang akhirnya mengambil jalan tengah untuk menjaga pertahanan dan keamanannya, yaitu dengan menandatangani Perjanjian Keamanan Timbal-balik Jepang-Amerika Serikat pada tahun 1951. Pemerintah menginginkan agar ketetapan konstitusi tentang larangan memiliki militer tidak dilanggar, seklaigus pertahanan keamanan negara dapat terjaga. Satu-satunya cara untuk mewujudkan hal itu adalah dengan mengadakan aliansi keamanan dengan Amerika Serikat. Kebijakan jalan tengah tersebut dapat dicermati dari alasan-alasan yang dikemukakan oleh PM Yoshida, adalah:<br />“aliansi keamanan Jepang-Amerika Serikat merupkan cara untuk menjaga hubungan ekonomi dan diplomatik dengan negara-negara Barat, cara menjaga agar militer tidak kuat di Asia (a low military profile), mengizinkan Amerika Serikat untuk mengamankan pangkalan tepi pantai dan untuk menangkal ancaman China dan Uni Soviet.”<br />Beberapa alasan tersebut mengisyaratkan bahwa Jepang hanya bertanggungjawab terhadap pertahanan dalam negeri. Artinya hal itu tidak melanggar konstitusi, karena yang dilarang adalah pengiriman tentara ke luar negeri. Seperti disebutkan dalam isi perjanjian Keamanan Timbal-balik Jepang-Amerika Serikat bahwa Perjanjian akan dilaksanakan dalam batas-batas yang ditetapkan Konstitusi. Hal ini tercantum dalam klausa penyangkalan perang. Seperti tertera dalam artikel III Treaty of Mutual Cooperation and Security Between Japan and the United States of America: <br />”The Parties, individually and in cooperation with each other, by means of continuous and effective self-help and mutual aid will maintain and develop, subject to their costitutional provisions, their capacities to resist armed attack. <br />Dengan ketentuan tersebut maka pengembangan kekuatan militer Jepang harus berdasarkan ketetapan yang digariskan dalam artikel 9 konstitusi 1947, yaitu militer tidak boleh dikirim ke luar negeri. Dapat dilihat pada masa-masa awal perjanian ini bahwa kekuatan militer Jepang hanya sebatas permintaan atau hasil tekanan Amerika Serikat dengan kekuatan yang sangat terbatas. Permintaan Amerika Serikat mendapat jawaban yang tidak responsif dari Jepang. Pada masa-masa itu resistensi masyarakat terhadap rearmament masih sangat besar. Alasan yang sering dilontarkan kepada pemerintah Amerika Serikat adalah adanya larangan konstitusi. Pemerintah menyatakan bahwa konstitusi dengan jelas mengatakan bahwa Jepang tidak boleh mengirim militer ke luar negeri, melanggar ketentuan itu berarti melanggar konstitusi --sebagaiamana kritik yang sering dilontarkan oleh partai kiri terhadap desakan Amerika Serikat-- sehingga sedapat mungkin Jepang selalu menolak desakan Amerika Serikat dengan alasan konstitusi. Seperti dikatakan oleh John K. Emmerson bahwa:<br /> “Since the treaty with Japan applies explicitly only to those territories under the administration of Japan, Japan is not obliged to come to the aid of the United States, but only to defend her self. This is necessary because of Article 9, the”no-war” caluse, of the Japanese Constitution”. <br />Jepang juga menyalahkan Amerika Serikat atas sikapnya itu karena pada dasarnya Amerika Serikat-lah yang menyebabkan Jepang mengambil sikap seperti itu. Sebut saja contoh Amerika Serikat yang memaksa Jepang membuat konstitusi 1947 dengan alasan pencegahan terhadap sifat militeristik Jepang. Dalam hal ini Jepang benar, seperti Wakil Presiden Nixon yang juga menyalahkan konstitusi 1947 artikel 9 yang dibuat sendiri oleh Amerika Serikat. Seperti ditunjukkan dalam pernyataan Nixon kepada warga Tokyo pada September 1953, bahwa ”that article 9 had been mistake.” <br />Di samping itu, Amerika Serikat jugalah yang menyebabkan Jepang sampai saat ini menggantungkan keamanannya pada Amerika Serikat yaitu untuk kepentingan Amerika Serikat di kawasan Timur Jauh. Dengan demikian, semua kesulitan Amerika Serikat adalah bumerang bagi Amerika Serikat sendiri karena bagaimanapun juga Jepang akan tetap mempertahankan konstitusi tersebut, seperti pernyataan Perdana Menteri (PM) Yoshida, “konstitusi 1947 harus tetap dipertahankan dan tidak perlu dirubah”. Juga sebagaimana pernyataan Wakil Menteri Luar Negeri Kodaki pada 3 September 1953 di Surat Kabar Yoimuri: <br />“It is America which destroy our mighty army and navy and the munitions industry on which it was based, and even dumped research equipment into the ocean. It is also America which, with an air of importance, forced on Japan a silly constitution renouncing arms. America instilled antimilitary thought in the Japanese; America opened all Japan to the communist party. In short, it is America which made Japan such that it cannot meet the American demands today …If America wishes to have Japan as its true ally, it must first recognize its past errors.” <br /><br />Alasan Jepang yang tidak kalah penting untuk menolak tekanan Amerika Serikat adalah alasan ekonomi. Seperti telah digariskan dalam doktrin Yoshida bahwa tujuan utama kebijakan Jepang adalah ekonomi. Dengan alasan masa lalu di mana Jepang menjadi negara yang paling menderita akibat perang maka Yoshida mengaggap bahwa ekonomi lebih penting dari militer. Kosaka Masataka, seorang ilmuan politik berpengaruh, dalam artikelnya ”Japan as Maritime Nation” di Chuo Karan mengatakan:<br />“Japan postwar involvment with West…has been primarily economic rather than military, an emphasis chosen by Prime Minister Yoshida Shigeru at the time of Japan’s negotiations with America over the 1951 San Francisco Peace Treaty. Yoshida believed that economic matters are more important than military, and, for this reason, he rejected America’s suggestion that Japan rearm and spearhead American military strategy in the Far East”. <br /><br />Masyarakat Jepang dengan alasan yang sama, merasa kehidupan yang sedang mereka nikmati dengan ekonomi yang maju walaupun tanpa militer, yang dalam istilah Ichiro Ozawa sering disebut negara “tidak normal” adalah lebih baik sehingga tidak perlu lagi untuk memaksa Jepang memiliki militer. Yoshida berkata kepada Dulles bahwa keadaan Jepang saat ini merupakan “A gift of the gods”. Kata-kata ini mengutip MacArthur yang memberi dukungan Jepang di mana selama ini berkonsenterasi dalam bidang ekonomi, dan telah mensejahterakan mayarakat Jepang.<br />Yoshida juga menyatakan bahwa Jepang dapat melindungi dirinya sendiri dengan keadaannya sebagai negara demokratis, aman, serta berlindung di bawah opini dunia. Rearmament hanya akan menyebabkan Jepang menjadi miskin dan dapat menyebabkan keresahan sosial (social unrest) seperti yang diinginkan oleh komunis. Ia juga mengatakan tentang ketakutan negara-negara lain akan bangkitnya kembali militer Jepang.<br />Kesimpulan<br />Kerja sama keamanan Jepang-AS seperti telah dijelaskan telah menjadi faktor penting kebangkitan militer Jepang. Pada tahun 1951 setelah pendatangan Perjanjian Aliansi Keamanan Jepang-AS, Jepang membangun militernya Jepang (atau lebih tepatnya milisi) saat itu sebesar 75.000. Militer yang dibangun dimaksudkan hanya untuk mempertahankan diri karena bagaimanapun Jepang tetap berpegang pada janji Amerika Serikat bahwa untuk pertahanan luar negeri Jepang dijamin oleh Amerika Serikat. Seperti tertera pada artikel V Perjanjian Keamanan Amerika Serikat-Jepang 1951 yang mengatakan :<br /> “Each Party recognizes that an armed attack against either Party in the territories under the administration of Japan would be dangerous to its own peace and safety and declares that it would act to meet the common danger in accordance with its provisions and processes”. <br /><br />Ketentuan ini hanya menyebutkan bahwa kedua belah pihak bertanggungjawab terhadap keamanan wilayah yang berada dalam wilayah kekuasaan Jepang. Artinya Amerika Serikat berkewajiban menjaga keamanan wilayah Jepang terhadap serangan dari luar, namun sebaliknya Jepang tidak berkewajiban untuk mejaga kepentingan Amerika Serikat di luar kawasan Jepang . Seperti dikutip di bawah ini :<br /> “Since the treaty with Japan applies explicitly only to those territories under the administration of Japan, Japan is not obliged to come to the aid of the United States, but only to defend her self. This is necessary because of Article 9, the”no-war” caluse, of the Japanese Constitution”. <br />Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebijakan pembentukan kekuatan militer adalah konsekuensi dari ketentuan perjanjian, dan bukan keinginan Jepang sendiri. Alasan tersebut menjadi pegangan utama pemerintah, dalam hal ini partai kanan untuk menjawab resistensi kuat terutama dari kelompok kiri yang menginginkan Jepang sebagai negara “unarmed neutrality.” <br /> Pada tahun-tahun berikutnya, Jepang terus membangun kekuatan militernya, namun semua itu dilakukan di bawah desakan AS. Pada awal mulainya Perang Dingin (tahun 1953), Jepang membangun 152.000 personil militer dari 172.000 yang diminta oleh AS. Pada tahun 1955 Jepang kembali membangun militernya menjadi 156.834 dari total 179.737 yang diminta oleh AS. Pada momentum perang Vietnam tahun 1960 jumlah tersebut meningkat menjadi 206.001 atas dasar permintaan AS dari total 300.000 personil. Pada tahun 1973 yaitu ketika AS kalah dalam Perang Vietnam dan kemudian AS mundur dan mengurangi kekuatan militernya di kawasan Far East, Jepang kembali membangun sebanyak 286.200 dari total 350.000 personil yang diminta oleh AS. <br />Sejak tahun 2001, di bawah program Mid-tem Defense Program didesakkan oleh AS (MTDP 2001-2005), Jepang memusatkan peningkatan kapabilitas militernya pada, pengembangan kemampuan untuk counter cyber-attack dan mengamankan information technology serta jaringan komunikasi internasional. Kedua, mengembangkan counter attack by irregular forces, possibly armed with nuclear, biological or chemical devices. Dana yang diterima kabinet Jepang untuk pelaksanaan MTDP sejak 5 desember 2000 sampai 2005 adalah 25 triliun Yen (kira-kira US$203 milyar). <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Daftar Pustaka<br />Buku dan Jurnal:<br />Defense of Japan 1970, Japan Agency, 1970.<br />Emmerson, John K. Arms, Yen, and Power: The Japan Dillemma, Charles E. Tuttle Company, Tokyo, 1971. <br />Cliffs, N.J, Englewood., Problem in International Relatios, Prentice Hall, INC., New Jresey.<br />George, Aurelia Japan’s America Problem: The Japanese Response to U.S. Pressure, The Washington Quarterly, Summer, 1991.<br />Habib, A. Hasnan Kapita Selekta: Strategi dan Hubungan Internasional, Center for Strategic and International Studies, Jakarta, 1997.<br />International Institute for Strategic Studies, The Military Balance 1999-2000, Oxford University Press, London, 2000.<br />Jepang Dewasa ini, Kementrian Luar Negeri Jepang, 1979.<br />Jones, Walter S, Logika Hubungan Internasional 1: Persepsi Nasional, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992.<br />Kalder, Kent E. Asia’s Deadly Triangle: How Arms, Energy, and Growth , Threaten to Destabilize Asia Pacific, Nicholas Brealy Publishing Limited, London, 1996.<br />Kataoka, Tetsuya, Waiting for a “pearl Harbour”: Japan Debates Defense, The Board of Trustees of the Leland Junior University, USA, 1980.<br />Katzenstein, Peter J. Cultural Norms and National Security, Police and Military In Postwar Japan, Conell University Press, New York, 1996.<br />Macintosh, Malcolm, Japan Rearmed, New York, 1986.<br />Mendel Jr, Douglas H, The Japanese People and Foreign Policy: Study of Public Opinion in Post Treaty Japan, Greenwood Press, California, 1961.<br />National Studies on Internatinal Organization, Japan and the United Nations, Report of Study Group Set Up by the Japanese Association if International Law, Greenwood Press Publisher.<br />Ogawa, Ichiro, Blue Print Jepang Masa Depan, Tiara Wacana Yogyakakarta, 1995.<br />Pyle,Kenneth B., Changing Conceptions of Japan’s International Role, dalam Japan and the Pacific Quadrille, The Major Power in East Asia, Westview Press, Colorado.<br /><br />Internet dan Surat Kabar:<br /><br />International Trade Statistics, Imports 1997-2001, Product Group 891: Arms and Amunition, di download dari www.intracen.org/menus/products.<br />US-Japan Military Technology Exchange--Japan to Scale America’s last Export Bastion di dalam www.globalsecurity.org/world/japan.<br />http://news.bbc.co.uk/hi/english.world/asia-pacific.<br />Twelfth US-Japan Technology Forum, May 8 & 9, 2001, Centre for US Japan Studies and Cooperation, Vanderbilt Institute for Public Policy Studies 1207,18th avenue South Nashville,Tennesse,37212, didownload dari www.Vanderbilt..doc.<br />www.iiss.org/milbalregions.php?PHPSESSID=9288a3e2a27a9e5be259db50a14e92b.<br />www. MOFA.GO.JP.<br />Foreign Bureau Information Service / East Asia (6 Maret 1991)<br />Kompas, 11/12/2004heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-16417312371529534182009-11-30T06:52:00.000-08:002009-11-30T07:02:55.605-08:00KONSTRUKTIVISME DALAM HUBUNGAN INTERNASIONALKONSTRUKTIVISME DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL<br />Heri Alfian<br /> <br /> <br />A. Pendahuluan<br />Konstruktivisme muncul di tengah perdebatan antara teori-teori yang digolongkan ke dalam aliran materialisme-rasionalisme seperti realisme, neorealisme, neoliberalisme, liberalisme/pluralisme, Marxisme dengan teori-teori radikal yang digolongkan ke dalam aliran reflektivis seperti teori kritis, feminisme dan postmodernisme. Perdebatan kedua aliran tersebut terkait dengan pondasi ilmu hubungan internasional yang dalam bahasa filsafat disebut dengan perdebatan ontologis dan epistemologis. Aliran rasionalisme menganggap bahwa ada sesuatu di luar sana (fakta materi) yang independen dari pengetahuan kita, sedangkan reflektivis menganggap bahwa tidak ada sesuatu di luar sana yang terpisah dari pengaruh konstruksi pengetahuan subyek dan interaksi dengan lingkungannya. Semua femomena yang ada adalah hasil dari konstruksi sosial. Dengan kata lain rasionalis menganggap bahwa fakta itu ada sedangkan reflektivis tidak mengakui adanya fakta. <br />Dalam konteks inilah konstruktivisme muncul sebagai suatu jalan tengah atau jembatan antara perbedaan tajam teori-teori rasionalis seperti neorealisme dan neoliberal dengan teori-teori reflektifis seperti postmodernisme, feminisme, critical theori. Konstruktivisme muncul untuk memberikan suatu pandangan bahwa realitas sosial tidak bisa dilihat sebagai suatu yang secara alamiah (given) ada dengan sendirinya dan independen dari interaksi (rasionalis) dan sebaliknya tidak bisa juga dilihat sebagai sesuatu yang nihil atau tidak ada dan semata-mata hanya dilihat sebagai refleksi ide-ide manusia (reflektifis). <br />Asumsi yang berbeda secara mendasar tersebut dalam pandangan konstruktivis pada dasarnya bisa dipertemukan dalam satu titik temu yaitu dengan argumennya bahwa realitas sosial tidak sepenuhnya given dan tidak juga sepenuhnya nihil (tidak ada). Konstruktivis melihat relitas dunia ini sebagai sesuatu yang didasarkan oleh (fakta) evidence yang secara materil bisa ditangkap ataupun tidak oleh panca indera namun fakta tersebut tidak menuntun/tidak menentukan bagaimana kita (manusia) melihat realitas sosial. Sebaliknya relitas sosial menurut konstruktivis adalah hasil konstruksi manusia (konstruksi sosial). Dalam definisi Emanuel Adler, konstruktivisme merujuk pandangan yang melihat bahwa terdapat suatu pola di mana dunia materi pada dasarnya terbentuk dan dibentuk oleh tindakan dan interaksi manusia yang tergantung pada interpretasi-interpretasi terhadap dunia materi yang tentunya berbeda (antara manusia satu dengan manusia lainnya) karena adanya perbedaan latar belakang secara normatif dan epistemik. Jika kita akan memakan roti makan bukan roti itu yang menentukan pisau apa yang akan kita pakai untuk mengirisnya, sebaliknya konstruksi pikiran kitalah yang menentukan pisau jenis apa yang tepat menurut kita, atau sangat terbuka kemungkinan kita untuk menggunakan sesuatu yang bukan disebut pisau asalkan menurut pikiran kita alat tersebut bisa digunakan untuk mengiris roti. <br />Tulisan ini dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama membahas tentang ontologi dan posisi ontologis konstruktivisme di antara teori-teori hubungan internasional. Bagian kedua menjelaskan tentang bagaimana konstruktivisme melihat realitas hubungan internasional. <br />B. Ontologi Konstruktvisme<br /> Konstruktivis muncul sebagai suatu pendekatan yang penting di dalam hubungan internasional karena posisi ontologisnya yang secara nyata berbeda dari pendekatan-pendekatan rasionalis yang lebih dulu ada dan sangat dominan. Konstruktivis muncul memberikan alternatif lain di dalam melihat hubungan internasional yang selama ini didominasi oleh pemahaman materialis-rasionalis yang berbasiskan pada materi. Teori-teori itu mengklaim bahwa negara ataupun power actors pada umumnya, telah mengetahui dengan pasti apa kepentingan mereka, serta mengetahui bagaimana cara mewujudkannya. Bagi rasionalis, logika yang berlaku adalah negara merupakan aktor rasional yang selalu mengejar power atau selalu memaksimalkan keuntungan dan kepentingannya.<br />Sebaliknya, konstruktivis dibangun dari basis ide, norma, budaya, dan nilai. Atas dasar itulah konstruktivis digolongkan ke dalam teori idealis. Formulasi teoritik konstruktivis menyatakan bahwa lingkungan sosial menentukan bentuk identitas aktor. Identitas kemudian menentukan kepentingan, dan kepentingan akan menentukan bentuk tingkah laku, aksi ataupun kebijakan dari aktor. Pada tahap berikutnya identitas juga akan mempengaruhi bentuk dari lingkungan sosial. Proses tersebut dapat dilihat pada figure berikut: <br />Gambar 1 <br />Kerangka Berpikir Konstruktivis<br /> <br /><br /><br /><br />Sumber: Ronald L Jepperson,et.all, Norms, Identity, and Culture in National Security, dalam Peter J. Katzenstein (ed), The Culture of National Security: Norms and Identity in World Politics, Columbia University Press, New York, 1996, hal. 53.<br /><br /> Secara sederhana proses itu bisa dijelaskan dengan identitas seseorang di dalam masyarkat. Identitas seseorang ada bermacam-macam terkait dengan institutional role yang diperankannya. Misalnya seseorang bisa saja berperan sebagai Saudara, Anak, Guru, dan Warga negara. Komitmen dan kepentingan yang terdapat di dalam berbagai identitas itu berbeda-beda, namun masing-masing identitas tersebut semuanya merupakan definisi sosial terhadap aktor di mana aktor-aktor mengikatkan diri mereka sendiri antara satu dengan lainnya. Identitas-identitas itu kemudian membentuk struktur sosial ( social world). <br /> Selanjutnya identitas aktor akan menentukan kepentingannya, karena identitas merupakan dasar dari kepentingan. Aktor tidak memiliki kepentingan yang tidak didasarkan pada identitas yaitu yang secara independen dimilikinya di dalam konteks sosial. Aktor mendefinisikan kepentingannya di dalam proses mendefinisikan situasi. Seorang politisi memiliki kepentingan untuk dipilih kembali karena Ia merasa dirinya sebagai politisi; Profesor memiliki kepentingan untuk mendapatkan jabatan karena Ia melihat dirinya adalah seorang profesor. Proses terbentuknya identitas dan kepentingan disebut sebagai “socialization”. Sosialisasi merupakan suatu proses pembelajaran (learning) untuk penyesuaian diri -tingkah laku (behavioral) seseorang- dengan ekspektasi sosialnya. <br />Selain digolongkan ke dalam kelompok teori idealis, konstruktivis juga dapat dimasukkan ke dalam kategori teori sistem. Penggolongan ini di dasarkan pada posisi konstruktivis yang menjelaskan tingkah laku aktor pada level sistem/struktur. Konstruktivis mengasumsikan bahwa suatu unit yang kemudian disebut agent dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang mengelilinginya. Teori-teori yang mengambil sudut pandang dari posisi struktur selanjutnya disebut dengan teori holisme. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa identitas, tingkah laku dan kepentingan seorang individu dipengaruhi oleh masyarakat tempat ia bersosialisasi. Jadi identitas, perilaku, dan kepentingan individu tidak secara alamiah ada dengan sendirinya dan murni muncul dari dalam individu itu sendiri, akan tetapi merupakan bentuk dari pengaruh lingkungan sosial terhadap individu tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konstruktivisme terletak di dalam kelompok teori yang idealism-holism.<br />Posisi konstruktivis sebagai teori yang idealism-holism dijelaskan oleh Alexander Wendt dengan menggunakan mapping struktur teorisasi. Wendt membagi teori-teori sosial ke dalam empat kuadran yaitu materialis-individualism yang menekankan pada peran human nature yang sangat penting di dalam terbentuknya national interest; Materialis-holism menyatakan bahwa the properties of agent dikonstruksi di dalam level internasional dengan basis material; Idealis-individualism menyatakan bahwa identitas dan kepentingan kepentingan negara diciptakan oleh politik domestik dan mempunyai social view terhadap terbentuknya sistem internasional; Kategori terakhir yaitu idealism-holism merujuk pada pandangan bahwa struktur internasional secara fundamental terdiri dari shared knowledge, dan hal itu tidak hanya mempengaruhi tingkah laku negara tetapi juga memebentuk identitas dan kepentingan negara.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Gambar 2<br /> A Map of Structural Theorizing (Locating International Theories)<br /> Sumber: Wendt, Alexander, Social Theory of International Politics. Cambridge: Cambridge University, 1999, hal 29 & 32<br /><br />Konstruktivis, terletak di kuadran atas sebelah kanan, satu kelompok dengan english school, world society, postmodern IR dan feminist IR. Letak konstruktivis di sebelah kanan (paling kanan) itu menegaskan bahwa konstruktivis dibangun di atas asumsi-asumsi idealis yang menempatkan norma, ide, nilai dan budaya sebagai sesuatu yang utama yang menentukan bentuk identitas, kepentingan dan perilaku aktor (negara). Sedangkan posisi konstruktivis di kuadran atas menegaskan bahwa perilaku negara dijelaskan pada level struktur. Atas dasar itulah konstruktivis digolongkan ke dalam teori idealism-holism.<br /> Dari kategorisasi tersebut kemudian dapat diperjelas bahwa pada dasarnya konstruktivis memiliki 4 (empat) prinsip dasar yaitu: <br />a) Pengutamaan faktor-faktor yang berbasiskan pada ide (ideational factors). Konstruktivis menolak teori-teori dominan dalam HI yang menempatkan faktor material secara berlebihan, di mana hal itu menyebabkan teori-teori tersebut gagal dalam menjelaskan perilaku negara di dalam sistem internasional. Menurut konstruktivis, norma-norma sifatnya otonom dan norma membentuk dan menentukan perilaku negara di dalam sistem internasional. Norma tidak hanya berfungsi untuk mengatur (regulatory) namun lebih dari itu membentuk (constitutive) perilaku negara.<br />b) Kepentingan agent didasarkan/ditentukan oleh konstruksi identitasnya yang terbentuk di dalam/ melalui interaksi sosial.<br />c) Komunikasi antar aktor dan norma (moral norms) akan menentukan tingkah laku aktor tersebut. Aktor akan cenderung berprilaku sesuai dengan norma yang disepakati bersama.<br />d) Pentingnya perubahan sejarah internasional. Identitas agent akan berubah sejalan dengan perubahan struktur internasional. <br /><br />C. Pandangan Konstruktivis tentang Realitas Hubungan Ilnternasional<br />Pandangan konstruktivis terhadap realitas hubungan internasional pada dasarnya muncul untuk membantah pandangangan neorealis. Neorealis selalu memandang realitas hubungan internasional sebagai sesuatu yang anarkis. Kondisi tersebut sifatnya given (ada dengan sendirinya) baik keberadaannya dan sifatnya yang permissive. Konsep “permissive” merujuk pada kondisi yang memungkinkan negara-negara untuk berperang. Dalam konteks ini perang terjadi karena tidak ada yang mencegah negara-negara untuk berperang. Sifat alamiah manusialah atau keadaan politik domestik negara predator yang menyebabkan terjadinya konflik. Jadi jika negara A menyerang negara B, kemudian B melakukan tindakan defense, maka itu disebabkan semata-mata hanya oleh faktor sifat alamiah manusia atau politik domestik. Jadi sistem internasional yang anarkis dan negara adalah sesuatu yang terpisah dan tidak saling mempengaruhi. Semua perilaku negara terjadi di dalam sistem anarkis itu tanpa ada pengaruh apapun dari perilaku negara-negara terhadap sistem tersebut. Neorealis tidak melihat bahwa “practices” negara menentukan karakter anarchy. Dalam pandangan neorealis anarchy adalah sistem yang sifatnya self- help dan ditentukan oleh persaingan power politics, di mana keduanya adalah given oleh struktur sistem negara. <br /> Konstruktivis tidak dalam posisi untuk menolak asumsi anarkis itu, namun memberikan argumen bahwa terjadi interaksi antar negara di dalam sistem anarkis tersebut. Dalam proses interaksi terjadi proses saling mempengaruhi antar negara sehingga memberikan “bentuk” terhadap struktur internasional. Dalam interaksi itu negara membawa subyektifitas masing-masing yang didasarkan pada meanings yang dimiliki. Proses interaksi menyebabkan terjadinya interaksi subyektifitas, dan kesepahaman tentang persepsi atau pengakuan identitas pihak lain--- yang selanjutnya disebut others dan diri sendiri (negara) disebut self-- memunculkan konsep intersubyektifitas. Intersubyektifitas menyangkut kesepakatan ataupun pengakuan terhadap meanings bersama atau collective meanings. Masing-masing pihak di dalam proses interaksi telah sepakat tentang “sesuatu” yaitu bisa berupa musuh, teman, ancaman, atau kerja sama.<br /> Menurut konstruktivisme, setiap tindakan negara didasarkan pada meanings yang muncul dari interaksinya dengan lingkungan internasional. Setiap bentuk tindakan negara misalnya melakukan perang atau menjalin hubungan baik, ataupun memutuskan hubungan dan bahkan tidak melakukan hubungan dengan negara lain, semuanya didasarkan oleh meanings yang muncul dari interaksinya dengan negara-negara atau lingkungan internasionalnya. Tindakan negara terhadap musuhnya tentulah berbeda dengan tindakan terhadap temannya. Negara akan memberikan ancaman terhadap musuhnya dan tentu tidak terhadap temannya.<br /> Tindakan negara dalam pandangan konstruktivisme memberikan pengaruh terhadap bentuk sistem internasional, sebaliknya sistem tersebut juga memberikan pengaruh pada perilaku negara-negara. Dalam proses saling mempengaruhi itu terbentuklah apa yang disebut dengan collective meanings. Collective meanings itulah yang menjadi dasar terbentuknya intersubyektifitas dan kemudian membentuk struktur dan pada akhirnya mengatur tindakan negara-negara. <br /> Terkait dengan asumsi neorealis yang menyatakan bahwa sistem internasional diwarnai oleh adanya distribution of power dan hal itu mempengaruhi negara-negara dalam melakukan kalkulasi, konstruktivis menegaskan bahwa bagaimana mungkin kalkulasi itu terjadi jika tidak ada “distribution of knowledge” di antara negara-negara di dalam sistem internasional tersebut. Distribusi knowledge tersebut akan menentukan atau membentuk konsepsi negara-negara tentang self dan other. Jika tidak ada distribusi knowledge yang menjadi dasar terbentuknya collective meanings bagaimana bisa suatu negara menganggap suatu negara lain adalah “teman” atau aliansinya sementara negara suatu negara lainnya adalah musuhnya. Jadi intersubjective understandings dan ekspektasilah yang menentukan konsepsi negara tentang self dan other. <br /> Sebagai contoh mengapa AS menganggap Kuba adalah musuhnya sedangkan Kanada adalah sekutunya. Secara geografis, kedua negara tersebut adalah tetangga AS. Demikian juga mengapa kepemilikan nuklir Iran dianggap berbahaya oleh AS bagi keamanan dunia dan dirinya sementara kepemilikan nuklir Inggris tidak membahayakan negara manapun? Perbedaan-perbedaan persepsi yang selanjutnya menjadi perbedaan sikap terhadap others tersebut menurut Wendt disebabkan oleh adanya collective meanings yang tercipta di dalam interaksi. Tanpa adanya perbedaan meanings maka sudah tentu AS akan menganggap berbahaya semua negara tetangganya dan semua negara yang memiliki kekuatan senjata nuklir, atau sebaliknya AS akan menganggap semua negara adalah temannya. Contoh lain misalnya, mungkin Perang Dingin tidak akan pernah berakhir jika AS dan Uni Soviet masih menganggap bahwa mereka adalah musuh. Jadi jelas bahwa Perang berakhir karena kedua belah pihak sudah menganggap pihak lainnya bukan lagi musuh. Contoh sederhana lainnya yaitu jika masyarakat sudah lupa tentang apakah universitas itu, maka powers dan practices profesor dan mahasiswa tidak akan ada lagi.<br /> Untuk memperjelas bagaimana konstruktivis memandang realitas hubungan internasional berikut akan dijelaskan tentang varian-varian konstruktivis. Pembagian berikut tentu saja tidak mencakup semua bentuk varian konstruktivis seperti varian John Gerard Ruggie, Friedrich Kratochwil, Nicholas Onuf dan Reus Smith. Hal ini penting untuk diutarakan mengingat satu varian akan sangat berbeda sisi/ bagian penekanannya dibandingkan dengan varian lainnya. Menurut John M. Hobson, konstruktivis dapat dibedakan berdasarkan pada dua kondisi yaitu, pertama, kemampuan untuk membuat kebijakan tanpa adanya hambatan-hambatan dometik (domestic agential state power). Kedua, yaitu, kemampuan untuk membuat kebijakan tanpa adanya hambatan-hambatan internasional (international agential state power). <br /> Berdasarkan dua kondisi tersebut konstruktivis dapat dibagi menjadi tiga varian yaitu: pertama, teori konstruktivis yang digolongkan ke dalam international society-centric constructivism. Varian ini mengasumsikan bahwa kemampuan untuk membuat kebijakan sangat ditentukan oleh lingkungan internasional, sedangkan lingkungan domestik sangat kecil pengaruhnya terhadap pembuatan kebijakan. (The theory of the low domestic agential power of the state and high international agential state power). Salah satu teoritisi yang termasuk di dalam varian ini adalah Martha Finnemore. Menurut dia, HI sangatlah agent-centric. Ia mengasumsikan bahwa negara tidak selalu mengetahui apa yang diinginkannya, sehingga pertanyaan penting yang harus dijawab adalah bagaimana kepentingan negara ditentukan (defined)? Identitas dan kepentingan negara menurutnya ditentukan oleh struktur norma internasional. Oleh karena itu perilaku negara harus dianalisa pada level sistem. <br />Kedua, teori konstruktivis yang digolongkan ke dalam radical-constructivism. Varian ini mengasumsikan bahwa pengaruh domestik sangat kecil di dalam pembuatan kebijakan suatu negara. Sedangkan pengaruh lingkungan internasional tidak terlalu besar (moderat). (The theory of the very low domestic agential power of the state but moderate international agential sate power). Konstruktivisme radikal menurut Hobson adalah postmodernisme. Menurut varian ini, proses pembentukan identitas negara yang dipengaruhi oleh norma global menyebabkan munculnya kekerasan, penindasan, penderitaan dan marginalisasi kaum minoritas. Selain itu varian ini juga mengasumsikan bahwa kedaulatan negara bukanlah sesuatu yang terbentuk dari basis materi, tetapi sesuatu yang socially construct. Lebih spesifik varian ini mengatakan bahwa kedaulatan, perbatasan, legitimasi, bangsa atau komunitas politik domestik, haruslah dilihat dalam konteks proses yang masih berlangsung dan bukan sesuatu yang telah usai (finished or completed).<br />Ketiga, teori konstruktivis yang digolongkan ke dalam state-centric constructivism. Varian ini mengasumsikan bahwa pengaruh domestik maupun lingkungan internasional sama-sama rendah atu moderat. (The theory of the low/moderate domestic agential power of the state and moderate/high international agential state power). Salah satu tokoh utama varian ini adalah Peter J. Katzenstein. Ia mengatakan bahwa teori sistem (systemic theory) tidak mampu menjelaskan perilaku negara, karena, teori sistem memperlakukan negara sebagai suatu kotak hitam (black-boxes) sehingga gagal dalam menjelaskan hubungan antar struktur di dalam negara yang sifatnya kompleks. Katzenstein mengasumsikan bahwa setiap negara berbeda secara internal, dan hal itu menentukan perilaku mereka di dalam sistem internasional.<br />D. Kesimpulan<br /> Konstruktivisme memberikan sumbangan yang cukup penting bagi perkembangan teori-teori hubungan internasional. Kehadiran konstruktivisme yang sering disebut sebagai jembatan (via media) antara teori-teori rasionalis dengan reflektivis telah memberikan arah baru bagi penemuan cara pandang baru atas realitas hubungan internasional. Barry Buzan membuktikan hal itu dengan teori sekuritisasi (securitization) di mana ia berhasil menggabungkan antara pendekatan rasionalis terutama realis dengan pendekatan reflektifis seperti teori kritis dengan menggunakan asumsi-asumsi yang dibangun oleh konstruktivis. <br /> Pendekatan konstruktivis memberikan cara pandang yang lebih tepat terkait dengan isu-isu hubungan internasional yang semakin kompleks. Kehadiran konstruktivis dalam banyak hal menjadi alternatif tool of analysis yang cukup mumpuni ketika pada saat yang sama teori-teori rasionalis tidak bisa menjelaskan banyak hal yang terkait dengan perilaku negara. Sebagai contoh misalnya, realis tidak dapat memberikan penjelasan memuaskan mengapa Perag Dingin berakhir, mengapa Amerika Serikat di satu sisi menentang keras program nuklir Iran tetapi di sisi lain membiarkan (untuk tidak mengatakan mendukung sepenuhnya) program nuklir Pakistan, India dan Israel. Terkait dengan sikap AS terhadap rezim-rezim otriter juga menjadi pertanyaan besar yang tidak bisa dijawab oleh teori rasionalis seperti liberalism yaitu mengapa AS menyerang Irak dengan alasan penyebaran demokrasi tetapi pada sisi lain konsisten mendukung rezim paling totaliter seperti Arab Saudi.<br /> <br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Hay,Collin, Structure and Agency, dalam David Marsh and Gerry Stoker (eds), Theory and Methodes in Political Science. London: Macmillan Press, 1995.<br />Hobson,John M., The State and the International Relations. Cambridge: Cambridge University Press, 2000.<br />-------------------., What’s at Stake in ‘Bringing historical sociology Back into International relations? Transcending ‘Cronofetishm’ and ‘tempocentrism’ in International Relations, dalam Stephen Hobden and John M. Hobson (eds), Historical Sociology of International Relations. Cambridge: Cambridge University Press, 2002.<br />Jepperson,Ronald L. et.all, Norms, Identity, and Culture in National Security, dalam Peter J. Katzenstein (ed), The Culture of National Security: Norms and Identity in World Politics. New York: Columbia University Press, 1996.<br />Marsh, David and Paul Furlong, Chapter 1: A Skin not a Swater: Ontology and Epistemology, in Political Science. hal 17. dalam http://www.palgrave.com<br />Nau, Henry R. Identity and the Balance of Power in Asia, dalam G. John Ikenberry and Michael Mastanduno (eds), International Relations Theory and The Asia-Pacific. New York: Columbia University Press, 2003.<br />Reus-Smit, Cristian, The Idea of History and history with Ideas, dalam Stephen Hobden and John M. Hobson (eds), Historical Sociology of International Relations. Cambridge: Cambridge University Pres, 2002.<br />Ringmar, Erik, and Alexander Wendt: A Social Scientist Struggling with History, dalam Iver B. Neumann and Ole Waever (ed), The Future of Internasional Relations, Masters in the Making, Routledge, London, 1997, hal. 276. <br />Shmidt, Brian C,. The Political Discourse of Anarchy: A Disclipinary History of International Relations. New York: State University of New York Press, 1998.<br />Wendt, Alexander, Social Theory of International Politics. Cambridge: Cambridge University, 1999.<br />Wendt, Alexander, Anarchy is what States Make of it: The Social Construction of Power Politics, International Organization. MIT Press, Vol. 46, No. 2 (Spring 1992).<br />Zehfuss, Maja, Constructivism in International Relations, The Politics of Reality, Cambridge: Cambridge University Press, 2002.heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-14550727842894978522009-11-24T06:58:00.001-08:002009-11-30T07:14:37.360-08:00KONSTRUKTIVISKonstruktivis, Organisasi Internasional dan World Polity<br />(Constructivist, International Organization and World Polity)<br /><br />Oleh:<br />Heri Alfian <br />Abstract<br /><br />The main purpose of this research is explaining and proving the constructivist idea about the construction of the world polity. Now days, that idea becomes important issue in international politics. In accord with polity as a "system of creating value through the collective conferral of authority", constructivist seen that the dramatic growing of international organization in international realm after World War II as the emerging of world polity. There are four points are to be explored i.e., the origin of the world polity; the spread of norms where norms become universal; the norm life cycle; and the International organization. <br />Key words: Constructivist, World Polity, Norm, International organization<br />1. Pendahuluan<br />Keberadaan dan peran organisasi internasional semakin menunjukkan peningkatan dalam politik internasional. Secara faktual fenomena itu mengarah pada integrasi nation-states. Integrasi dalam konteks ini mengacu pada terorganisirnya (organzed) negara-negara di bawah suatu organisasi yang merupakan perwujudan representasi dari negara-negara tersebut. Representasi dalam pandangan konstruktivis adalah bentuk pengakuan terhadap norma universal yang diakui bersama sebagai suatu acuan untuk mencapai kebaikan bersama. <br />Norma universal merupakan hasil dari proses pengidean, pengkampanyean, dan penginstitusionalan suatu norma oleh individu ataupun kelompok yang mengangap bahwa suatu norma yang dianggapnya baik dapat menjadi kebaikan seluruh manusia jika telah menjadi universal. Dalam proses terbentuknya suatu organisasi internasional peran individu atau kelompok tertentu sangat signifikan. Dan yang terjadi saat ini dan akan terjadi di masa mendatang adalah dunia yang semakin terintegrasi di bawah perintahan dunia yang dipimpin oleh individu-individu berpengaruh yang berhasil me-universalisasi norma. Dalam kajian konstruktivis fenomena ini disebut sebagai world polity. <br />Tulisan ini ingin menjelaskan tentang apakah pembentukan berbagai organisasi atau institusi internasional mendukung argumen konstruktivis tentang terbentuknya world polity?<br />2. World Polity<br />Tahun 1850-an para tenaga medis dan korban-korban yang terluka dalam perang diperlakukan sama dengan tenaga atau personel militer yang berperang (combatants). Mereka juga diserang karena dianggap sebagai pihak yang juga terlibat dalam perang. Anggapan itu adalah norma yang umum berlaku pada waktu itu. Namun pada tahun 1859 norma itu mengalami perubahan ketika Henry Dunant mulai mempromosikan norma baru bahwa para tenaga medis dan korban yang terluka dalam perang harus diperlakukan sebagai pihak yang netral dan noncombatants, sehingga tidak boleh diserang. Lalu lahirlah International Committee of the Red Cross, yang aktif mengkampanyekan norma tersebut. Mungkin dunia akan berubah menjadi “oven raksasa” bila kelompok-kelompok enviromentalis seperti greenpeace tidak mengkampanyekan tentang norma-norma yang yang menjunjung pelestarian lingkungan. Para kaum perempuan mungkin tidak akan pernah mempunyai hak pilih (women’s suffrage) seandainya Elizabeth Cady Stanton dan Susan B. Anthony tidak pernah ada dan tidak memperjuangkan norma itu. Saat ini norma itu telah menjadi norma umum yang diakui dan diadopsi oleh hampir semua negara di dunia.<br />Ide kaum konstruktivis tentang terbentuknya world polity menjadi konsep yang semakin penting dalam politik internasional. Konsep ini muncul di tengah-tengah semakin besarnya peran aktor-aktor non-state dalam menentukan munculnya norma-norma universal. World polity mengindikasikan tidak ada satu aktor maupun institusi tunggal yang menentukan apa yang bernilai bagi dunia secara keseluruhan. Konsep world polity telah menghilangkan peran negara yang selama ini dianggap sebagai satu-satunya aktor yang paling dominan dalam politik internasional. World polity mengacu pada peran-peran individu-individu, organisasi non pemerintah (NGO), dan organisasi-organisasi internasional sebagai aktor-aktor yang legitimate dalam menentukan apa yang bernilai bagi dunia. Dalam pandangan kaum konstruktivis world polity berbasiskan pada norma. Sehingga isu-isu yang dikembangkan tidak lagi terkait dengan persoalan perang dan diplomasi antar negara melainkan isu-isu yang tentang human security yang meliputi hak asasi manusia, kesehatan, lingkungan, demoratisasi dan lain-lain.<br /> John Meyer mendefinisikan Polity sebagai a "system of creating value through the collective conferral of authority". Sistem terbentuk dari sekumpulan aturan-aturan yang disebut frame atau model. Aktor-aktor di dalam sistem diciptakan dan dimotivasi oleh frames. Di dalam World polity tidak ada aktor atau institusi tunggal yang bisa menentukan apa yang bernilai bagi dunia. Otoritas aktor berasal dari world culture yaitu sekumpulan model yang berlaku universal yang menentukan siapa aktor yang legitimate di dalam world society, tujuan apa yang dapat mereka raih dan bagaimana mereka dapat meraihnya. <br />Proses terbentuknya world polity atau bekerjanya world polity melalui lima tahap. Pertama adalah world culture akan membentuk negara menjadi aktor yang rasional. Negara sebagai aktor rasional misalnya menjalankan tindakan-tindakannya berdasarkan aturan-aturan formal yang ada. Tahap kedua adalah World culture akan mendorong kepada terbentuknya Isomorphisme. Institusionalisasi world model akan mendorong terjadinya kesamaan struktur. Lalu negara-negara akan mengadopsi bentuk konstitusi yang sama, bentuk sistem pendidikan publik, kebijakan terhadap hak-hak perempuan dan lingkungan, dan kesamaan-kesamaan dalam hal-hal lainnya. Ketiga yaitu tahap di mana negara terstrukturisasi ke dalam tingkatan-tingkatan dan pola-pola tertentu di mana seringkali pola tersebut tidak terkait atau tidak sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan nyata negara tersebut. Hal itu akan mendorong terjadinya kesenjangan antara nilai-nilai yang dianut dari struktur dengan aksi-aksi nyata yang dilakukan. Misalnya banyak negara yang menunjukkan diri di dalam dunia internasional sebagai negara yang memiliki sistem pendidikan yang baik, namun pada dasarnya hal itu hanya bersifat simbolik, karena pada kenyataannya hal itu tidak dilakukan. Jadi apa yang tampak terhadap dunia luar pada dasrnya hanya simbol. Hal ini terjadi pada semua negara yang merupakan aktor rasional, baik negara kuat maupun lemah. Keempat sudah mencapai tahap di mana organisasi internasional non-pemerintah berfungsi untuk merepresentasikan, membawa dan mengelaborasi prinsip-prinsip universal. Organisasi internasional ini dibangun di atas prinsip-prinsip world culture seperti universalisme,individualisme, dan kewarganegaraan dunia. Tahap terakhir adalah tahap di mana di dalam negara bangsa telah menyebar ideologi world society. Hal itu ditandai misalnya dengan munculnya gerakan-gerakan kelompok pecinta lingkungan lingkungan, kelompok penegak HAM.<br />Penempatan nation-states sebagai rasional aktor yang berbasiskan pada norma universal menyebabkan terjadinya isomorphism. Keadaan itu akan menyebabkan perubahan pada pola hubungan antara negara menjadi lebih setara, karena struktur internasional yang di dominasi oleh kekuatan negara hegemon telah berubah menjadi struktur internasional yang sama (structural similarity). Semua negara diatur oleh norma universal, sehingga apa yang dilakukan oleh negara A juga dilakukan oleh negara B. Sebagai contoh adalah norma tentang kebebasan menjalankan hak politik di mana setiap individu berhak berafiliasi ke partai politik apapun yang ia inginkan. Norma itu saat ini telah diakui oleh hampir seluruh negara kecuali negara-negara yang masih diperintah oleh rezim otoriter. Contoh lain yaitu kewajiban bagi seluruh negara untuk menegakkan aturan tentang produk-produk yang berorientasi non-CFC. Tidak ada perbedaan bahwa negara A harus melakukan ketentuan (norma) tersebut sementara negara B boleh tidak melakukannya. Atau negara A melaksanakan ketentuan tersebut sepenuhnya sementara negara B hanya sebagiannya. Semua negara memiliki posisi yang sama untuk melaksanakan ketentuan tersebut (“equality before the norm”). <br />3. Universalisasi Norma <br /> Kaum konstruktivis optimis bahwa norma akan menjadi awal dari terbentuknya world polity. Hal itu dapat terjadi bila norma-norma tersebut telah menjadi norma universal. Proses universalisasi terkait erat dengan bagaimana norma-norma tersebut mempengaruhi para pembuat kebijakan di suatu negara. Dalam proses itulah peran Norm Enterpreneurs sangat penting artinya untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan. Norm Enterpreneurs dalam hal ini adalah para individu dan kelompok-kelompok yaitu Epistemic Society dan organisasi-organisai non pemerintah atau Trans network society (NGO).<br /> Epistemic society tidak selalu berasal dari kelompok yang netral atau tidak terkait dengan pembuat kebijakan, namun bisa juga berasal dari kelompok intelektual organik. Epistemic society menentukan norma apa yang berlaku, kemudian merekomendasikannya kepada pembuat keputusan. Sedangkan network society, berusaha mempengaruhi pembuat kebijakan untuk mengadopsi norma-norma yang mereka anggap sebagai norma yang harus berlaku dengan cara membangun akses ke para pembuat kebijakan. Beberapa cara yang ditempuh untuk membangun akses adalah dengan melakukan lobby kepada pembuat kebijakan. Proses lobbying menekankan arti penting suatu untuk diadopsi oleh pembuat kebijakan untuk alasan-alasan kesejahteraan bersama.<br /> Langkah lain yang biasa dilakukan oleh network society adalah dengan melakukan pressure terhadap pemerintah. Pressure dapat berbentuk sanksi-sanksi militer dan ekonomi. Mempermalukan suatu pemerintah juga langkah yang sering dilakukan oleh network society untuk menekan pemerintah tersebut agar mengadopsi norma yang dikembangkan oleh network society-nya. Tindakan-tindakan “mempermalukan” itu biasanya dilakukan dengan pembuatan simbol-simbol tertentu atau melalui kata-kata yang terus-menerus dipopulerkan dalam aksi-aksi demonstrasi. Selain itu tindakan isolasi juga merupakan langkah yang efektif untuk memberikan tekanan moral terhadap suatu pemerintahan yang tidak mau mengadopsi norma-norma yang dikampanyekan oleh kelompok trans network society.<br />4. The Norm Life Cycle<br />Proses universalisasi norma berlangsung dalam proses yang disebut norm life cycle. Dalam tulisannya “International Norm Dynamics and Political Change” Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink menyebutkan tiga tahap proses berkembangnya suatu norma. Tahap pertama adalah muncul atau lahirnya suatu norma (norm emergence). Proses lahir atau munculnya norma sangat ditentukan oleh peran norm enterpreneurs dan organizational platforms. Peran norm enterpreneurs sangat penting karena mereka memberikan perhatian yang sangat besar terhadap isu-isu bahkan menciptakan isu-isu dengan menggunakan bahasa untuk menamai, menginterpretasi, dan mendramatisasi isu-isu tersebut. <br />Para theorist social movement menyebut proses tersebut ( reinterpretasi dan renaming) sebagai “framing”. Penciptaan frame sangat esensial bagi startegi politik para norm enterpreneurs, karena keberhasilan mempopulerkan suatu frame akan menentukan sejauh mana frame tersebut dikenal dan diterima oleh masyarakat luas. Semakin banyak orang yang mengerti suatu frame maka akan muncul pemahaman yang semakin baik dan akhirnya akan berujung pada pengadopsian frame itu.<br /> Dalam proses mengkonstruksi suatu frame, terjadi persaingan (contestation) antara new frame yang dikonstruksi oleh para norm enterpreneurs dengan norma-norma yang sudah ada dan “dianut” oleh banyak orang (embedded norms). Kontestasi tersebut misalnya dapat dilihat ketika Henry Dunant memperjuangkan agar para tenaga medis dan resources yang mereka tangkap sebagai rampasan perang, diperlakukan dengan baik. Henry Dunant waktu itu harus berhadapan dengan norma-norma yang telah umum diakui di mana para tenaga medis dianggap sebagai/ seperti pasukan militer. Implikasinya adalah para tenaga medis juga diserang atau ditembaki seperti tentara. Dunant harus menghadapi tentangan dari para pempinan militer ketika memperjuangkan frame-nya. Contoh lain adalah ketika para norms enterpreneurs memperjuangkan agar hak pilih perempuan diakui, mereka harus menghadapi tentangan norma-norma yang telah umum berlaku yaitu menyangkut kepentingan-kepentingan perempuan dan peran-peran apa yang pantas bagi perempuan. <br /> Dalam mempromosikan norma pada level internasional, para norm enterpreneur memerlukan platform organisasi. Melalui organisasi tersebut mereka mempromosikan norma-normanya. Ada platform yang secara sengaja dibentuk memang untuk tujuan mempromosikan norma seperti NGO semisal Greenpeace, Red Cross, Transafrica, dan jaringan-jaringan advokasi internasional yang mempromosikan hak asasi manusia, norma lingkungan, larangan-larangan terhadap kegiatan penambangan di tempat tertentu, penentangan terhadap apartheid di Afrika Selatan. Namun terdapat juga organisasi yang tidak memiliki platform yang ditujukan untuk mempromosikan norma seperti World Bank dan IMF. Dalam hal ini para norm enterpreneurs berusaha memasukkan agenda-agenda mereka (norma) ke dalam program-program World bank dan IMF, sehingga secara tidak langsung platform World Bank dan IMF juga menjadi alat untuk mempromosikan norma-norma yang diperjuangkan oleh para norm enterpreneurs. <br />Dari proses itu kemudian muncul isu-isu lingkungan dan hak asasi manusia dalam program yang ditawarkan World Bank dan IMF terhadap negara-negara yang ingin mendapatkan pinjaman dari dua institusi keuangan tersebut. Mekanismenya adalah negara yang ingin mendapatkan pinjaman harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh kedua institusi itu seperti pelestarian hutan, penjaminan hak-hak buruh, rezim pemerintahan yang demokratis (tidak otoriter dan tidak terlibat kriminalitas).<br /> Tahap kedua adalah “norm cascade”, yaitu suatu proses di mana negara-negara mulai mengakui keberadaan suatu norma dan mengadopsinya. Proses ini disebut dengan tipping or treshold points. Pada tahap ini norma yang dikampanyekan oleh para enterpreneur mendapatkan reaksi yang berbeda dari negara-negara, yaitu ada yang menerimanya dan ada yang menolaknya. Untuk mengetahui apakah suatu norma telah mengalami tahap norm cascade ukuran yang dipakai adalah tingkat prosentase negara-negara yang telah mengadopsi norma tersebut. Jika jumlah prosentase negara-negara yang mengadopsi norma kurang dari 1/3 (satu pertiga) maka norm cascade belum terjadi. Sebagai contoh terjadinya norm cascade dapat dilihat pada kasus norma tentang hak pilih perempuan (women’s suffrage). Pada tahun 1930 norma tersebut telah mengalami proses norm cascade, yaitu ketika dua puluh negara telah mengdopsi norma itu. Jumlah tersebut setara dengan satu pertiga jumlah seluruh negara yang berada di dalam sistem pada waktu itu. Pada tahap ini penerimaan terhadap norma oleh negara sifatnya masih setengah-setengah. Masih terjadi penolakan-penolakan terhadap hal-hal tertentu atas norma tersebut dengan alasan-alasan tertentu. Bisa juga dikatakan norma yang berusaha di universalisasikan masih kontroversial. <br /> Tahap ketiga adalah internalization. Pada tahap ini norma telah diterima secara luas oleh hampir seluruh negara. Norma telah terinternalisasi kepada para aktor dan diterima sebagai sesuatu yang “taken for granted”. Tahap ini ditandai dengan proses internalisasi yang extremely powerful, karena penerimaan terhadap norma dilakukan secara langsung tanpa mempertanyakan norma tersebut. Bisa juga karena aktor tidak serius mengkonfirmasi tentang norma tersebut serta tidak mengetahui akan dikonfirmasi kepada siapa. Hal itu menandakan bahwa sudah tidak terdapat kontroversi pada norma tersebut, yang ditunjukkan dengan tidak adanya perdebatan-perdebatan politis diantara para aktor tentang norma itu. <br />Norm Life Cycle<br />Norm emergence Norm cascade Internationalization<br />Stage 1 tipping point stage 2 Stage 3<br /><br />5. Organisasi Internasional dan World Polity<br /> Munculnya kesepahaman negara-negara tentang suatu norma (setelah melalui tahap internalization), akan mendorong negara-negara untuk bekerja sama. Kerja sama itu biasanya diwujudkan dalam bentuk organisasi internasional. Dalam term Ruggie proses ini disebut dengan institutionalization.<br /> Institutionalization adalah “to coordinate and pattern behavior, to channel it in one direction rather than all others that are theoretically and empirically possible”. Menurut Ruggie terdapat tiga bentuk dari internationalization yaitu Epistemic communities , International regimes , dan International Organization. Menurut Ruggie Organisasi internasional adalah “as operating within a policy space whose axes are defined by the purposes and instrumentalities of the regimes they serve”. Organisasi internasional juga merupakan suatu entitas yang memiliki kantor, kepala surat, prosedur-prosedur voting, perencanaan atau agenda. Sedangkan menurut Ernst B. Hass organisasi internasional adalah sekumpulan prinsip, proses dan mekanisme di mana hubungan antar negara diatur di dalamnya. Dalam term Robert Keohane dan Joseph Nye, organisasi internasional digambarkan sebagai salah satu aktor di/dan merupakan tempat (venue) bagi pelaksanaan hubungan transnational (yang melibatkan entitas non negara) dan hubungan transgovernmental (yang melibatkan sub-unit negara). <br /> Garis besar dari definisi-defisi tersebut adalah adanya unsur transnasional dan multilateral. Hubungan transnasional merupakan hubungan yang lintas batas yaitu antar suatu entitas dari geografis yang berbeda-beda dan melibatkan setidaknya satu aktor di luar state (nonstate actor). Hubungan multilateral menyangkut hubungan yang melibatkan aktor-aktor atau entitas selain negara atau (nongovermental). Sifat multilateral ini menyebabkan struktur organisasi tidak hirarkis, tetapi multilateral. Hal itu berimplikasi pada bentuk otoritas yang dimiliki organisasi internasional. <br />Otoritas internasional dalam pandangan Weber yaitu, pertama otoritas berbeda dengan bentuk-bentuk power lainnya, yaitu otoritas didasarkan pada adanya sedikit kerelaan untuk tunduk, ketundukan itu lebih didasarkan pada kerelaan dan bukan paksaan. Kedua, otoritas berbeda dengan bentuk-bentuk persuasi, karena otoritas memberikan hak kepada superordinat untuk menentukan kesalahan terhadap subordinat tanpa melihat apakah superordinat itu benar atau salah. Ketiga, otoritas berbeda dari bentuk kontrol, karena adanya sistem kepercayaan yang secara sosial melegitimasi kontrol yang dilakukan oleh superordinat sebaliknya menyebabkan penolakan atas command superordinat sebagai sesuai yang illegitimate. <br />Untuk menganalisa otoritas yang dimiliki oleh organisasi internasional, pandangan Weber di atas menurut Peter Blau dan Ruggi kurang tepat. Sebab, otoritas dalam organisasi internasional bukan dalam konteks hubungan formal superordinat dengan subordinat. Menrut mereka konsep otoritas Weber di dasarkan atas orientasi individualitas (individual-based view). Artinya otoritas yang ada adalah dalam konteks hubungan aktor individual dengan aktor individual lainnya atau otoritas subyektif. Dalam konteks ini individu dapat secara mudah memberikan legitimasi kepada salah satu aktor untuk memegang otoritas karena faktor kepentingan yang tidak terlalu kompleks seperti negara. Sedangkan di dalam organisasi internasional otoritas berada dalam konteks hubungan antar negara di mana bentuk hubungan dan kepentingannya sangat kompleks. Dalam pandangan Bernard dan Blau otoritas dalam organisasi internasional dibangun berdasarkan kepentingan-kepentingan aktor-aktor negara sehingga yang muncul adalah persamaan sense untuk melaksanakan kewajiban bersama. Kewajiban bersama dilaksanakan dengan mengikuti/pemenuhan norma-norma (norms of compliance) bersama. Jadi dalam konteks ini organisasi internasional (regime) tidak bertindak sebagai superordinat karena institusionalisasi otoritas terjadi pada level negara, juga karena yurisdiksi tidak diserahkan kepada entitas tertentu namun dilaksanakan secara kolektif oleh negara-negara. Ruggie menyebut otoritas internasional sebagai transordinate structure, untuk membedakannya dengan superordinate dan subordinate structures. <br />Gambaran teoretis di atas dapat menjelaskan tentang keterkaitan antara organisasi internasional dengan terbentuknya world polity. World polity, seperti dijelaskan sebelumnya menekankan pada similarity atau isomorphisme dalam sistem internasional yaitu adanya persamaan tentang norma-norma. Dalam organisasi internasional kesamaan tersebut juga menjadi basis terciptanya kerjasama sehingga semua anggota organisasi memiliki kewajiban yang sama. Sifat multilateralisme yang melekat pada organisasi internasional juga menjadi indikator kuat bahwa organisasi internasional merupakan suatu instrumen untuk terbentuknya world polity. Namun harus diakui bahwa organisasi-organisasi internasional yang ada saat ini belum sepenuhnya merefleksikan suatu world polity. Hal itu dapat dijelaskan dengan melihat bentuk organisasi itu sendiri, di mana terdapat organisasi internasional yang sifatnya tidak multilateral. Sifat organisasi itupun hirarkis dan tidak multilateral. Bentuk organisasi seperti ini adalah organisasi yang didasarkan pada prinsip-prinsip Lenin. Contohnya adalah organisasi negara-negara Eropa Timur-Uni Soviet di mana Uni Soviet sebagai pemegang otoritas tertinggi. <br />Namun secara umum organisasi-organisasi internasional yang ada saat ini adalah organisasi yang menjadi dasar terbentuk world polity. Akan tetapi harus diakui bahwa hal itu masih memerlukan waktu yang cukup panjang, karena banyak organisasi internasional yang sifat keanggotaannya multilateral namun proses pengambilan keputusannya bersifat hirarkis. Biasanya hirarki tertinggi dipegang oleh negara yang memiliki kontribusi paling besar terhadap organisasi. Hal itu terjadi misalnya dalam World Bank dan IMF dimana AS memiliki suara voting terbesar yaitu 18%, yang diikuti oleh Jepang, Jerman, Jerman, Prancis. Sementara sekitar 5% suara yang tersisa dibagi oleh negara-negara berkembang yang jumlahnya ratusan. <br />6. Kesimpulan<br /> Munculnya berbagai organisasi internasional di dalam politik internasional merupakan basis dari terbentuknya world polity. Dalam pandangan konstruktivis proses itu merupakan perwujudan dari proses universalisasi norma yang dilakukan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok tertentu. Dunia yang akan terbentuk menurut mereka adalah dunia yang diatur oleh satu aturan uniuversal (in one direction) di mana individu-individu tertentu sebagai directornya. Namun, terbentuknya world polity masih membutuhkan waktu yang sangat lama atau bahkan sulit terwujud karena organisasi internasional saat ini banyak yang oreintasinya tidak menunjukkan ke arah terbentuknya world polity.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br /><br />Meyer, John W. 1980, The World Polity and the Authority of the Nation-State. dalam Bergesen (ed.). Studies of the Modern World-System, New York: Academic Press.<br /><br />Boli, John and George M. Thomas. 1997. World Culture in the World Polity, American Sociological Review 62 (2).<br /><br />Thomas, George, et all. 1997. World Society and the Nation-State, American Journal of Sociology 103(1).<br /><br />Ruggie, John Gerard. 1998. Constructing the World Polity, Essays on International Institutionalization, New Yorke: Routledge.<br /><br />Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.<br /><br />Finnemore, Martha and Kathryn Sikkink. 1998. International Norm Dynamics and Political Change, dalam International Organization 52,4, Autumn, The IO Foundation and the Massachusetts Institute of Technology.<br /><br />Krasner, Stephen D. 1982. Structural causes and regime consequences: regimes as intervening variables, International Organization 36, 2 Spring, Massachusetts Institute of Technology.<br /><br />Risse-Kappen, Thomas. 1995. Bringing Transnational Relations Back in: Introduction, dalam Thomas Risse-Kappen (ed), Bringing Transnational Relations Back in, Non-state Actors, Domestic Structures and International Institutions, UK: Cambridge University Press.<br /><br />http://www.sociology.emory.edu/globalization/theories02.htmlheri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-6426899915986896492009-11-08T07:21:00.000-08:002009-11-30T07:12:09.214-08:00HUKUM INTERNASIONAL: TEORI LEGALISASIPILIHANHUKUM INTERNASIONAL: TEORI LEGALISASI<br />PILIHAN BENTUK LEGALISASI COMMON EFFECTIVE PREFERENTIAL TARIFF- DAN EFEKTIFITAS ASEAN FREE TRADE AREA<br />Oleh: <br />Heri Alfian∗<br />Abstract:<br />Lelgalization refers to the degree to wich rules are obligatory, the precision of those rules, and the delegation of some functions of interpretation, monitoring, and implementation to a third party. International actors choose the form of legalization (hard/soft) in order to solve their specific subtantive and political problems. This article is going to explore the reasons of Asean Free Trade Area’s member in determining their legalization known as Common Effective Preferential Tariff and the effectiveness of its implementation. The findings suggets that the forms of AFTA-CEPT legalization is moderate legalization. There are three main reasons that subscribe to the logic above; first, the different of economy power among its ASEAN member. Second, the legalization will suffers and lead the development of trade diversion among its members, this wil dettach it member for endorsing the values of trade creation among AFTA members. The last finding prescribes ASEAN members should adjust it capacity of production and its technology development to penetrate the global world market. In short, this will shape ASEAN region as the training ground for global market penetration.<br /><br />1. Pendahuluan<br />Tulisan ini akan menganalisa tentang alasan-alasan pemilihan bentuk legalisasi Common Effective Preferential Tariff-Asean Free Trade Area (CEPT-AFTA). Tulisan ini sekaligus ingin menunjukkan bahwa terdapat kaitan yang erat bentuk legalisasi suatu hukum internasional dengan efektifitas implementasinya. Artinya tulisan ini juga akan memperlihatkan bahwa hukum internasional yang sering disebut semata-mata hanya sebuah hukum koordinasi -yang menurut banyak pihak sulit berlaku efekti- ternyata bisa berlaku efektif. <br />Berdasarkan prinsip teori legalisasi, efektifitas pelaksanaan aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam suatu hukum internasional ditentukan oleh bentuk legalisasinya. Menurut Judith Goldstein, Miles Kahler, Robert Keohane dan Anne Marie Slaughter legalisasi merupakan salah satu bagian yang sangat vital untuk mengukur efektifitas produk hukum yang dihasilkan oleh sebuah organisasi internasional. Jika legalisasinya berbentuk soft law maka secara teoritis implementasinya akan cenderung kurang efektif. Sebaliknya, jika legalisasinya berbentuk hard law, maka implementasinya akan cenderung efektif. Tentu saja asumsi teoritis ini tidak an-sich berlaku demikian, karena setiap teori selalu merujuk pada kondisi-kondisi yang ideal, sedangkan dunia nyata tidak selalu berada dalam kondisi ideal. Tulisan ini akan memperlihatkan bahwa bentuk hukum CEPT ( yang berada di dalam ranah teoritis : idealis) akan berpengaruh signifikan terhadap implementasinya di dalam dunia nyata (dunia nyata). Hal itu dilatarbelakangi oleh alasan-alasan yang secara teoritis digambarkan sebagai reasoning yang mendorong negara-negara untuk cenderung mengambil atau menyepakati bentuk hukum tertentu daripada bentuk lainnya.<br /><br />2. Pemilihan Bentuk Legalisasi (Landasan Teoritis)<br />Secara teoritis alasan negara-negara lebih memilih bentuk hard law adalah: untuk mengikat masing-masing pihak yang terlibat di dalam perjanjian dengan komitmen yang kuat (credible commitments). Kedua, untuk mengurangi resiko-resiko yang mungkin muncul di masa mendatang (reducing transaction costs), di mana perjanjian yang berbentuk hard law akan memaksa negara-negara yang terikat perjanjian untuk mematuhi semua aturan yang telah disepakati bersama, karena biasanya terdapat ketentuan tentang sanksi bagi yang melanggar kesepakatan. Ketiga, memungkinkan negara-negara mengubah strategi politiknya. Hal ini terutama akan menguntungkan negara-negara yang kuat, karena dengan hard law mereka dapat mengambil kebijakan-kebijakan yang menguntungkan di mana negara lain tidak dapat melakukannya karena keterbatasan power. Keempat, untuk mencegah masalah-masalah yang mungkin timbul di masa mendatang jika perjanjian tersebut tidak lengkap. <br />Adapaun alasan-alasan menagapa negara-negara lebih memilih bentuk perjanjian yang soft law adalah, pertama, mengurangi “biaya-biaya” yang timbul pada saat proses pembuatan perjanjian yang meliputi pertemuan-pertemuan awal, proses mempelajari isu-isu, proses negosiasi terutama jika isu yang dibahas sifatnya kompleks dan tidak familiar. Kedua, mengurangi resiko yang terkait dengan kedaulatan. Hal ini menyangkut kemungkinan berkurangnya otoritas pemerintah suatu negara untuk membuat keputusan Ketiga, menyangkut masih banykanya kondisi-kondisi yang tidak pasti. Bentuk perjanjian yang soft akan memberikan kemudahan bagi negara-negara yang terkait untuk menyesuaikan dengan perubahan yang akan muncul dari kondisi-kondisi yang belum pasti tersebut, di mana biasanya ketidakpastian akan cenderung mengalami perubahan yang tidak terduga. Keempat, negara-negara lebih memilih bentuk sof law sebagai alat untuk melakukan kompromi. Bentuk perjanjian yang soft dapat digunakan untuk mengkompromikan kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda di antara negara. Dengan kata lain fase ini akan menjadi ruang untuk mencapai kesesuaian-kesesuaian dari perbedaan-perbedaan yang ada. <br /><br />3. Legalisasi Common Effective Preferential Tariff<br />Pada dasarnya setiap perjanjian untuk membentuk Free Trade Area (FTA) seperti AFTA ditujukan untuk untuk membuka selebar-lebarnya pasar domestik masing-masing negara terhadap negara lainnya. FTA dibuat untuk menciptakan hubungan yang win-win game. Pemikiran ini juga menjadi salah satu dasar pendirian Common Efective Preferential Tariff (CEPT). Common Efective Preferential Tariff (CEPT) merupakan salah satu produk hukum yang dihasilkan oleh ASEAN. Pembentukan CEPT ditujukan untuk memperlancar kinerja ASEAN Free Trade Area (AFTA). Isi AFTA tidak hanya penurunan tarif saja, tetapi juga pembatasan hambatan kuantitatif dan hampatan non tarif serta pengecualian terhadap pembatasan nilai tukar terhadap produk-produk CEPT. AFTA melalui CEPT merupakan wujud dari kesepakatan negara-negara anggota ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia. CEPT merupakan sebuah mekanisme AFTA, yang isinya merupakan aturan-aturan yang telah disepakati bersama oleh negara ASEAN dalam mengimplementasikan AFTA. <br />Secara ringkas bentuk legalisasi CEPT-AFTA dapat diklasifikasikan ke dalam moderate legalization atau moderate law. Kesimpulan itu merujuk pada bentuk obligasi, presisi, dan delegasi CEPT-AFTA yang moderat. Sifat obligasi CEPT yang moderat didasarkan pada analisa bahwa terdapat pasal-pasal yang secara tegas menyebutkan tentang sifat binding-nya seperti tertera di dalam bagian pertama sampai bagian kedelapan. Namun di bagian kesembilan sifat binding tersebut dilemahkan dengan adanya penegasan bahwa negara-negara anggota dapat melakukan tindakan yang “melanggar” atau tepatnya tidak mematuhi aturan-aturan di dalam CEPT jika terdapat kondisi-kondisi yang dapat mengancam kepentingan nasionalnya. <br />Adapun Presisi CEPT yang moderat ditunjukkan dengan fakta bahwa dari keseluruhan pasal CEPT terdapat 5 bagian (artikel) yang memiliki presisi tinggi, 2 moderat dan 3 rendah. Dengan merujuk pada ketentuan teori legalisasi maka dapat disimpulkan bahwa CEPT memiliki tingkat presisi yang moderat. <br />Adapun bentuk Delegasi CEPT yang moderat ditunjukkan oleh tidak adanya satu ketentuanpun di dalam CEPT yang menyebutkan tentang bentuk hukuman (punishment) bagai pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan-aturan CEPT. Kondisi itu semakin lemah karena tidak disebutkan pihak ketiga yang dapat menentukan apakah negara anggota telah melakukan tindakan pelanggaran atau tidak. Mekanisme yang ada hanya sebatas penilain dari negara anggota terhadap negara lainnya, dan itupun harus melalui penilaian negara lain yang subyektif sekali sifatnya. Dalam perjanjian CEPT-AFTA, perselisihan atau sengketa dapat diproses penyelesaiannya secara formal melalui Dispute Settlement Mechanism. Namun dalam prakteknya tidak ada sengketa yang diproses secara formal melalui mekanisme ini. Sengketa yang terjadi diselesaikan melalui semangat ASEAN dan secara kekeluargaan, melalui pertemuan yang bertingkat-tingkat dalam Working Group, Senior Economic Official Meeting (SEOM), AFTA Council dan Menteri-menteri Ekonomi ASEAN (AEM). <br />Selain itu dan yang terpenting adalah tidak adanya satu ketentuanpun di dalam CEPT yang menyebutkan tentang bentuk hukuman (punishment) bagai pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan-aturan CEPT. Kondisi itu semakin lemah karena tidak disebutkan pihak ketiga yang dapat menentukan apakah negara anggota telah melakukan tindakan pelanggaran atau tidak. Mekanisme yang ada hanya sebatas penilain dari negara anggota terhadap negara lainnya, dan itupun harus melalui penilaian negara lain yang subyektif sekali sifatnya. Dalam perjanjian CEPT-AFTA, perselisihan atau sengketa dapat diproses penyelesaiannya secara formal melalui Dispute Settlement Mechanism. Namun dalam prakteknya tidak ada sengketa yang diproses secara formal melalui mekanisme ini. Sengketa yang terjadi diselesaikan melalui semangat ASEAN dan secara kekeluargaan, melalui pertemuan yang bertingkat-tingkat dalam Working Group, Senior Economic Official Meeting (SEOM), AFTA Council dan Menteri-menteri Ekonomi ASEAN (AEM). Sesuai dengan teori legalisasi maka dapat disimpulkan bahwa bentuk legalisasi CEPT adalah Moderate legalizatin yang berarti bentuk hukumnya adalah Moderate Law.<br />3. Alasan-alasan Anggota AFTA Memilih Bentuk Moderate Law<br />Berikut ini akan dijelaskan alasan-alasan negara anggota ASEAN memilih bentuk legalisasi moderate law atas perjanjian Common Effective Preferential Tariff. Bentuk legalisasi CEPT yang moderate merupakan bentuk hukum yang memiliki kekuatan mengikat yang tegas terhadap negara-negara anggota ASEAN, namun masih memberikan peluang untuk terjadinya kompromi-kompromi tertentu. Kompromi itu dimungkinkan karena adanya pasal-pasal di dalam CEPT yang sifatnya multitafsir, artinya memberikan ruang untuk menanfsirkan hukum dengan pemahaman yang berbeda bagi negara-negara anggota. Dalam perspektif hukum internasional hal itu berarti masih adanya aspek politik yang terkandung di dalam aturan-aturan CEPT.<br />Dalam The Concept of Legalizations, Abbot dkk. menjelaskan bahwa hukum internasional merupakan hasil dari proses legalisasi yang dilakukan oleh institusi internasional ataupun kesepakatan antar negara memiliki aspek hukum dan aspek politik. Antara kedua aspek ini terdapat keterkaitan yang kuat (intertwined) dalam setiap tingkat proses legalization. Atas dasar pengertian ini maka Abbot dkk. menolak tegas adanya suatu dichotomy yang rigid antara aspek hukum dan politik tersebut. Karena menurutnya tidak ada suatu legalisasi yang benar-benar tidak memiliki aspek politik di dalamnya. Sebaliknya, tidak ada suatu bentuk legalisasi yang benar-benar hanya memiliki aspek politis tanpa ada aspek hukum di dalamnya. <br />Alasan pertama mengapa CEPT berbentuk moderate law adalah karena perbedaan tingkat perekonomian yang cukup besar di antara negara-negara anggotanya. ASEAN tidak bersedia untuk “go all out” dan mengarah pada pembentukan suatu uni ekonomi. Salah satu sebabnya, dan ini pula yang membedakannya dengan Uni Eropa, adalah adanya perbedaan tingkat perkembangan ekonomi yang cukup besar. Pendapatan per kepala di Singapura 50 kali pendapatan per kepala di Laos. Pendapatan per kepala di Jerman paling tinggi hanya 4 kali pendapatan per kepala di Portugal. Perbedaan lain antara ASEAN dan Uni Eropa yang mempengaruhi langkah integrasi kawasan adalah luasnya pasar dan sifat komplementaritas ekonomi. Pasar Eropa sangat besar dan karena itu negara-negara anggota EU bisa menggantungkan sebagian besar perdagangannya pada kawasan bersangkutan. Sekitar 70-an persen total perdagangan negara-negara EU adalah antara sesama anggota. Sebaliknya, perdagangan intra-kawasan di ASEAN hanya sekitar 20 persen. Ini pun untuk sebagian terbesar melibatkan hanya tiga negara yaitu Singapura-Malaysia-Indonesia. <br />Adalah suatu kenyataan bahwa anggota-anggota ASEAN lebih banyak berdagang dengan negara-negara di luar kawasan. Hal ini disebabkan karena komplementaritas ekonomi yang rendah. Ada kemungkinan sebagai akibat AFTA, komplementaritas ini akan meningkat dan sebagai akibatnya perdagangan intra-kawasan akan meningkat pula. Bagaimana ini akan terjadi? Upaya meliberalisasi perdagangan antara negara-negara ASEAN bukan dimaksudkan untuk meningkatkan perdagangan intra-kawasan per se. Dari segi ekonomi tujuan seperti ini tidak rasional, yang rasional adalah bila suatu negara bisa mengimpor barang dari sumber mana saja yang termurah. Peningkatan perdagangan intra-kawasan bisa mempunyai tujuan politik bila yang ingin dibina adalah suatu solidaritas. Solidaritas serupa ini dijelmakan dalam kesepakatan saling membeli dari sesama. Dengan demikian maka jelas bahwa CEPT merupakan aturan-aturan yang mengatur mekanisme di dalam AFTA yang di satu sisi akan memberikan keuntungan bagi anggota-anggotanya, namun di lain sisi dirancang agar memberikan ruang penyusuaian bagi anggota-anggotanya untuk bentuk yang lebih maju yaitu suatu Uni Ekonomi.<br />Alasan kedua adalah untuk menghindari kerugian bagi negara-negara anggota ASEAN. Hal itu terkait dengan alasan bahwa suatu FTA bisa membawa dampak buruk. Secara teoritis, pemberlakuan tarif preferensial dalam FTA akan menyebabkan harga suatu barang dari sesama peserta FTA menjadi lebih murah daripada harga barang yang datang dari negara bukan peserta FTA, walaupun sebenarnya ongkos produksinya lebih murah. Atas dasar itu FTA bisa menyebabkan terjadinya “pengalihan perdagangan” atau trade diversion. <br />Secara teoritis trade diversion ini berdampak negatif karena menurunkan kesejahteraan dunia. Sementara itu FTA yang baik adalah yang “menciptakan perdagangan” atau trade creation. Artinya, kebersamaan itu menciptakan suatu sinergi dalam arti bahwa perdagangan peserta FTA meningkat baik antara sesama peserta maupun dengan pihak-pihak bukan peserta karena terjadi peningkatan efisiensi. Peningkatan efisiensi ini lah yang dituju oleh AFTA. Dengan dihilangkannya hambatan perdagangan antara sesama negara anggota diharapkan ASEAN bisa “dijual” kepada para investor global sebagai suatu kawasan yang menarik, yang berdaya saing internasional yang tinggi. Sebab, kawasan ini menawarkan “keunggulan” yang beragam. Comparative advantage (keunggulan komparatif) Indonesia jelas berbeda dari keunggulan komparatif Singapura. Bila keunggulan itu dapat dipadukan maka bisa tercipta suatu competitive advantage bagi kawasan secara keseluruhan. Dengan demikian ASEAN bisa menjadi suatu production plaform atau export platform bagi para investor dunia, termasuk para MNCs (perusahaan multinasional).<br />Alasan ketiga terkait dengan alasan pertama dan kedua yaitu dalam rangka mendapatkan keuntungan yang maksimal dari keberadaan AFTA, maka negara-negara anggota ASEAN harus mempersiapkan diri terhadap masuknya investasi asing. Dengan menggunakan investasi asing dan teknologi serta aset-aset ekonomi lainnya yang ikut masuk ke kawasan maka negara-negara kawasan dapat memperoleh bagian yang lebih besar dan terus meningkat dalam produksi dunia. Selain itu aturan-aturan CEPT juga menjadi guiding bagi masa-masa di mana negara-negara anggota ASEAN melakukan latihan (training ground) bagi pembukaan ekonomi terhadap dunia secara keseluruhan. <br />Dalam era globalisasi, suatu negara harus membuka pasarnya sendiri bila ingin memanfaatkan pasar lain. Pasar dunia sangat besar bagi negara-negara ASEAN dibandingkan dengan pasar masing-masing dan pasar kawasan secara keseluruhan. Oleh karena ini ASEAN berkepentingan bahwa pasar dunia terbuka bagi barang-barang produksi ASEAN. Tetapi untuk itu pasar ASEAN tidak bisa ditutup dan diproteksi terus menerus. ASEAN harus membuka pasarnya. Prinsip resiprositas sudah berlaku bagi ASEAN. Prinsip ini berarti bahwa perlakuan yang diperoleh sebanding (tidak perlu sama persis) dengan perlakuan yang diberikan. Semakin maju suatu negara dan semakin berhasil negara tersebut dalam perdagangan internasional maka prinsip ini diberlakukan. Di waktu lalu negara-negara berkembang tidak perlu membalas perlakuan yang diberikan oleh negara-negara maju. Tetapi semakin banyak negara berkembang bisa naik kelas (graduate) maka negara berkembang dituntut untuk juga memberikan konsesinya. Dahulu, dengan prinsip special and differential (S&D) treament, negara-negara berkembang boleh menikmati free riding. Karena dianggap lemah, maka mereka tidak diharapkan memberi konsesi apa-apa tetapi ikut menikmati konsesi yang saling dipertukarkan (melalui perundingan dalam rangka GATT, General Agreement on Tariff and Trade) di antara negara-negara maju. Kini ASEAN sudah menjadi peserta aktif dalam WTO. Tetapi negara-negara ASEAN dan negara berkembang lain masih diberi kelonggaran dalam arti jangka waktu yang lebih lama untuk menurunkan tarif perdagangannya dibandingkan dengan negara maju. Walaupun demikian pada suatu waktu, tarif-tarif perdagangan ASEAN terhadap dunia secara keseluruhan (tarif MFN) akan menjadi sangat rendah. Masing-masing negara ASEAN (anggota WTO) sudah membuat komitmen liberalisasi perdagangan dalam apa yang dikenal sebagai Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang disepakati tahun 1994. <br />Jika ditarik garis besar dari alasan-alasan tersebut maka bentuk CEPT yang moderate bertujuan pada satu tujuan utama yaitu untuk memberikan ruang bagi bentuk kawasan perdagangan bebas yang lebih luas yang tidak terbatas hanya antar negara-negara anggota ASEAN saja. Melalui AFTA, negara-negara ASEAN berharap dapat saling memperkuat proses liberalisasi masing-masing. Caranya adalah dengan membuka pasar bagi sesama tetangga dahulu, dan kalau bisa ditunjukkan bahwa kemampuan itu ada, maka akan terbentuk keyakinan yang lebih besar untuk membuka pasar bagi yang lainnya. Liberalisasi perdagangan dalam rangka APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) yang melibatkan lebih banyak negara juga dapat dilihat sebagai langkah berikutnya ke arah liberalisasi secara global. Dan memang ini lah agenda liberalisasi perdagangan APEC. Modalitasnya, yaitu melalui apa yang disebut concerted unilateral liberalization, jelas menunjukkan maksud ini. Karena kemampuan anggotanya begitu berbeda-beda, maka masing-masing dipersilahkan mengatur jadwal dan kecepatan dari liberalisasinya, tetapi dengan melaksanakannya dalam suatu kesepakatan bersama (concerted) maka diharapkan terjadi saling mendorong (mutual encouragement) dan saling membantu melalui proyek-proyek APEC lainnya (facilitation dan economic and technical cooperation). Maka AFTA sebenarnya baru langkah awal dalam suatu proses liberalisasi secara global. Intinya adalah kerja sama kawasan untuk memperbesar kesempatan masing-masing dalam mengahadapi tantangan global.<br /><br />A. Realitas Pelaksanaan CEPT-AFTA<br />ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. AFTA dibentuk pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Pada KTT tersebut ditetapkan bahwa ASEAN sebagai basis produksi dunia akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002.<br />Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk mewujudkan AFTA melalui : penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kwantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand pada tahun 2010, sedangkan bagi Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015. <br />Pada kenyataannya, upaya pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut terus dilakukan. Saat ini lebih dari 99% produk yang termasuk di dalam CEPT Inclusion List (IL) dari Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura and Thailand, telah diturunkan ke menjadi 0-5 %. Anggota ASEAN lainnya yaitu Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam tidak lama lagi akan ikut serta melaksanakan ketentuan-ketentuan CEPT. Negara-negara tersebut telah telah memasukkan sekitar 80% produknya ke dalam CEPT-ILS. Di antara produk-produk tersebut, sekitar 66% telah diberlakukan tarif antara 0-5%. Sejak penandatanganan amandemen perjanjian CEPT-AFTA untuk menghilangkan hambatan impor pada tanggal 30 Januari 2003, ASEAN-6 berkomitmen untuk menghilangkan hambatan tarif sebesar 60% atas produk-produk mereka di dalam IL. Hal itu baru tercapai pada tahun 2005 di mana pengurangan tarif telah mencapai 64.12%. <br />Melihat perkembangan tersebut, sekilas tampak bahwa implementasi CEPT cukup menggembirakan, dalam arti pengurangan tarif dan non tarif memang dilaksanaakan. Namun untuk dapat dikatakan efektif perlu dianalisa lebih lanjut, terutama terkait dengan jadwal pengurangan tarif seperti diatur di dalam CEPT. Seperti diketahui maksud utama dari penerapan CEPT tersebut adalah untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka menuju integrsi ekonomi regional. Jadi dapat dikatakan bahwa penerapan perdagangan bebas (free trade area atau FTA) adalah tahapan yang paling awal dari proses integrasi ekonomi di antara para pesertanya. Dalam suatu FTA para pesertanya sepakat untuk saling menurunkan tarif perdagangan di antara sesama peserta. Tarif ini disebut tarif preferensial (preferential tariffs). Dalam AFTA, tarif itu disebut AFTA preferential tariffs atau disingkat AFTA tariffs, tetapi juga disebut sebagai CEPT atau Common Effective Preferential Tariffs. <br />Berikut adalah kronologis jadwal pengurangan tarif berdasarkan Skema CEPT:<br />1. Perdagangan bebas ASEAN (AFTA = ASEAN Free Trade Area) disetujui pada KTT-ASEAN di Singapura tahun 1992, dengan tujuan untuk meningkatkan perdagangan intra-ASEAN dan pendayagunaan bersama semua sumber daya dari dan oleh negara-negara ASEAN. Pada waktu disetujuinya AFTA tersebut, target implementasi penuhnya adalah pada 1 Januari 2008, dengan cakupannya adalah produk industri.<br />2. Sejak tahun 1993, dimulailah program penurunan tarif masing-masing negara ASEAN-6, melalui penyampaian Legal Enactment yang dikeluarkan setiap tanggal 1 Januari. <br />3. Pada tahun 1994, sidang Menteri Ekonomi ASEAN memutuskan untuk mempercepat implementasi penuh AFTA menjadi 1 Januari 2003, dengan cakupannya termasuk produk hasil pertanian.<br />4. Pada tahun 1998, KTT-ASEAN di Hanoi mempercepat implementasi penuh AFTA menjadi 1 Januari 2002, dengan fleksibilitas. Fleksibilitas di sini berarti bahwa beberapa produk yang dirasakan masih belum siap, dapat ditunda pelaksanaannya sampai 1 Januari 2003.<br />5. KTT-ASEAN tahun 1998 tersebut juga menyepakati target-target penurunan tarif sebagai berikut :<br />a. Tahun 2000 : menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak 85% dari seluruh jumlah pos tarif yang dimasukkan dalam Inclusion List (IL).<br />b. Tahun 2001 : menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak 90% dari seluruh pos tarif yang dimasukkan dalam IL.<br />c. Tahun 2002 : menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak 100% dari seluruh pos tarif yang dimasukkan dalam IL, dengan fleksibilitas.<br />d. Tahun 2003 : menurunkan tarif bea masuk menjadi 0-5% sebanyak 100% dari seluruh pos tarif yang dimasukkan dalam IL, tanpa fleksibilitas. <br /><br />Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka, CEPT dapat dikatakan efektif jika semuanya terealisasi sesuai dengan ketentuan. Yang diartikan dengan realisasi di sini adalah bahwa bagi masing-masing anggota, tarif perdagangan (impor) untuk hampir semua mata dagangan, yang diberlakukan bagi sesama anggota ASEAN, sudah diturunkan menjadi antara 0 sampai 5 persen. CEPT juga mengatur mata dagangan yang dikecualikan untuk seterusnya dan yang masih dilindungi untuk sementara. Tetapi proses ini tidak berhenti pada tanggal 1 Januari 2002 ini. Mata dagangan yang berada dalam daftar pengecualian sementara secara berangsur-angsur akan hilang. Selain itu para anggota ASEAN juga memutuskan untuk menurunkan tarif semua mata dagangan menjadi 0 persen pada tahun 2010 untuk keenam anggota lama ASEAN dan pada tahun 2015 untuk keempat anggota baru ASEAN. Apabila rencana ini terlaksana maka paling lambat pada tahun 2015 perdagangan antar semua negara ASEAN tidak lagi menghadapi hambatan. Hambatan yang dimaksud bukan semata-mata hambatan tarif (pajak) tetapi juga hambatan-hambatan non-tarif seperti aturan kesehatan.<br />AFTA hingga saat ini hanya mencakup perdagangan barang. Liberalisasi sektor jasa dilaksanakan melalui suatu ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS). Tetapi liberalisasi jasa-jasa ini berjalan lambat. Kemajuan yang berarti baru tercapai dalam bidang pariwisata. Ada usulan untuk menyatukan upaya liberalisasi perdagangan barang dan jasa ini dalam suatu kerangka yang koheren dan komprehensif. Beberapa pihak melontarkan gagasan AFTA Plus sebagai kerangka besar untuk menggabungkan berbagai upaya liberalisasi dalam ASEAN. AFTA Plus ini juga dimaksudkan untuk mengakomodasi upaya di bidang investasi, yang kini dilaksanakan melalui proyek ASEAN Investment Area (AIA), dan di bidang hak milik intelektual, yang kini dilaksanakan melalui ASEAN Framework Agreement on Intellecual Property Cooperation. Jadi, walaupun secara resmi 1 Januari 2002 ditetapkan sebagai tahun terbentuknya AFTA, proyek AFTA ini masih akan terus berlanjut karena programnya sangat mungkin akan diperluas dan diperdalam terus. <br /><br />4. Kesimpulan<br /> Penjelasan di atas meperlihatkan bahwa terdapat kaitan yang erat antara bentuk legalisasi suatu hukum internasional dengan efektifitas implementasinya. Bentuk legalisasi CEPT-AFTA yang moderat berakibat pada implementasinya yang cukup efektif, artinya aturan-aturan yang disepakati di dalam CEPT sebagian besar dapat terlaksana. Hal itu berarti juga adanya sebagian kecil aturan-aturan yang belum terlaksana karena aturan-aturan itu sendiri memberikan peluang untuk itu. <br />Kaitan tersebut terlihat jelas pada fakta bahwa adanya sebagian ketentuan dalam CEPT yang telah terlaksana dan sebagian lainnya berpotensi tertunda namun cenderung akan terlaksana. CEPT dapat dikatakan efektif jika semuanya terealisasi sesuai dengan ketentuan. Beberpa ketentuan mendasar yang telah terlaksana misalnya tarif perdagangan (impor) untuk hampir semua mata dagangan, yang diberlakukan bagi sesama anggota ASEAN, sudah diturunkan menjadi antara 0 sampai 5 persen. CEPT juga mengatur mata dagangan yang dikecualikan untuk seterusnya dan yang masih dilindungi untuk sementara. Tetapi proses ini tidak berhenti pada tanggal 1 Januari 2002 ini. Mata dagangan yang berada dalam daftar pengecualian sementara secara berangsur-angsur hilang. Selain itu para anggota ASEAN juga memutuskan untuk menurunkan tarif semua mata dagangan menjadi 0 persen pada tahun 2010 untuk keenam anggota lama ASEAN dan pada tahun 2015 untuk keempat anggota baru ASEAN. Apabila rencana ini terlaksana maka paling lambat pada tahun 2015 perdagangan antar semua negara ASEAN tidak lagi menghadapi hambatan. Hambatan yang dimaksud bukan semata-mata hambatan tarif (pajak) tetapi juga hambatan-hambatan non-tarif seperti aturan kesehatan.<br />Selain fakta-fakta tersebut, AFTA hingga saat ini hanya mencakup perdagangan barang dan belum sepenuhnya mencakup liberalisasi jasa. Liberalisasi sektor jasa dilaksanakan melalui suatu ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS). Tetapi liberalisasi jasa-jasa ini berjalan lambat. Kemajuan yang berarti baru tercapai dalam bidang pariwisata. Ada usulan untuk menyatukan upaya liberalisasi perdagangan barang dan jasa ini dalam suatu kerangka yang koheren dan komprehensif. Beberapa pihak melontarkan gagasan AFTA Plus sebagai kerangka besar untuk menggabungkan berbagai upaya liberalisasi dalam ASEAN. AFTA Plus ini juga dimaksudkan untuk mengakomodasi upaya di bidang investasi, yang kini dilaksanakan melalui proyek ASEAN Investment Area (AIA), dan di bidang hak milik intelektual, yang kini dilaksanakan melalui ASEAN Framework Agreement on Intellecual Property Cooperation. Jadi, walaupun secara resmi 1 Januari 2002 ditetapkan sebagai tahun terbentuknya AFTA, proyek AFTA ini masih akan terus berlanjut karena programnya sangat mungkin akan diperluas dan diperdalam terus.<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Abbot, Kenneth W, and Duncan Snidal. 2000. Hard and Soft Law in International Governance, dalam Judith Goldstein, Miles Kahler, Robert O Keohane, Anne-Marie Slaughter (eds). International Organizations, Volume 54 Number 3, Summer 2000, MIT Press.<br /><br />Abbot, Kenneth W, Robert O. Keohane, Andrew Moravcsik, Anne-Marie Slaughter, Duncan Snidal. 2000. The Concept Of Legalization dalam Judith Goldstein, Miles Kahler, Robert Keohane dan Anne Marie Slaughter, (eds). 2000. Legalization and World Politics: An Introduction. International Organizations, volume 54, No 3, Summer 2000. MIT Press.<br /><br />Goldstein, Judith Miles Kahler, Robert Keohane dan Anne Marie Slaughter, Legalization and World Politics: An Introduction, International Organizations, volume 54, No 3, Summer 2000, MIT Press.<br /><br />Soesastro, Hadi. 2004. Kebijakan Persaingan, Daya Saing, Liberalisasi, Globalisasi, Regionalisasi dan Semua Itu, Jakarta: CSIS working Paper Series, March 2004.<br /><br />Watts KCMG QC, Sir Arthur. 2000. The Importance of International Law, dalam Michael Byers (ed). 2000. The Role of Law in International Politics, Essays in International Relations and International Law. New York: Oxford University Press.<br /><br />Xizhen, Zhang. 2004. Northeast Asian FTA: Dogged Down and Seeking Breakthrough, dalam Amitav Acharya & Lee Lai To (eds), Asia in the New Millenium APISA. First Congress Proceedings 27-30 November 2003, Marshall Cavendish, Singapore. 2004.<br /><br />Internet:<br /><br /><br />http://www.dprin.go.id/Ind/publikasi/djkipi/afta.htm, (03 Januari 20008)<br />Agreement On The Common Effective Preferential Tariff Scheme For The Asean Free Trade Area, http://www.aseansec.org/12021.htm (01 Januari 2009)heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-13771483810609661032009-11-08T07:03:00.000-08:002009-11-30T07:15:47.650-08:00HUKUM INTERNASIONAL: TEORI LEGALISASIHUKUM INTERNASIONAL: TEORI LEGALISASI<br />BENTUK LEGALISASI DAN EFEKTIFITAS HUKUM INTERNASIONAL<br />STUDI KASUS LEGALISASI COMMON EFFECTIVE PREFERENTIAL TARIFF<br />By: Heri Alfian∗<br />Abstract: This article is basically an introductory exploration of legalization theory. Legalization is an important tool in determining the form of legalization of international law. The presence of this theory has a significant meaning among the rise of pessimistic view of international law which is often show as ineffective and even cannot merit the name of law because it lacks automatic and centralized coercive enforcement mechanism. Those view basically a mistake because every international law has its strength and weakness degree, which is, determines by its legalization form whether soft, moderate or hard. Every form will determines the degree of its binding strength.<br /><br />Key Words: Legalisasi, Obligasi, Presisi, Delegasi, CEPT,AFTA<br /><br />1. Pendahuluan<br />Di dalam kajian hukum internasional seringkali muncul pertanyaan yang meragukan apakah hukum internasional itu adalah hukum atau bukan. Beberapa alasan yang selalu dikemukakan oleh pihak-pihak yang pesimis dengan keberadaan hukum internasional seringkali merujuk pada ketiadaan kekuasaan eksekutif pusat yang kuat seperti dalam negara-negara nasional. Pihak-pihak tersebut melihat hukum internasional semata-mata hanya sebagai hukum koordinasi di antara negara-negara berdaulat. Bahkan menurut Louis Goldie hukum yang tidak mempunyai mekanisme kekuatan memaksa yang terpusat tidak bisa disebut hukum. Satu-satunya hukum yang diakui oleh kelompok pesimis tersebut adalah hukum kriminal karena memiliki kekuatan memaksa. <br />Pandangan-pandangan pesimis itu disebabkan karena berbagai kejadian yang terkait dengan praktek hukum internasional memperlihatkan bahwa hukum internasional lebih besar aspek politisnya dibandingkan aspek hukumnya. Aspek politik itu menjadi sesuatu yang menonjol karena adanya unsur kedaulatan negara (sovereignty) di dalam politik internasional yang narkis. Kedaulatan menyebabkan tidak adanya hirarki dalam struktur internasional. Artinya tidak ada suatu negara yang lebih tinggi kedudukannya di dalam struktur internasional, sehingga tidak satu otoritas tertinggi yang dapat memberikan punishment bagi negara-negara yang melanggar aturan-aturan dalam hukum internasional. Lalu apakah kenyataan ini menyebabkan hukum internasional benar-benar tidak berfungsi sehingga tidak ada keteraturan dalam dunia internasional? <br />Asumsi tersebut perlu dikaji ulang, karena bagaimanapun kita tidak bisa menafikan bahwa hukum internasional telah menciptakan keteraturan di dalam dunia internasional. Contoh jelas yang bisa disebutkan misalnya perang antar negara saat ini telah jauh berkurang jika dibandingkan dengan keadaan pada masa sebelum abad keenambelas. Di dalam dokumen-dokumen sejarah kita menemukan bahwa Eropa selalu diwarnai oleh peperangan antar suku, antar raja, antar agama dan antar kerajaan serta antar kekaisaran. Penyebab utama semua itu adalah karena belum adanya hukum internasional. Saat ini memang perang masih terjadi namun frekuensinya sangat sedikit. Hal itu adalah bukti bahwa hukum internasional efektif dalam menciptakan keteraturan di dalam hubungan antar negara di tengah-tengah sistem internasional yang anarkis ini. Bahkan menurut Sir. Arthur efektifitas (keberhasilan) hukum internasional mencapai angka 95 persen. <br />Pada dasarnya asumsi yang menyatakan bahwa hukum internasional itu tidak efektik adalah keliru. Kekeliruan itu terutama terletak pada reasoningnya yang menyatakan bahwa hal itu disebabkan karena pada kenyataannya yaitu hukum internasional itu selalu lebih besar aspek politisnya. Artinya efektif atau tidaknya hukum internasional selalu dikaitkan dengan power yang melekat pada negara. Singkatnya jika negara yang memiliki power besar maka akan mudah baginya untuk melanggar ketentuan-ketentuan dalam hukum tersebut tanpa ada otoritas yang dapat memebrikannya sangsi. Sebaliknya jika negara yang tidak memiliki power besar melanggar hukum internasional, maka dengan mudah akan terkena sanksi dari negara-negara yang memiliki power besar. <br />Asumsi-asumsi tersebut keliru karena pada dasarnya, efektif atau tidaknya hukum internasional harus dilihat secara proporsional berdasarkan pada derajat legalisasinya. Bentuk legalisasi suatu hukum internasional akan menentukan apakah aspek politik atau aspek hukum lebih menonjol di dalam hukum tersebut. Jika legalisasi hukum tersebut berbentuk hard law maka aspek hukum lebih menonjol daripada aspek politiknya, sebaliknya jika berbentuk soft law, maka aspek politiknya akan lebih menonjol daripada aspek hukumnya. Dengan kerangka berpikir ini maka judgment bahwa hukum internasional itu efektif atau tidak harus dikaji dulu dengan menggunakan pendekatan legalisasi hukum internasional. <br /><br />2. Legalisasi Hukum Internasional<br />Dalam The Concept of Legalization, Abbot dkk, menjelaskan bahwa efektif atau tidaknya implementasi suatu hukum atau perundang-undangan internasional sangat ditentukan oleh bentuk hukum tersebut, yaitu apakah berbentuk soft law ataukah hard law. Kedua bentuk ini merujuk pada longgar (weak) atau kuat (rigid) tidaknya aturan-aturan di dalam hukum tersebut mengikat (binding) antar negara-negara atau anggota suatu organisasi internasional yang menandatangani perjanjian tersebut. Menurut Abbot dkk, bentuk suatu produk hukum (soft atau hard) sangat ditentukan oleh bentuk legalisasinya. Legalisasi dapat didefinisikan sebagai: <br />the degree to wich rules are obligatory, the precision of those rules, and the delegation of some functions of interpretation, monitoring, and implementation to a third party. <br /> Berdasarkan definisi itu maka legalisasi pada dasarnya memiliki level-level tertentu yang dapat diidentifikasi dengan mengukur tiga aspek yaitu obligation, precision, dan delegation. Tingkat keberadaan ketiga aspek ini dalam suatu legalisasi akan menentukan apakah legalisasi itu tergolong “hard” ataukah “soft”. End point-nya adalah bentuk legalisasi itu akan berpengaruh pada efektivitas pelaksanaannya di dalam hubungan antar negara.<br />• Obligation berarti Negara atau aktor lain diikat oleh suatu aturan atau komitmen atau oleh sekumpulan aturan atau sekumpulan komitmen. Hal ini juga berarti tingkah laku dan tindakan aktor-aktor tersebut ditentukan oleh aturan-aturan umum, prosedur-prosedur dan diskursus-diskursus hukum internasional, dan juga hukum domestik.<br />• Precision berarti aturan-aturan itu secara jelas (unambiguously) menjadi acuan bagi tingkah laku yang dibutuhkan, disahkan/dibolehkan atau yang dilarang.<br />• Delegation berarti pihak ketiga yang diberi kuasa untuk mengimplementasikan, menginterpretasikan, dan mengaplikasikan peraturan-peraturan tersebut; menyelesaikan perselisihan: dan juga kemungkinan membuat peraturan baru.<br />Suatu legalisasi dapat dikatakan hard legalization jika ketiga aspek tersebut atau setidaknya obligasi dan delegasi-nya tinggi. Sebaliknya jika aspek-aspek tersebut rendah (low) maka legalisasti itu tergolong soft legalization. Dan yang terakhir adalah tidak adanya ketiga aspek tersebut sama sekali. <br />Abbot menjelaskan bahwa ketiga aspek tersebut tidak bisa dilihat sebagi faktor tunggal yang menentukan bentuk legalisasi. Masing-masing aspek tersebut bisa memiliki tingkat (degree) rendah atau tinggi secara independent. Ia menyebut kondisi tersebut dengan “The Dimension of Legalization”. Dimensi ini menyebabkan adanya hukum internasional yang unsur obligation, precision dan delegation yang tinggi seperti Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property (TRIPs), ada yang unsur obligation dan precision-nya tinggi tapi unsur delegasinya rendah seperti The Treaty Banning Nuclear Weapons Tests in the Atmosphere, in Outer Space, and Under Water tahun 1963, ada juga legalisasi di mana ketiga aspek tersebut rendah yaitu The Helsinski Conference on Security and Cooperation in Europe tahun 1975.<br />Tabel 1. Forms of international legalization<br />Type Obligation Precision Delegation Examples<br />Ideal type: <br />Hard Law <br />I High High High EC, WTO-TRIPs, European Human Right Convention, International Criminal Court<br />II High Low High EEC Antitrust, WTO-National Treatment<br />III High High Low Soviet Arms Control Treaties, Montreal Protocol<br />IV Low High High (moderate) UN Committee on Sustainable Development (agenda 21)<br />V High Low Low Vienna Ozone Convention, European Framework Convention on National Minorities<br />VI Low Low High (moderate) UN Specialized Agencies, World Bank, OSCE High Commissioner on National Minorities<br />VII Low High Low Helsinki Final Act, Nonbinding Forest Principles: technical Standards<br />VIII Low Low Low Group of 7: spheres of influence; balance of power<br />Ideal type:<br />Anarchy <br />Sumber : Kenneth W. Abbot, Robert O. Keohane, Andrew Moravcsik, Anne-Marie Slaughter, Duncan Snidal, The Concept Of Legalization, dalam Judith Goldstein, Miles Kahler, Robert O. Keohane, Anne-Marie Slaughter, Legalization and World Politics International Organization, Volume 54, Number 3, Summer, 2000, hal. 406.<br />Menurut Abbot konsep legalisasi harus dipahami sebagai suatu proses yang meliputi rangkaian kesatuan yang multidimensional (a multidimensional continuum), yaitu legalization memiliki titik ideal “ideal type” di mana legalization itu tergolong hard sampai pada titik yang “less ideal” di mana legalization tergolong soft. <br />Figure 1. The Dimension of Legalization<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Sumber : Kenneth W. Abbot, Robert O. Keohane, Andrew Moravcsik, Anne-Marie Slaughter, Duncan Snidal, The Concept Of Legalization, dalam Judith Goldstein, Miles Kahler, Robert O. Keohane, Anne-Marie Slaughter, Legalization and World Politics International Organization, Volume 54, Number 3, Summer, 2000, hal. 404.<br /> <br />Bentuk legalisasi itu akan berpengaruh pada efektifitas pelaksanaannya di dalam hubungan antar negara. Aktor-aktor internasional menata hubungan di antara mereka melalui hukum internasional dan mendisain treaties dan legal arranggements lainnya untuk memecahkan kebuntuan politik di antara mereka. <br /><br />3. Legalisasi Common Effective Preferential Tariff<br />Pada dasarnya setiap perjanjian untuk membentuk Free Trade Area (FTA) seperti AFTA ditujukan untuk untuk membuka selebar-lebarnya pasar domestik masing-masing negara terhadap negara lainnya. FTA dibuat untuk menciptakan hubungan yang win-win game. Pemikiran ini juga menjadi salah satu dasar pendirian Common Efective Preferential Tariff (CEPT). Common Efective Preferential Tariff (CEPT) merupakan salah satu produk hukum yang dihasilkan oleh ASEAN. Pembentukan CEPT ditujukan untuk memperlancar kinerja ASEAN Free Trade Area (AFTA). Isi AFTA tidak hanya penurunan tarif saja, tetapi juga pembatasan hambatan kuantitatif dan hampatan non tarif serta pengecualian terhadap pembatasan nilai tukar terhadap produk-produk CEPT. AFTA melalui CEPT merupakan wujud dari kesepakatan negara-negara anggota ASEAN untuk membentuk suatu kawasan perdagangan bebas dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia. CEPT merupakan sebuah mekanisme AFTA, yang isinya merupakan aturan-aturan yang telah disepakati bersama oleh negara ASEAN dalam mengimplementasikan AFTA. <br />Pada KTT IV telah diputuskan bahwa AFTA akan segera diwujudkan dalam waktu 15 tahun (1 Januari 1993-1 Januari 2008) dan hanya menyangkut produk manufaktur, kemudian dipercepat pelaksanaannya pada tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002. Produk manufaktur yang dimaksud termasuk di dalamnya adalah : (a) barang-barang modal, dan (b) produk pertanian yang diproses. Produk-produk yang berada di luar kategori “produk pertanian yang belum diproses” juga tercakup dalam program CEPT. <br />Sampai pada tahun 2002 tarif/bea masuk impor yang dikenakan terhadap barang-barang yang diperdagangkan di antara kawasan ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filiphina, dan Brunei) akan diturunkan sampai pada tingkat 0-5%, yang mengecualikan produk sensitif (seperti beras) dan produk-produk yang secara tetap dikecualikan produk sensitif (seperti narkotika dan substansi psikotropika). Sedangkan untuk negara-negara ASEAN yang baru mendapatkan tenggang waktu yang berbeda dalam mencapai tarif 0-5% yaitu Vietnam 2006, Laos dan Myanmar 2008, dan Kamboja 2010.<br />Secara faktual dapat dilihat bahwa upaya pelaksanaan ketentuan-ketentuan di dalam CEPT terus dilakukan. Sejak penandatanganan amandemen perjanjian CEPT-AFTA untuk menghilangkan hambatan impor pada tanggal 30 Januari 2003, ASEAN-6 berkomitmen untuk menghilangkan hambatan tariff sebesar 60% atas produk-produk mereka di dalam IL pada tahun 2003. <br />Ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam AFTA tidak semuanya berjalan mulus. Banyak aturan seperti kesepakatan tentang waktu penurunan tariff yang berubah-ubah dan tidak sesuai dengan jadwal. Selain itu kesepakatan tentang bidang atau produk yang akan diliberalisasi juga selalu menjadi perdebatan yang akhirnya tidak sesuai dengan waktu yang telah disepakatai. Dinamika ini adalah proses penyesuaian-penyesuaian yang terjadi di dalam AFTA sehingga tidak bisa serta-merta dijustifikasi sebagai tidak efektifnya aturan-aturan CEPT di dalam AFTA. <br /><br />A. Obligasi Common Effective Preferential Tariff<br />Obligasi merujuk pada suatu aturan atau komitmen atau oleh sekumpulan aturan atau sekumpulan komitmen yang menikat negara-negara atua aktor yang terlibat di dalam perjanjian tersebut. Hal ini juga berarti tingkah laku dan tindakan aktor-aktor tersebut ditentukan oleh aturan-aturan umum, prosedur-prosedur dan diskursus-diskursus hukum internasional, dan juga hukum domestik. Untuk menentukan apakah suatu perjanjian atau hukum internasional memiliki obligasi yang kuat atau lemah, maka harus dilakukan penelaahan terhadap seluruh isi perjanjian tersebut. Penelaahan terutama difokuskan pada pasal-pasal yang mengatur tentang kekuatan mengikat (binding) aturan tersebut. Intinya analisis terhadap elemen ini akan memberiakn bentuk yang jelas yaitu apakah hukum internasional tersebut mempunyai sifat mengikat atau tidak. <br /> Berikut akan dianalisa tingkat obligasi Common Effective Preferential Tariff (CEPT) dengan meneliti pasal-pasalnya. Bagian pertama (article) yang mejelaskan tentang definisi CEPT secara eksplisit juga ditegaskan tentang sifat mengikat dari CEPT tersebut. Sifat mengikat tersebut disebutkan di dalam pasal pertama yang menggunakan kata to be applied, untuk menegaskan bahwa CEPT akan diterapkan terhadap barang-barang yang dihasilkan oleh negara-negara anggota ASEAN. Di bagian kedua terutama pada pasal pertama secara tegas disebutkan tentang keharusan semuya negara anggota ASEAN untuk berpartisipasi di dalam skema SEPT.<br /> Bagian ketiga CEPT menegaskan tentang keharusan agar perjanjian CEPT diterapkan terhaap semua produk-produk manufaktur yang mencakup barang-barang modal, barang-barang produksi pertanian. Di bagian keempat ditegaskan tentang kesepakatan negara-negara anggota untuk mengikuti jadwal penerapan pengurangan tarif yaitu pengurangan tarif 20% dalam waktu 5 sampai 8 tahun yang dimuali dari 1 januari 1993.<br /> Di bagian ke lima ditegaskan tentang kewajiban negara-negara anggota ASEAN untuk menghapuskan hambatan-hambatan kuantitatif terhadap produk-produk yang merupakan bagian dari konsesi sesuai dengan peraturan di dalam CEPT scheme. Bagian ini juga menegaskan tentang kewajiban negara-negara anggota untuk menghapuskan hambatan-hambatan non-tarif secara gradual dalam jangka waktu 5 tahun terhadap barang-barang yang termasuk di dalam kategori konsesi tersebut.<br /> Negara-negara anggota juga diharuskan untuk membuat suatu institusi yang disebut dengan ministerial-level Council dalam rangka untuk menunjang terlaksananya CEPT. Di bagian ke delapan ditegaskan tentang keharusan negara-negara anggota untuk memberikan kesempatan bagi negara anggota yang ingin melakukan konsultasi jika terdapat suatu permasalahan yang diakibatkan oleh penerapan CEPT.<br /> Bagian kesembilan merupakan bagian penting untuk menilai obligasi CEPT, karena di dalam bagian ini disebutkanb dengan jelas bahwa tidak ada satupun bagian dari isi perjanjian ini yang dapat mencegah negara anggota untuk melakukan tindakan ataupun pencegahan tertentu yang dianggap perlu utnuk melindungi kepentingan nasionalnya. Artinya setiap negara anggota boleh melakukan tindakan yang diperlukan jika pelaksanaan ketentuan-ketentuan di dalam CEPT dapat merugikan kepentingan nasional negara tersebut. Singkat kata hal itu berarti negara anggota boleh tidak mematuhi ketentuan-ketentuan yang diatur oleh CEPT jika berbenturan dengan kepentingan nasional negara tersebut terutama yang menyangkut keamanan nasional, moral masyarakat, kemanusiaan, kehidupan dan kesehatan binatang atau tumbuhan, kesenian, sejarah dan nilai-nilai arkeologi.<br />Di bagian kesepuluh ditegaskan tentang kewajiban negara-negara anggota untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang ditentuakn di dalam perjanjian. Selain itu ditegaskan pula di bagian ketiga bahwa perjanjian ini efektif berlaku sejak ditandatangani oleh negara-negara anggota ASEAN. <br /> Dapat disimpilkan bahwa obligasi CEPT bersifat moderat. Hal itu di dasarkan pada adanya psal-pasal yang secara tegas menyebutkan tentang sifat binding-nya seperti tertera di dalam bagian pertama sampai bagian kedelapan. Namaun di bagian kesembilan sifat binding tersebut dilemahkan dengan adanya penegasan bahwa negara-negara anggota dapat melakukan tindakan yang “melanggar” atau tepatnya tidak mematuhi aturan-aturan di dalam CEPT jikla terdapat kondisi-kondisi yang dapat mengancam kepentingan nasionalnya.<br />B. Presisi Common Effective Preferential Tariff<br /> Presisi merujuk pada apakah aturan-aturan yang terdapat didalam suatu hukum internasional mengikat secara jelas, yang berarti bahwa aturan tersebut memang secara spesifik berisi ketentuan tertentu yang harus dipatuhi. Hal itu berarti bahwa aturan-aturan itu secara jelas (unambiguously) menjadi acuan bagi tingkah laku yang dibutuhkan, disahkan/dibolehkan atau yang dilarang. Titik tekannya di sini adalah pada tingkat kedetailan kata-kata yang dituliskan di dalam aturan-aturan tersbut. Semakin detail atau semakin spesifik kata-kata yang digunakan maka akan semakin sempit interpretasinya dan semakin sempit pula celah atau kelemahan aturan tersebut. Dengan demikian tidak akan terjadi multitafsir yang akan berakibat pada penyelewengan atupun pemamnfaatan celah hukum. Sebaliknya semakin umum kata-kata yang dipakai maka akan semakin banyak tafsir dan celah atau kelemahannya. Dengan demikian, maka kemungkinan akan terjadinya pelanggaaran hukum akan semakin besar. Berikut ini akan dianalisa tingkat presisi CEPT untuk mengetahui apakah CEPT memiliki tingkat presisi yang tingi atau rendah.<br /> Di bagian pertama secara detail dijelaskan tentang tujuan perjanjian CEPT, termasuk juga definisi CEPT dan definisi hal-hal yang berkaitan dengan Non-tariff barriers, Quantitative restrictions, Foreign exchange restrictions, Preferential Trading Arrangements, Exclusion List, Agricultural products. Masing-masing term tersebut dijelaskan satu persatu dengan bahasa yang spesifik sehingga tidak akan memunculkan multi tafsir bagi pihak-pihak yang membaca istilah-istilah tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bagian ini memiliki tingkat presisi yang tinggi.<br /> Artikel kedua yang terdiri dari tujuh pasal yang menjelaskan tentang syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan umum perjanjian. Pasal pertama mengatur dengan tegas tentang kewajiban semua negara anggota untuk berpartsisipasi di dalam CEPT Scheme. Penggunaan kata “Shall" menunjukkan ketegasan yang kuat sehingga tidak akan memunculkan interpretasi lain selain semua anggota berkewajiban (harus) ikut serta di dalam skema CEPT. Pasal kedua tentang sayart-syarat produk yang termasuk di dalam skema CEPT diatur dengan jelas yaitu dengan mengacu pada ketentuan harmonised system (HS) seperti disebutkan di dalam bagian pengantar perjanjian. <br /> Pasal ketiga menjelaskan tentang produk-produk yang tidak termasuk di dalam dalam kisaran 8/9 digit diperbolehkan untuk tidak dimasukkan sementara ke dalam skema CEPT. Lebih rinci lagi dijelaskan tentang produk tertentu yang sifatnya sensistif bagi negara anggota sebagaimana diatur di dalam Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation diperbolehkan untuk tidak dimasukkan ke dalam skema CEPT. Jadi jelas bahwa pasal ini tidak akan menimbulkan interpretasi yang luas. <br /> Pasal keempat secara jelas mengatur tentang produk yang bisa dikategorikan berasal dari negara anggota yaitu harus memenuhi content yang berasal dari negara anggota sekurang-kurangnya 40%. Artinya jika kurang dari ketentuan tersebut maka produk tersebut tidak termasuk kategori barang hasil negara anggota. Pasal kelima dengan spesifik menjelaskan tentang barang-barang manufaktur, di mana semua bentuk produk manufaktur termasuk barang produksi, barang-barang produksi pertanian dan semua barang yang tidak masuk di dalam definisi barang pertanian sebagaimana disebutkan di dalam perjanjian, mka harus dimasukkan ke dalam Skema CEPT. Disebutkan pula bahwa barang-barang tersebut secara otomatis merupakan barang yang terkena jadwal pengurangan tarif seperti disebutkan di dalam artikel 4. Selanjutnya di dalam pasal keenam lebih jauh dijelaskan bahwa semua produk yang tidak dimasukkan ke dalam Skema CEPT masih bisa berada di dalam ketentuan margin of preference (MOP) yang telah ditetapkan pada tanggal 31 Desember 1992. <br /> Pasal ketujuh secara spesifik dan jelas menyebutkan bahwa bagi negara anggota yang produknya telah terkena pengurangan tarif dari 20% dan di bawah 0-5% masih mendapatkan konsesi meskipun ketentuan tersebut telah secara tegas disebutkan di dalam MFN. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa artikel kedua ini memiliki tingkat presisi yang tinggi.<br /> Bagian ketiga yang berisi ketentuan cakupan produk Pasal kelima dengan spesifik menjelaskan tentang barang-barang manufaktur, di mana semua bentuk produk manufaktur termasuk barang produksi (capital goods), barang-barang produksi pertanian dan semua barang yang tidak masuk di dalam definisi barang pertanian sebagaimana disebutkan di dalam perjanjian, mka harus dimasukkan ke dalam Skema CEPT. Bagian ini merupakan penguatan dari ketentuan pada bagian ketiga terutama pasal kelima. Penggunaan kata “shall” menunjukkan bahwa bagian ini memiliki presisi yang tinggi.<br /> Artikel keempat terdiri dari tiga (3) pasal yang mengatur tentang jadual pengurangan tarif. Pasal pertama mengatakan bahwa negara-negara anggota menyetujui jadwal pengurangan tarif dengan ketentuan yang sangat spesifik yaitu: <br />• Pengurangan tarif dari jumlah yang ada sampai pada tingkat 20% harus telah dilakukan dalam jangka waktu 5-10 tahun, dimulai pada 1 januari 1993.<br />• Pengurangan tarif berikutnya yaitu sebesar 20% atau kurang dari itu harus telah tercapai/dilakukan dalam jangka waktu tujuh )7) tahun. Paling sedikit pengurangan tersebut adalah 5%. <br />• Untuk produk yang belum dikuarngi tarifnya sampai 20% atau kuarang dari itu, maka negara anggota harus melakukan pengurangan dalam jangka waktu yang ditentukan dan harus diumumkan sejak pengurangan itu dimulai.<br />Di dalam pasal berikutnya lebih jauh dijelaskan bahwa jika ketentuan di dalam pasal 1(a) (b) dan (c) telah tercapai yaitu pengurangan tarif 20% atau di bawahnya, maka produk-produk tersebut tetap mendapatkan konsesi. Pasal ketiga menjelaskan bahwa ketentuan di dalam pasal 1 dan 2 artikel 4 tidak menghalangi negara anggota untuk melakukan pengurangan tarif yang dipercepat yang berkisar pada 0-5%. Jika dilihat kata-kata yang digunakan di dalam pasal-pasal bagian keempat ini, maka tidak ditemukan sesuatu yang ambigu ataupun sesuatu yang umum. Interpretasinya juga sempit sehingga dapat dikatakan tingkat presisinya tinggi. <br />Artikel kelima menjelaskan tentang ketentuan-ketuan lain dan terdiri dari 5 pasal. Pasal A, B, C, dan D menjelaskan hal yang berbeda-beda. Pasal A (pertama) secara detail menyebutkan aturan tentang pembatasan kuantitatif dan hambatan non tarif. Pasal B mengatur tentang pembatasan pertukaran mata uang. Pasal C mengatur tentang kerja sama pada biadang-bidang lain dan pasal D mengatur tentang konsesi pemeliharaan. Semua pasal tersebut diawali dengan kata-kata yang tegas yaitu “Member states shall” yang berarti keharusan. Penggunaan kata kata-kata tersebut langsung dapat dimengerti tanpa menimbulakan pertanyaan lebih jauh lagi. Dengan demikian bagian ini sangat jelas di mana range of interpretation-nya sempit sehingga dapt dikatakan bahwa tingkat obligasinya tinggi.<br /> Artikel keenam berisi tiga buah pasal yang menjelaskan tentang keadaan-keadaan atau tindakan-tindakan darurat. Pasal pertama mengatur tentang keadaan di mana negara anggota boleh melakukan tindakan penundaan atau lebih tepatnya melakukan penundaan sementara (tidak melaksanakan) pelaksanaan aturan-aturan yang ada di dalam CEPT. Hal itu diperbolehkan jika negara anggota yang mengimpor produk tertentu mengalami peningkatan impor yang tinggi dan dapat membahayakan sektor produksinya dan akan berakibat buruk terhadap perekonomian negaranya. Pasal ini memiliki presisi yang rendah karena terdapat kata-kata yang belum jelas ataupun memiliki ruang interpretasi yang luas. Hal itu terlihat dari tidak adanya ketentuan/keadaan yang pasti tentang kondisi membahayakan yang dimaksudkan oleh pasal tersebut. Selain itu batas waktu penundaan juga tidak disebuitkan. Pasal kedua juga tergolong memiliki presisi yang rendah karena tidak secara spesifik menyebutkan tentang kondisi-kondisi yang memperbolehkan negara anggota untuk melakukan tindakan pembatasan impor ataupun bentuk pembatasan lainnya. Hal itu terkait dengan adanya ancaman terhadap stabilitas moneter negara anggota yang terganggu oleh masuknya impor. Apalagi di dalam pasal ini terdapat kata prejudice yang berarti mencurigai, yaitu terkait dengan tindakan restriksi oleh negara anggota, di mana kata tersebut sangat subyektif sifatnya, sehingga akan sangat sulit untuk mengukur tingkat keurgensian suatu negara untuk melakukan tindakan restriksi. Bagaimana misalnya jika negara tersebut secara subyektif mengatakan bahwa kondisi moneternya betul-betul terancam padahal sebenarnya keadaannya tidak demikian? Pasal ketiga juga memiliki presisi yang rendah karena kewajiban untuk memebritahukan ataupun melaporkan tindakan darurat yang diambil tidak disebutkan secara spesifik. Kata yang digunakan adalah immediate (segera) yang tafsirannya bisa berbeda-beda bagi setiap negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa artikel keenam ini memiliki presisi yang rendah.<br /> Artikel ketujuh terdiri dari tiga (3) pasal yang mengatur tentang susunan institusi. Pasal pertama yang mengatur tentang kewajiban ASEAN Economic Ministers (AEM) untuk membentuk council setingkat menteri sifatnya moderat. Pasal ini menggunakan kata “shall” yang berarti keharusan/kewajiban, namun tidak ada batas waktu yang jelas tentang kapan waktu council tersebut harus dibentuk. Pasal kedua juga sifatnya moderat karena tidak tegas menyebutkan tentang waktu untuk memberitahukan negara lain dalam hal jika negara tersebut melakukan perjanjian bilateral tentang pengurangan tarif dengan negara anggota lain. Pasal ketiga memiliki presisi yang tinggi karena secra tegas mewajibkan Sekretariat ASEAN untuk melakukan monitoring dan pelaporan kepada SEOM atas pelaksanaan perjanjian seperti dimaksudkan di dalam artikel III pasal 2 dan 8. pasal ini juga secara tegas dan jelas (menggunakan kata shall) mengharuskan negara anggota untuk bekerja sama dengan Sekretariat ASEAN untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Dengan demikian artikel ketujuh ini tergolong memiliki presisi yang moderat.<br /> Artikel kedelapan terdiri dari tiga pasal yang mengatur tentang konsultasi bagi negara-negara anggota menyangkut masalah-masalah yang muncul dalam pelaksanaan CEPT. Pasal pertama meiliki presisi yang moderat, karena pada dasarnya pasal itu mengharuskan (shall) negara anggota untuk menyediakan atau memberikan kesempatan berkonsultasi bagi negara yang ingin melakukan konsultasi. Namun, tidak dijelaskan lebih jauh bentuk konsltasi tersebut dan bagaimana bentuk dan waktu pelaksanaannya juga tidak disebutkan. Hal itu rentan terhadap penyelewengan karena dapat menimbulkan multitafsir. Oleh karena itu maka pasal ini digolongkan ke dalam pasal yang berpresisi moderat. Pasal kedua memiliki presisi yang rendah karena pernyataan tentang kemungkinan negara anggota untuk membuat proposal dalam rangka melaporkan kecurangan yang dilakukan oleh negara anggota lain tidak spesifik. Artinya tidak ada keterangan yang cukup spesifik tentang tindakan suatu yang dianggap menghilangkan (nullifications) ataupun menutupnutupi (impairment) keuntungan yang diperolehnya. Hal akan berakibat pada munculnya pemahan yang berbeda-beda tentang bnetuk tindakan yang merugikan, sehingga rawan memunculkan konflik antar negara anggota. Sangat besar kemungkinan suatu negara akan melaporkan negara anggota lainnya karena latar belakang perselisihan bilateral. Pasala ketiga memiliki persisi yang rendah karena statementnya masih bersifat umum dan perlu penafisran lebih jauh. Kewajiban negara anggota untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan dengan cara damai sebisa mungkin ( dengan menggunakan kata as far as possible) mengandung banyak kemungkinan. Artinya tidak ada batasan yang jelas tentang bentuk-bentuk kondisi tertentu yang menjadi batas tidak tercapainya kompromi damai yang dimaksudkan. Statement berikutnya tentang kewajiban untuk menyelesaikan perbedaan yang ada jika tidak bisa secara damai maka diajukan kepada Concil dan jika perlu ke AEM, juga dapat menimbulkan tafsir yang luas. Kata “necessary” yang digunakan dalam bagian akhir statement sangat relatif sifatnya. Dapat disimpulkan bahwa artikel kedelapan memiliki presisi yang rendah.<br /> Artikel kesembilan yang mengatur pengecualian umum merupakan bagian dari CEPT yang secara nyata memiliki presisi yang rendah. Secra tegas dan jelas dikatakan bahwa: <br />Nothing in this Agreement shall prevent any Member State from taking action and adopting measures, which it considers necessary for the protection of its national security, the protection of public morals, the protection of human, animal or plant life and health, and the protection of articles of artistic, historic and archaeological value. <br />Jadi jelas bahwa semua bentuk aturan yang ada di dalam CEPT boleh tidak dilaksanakan jika negara anggota dihadapkan pada kondisi yang dapat mengancam keamanan nasionalnya, moral masyarakat, manusia, binatang, tumbuhan dan ancaman terhadap benda-benda seni, sjarah dan nilai-nailai arkeologi. Jelas pula bahwa cakupan hal-hal yang dapat memungkinkan negara untuk tidak melkukan kewajiban-kewajiban CEPT sangat luas. Selain itu pasal ini juga tidak menjelsakan sama sekali tentang bentuk kondisi yang mengancam tersebut. Arttinya kondisi mengancam dapat sangat subyektif sifatnya dalam konteks ini. Dengan demikian tersedia ruang interpretasi yang luas sekali terhadap pasal ini.<br /> Artikel kesepuluh mengatur tentang ketentuan-ketentuan final dari CEPT. Lima pasal dari bagian ini secara tegas mengatur ketentuan tentang kejiban untuk melakukan upaya-upaya dalam rangka melakukan aturan-aturan CEPT, amndemen, ketentuan tentang waktu pemberalukan, pengesahan, dan ketentuan tentang tidak adanya keberatan (reservation). Namun pada dasarnya pasal ini juga memiliki ruang interpretasi yang luas. Pada pasal pertama terdapat kata “the appropriate measures” yang merujuk pada bentuk tindakan yang perlu dilakukan oleh negara anggota dalam rangka memenuhi aturanaturan CEPT. Kata tersebut tentu tidak mengandung makna yang spesifik karena term approperiate yang secar leksikal berati cocok atau pantas sangat subyektif sifatnya. Dengan demikian, artikel ke sepuluh ini memiliki presisi yang moderat.<br /> Dari keseluruhan pasal CEPT tersebut dapat diringkas bahwa terdapat 5 bagian (artikel) yang memiliki presisi tinggi, 2 moderat dan 3 rendah. Dengan merujuk pada ketentuan teori legalisasi maka dapat disimpulkan bahwa CEPT memiliki tingkat presisi yang moderat.<br />C. Delegasi Common Effective Preferential Tariff<br />Delegasi adalah elemen ketiga dari teori legalisai hukum internasional yang merujuk pada pihak ketiga yang diberi kuasa untuk mengimplementasikan, menginterpretasikan, dan mengaplikasikan peraturan-peraturan tersebut; menyelesaikan perselisihan: dan juga kemungkinan membuat peraturan baru. Delegasi adalah bagian yang sanagt penting dari sebuah perjanjian internasional karena semua bentuk ketentuan yang ada di dalam suatu perjanjian sulit dilaksanakan dengan efektif jika tidak ada delegasi. Fungsi delegasi sebagai pihak yang berwenang melakukan implementasi, interpretasi dan pemberi hukuman bagi pihak yang melanggar seringkali menjadi penentu bagi efektif atau tidaknya suatu perjanjian (hukum internasional).<br />Berkaitan dengan hal itu, di dalam CEPT telah disebutkan tentang adanya pihak ketiga tersebut yang disebut dengan Council. Hal itu terdapat di dalam artikel ketujuh pasal pertama dan artikel kedelapan pasal pertama. Namun hal itu tidak kemudian menjadikan CEPT memiliki tingkat delegasi yang tinggi, karena, fungsi Council sebagaimana disebutkan di dalam artikel ketujuh hanya untuk mengkoordinasikan dan mereview pelaksanaan aturan-aturan CEPT. Lebih jauh, di dalam semua pasal CEPT tidak dtemukan tentang siapa yang bertugas menginterpretasi dan menjelaskan aturan-aturan yang kurang jelas atau masih membutuhkan penafsiran tertentu. Di dalam artikel ketujuh tersebut juga tergambar bahwa kewenangan Council sangat terbatas, karena, Council masih harus mendapat dukungan dari Secretary-General of the ASEAN Secretariat dalam melaksanakan tugas koordinasinya. Hal itu berarti Council memang tidak punya kewenangan penuh.<br />Selain itu dan yang terpenting adalah tidak adanya satu ketentuanpun di dalam CEPT yang menyebutkan tentang bentuk hukuman (punishment) bagai pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan-aturan CEPT. Kondisi itu semakin lemah karena tidak disebutkan pihak ketiga yang dapat menentukan apakah negara anggota telah melakukan tindakan pelanggaran atau tidak. Mekanisme yang ada hanya sebatas penilain dari negara anggota terhadap negara lainnya, dan itupun harus melalui penilaian negara lain yang subyektif sekali sifatnya. Dalam perjanjian CEPT-AFTA, perselisihan atau sengketa dapat diproses penyelesaiannya secara formal melalui Dispute Settlement Mechanism. Namun dalam prakteknya tidak ada sengketa yang diproses secara formal melalui mekanisme ini. Sengketa yang terjadi diselesaikan melalui semangat ASEAN dan secara kekeluargaan, melalui pertemuan yang bertingkat-tingkat dalam Working Group, Senior Economic Official Meeting (SEOM), AFTA Council dan Menteri-menteri Ekonomi ASEAN (AEM). Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa tingkat delegasi CEPT tergong moderat.<br />4. Kesimpulan<br />Bentuk legalisasi CEPT ditentukan oleh kombinasi tingkat obligasi, presisi, dan obligasionya. Setelah menganalisa tingkat obligasi, presisi dan delegasi CEPT ditemukan bahwa tingkat obligasinya moderat, preisinya moderat, dan delegasinya moderat. Sesuai dengan teori legalissi maka maka dapat disimpulkan bahwa bentuk legalisasi CEPT adalah Moderate legalizatin yang berarti bentuk hukumnya adalah Moderate Law.<br />Bentuk legaisasi ini berarti bahwa aturan-aturan yang terdapat di dalam CEPT masih memiliki ruang-ruang yang memungkinkan terjadinya tafsir yang berbeda-beda di antara negara-negara anggota AFTA. Konsekuensinya adalah munculnya kebijakan-kebijakan yang berbeda-beda pula. Kebijakan satu negara akan dilihat melanggar ketentuan oleh negara lain, namun negara yang dianggap melangar tentu akan memandang kebijakannya benar sesuai dengan interpretasinya. <br />Perbedaan-perbedaan itu rentan memunculkan konflik di antara negara-negara anggota. Keadaan ini cenderung akan dilihat sebagai bentuk tidak efektifnya aturan-aturan AFTA, padahal secara mendasar hal itu tidaklah tepat karena aturan-aturan tersebut memang dirancang pada sebatas bentuk hukum yang moderat. Hal itu dilakukan bukan tanpa alasan karena setiap perjanjian yang disetujui oleh masing-masing negara tentunya didasari oleh pertimbangan-pertimbangan matang dengan segala konsekuensinya. Salah satu pertimbangan dipilihnya bentuk hukum yang soft ataupun moderate adalah proses penyesuaian yang dibutuhkan oleh masing-masing negara terhadap kerja sama yang akan mereka lakukan. Artinya, masing-masing negara memerlukan kesiapan yang matang sebelum perjanjian mereka ditingkatkan ke bentuk hard legalization. Dengan demikian, efektif atau tidaknya hukum internasional seperti CEPT harus dilihat secara proprsional yaitu dengan melihat terlebih dahulu bentuk legalisasinya. <br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />DAFTAR PUSTAKA<br /><br />Abbot, Kenneth W, and Duncan Snidal. 2000. Hard and Soft Law in International Governance, dalam Judith Goldstein, Miles Kahler, Robert O Keohane, Anne-Marie Slaughter (eds). International Organizations, Volume 54 Number 3, Summer 2000, MIT Press.<br />Abbot, Kenneth W, Robert O. Keohane, Andrew Moravcsik, Anne-Marie Slaughter, Duncan Snidal. 2000. The Concept Of Legalization dalam Judith Goldstein, Miles Kahler, Robert Keohane dan Anne Marie Slaughter, (eds). 2000. Legalization and World Politics: An Introduction. International Organizations, volume 54, No 3, Summer 2000. MIT Press.<br />Kegley Jr, Charles W. 1995. Controversies in International Relations Theory, St. New York: Martin Press.<br />Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT.Alumni Bandung.<br />Watts KCMG QC, Sir Arthur. 2000. The Importance of International Law, dalam Michael Byers (ed). 2000. The Role of Law in International Politics, Essays in International Relations and International Law. New York: Oxford University Press.<br />Xizhen, Zhang. 2004. Northeast Asian FTA: Dogged Down and Seeking Breakthrough, dalam Amitav Acharya & Lee Lai To (eds), Asia in the New Millenium APISA. First Congress Proceedings 27-30 November 2003, Marshall Cavendish, Singapore. 2004.<br /><br />Internet:<br />http://www.dprin.go.id/Ind/publikasi/djkipi/afta.htm, <br />http://www.aseansec.org/12021.htm <br />Artikel 9 CEPT,heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-42507073327029260742009-05-15T08:09:00.001-07:002009-05-15T08:09:27.140-07:00Pustaka<br /><div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><p/><br/><a target='_blank' href='http://www.box.net/index.php?rm=box_download_shared_file&blog&file_id=f_276159190&shared_name=l606x63a3k'>Kepres No 13 Thn 2006 Timnas PLS.pdf</a></div><br />heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-41698572660103050982009-04-18T09:19:00.001-07:002009-04-18T09:19:20.189-07:00<br /><div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><p/><br/><a target='_blank' href='http://www.box.net/index.php?rm=box_download_shared_file&blog&file_id=f_276159190&shared_name=l606x63a3k'>Kepres No 13 Thn 2006 Timnas PLS.pdf</a></div><br />heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-53225028683484317072009-04-18T09:18:00.001-07:002009-04-18T09:18:52.175-07:00<br /><div xmlns='http://www.w3.org/1999/xhtml'><p/><br/><a target='_blank' href='http://www.box.net/index.php?rm=box_download_shared_file&blog&file_id=f_276159270&shared_name=cf840edilg'>Perpres No 14 BPLS.pdf</a></div><br />heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-40424591805487929022009-03-30T17:45:00.000-07:002009-03-30T17:48:09.616-07:00PERKEMBANGAN FAIR TRADE DI INDONESIA<div align="justify">1. Indtroduksi<br />Fair Trade adalah suatu bentuk keoptimisan pemikiran, sikap dan tindakan dari orang-orang yang tidak bisa melepaskan diri dari jeratan globalisasi. Fair Trade muncul sebagai alternatif dari bentuk perdagangan bebas (free trade) yang menurut banyak orang sangat tidak adil. Kenyataan bahwa kemakmuran hanya dinikmati oleh sekelompok kecil warga bumi sementara kemiskinan akut yang massif diderita oleh sebagian besar warga lainnya adalah bukti akibat ketidakadilan free trade yang paling nyata. Bila ditelusuri akar permasalahannya terletak pada aturan-aturan free trade yang pada praktiknya sangat tidak adil<br />Aturan-aturan doubel standard atau standar ganda yang dipraktekkan negara-negara kaya dalam hubungan perdagangannya dengan negara-negara berkembang telah merubah hubungan perdagangan tersebut yang secara filosofis adalah hubungan partnership yang menguntungkan kedua belah pihak menjadi hubungan eksploitatif. Dengan kata lain hubungan perdagangan antara negara kaya dengan negara berkembang hanya menjadi sarana pelegalan eksploitasi baru setelah cara-cara kolonialisasi tidak lagi dipandang cukup beradab. Standar ganda free trade memaksa negara-negara berkembang untuk meliberalisasi perdagangan mereka, sedangkan pada sisi yang lain negara-negara maju masih menerapkan kebijakan proteksi bagi produk yang akan masuk ke dalam pasar domestik. Konsekuensi penerapan standar ganda tersebut seperti dicatat oleh United Nations telah menyebabkan negara berkembang mengalami kerugian setiap tahunnya sebesar 100 juta dolar US. Selain itu ketimpangan antara negara maju dan negara berkembang semakin besar dimana saat ini hanya 20% populasi dunia menikmati income yang jumlahnya 60 kali lebih besar dari income orang-orang miskin.<br />Di tengah kondisi perdagangan yang semakin lama semakin tidak adil tersebut dan telah menyebabkan ketimpangan yang semakin besar antara negara kaya dan negara berkembang, Fair Trade muncul sebagai sebuah gerakan perdagangan alternatif yang berpihak kepada produsen miskin melalui penerapan prinsip keadilan, transparansi, komunikasi dan keadilan gender. Dalam prakteknya, prinsip dan nilai tersebut diwujudkan dalam bentuk rantai distribusi yang lebih pendek, penguatan organisasi produsen, peningkatan keterlibatan dan peranan perempuan dalam perdagangan, harga premium bagi produk yang dihasilkan.<br />Sejak menjadi sebuah gerakan pada tahun 1950 fair trade telah menyebar ke berbagai negara di kawasan Eropa, Amerika, dan Asia dan Afrika. Di Indonesia sendiri gerakan fair trade muncul pada pertengahan tahun 1980-an. Dalam perkembangannya fair trade di Indonesia telah cukup membantu produsen-produsen miskin di berbagai wilayah seperti Yogyakarta, Malang, Mataram, Bali, Surakarta. Perkembangan fair trade yang cukup positif tersebut menunjukkan bangkitnya kepedulian lebih banyak masyarakat terhadap orang-orang di sekeliling mereka yang selama ini bekerja keras menyediakan keperluan mereka namun tidak mendapatkan hak sesuai proporsi yang seharusnya mereka terima.<br />Tulisan ini akan menjelaskan tentang bagaimana ide-ide fair trade berkembang di tengah dominasi ide free trade dalam konteks Indonesia? Bagaimana ide-ide itu diperjuangkan? Bagaimana pengaruhnya terhadap perekonomian Indonesia? <a href="http://docs.google.com/Doc?id=dck84cqr_0gqm4hwfd&hl=en">selengkapnya lihat</a></div>heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-10497543297222171942009-03-30T17:31:00.000-07:002009-03-30T17:34:20.849-07:00BRANDING INDONESIA: IDENTITAS SEBAGAI BRANDING<div align="justify">Mengapa Indonesia memiliki banyak branding? Mengapa Indonesia seringkali mengganti brandingnya? Mengapa branding-branding tersebut tidak berdampak signifikan bagi citra Indonesia di mata dunia internasional? Apakah branding yang tepat dan kuat bagi Indonesia dalam kondisi terpuruk seperti saat ini? Bagaimanakah cara membuat branding yang tepat dan kuat itu?<br />Sejak tahun 2001, Indonesia telah memiliki beberapa branding yaitu Indonesia, Just a smile away Indonesia. Pada tahun 2003 berubah menjadi Indonesia, the colour of life Indonesia, kemudian pada tahun yang sama berubah menjadi endless beauty of diversity, dan saat ini branding Indonesia adalah Indonesia, ultimate in diversity.<a class="sdfootnoteanc" href="http://docs.google.com/Doc?id=dck84cqr_1hbnqqxcr&hl=en#sdfootnote1sym" name="sdfootnote1anc">1</a> Untuk sebuah branding negara, perubahan yang cukup sering dan terjadi dalam waktu singkat adalah sesuatu yang cukup mengherankan. Bila dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia, Thailand, India, Hongkong, maka Indonesia adalah yang paling sering mengganti branding-nya. Sedangkan negara-negara tersebut tetap konsisten dengan branding masing-masing yaitu Malysia dengan Malaysia Trully Asia, Thailand dengan “Amazing Thailand”, India dengan India Eternally Yours, dan Hongkong dengan “Hongkong Asia’s World City.<br />Banyaknya branding tersebut tidak berdampak signifikan bagi perbaikan citra Indonesia, yang akhirnya juga tidak bermanfaat signifikan bagi pencapaian tujuan-tujuan pembuatan sebuah branding. Seperti diketahui bahwa tujuan utama pembuatan branding bagi suatu negara antara lain adalah untuk menarik investasi luar negeri dan menarik wisatawan manca negara (wisman) sebanyak-banyaknya. Namun faktanya tidaklah demikian dengan Indonesia, sejak memiliki branding pada tahun 2001 terjadi penurunan yang siginifikan di dalam jumlah masuknya investasi asing (PMA) dan jumlah kunjungan wisman. Menurut data BKPM, pada tahun 2001 nilai neto PMA ke Indonesia adalah USD-2.978 juta.</div><div align="justify">Untuk jumlah kunjungan wisman, Indonesia juga mengalami penurunan drastis. Sebagai gambaran, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia melalui 13 pintu masuk pada Oktober 2005 turun 30,85 persen, yaitu menjadi 267,8 ribu orang dari 387,3 ribu orang pada September 2005. Dibanding dengan periode yang sama 2004, jumlah wisman Oktober 2005 turun sebesar 30,31 persen. Penurunan yang cukup tajam terjadi pada jumlah wisman yang berkunjung ke Bali. Dibanding bulan sebelumnya jumlah wisman turun 48,39 persen, yaitu dari 168.170 orang menjadi 86.798 orang.</div><div align="justify"> </div><div align="justify">Fakta-fakta tersebut secara jelas menggambarkan bahwa branding Indonesia yang cukup banyak itu tidak berpengaruh apa-apa bagi Indonesia. Atas dasar itu tulisan ini akan memberikan alternatif baru dalam upaya menciptakan branding yang kuat dan tepat bagi Indonesia. </div><div align="justify"><a href="http://docs.google.com/Doc?id=dck84cqr_1hbnqqxcr&hl=en">selenkapnya lihat</a></div>heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-77014708036252808732009-02-10T17:03:00.000-08:002009-03-27T03:20:42.240-07:00Ethnopolitics<meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 12"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 12"><link rel="File-List" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CJRR%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><link rel="themeData" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CJRR%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx"><link rel="colorSchemeMapping" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CJRR%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:trackmoves/> <w:trackformatting/> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:donotpromoteqf/> <w:lidthemeother>EN-US</w:LidThemeOther> <w:lidthemeasian>X-NONE</w:LidThemeAsian> <w:lidthemecomplexscript>TH</w:LidThemeComplexScript> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:applybreakingrules/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> <w:splitpgbreakandparamark/> <w:dontvertaligncellwithsp/> <w:dontbreakconstrainedforcedtables/> <w:dontvertalignintxbx/> <w:word11kerningpairs/> <w:cachedcolbalance/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> <m:mathpr> <m:mathfont val="Cambria Math"> <m:brkbin val="before"> <m:brkbinsub val="--"> <m:smallfrac val="off"> <m:dispdef/> <m:lmargin val="0"> <m:rmargin val="0"> <m:defjc val="centerGroup"> <m:wrapindent val="1440"> <m:intlim val="subSup"> <m:narylim val="undOvr"> </m:mathPr></w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" defunhidewhenused="true" defsemihidden="true" defqformat="false" defpriority="99" latentstylecount="267"> <w:lsdexception locked="false" priority="0" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Normal"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="heading 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 7"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 8"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 9"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 7"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 8"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 9"> <w:lsdexception locked="false" priority="35" qformat="true" name="caption"> <w:lsdexception locked="false" priority="10" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Title"> <w:lsdexception locked="false" priority="1" name="Default Paragraph Font"> <w:lsdexception locked="false" priority="11" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtitle"> <w:lsdexception locked="false" priority="0" name="Hyperlink"> <w:lsdexception locked="false" priority="22" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Strong"> <w:lsdexception locked="false" priority="20" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="59" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Table Grid"> <w:lsdexception locked="false" unhidewhenused="false" name="Placeholder Text"> <w:lsdexception locked="false" priority="1" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="No Spacing"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" unhidewhenused="false" name="Revision"> <w:lsdexception locked="false" priority="34" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="List Paragraph"> <w:lsdexception locked="false" priority="29" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Quote"> <w:lsdexception locked="false" priority="30" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Quote"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="19" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtle Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="21" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="31" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtle Reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="32" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="33" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Book Title"> <w:lsdexception locked="false" priority="37" name="Bibliography"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" qformat="true" name="TOC Heading"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><style> <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cordia New"; panose-1:2 11 3 4 2 2 2 2 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:16777219 0 0 0 65537 0;} @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:IN; mso-bidi-language:AR-SA;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-size:10.0pt; mso-ansi-font-size:10.0pt; mso-bidi-font-size:10.0pt;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} /* List Definitions */ @list l0 {mso-list-id:1093014733; mso-list-type:hybrid; mso-list-template-ids:1084361126 160739370 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715;} @list l0:level1 {mso-level-tab-stop:36.0pt; mso-level-number-position:left; text-indent:-18.0pt;} ol {margin-bottom:0cm;} ul {margin-bottom:0cm;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman","serif";} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style=""><o:p> </o:p></span><span style=";font-family:";font-size:10;" ><span style=""></span><o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN">This course will introduce the students to ethnopolitic</span><span style="">s</span><span lang="IN">, which is the most important issue in global politics especially after World War II. This course will explore some main themes related to th</span><span style="">e</span><span lang="IN"> topic like the origin of ethnopolitics including its causal and implications. In some part it also will explore the </span><span style="">i</span><span style="" lang="IN">nternational </span><span style="">d</span><span style="" lang="IN">imensions of Ethnopolitical Conflict</span><span style="">. </span><span lang="IN">At the end of the course, the students are expected to use the theories or approaches in this study to analyze different cases.</span><span style=""><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><b style=""><span lang="IN">Format:<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Lecture-discussion</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><b style=""><span lang="IN">Reading<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span lang="IN">The essential reading materials for this course are prepared by the lectures in the form of course reading materials. The students are obliged to read all these reading materials as they have to discuss the materials relevant for specified topic in the class.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><b style=""><span lang="IN">Participation<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Regular attendance and participation are expected. These affect final grade. The students must attend at least 75% of the 14 scheduled classes, otherwise no grade will be issued.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><b style=""><span lang="IN">Grading </span></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;"><span lang="IN">The final grade is based on the following components, as weighted:</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN">Assesment of (quality of) class participation<span style=""> </span>10%</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN">4 Assignments, weighted 10% each<span style=""> </span>40%</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN">Mid-Semester Take Home Exam<span style=""> </span>20%</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN">Final Paper ( A Subtitute for final exam)<span style=""> </span>30%</span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span lang="IN">Course Schedule<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><span style=""> </span><b style=""><i style="">Part I.</i></b></span><b style=""><i style=""><span style="">Mapping the</span><span lang="IN"> Ethnopolitic</span></i></b><b style=""><i style=""><span style="">al Groups<o:p></o:p></span></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="1" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span lang="IN">Introduction<o:p></o:p></span></i></li><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span lang="IN">The </span></i><i style=""><span style="">W</span><span lang="IN">orld of Ethnopolitical Groups<o:p></o:p></span></i></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Gurr and Harff (1994), Chp. 1 & 2</span><span style="">,</span><i style=""> <span lang="IN">Gur (1995), </span></i><span style="">C</span><span style="" lang="IN">hap. 1<o:p></o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="3" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span lang="IN">Ethnic and Internal conflicts: causes and Implications<o:p></o:p></span></i></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN"><span style=""> </span>Crocker, Hompson and Pamela Aall (eds) (2001), Chp 1, Gurr (1995) Chp 2,3,4 </span><span style=""><o:p></o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="4" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span lang="IN">Explaining ethnopolitical conflict: A framework for analysis<o:p></o:p></span></i></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN"><span style=""> </span>Gurr and Harff (1994) Ch</span><span style="">a</span><span lang="IN">p 5</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;"><span style=""><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></i></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN"><span style=""> </span><b style=""><i style="">Part II. </i></b></span><b style=""><i style=""><span style="">Ethnopolitical Conflict and International System</span><span lang="IN"> <o:p></o:p></span></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="5" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span lang="IN">The International Dimensions of Ethnopolitical Conflict</span></i></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify;"><i style=""><span lang="IN">Gur and Harff (1994), </span></i><span style="">C</span><span lang="IN">hap. 7</span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="6" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span lang="IN">Ethnic Groups in the International System: State Sovereignty Versus Group Rights to Self-Determination<o:p></o:p></span></i></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Gurr and Harff (1994) Ch</span><span style="">a</span><span lang="IN">p. 8</span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="7" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span lang="IN">Settling Ethnopolitical Conflict</span></i></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify;"><i style=""><span lang="IN">Gur (1995), </span></i><span style="">C</span><span lang="IN">hap. 10<span style=""> </span></span><span style=""><o:p></o:p></span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="8" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span style="">Responding to International Crisis</span></i><span style=""><o:p></o:p></span></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Gurr and Harff (1994) Ch</span><span style="">a</span><span lang="IN">p</span><span style="">. 9<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: 18pt;"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: 3pt;"><b style=""><i style=""><span lang="IN">Part III. Cases: Class Seminar<o:p></o:p></span></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; text-indent: 3pt;"><b style=""><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="9" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span lang="IN">Cultural Conflict in the Ex-Yugoslavia<o:p></o:p></span></i></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Beverly Crawford</span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="10" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span lang="IN">The Tale of Two Resorts: Abkhazia and Ajaria Before and Since the Soviet Collapse<o:p></o:p></span></i></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Georgi M. Derluguian</span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="11" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span lang="IN">Islamist Reponses to Globalization: Cultural Conflict in Egypt, Algeria, and Malaysia<o:p></o:p></span></i></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Paul M. Lubeck 1</span></p> <ol style="margin-top: 0cm;" start="12" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i style=""><span lang="IN">From “Culture Wars” to Shooting Wars: Cultural Conflict in the United States<o:p></o:p></span></i></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Ronnie D. Lipschutz</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;"><b style=""><span lang="IN">Reading List:<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;"><b style=""><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Brown, Michael E (2001) ‘Ethnic and Internal Conflicts: Causes and Implications’ in <span style=""> </span>Crocker, A, Fen Osler Hompson and Pamela Aall (eds), <i style="">Turbulent <span style=""> </span>Peace The Challenges of Managing International Conflict, </i>Washington, <span style=""> </span>D.C., United States Institute of Peace Press.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Coulier, Paul (2001) ‘Economic Causes of Civil Conflict and Their Implications for <span style=""> </span>Policy’ in Crocker, A, Fen Osler Hompson and Pamela Aall (eds), <span style=""> </span><i style="">Turbulent Peace The Challenges of Managing International <span style=""> </span>Conflict</i>, Washington, D.C., United States Institute of Peace Press.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Crawford, Beverly and Ronnie D. Lipschutz (eds) (1998), <i style="">The Myth of “Ethnic <span style=""> </span>Conflict”: <span style=""> </span>Politics, Economics, and “Cultural” Violence,</i> California, <span style=""> </span>University of California.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;"><b style=""><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Guebenno, Jean-Marie (2001) ‘The Impact of Globalization on Strategy’ in Crocker, <span style=""> </span>A, Fen Osler Hompson and Pamela Aall (eds), <i style="">Turbulent Peace The <span style=""> </span>Challenges of Managing International Conflict,</i> Washington, D.C., United <span style=""> </span>States Institute of Peace Press.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 54pt; text-align: justify; text-indent: -36pt;"><span lang="IN">Gurr, Ted Robert, (1995), <i style="">Minority at Risk A Global View of Ethnopolitical Conflicts,</i> Washington, United States Institute Of Peace Press.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Gur, Ted Robert and Barbara Harff, (1994), <i style="">Ethnic Conflict in World Politics,</i> San <span style=""> </span><span style=""> </span>Francisco, Westview Press.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Gurr, Tedd Robert (2001) ‘Minorities and Nationalist: Managing Ethnopolitical <span style=""> </span>Conflict, in Crocker, A, Fen Osler Hompson and Pamela Aall (eds),<i style=""> Turbulent <span style=""> </span>Peace The Challenges of Managing International Conflict,</i> Washington, <span style=""> </span>D.C., United States Institute of Peace Press.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Hoffman, Stanley ( 2002) ‘Clash of Globalization’ in Held, David & Anthony <span style=""> </span>MacGrew <span style=""> </span>(eds), <i style="">The Global Transformation Reader</i>, UK, Balckwell.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Howard, Michael (2001)<span style=""> </span>’The Causes of War’ in Crocker, A, Fen Osler Hompson <span style=""> </span>and Pamela Aall (eds), <i style="">Turbulent Peace The Challenges of Managing <span style=""> </span>International Conflict</i>, Washington, D.C., United States Institute of Peace <span style=""> </span>Press.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Kellas, James G., (1998), <i style="">The Politics of Nationalism and Ethnicity</i>, New York, ST. <span style=""> </span>MARTIN’S Press, INC.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Levy, Jack S (2001), ‘Theories of Interstate and Intrastate War: A Levels-of-Analysis <span style=""> </span><span style=""> </span>Approach’ in Crocker, A, Fen Osler Hompson and Pamela Aall (eds) <span style=""> </span><i style="">Turbulent Peace The Challenges of Managing International <span style=""> </span>Conflict,</i> Washington, D.C., United States Institute of Peace Press.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Lubeck, Paul M. (1998) ‘Islamist Responses to Globalization: Cultural Conflict in Egypt, <span style=""> </span>Algeria, and Malaysia’ in <span style=""> </span>Crawford, Beverly and Ronnie D. Lipschutz (eds), <span style=""> </span><i style="">The Myth of “Ethnic Conflict”: Politics, Economics, and “Cultural” <span style=""> </span>Violence,</i> California, University of<span style=""> </span>California.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Modelski, George ( 2002) ‘Globalization’ in Held, David & Anthony MacGrew (eds), <span style=""> </span><i style="">The Global Transformation Reader</i>, UK, Balckwell.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN">Williams, Phil<span style=""> </span>(2001) ‘Transnational Criminal Enterprises, Conflict, and Instability’ <span style=""> </span>in <span style=""> </span><span style=""> </span>Crocker, A, Fen Osler Hompson and Pamela Aall (eds) <i style="">Turbulent <span style=""> </span>Peace The Challenges of Managing International Conflict,</i> Washington, <span style=""> </span>D.C., United States Institute of Peace Press.</span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm;"><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-34785814299501742622009-02-10T16:58:00.001-08:002009-03-27T03:04:40.226-07:00Ethnopolitics Syllabus <div style="text-align: justify;"><meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 12"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 12"><link style="font-family: arial;" rel="File-List" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CJRR%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><link style="font-family: arial;" rel="themeData" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CJRR%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx"><link style="font-family: arial;" rel="colorSchemeMapping" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CJRR%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:trackmoves/> <w:trackformatting/> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:donotpromoteqf/> <w:lidthemeother>EN-US</w:LidThemeOther> <w:lidthemeasian>X-NONE</w:LidThemeAsian> <w:lidthemecomplexscript>TH</w:LidThemeComplexScript> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:applybreakingrules/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> <w:splitpgbreakandparamark/> <w:dontvertaligncellwithsp/> <w:dontbreakconstrainedforcedtables/> <w:dontvertalignintxbx/> <w:word11kerningpairs/> <w:cachedcolbalance/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> <m:mathpr> <m:mathfont val="Cambria Math"> <m:brkbin val="before"> <m:brkbinsub val="--"> <m:smallfrac val="off"> <m:dispdef/> <m:lmargin val="0"> <m:rmargin val="0"> <m:defjc val="centerGroup"> <m:wrapindent val="1440"> <m:intlim val="subSup"> <m:narylim val="undOvr"> </m:mathPr></w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" defunhidewhenused="true" defsemihidden="true" defqformat="false" defpriority="99" latentstylecount="267"> <w:lsdexception locked="false" priority="0" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Normal"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="heading 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 7"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 8"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 9"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 7"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 8"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 9"> <w:lsdexception locked="false" priority="35" qformat="true" name="caption"> <w:lsdexception locked="false" priority="10" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Title"> <w:lsdexception locked="false" priority="1" name="Default Paragraph Font"> <w:lsdexception locked="false" priority="11" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtitle"> <w:lsdexception locked="false" priority="0" name="Hyperlink"> <w:lsdexception locked="false" priority="22" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Strong"> <w:lsdexception locked="false" priority="20" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="59" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Table Grid"> <w:lsdexception locked="false" unhidewhenused="false" name="Placeholder Text"> <w:lsdexception locked="false" priority="1" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="No Spacing"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" unhidewhenused="false" name="Revision"> <w:lsdexception locked="false" priority="34" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="List Paragraph"> <w:lsdexception locked="false" priority="29" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Quote"> <w:lsdexception locked="false" priority="30" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Quote"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="19" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtle Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="21" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="31" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtle Reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="32" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="33" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Book Title"> <w:lsdexception locked="false" priority="37" name="Bibliography"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" qformat="true" name="TOC Heading"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><style> <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cordia New"; panose-1:2 11 3 4 2 2 2 2 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:swiss; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:16777219 0 0 0 65537 0;} @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:IN; mso-bidi-language:AR-SA;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-size:10.0pt; mso-ansi-font-size:10.0pt; mso-bidi-font-size:10.0pt;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} /* List Definitions */ @list l0 {mso-list-id:1093014733; mso-list-type:hybrid; mso-list-template-ids:1084361126 160739370 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715 67698703 67698713 67698715;} @list l0:level1 {mso-level-tab-stop:36.0pt; mso-level-number-position:left; text-indent:-18.0pt;} ol {margin-bottom:0cm;} ul {margin-bottom:0cm;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman","serif";} </style> <![endif]--> </div><p style="text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span style=""><o:p> </o:p></span></b></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: left;font-family:arial;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span style="">Jember University
<br /></span></b></span></p><p style="text-align: right;font-family:arial;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span style="">
<br /><o:p></o:p></span></b></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;font-family:arial;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span style="">Departement of International Relations<span style=""> </span><span style=""> </span><span style=""> </span>
<br /></span></b></span></p><p style="text-align: right;font-family:arial;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span style="">Heri Alfian</span></b></span></p><p style="text-align: right;font-family:arial;" class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span style="">alfianheri@yahoo.com<o:p></o:p></span></b></span></p><div> </div><p class="MsoNormal" style="text-align: right;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span style=""><span style="">http://</span>alfianheri.blogspot.com</span></b></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: right;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span style="">Time: Tuesday, 08.30-11.00<span style="">
<br /></span></span></b></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-align: right;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span style="">Location: 204<o:p></o:p></span></b></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-align: center;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span style="" lang="IN">ETHNOPOLITICS<o:p></o:p></span></b></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-align: center;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><b style=""><i><span style="">course syllabus<o:p></o:p></span></i></b></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">This course will introduce the students to ethnopolitic</span><span style="font-size:100%;">s</span><span lang="IN" style="font-size:100%;">, which is the most important issue in global politics especially after World War II. This course will explore some main themes related to th</span><span style="font-size:100%;">e</span><span lang="IN" style="font-size:100%;"> topic like the origin of ethnopolitics including its causal and implications. In some part it also will explore the </span><span style="font-size:100%;">i</span><span lang="IN" style="font-size:100%;">nternational </span><span style="font-size:100%;">d</span><span lang="IN" style="font-size:100%;">imensions of Ethnopolitical Conflict</span><span style="font-size:100%;">. </span><span lang="IN" style="font-size:100%;">At the end of the course, the students are expected to use the theories or approaches in this study to analyze different cases.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span lang="IN">Format:<o:p></o:p></span></b></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Lecture-discussion</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span lang="IN">Reading<o:p></o:p></span></b></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">The essential reading materials for this course are prepared by the lectures in the form of course reading materials. The students are obliged to read all these reading materials as they have to discuss the materials relevant for specified topic in the class.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span lang="IN">Participation<o:p></o:p></span></b></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Regular attendance and participation are expected. These affect final grade. The students must attend at least 75% of the 14 scheduled classes, otherwise no grade will be issued.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span lang="IN">Grading </span></b></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">The final grade is based on the following components, as weighted:</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Assesment of (quality of) class participation<span style=""> </span>10%</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">4 Assignments, weighted 10% each<span style=""> </span>40%</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Mid-Semester Take Home Exam<span style=""> </span>20%</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Final Paper ( A Subtitute for final exam)<span style=""> </span>30%</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span lang="IN">Course Schedule<o:p></o:p></span></b></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;"><span style=""> </span><b style=""><i style="">Part I.</i></b></span><span style="font-size:100%;"><b style=""><i style=""><span style="">Mapping the</span><span lang="IN"> Ethnopolitic</span></i></b><b style=""><i style=""><span style="">al Groups<o:p></o:p></span></i></b></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><ol style="margin-top: 0cm; text-align: justify;font-family:arial;" start="1" type="1"><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><i style=""><span lang="IN">Introduction<o:p></o:p></span></i></span></li><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><i style=""><span lang="IN">The </span></i><i style=""><span style="">W</span><span lang="IN">orld of Ethnopolitical Groups<o:p></o:p></span></i></span></li></ol><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Gurr and Harff (1994), Chp. 1 & 2</span><span style="font-size:100%;">,</span><span style="font-size:100%;"><i style=""> <span lang="IN">Gur (1995), </span></i></span><span style="font-size:100%;">C</span><span lang="IN" style="font-size:100%;">hap. 1<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><ol style="margin-top: 0cm; text-align: justify;font-family:arial;" start="3" type="1"><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><i style=""><span lang="IN">Ethnic and Internal conflicts: causes and Implications<o:p></o:p></span></i></span></li></ol><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Crocker, Hompson and Pamela Aall (eds) (2001), Chp 1, Gurr (1995) Chp 2,3,4 </span><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><ol style="margin-top: 0cm; text-align: justify;font-family:arial;" start="4" type="1"><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><i style=""><span lang="IN">Explaining ethnopolitical conflict: A framework for analysis<o:p></o:p></span></i></span></li></ol><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;"><span style=""> </span>Gurr and Harff (1994) Ch</span><span style="font-size:100%;">a</span><span lang="IN" style="font-size:100%;">p 5</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><i style=""><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></i></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;"><span style=""> </span><b style=""><i style="">Part II. </i></b></span><span style="font-size:100%;"><b style=""><i style=""><span style="">Ethnopolitical Conflict and International System</span><span lang="IN"> <o:p></o:p></span></i></b></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><ol style="margin-top: 0cm; text-align: justify;font-family:arial;" start="5" type="1"><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><i style=""><span lang="IN">The International Dimensions of Ethnopolitical Conflict</span></i></span></li></ol><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><i style=""><span lang="IN">Gur and Harff (1994), </span></i></span><span style="font-size:100%;">C</span><span lang="IN" style="font-size:100%;">hap. 7</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><ol style="margin-top: 0cm; text-align: justify;font-family:arial;" start="6" type="1"><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><i style=""><span lang="IN">Ethnic Groups in the International System: State Sovereignty Versus Group Rights to Self-Determination<o:p></o:p></span></i></span></li></ol><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Gurr and Harff (1994) Ch</span><span style="font-size:100%;">a</span><span lang="IN" style="font-size:100%;">p. 8</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><ol style="margin-top: 0cm; text-align: justify;font-family:arial;" start="7" type="1"><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><i style=""><span lang="IN">Settling Ethnopolitical Conflict</span></i></span></li></ol><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><i style=""><span lang="IN">Gur (1995), </span></i></span><span style="font-size:100%;">C</span><span lang="IN" style="font-size:100%;">hap. 10<span style=""> </span></span><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><ol style="margin-top: 0cm; text-align: justify;font-family:arial;" start="8" type="1"><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><i style=""><span style="">Responding to International Crisis</span></i></span><span style="font-size:100%;"><o:p></o:p></span></li></ol><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Gurr and Harff (1994) Ch</span><span style="font-size:100%;">a</span><span lang="IN" style="font-size:100%;">p</span><span style="font-size:100%;">. 9<o:p></o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-indent: 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-indent: 3pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><b style=""><i style=""><span lang="IN">Part III. Cases: Class Seminar<o:p></o:p></span></i></b></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-indent: 3pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><ol style="margin-top: 0cm; text-align: justify;font-family:arial;" start="9" type="1"><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><i style=""><span lang="IN">Cultural Conflict in the Ex-Yugoslavia<o:p></o:p></span></i></span></li></ol><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Beverly Crawford</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><ol style="margin-top: 0cm; text-align: justify;font-family:arial;" start="10" type="1"><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><i style=""><span lang="IN">The Tale of Two Resorts: Abkhazia and Ajaria Before and Since the Soviet Collapse<o:p></o:p></span></i></span></li></ol><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Georgi M. Derluguian</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><ol style="margin-top: 0cm; text-align: justify;font-family:arial;" start="11" type="1"><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><i style=""><span lang="IN">Islamist Reponses to Globalization: Cultural Conflict in Egypt, Algeria, and Malaysia<o:p></o:p></span></i></span></li></ol><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Paul M. Lubeck 1</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><ol style="margin-top: 0cm; text-align: justify;font-family:arial;" start="12" type="1"><li class="MsoNormal"><span style="font-size:100%;"><i style=""><span lang="IN">From “Culture Wars” to Shooting Wars: Cultural Conflict in the United States<o:p></o:p></span></i></span></li></ol><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 36pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Ronnie D. Lipschutz</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span lang="IN">Reading List:<o:p></o:p></span></b></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Brown, Michael E (2001) ‘Ethnic and Internal Conflicts: Causes and Implications’ in <span style=""> </span>Crocker, A, Fen Osler Hompson and Pamela Aall (eds), <i style="">Turbulent <span style=""> </span>Peace The Challenges of Managing International Conflict, </i>Washington, <span style=""> </span>D.C., United States Institute of Peace Press.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Coulier, Paul (2001) ‘Economic Causes of Civil Conflict and Their Implications for <span style=""> </span>Policy’ in Crocker, A, Fen Osler Hompson and Pamela Aall (eds), <span style=""> </span><i style="">Turbulent Peace The Challenges of Managing International <span style=""> </span>Conflict</i>, Washington, D.C., United States Institute of Peace Press.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Crawford, Beverly and Ronnie D. Lipschutz (eds) (1998), <i style="">The Myth of “Ethnic <span style=""> </span>Conflict”: <span style=""> </span>Politics, Economics, and “Cultural” Violence,</i> California, <span style=""> </span>University of California.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style="font-size:100%;"><b style=""><span lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Guebenno, Jean-Marie (2001) ‘The Impact of Globalization on Strategy’ in Crocker, <span style=""> </span>A, Fen Osler Hompson and Pamela Aall (eds), <i style="">Turbulent Peace The <span style=""> </span>Challenges of Managing International Conflict,</i> Washington, D.C., United <span style=""> </span>States Institute of Peace Press.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 54pt; text-indent: -36pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Gurr, Ted Robert, (1995), <i style="">Minority at Risk A Global View of Ethnopolitical Conflicts,</i> Washington, United States Institute Of Peace Press.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Gur, Ted Robert and Barbara Harff, (1994), <i style="">Ethnic Conflict in World Politics,</i> San <span style=""> </span><span style=""> </span>Francisco, Westview Press.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Gurr, Tedd Robert (2001) ‘Minorities and Nationalist: Managing Ethnopolitical <span style=""> </span>Conflict, in Crocker, A, Fen Osler Hompson and Pamela Aall (eds),<i style=""> Turbulent <span style=""> </span>Peace The Challenges of Managing International Conflict,</i> Washington, <span style=""> </span>D.C., United States Institute of Peace Press.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Hoffman, Stanley ( 2002) ‘Clash of Globalization’ in Held, David & Anthony <span style=""> </span>MacGrew <span style=""> </span>(eds), <i style="">The Global Transformation Reader</i>, UK, Balckwell.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Howard, Michael (2001)<span style=""> </span>’The Causes of War’ in Crocker, A, Fen Osler Hompson <span style=""> </span>and Pamela Aall (eds), <i style="">Turbulent Peace The Challenges of Managing <span style=""> </span>International Conflict</i>, Washington, D.C., United States Institute of Peace <span style=""> </span>Press.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Kellas, James G., (1998), <i style="">The Politics of Nationalism and Ethnicity</i>, New York, ST. <span style=""> </span>MARTIN’S Press, INC.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Levy, Jack S (2001), ‘Theories of Interstate and Intrastate War: A Levels-of-Analysis <span style=""> </span><span style=""> </span>Approach’ in Crocker, A, Fen Osler Hompson and Pamela Aall (eds) <span style=""> </span><i style="">Turbulent Peace The Challenges of Managing International <span style=""> </span>Conflict,</i> Washington, D.C., United States Institute of Peace Press.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Lubeck, Paul M. (1998) ‘Islamist Responses to Globalization: Cultural Conflict in Egypt, <span style=""> </span>Algeria, and Malaysia’ in <span style=""> </span>Crawford, Beverly and Ronnie D. Lipschutz (eds), <span style=""> </span><i style="">The Myth of “Ethnic Conflict”: Politics, Economics, and “Cultural” <span style=""> </span>Violence,</i> California, University of<span style=""> </span>California.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Modelski, George ( 2002) ‘Globalization’ in Held, David & Anthony MacGrew (eds), <span style=""> </span><i style="">The Global Transformation Reader</i>, UK, Balckwell.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;">Williams, Phil<span style=""> </span>(2001) ‘Transnational Criminal Enterprises, Conflict, and Instability’ <span style=""> </span>in <span style=""> </span><span style=""> </span>Crocker, A, Fen Osler Hompson and Pamela Aall (eds) <i style="">Turbulent <span style=""> </span>Peace The Challenges of Managing International Conflict,</i> Washington, <span style=""> </span>D.C., United States Institute of Peace Press.</span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p><div style="text-align: justify;"> </div><p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm; text-align: justify;font-family:arial;"><span lang="IN" style="font-size:100%;"><o:p> </o:p></span></p> heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4021466933835664938.post-89779147788136281242009-02-10T16:48:00.000-08:002009-03-27T03:12:03.229-07:00Introduction to IR Sylabbus<meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 12"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 12"><link style="font-family: arial;" rel="File-List" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CJRR%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><link style="font-family: arial;" rel="themeData" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CJRR%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx"><link style="font-family: arial;" rel="colorSchemeMapping" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5CJRR%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:trackmoves/> <w:trackformatting/> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:donotpromoteqf/> <w:lidthemeother>EN-US</w:LidThemeOther> <w:lidthemeasian>X-NONE</w:LidThemeAsian> <w:lidthemecomplexscript>TH</w:LidThemeComplexScript> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:applybreakingrules/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> <w:splitpgbreakandparamark/> <w:dontvertaligncellwithsp/> <w:dontbreakconstrainedforcedtables/> <w:dontvertalignintxbx/> <w:word11kerningpairs/> <w:cachedcolbalance/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> <m:mathpr> <m:mathfont val="Cambria Math"> <m:brkbin val="before"> <m:brkbinsub val="--"> <m:smallfrac val="off"> <m:dispdef/> <m:lmargin val="0"> <m:rmargin val="0"> <m:defjc val="centerGroup"> <m:wrapindent val="1440"> <m:intlim val="subSup"> <m:narylim val="undOvr"> </m:mathPr></w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" defunhidewhenused="true" defsemihidden="true" defqformat="false" defpriority="99" latentstylecount="267"> <w:lsdexception locked="false" priority="0" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Normal"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="heading 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 7"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 8"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 9"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 7"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 8"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 9"> <w:lsdexception locked="false" priority="35" qformat="true" name="caption"> <w:lsdexception locked="false" priority="10" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Title"> <w:lsdexception locked="false" priority="1" name="Default Paragraph Font"> <w:lsdexception locked="false" priority="11" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtitle"> <w:lsdexception locked="false" priority="0" name="Hyperlink"> <w:lsdexception locked="false" priority="22" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Strong"> <w:lsdexception locked="false" priority="20" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="59" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Table Grid"> <w:lsdexception locked="false" unhidewhenused="false" name="Placeholder Text"> <w:lsdexception locked="false" priority="1" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="No Spacing"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" unhidewhenused="false" name="Revision"> <w:lsdexception locked="false" priority="34" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="List Paragraph"> <w:lsdexception locked="false" priority="29" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Quote"> <w:lsdexception locked="false" priority="30" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Quote"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="19" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtle Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="21" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="31" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtle Reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="32" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="33" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Book Title"> <w:lsdexception locked="false" priority="37" name="Bibliography"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" qformat="true" name="TOC Heading"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><style> <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;} @font-face {font-family:Times-Roman; panose-1:0 0 0 0 0 0 0 0 0 0; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:auto; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:135 0 0 0 27 0;} @font-face {font-family:TimesNewRomanPSMT; panose-1:0 0 0 0 0 0 0 0 0 0; mso-font-alt:"Times New Roman"; mso-font-charset:77; mso-generic-font-family:roman; mso-font-format:other; mso-font-pitch:auto; mso-font-signature:50331648 0 0 0 1 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} a:link, span.MsoHyperlink {mso-style-unhide:no; color:blue; text-decoration:underline; text-underline:single;} a:visited, span.MsoHyperlinkFollowed {mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; color:purple; mso-themecolor:followedhyperlink; text-decoration:underline; text-underline:single;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-size:10.0pt; mso-ansi-font-size:10.0pt; mso-bidi-font-size:10.0pt;} @page Section1 {size:595.0pt 842.0pt; margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt; mso-header-margin:35.4pt; mso-footer-margin:35.4pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-para-margin:0cm; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:11.0pt; mso-bidi-font-size:14.0pt; font-family:"Calibri","sans-serif"; mso-ascii-font-family:Calibri; mso-ascii-theme-font:minor-latin; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-theme-font:minor-fareast; mso-hansi-font-family:Calibri; mso-hansi-theme-font:minor-latin; mso-bidi-font-family:"Cordia New"; mso-bidi-theme-font:minor-bidi;} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal" face="arial" style="text-align: center;" align="center"><b style="">INTRODUCTION TO INTERNATIONAL RELATIONS<o:p></o:p></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center; font-family: arial;" align="center"><span style="font-size:85%;"><i><span style="">Course syllabus</span></i></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: right;font-family:arial;">
<br /><span style="font-size:85%;"><i><span style=""><o:p></o:p></span></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="font-family:arial;"><span style="font-size:85%;"><o:p> </o:p></span></p><p class="MsoNormal" style="margin-left: 351pt; text-align: justify; text-indent: -40.5pt;font-family:arial;"><b style=""><span style="font-size:10;">
<br /><o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 351pt; text-align: justify; text-indent: -40.5pt; font-family: arial;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="font-family: arial;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;">The aim of this course is to learn about international relations and a way in which international relations can be understood. <span style="">The focus is on the modern world from World War I onward and on recent theorizing about international relations</span>.</p> <p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify; font-family: arial;"><b style="">Format:<o:p></o:p></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify; font-family: arial;">Lecture-discussion</p> <p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify; font-family: arial;"><b style="">Reading<o:p></o:p></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify; font-family: arial;">The essential reading materials for this course are prepared by the lectures in the form of course reading materials. The students are obliged to read all these reading materials as they have to discuss the materials relevant for specified topic in the class.</p> <p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify; font-family: arial;"><b style="">Participation<o:p></o:p></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify; font-family: arial;">Regular attendance and participation are expected. These affect final grade. The students must attend at least 75% of the 14 scheduled classes, otherwise no grade will be issued.</p> <p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify; font-family: arial;"><b style="">Grading </b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-top: 6pt; text-align: justify; font-family: arial;">The final grade is based on the following components, as weighted:</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;">Assesment of (quality of) class participation<span style=""> </span>10%</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;">4 Assignments, weighted 10% each<span style=""> </span>40%</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;">Mid-Semester Take Home Exam<span style=""> </span>20%</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;font-family:arial;">Final Paper ( A Subtitute for final exam)<span style=""> </span>30%</p> <p class="MsoNormal" face="arial" style="text-align: justify;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" face="arial" style="text-align: justify;"><b style="">Course Schedule<o:p></o:p></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-family: arial;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-family: arial;"><span style=""> </span><b style=""><i style="">Part I</i></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify;font-family:arial;">Class I<span style=""> </span><span style=""> </span>: Introduction</p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify;font-family:arial;">Class II<span style=""> </span><span style=""> </span>: Why Study International Relations<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 6pt 36pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style=""> </span><i>Robert Jacson & Georg Sorensen (2005), chap. 1<o:p></o:p></i></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify;font-family:arial;">Class III<span style=""> </span>: Historiography of International Relations<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style=""> </span><span style=""> </span><span style=""> </span><span style="">Brian C. Schmidt<span style=""> </span>(1998), chap. 1<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify;font-family:arial;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style=""> </span><b style=""><i style="">Part II<o:p></o:p></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 6pt 78pt; text-align: justify; text-indent: -78pt;font-family:arial;">Class IV <span style=""> </span>: The Making of International Relations: From Modernist Tradition to<span style=""> </span>Cod War Discipline<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 6pt 36pt; text-align: justify; text-indent: 36pt;font-family:arial;"><i><span style=""> </span>Jim George (1994), chap. 3<o:p></o:p></i></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify;font-family:arial;">Class V<span style=""> </span>: Systems, History, Theory and the Study of International Relations<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style=""> </span><span style=""> </span><i>Barry Buzan & Richard Little (2000), chap. 1<o:p></o:p></i></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style=""> </span><o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; text-indent: 36pt; font-family: arial;"><b style=""><i style="">Part III<o:p></o:p></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify;font-family:arial;">Class VI, VII<span style=""> </span>: Theoretical Approaches to International Relations<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style=""> </span><span style=""> </span><span style=""> </span><i>James E. Dourgherty & Robert L. Pfaltzgraff, Jr (1990), chap. 1<o:p></o:p></i></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style=""> </span><b style=""><i style="">Part IV<o:p></o:p></i></b></p> <p class="MsoNormal" face="arial" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify;">Class VIII<span style=""> </span>: Actors, Issues, and Their Interaction<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt; text-align: justify; font-family: arial;"><span style=""> </span><span style=""> </span><i>Kegley Jr., Charles W & Eugene R. Witkopf (1997), chap. 1, 6<o:p></o:p></i></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 6pt 78pt; text-align: justify; text-indent: -81pt;font-family:arial;"><span style=""> </span>Class X<span style=""> </span><span style=""> </span><span style=""> </span>: Non State Actors in World Politics: Ethnonational Groups, religious<span style=""> </span><span style=""> </span>Movements, Terrorists, and Multinational Corporations<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 6pt 78pt; text-align: justify; text-indent: -81pt;font-family:arial;"><span style=""> </span><i>Kegley Jr., Charles W & Eugene R. Wittkopf (1997), chap. 7<o:p></o:p></i></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-family: arial;"><span style=""> </span><b style=""><i style="">Part V</i> Seminar<o:p></o:p></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-family: arial;"><b style=""><o:p> </o:p></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm; text-align: justify;font-family:arial;">Class XI<span style=""> </span>: Seminar: International Relations in Southeast Asia<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm; text-align: justify;font-family:arial;">Class XII<span style=""> </span>: Seminar: International Relations in East Asia<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm; text-align: justify;font-family:arial;">Class XIII<span style=""> </span>: Seminar: International Relations in Middle East<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm; text-align: justify;font-family:arial;">Class XIV<span style=""> </span>: Seminar: International Relations in Africa<o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; font-family: arial;"><b style=""><i style=""><o:p> </o:p></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify;font-family:arial;"><span style=""> </span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; font-family: arial;"><b style="">Reading List:<o:p></o:p></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 18pt; text-align: justify; font-family: arial;"><b style=""><o:p> </o:p></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 58.5pt; text-align: justify; text-indent: -40.5pt; font-family: arial;">Buzan, Barry & Richard Little (2000) ‘<i style="">International Systems in World History, Remaking The Study of International Relations’, </i>New York, Oxford University Press.</p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 58.5pt; text-align: justify; text-indent: -40.5pt; font-family: arial;">Dourgherty, James E. & Robert L. Pfaltzgraff, Jr. (1990),’<i style=""> Contending Theories of International Relations, A Comprehensive Suvey, Third Edition, </i>New York, Harper Collins Publishers Inc.</p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 58.5pt; text-align: justify; text-indent: -40.5pt; font-family: arial;">Jason, Robert & Georg Sorensen (2005) ‘<i style="">Pengantar Studi Hubungan Internasional’, </i><span style=""> </span>Yogyakarta, Pustaka Pelajar.</p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 58.5pt; text-align: justify; text-indent: -36pt;font-family:arial;">Schmidt, Brian C (1998) <i style="">‘The Political Discurse of Anarchy-A Disciplinary History of International Relations’,<span style=""> </span></i>USA, State University of New York.</p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 63pt; text-align: justify; text-indent: -45pt; font-family: arial;">Kegley Jr, Charles W, & Eugene R. Wittkopf (1997),’ <i style="">World Politics, Trend and Transformation, Sixth Edition’, </i>New York, ST. Martin’s Press.</p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify; font-family: arial;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 6pt 0cm 6pt 18pt; text-align: justify; font-family: arial;"><i style=""><o:p> </o:p></i></p> <p style="font-family: arial;" class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> heri alfianhttp://www.blogger.com/profile/04474712655358711137noreply@blogger.com0