widget

Selasa, 24 November 2009

KONSTRUKTIVIS

Konstruktivis, Organisasi Internasional dan World Polity
(Constructivist, International Organization and World Polity)

Oleh:
Heri Alfian
Abstract

The main purpose of this research is explaining and proving the constructivist idea about the construction of the world polity. Now days, that idea becomes important issue in international politics. In accord with polity as a "system of creating value through the collective conferral of authority", constructivist seen that the dramatic growing of international organization in international realm after World War II as the emerging of world polity. There are four points are to be explored i.e., the origin of the world polity; the spread of norms where norms become universal; the norm life cycle; and the International organization.
Key words: Constructivist, World Polity, Norm, International organization
1. Pendahuluan
Keberadaan dan peran organisasi internasional semakin menunjukkan peningkatan dalam politik internasional. Secara faktual fenomena itu mengarah pada integrasi nation-states. Integrasi dalam konteks ini mengacu pada terorganisirnya (organzed) negara-negara di bawah suatu organisasi yang merupakan perwujudan representasi dari negara-negara tersebut. Representasi dalam pandangan konstruktivis adalah bentuk pengakuan terhadap norma universal yang diakui bersama sebagai suatu acuan untuk mencapai kebaikan bersama.
Norma universal merupakan hasil dari proses pengidean, pengkampanyean, dan penginstitusionalan suatu norma oleh individu ataupun kelompok yang mengangap bahwa suatu norma yang dianggapnya baik dapat menjadi kebaikan seluruh manusia jika telah menjadi universal. Dalam proses terbentuknya suatu organisasi internasional peran individu atau kelompok tertentu sangat signifikan. Dan yang terjadi saat ini dan akan terjadi di masa mendatang adalah dunia yang semakin terintegrasi di bawah perintahan dunia yang dipimpin oleh individu-individu berpengaruh yang berhasil me-universalisasi norma. Dalam kajian konstruktivis fenomena ini disebut sebagai world polity.
Tulisan ini ingin menjelaskan tentang apakah pembentukan berbagai organisasi atau institusi internasional mendukung argumen konstruktivis tentang terbentuknya world polity?
2. World Polity
Tahun 1850-an para tenaga medis dan korban-korban yang terluka dalam perang diperlakukan sama dengan tenaga atau personel militer yang berperang (combatants). Mereka juga diserang karena dianggap sebagai pihak yang juga terlibat dalam perang. Anggapan itu adalah norma yang umum berlaku pada waktu itu. Namun pada tahun 1859 norma itu mengalami perubahan ketika Henry Dunant mulai mempromosikan norma baru bahwa para tenaga medis dan korban yang terluka dalam perang harus diperlakukan sebagai pihak yang netral dan noncombatants, sehingga tidak boleh diserang. Lalu lahirlah International Committee of the Red Cross, yang aktif mengkampanyekan norma tersebut. Mungkin dunia akan berubah menjadi “oven raksasa” bila kelompok-kelompok enviromentalis seperti greenpeace tidak mengkampanyekan tentang norma-norma yang yang menjunjung pelestarian lingkungan. Para kaum perempuan mungkin tidak akan pernah mempunyai hak pilih (women’s suffrage) seandainya Elizabeth Cady Stanton dan Susan B. Anthony tidak pernah ada dan tidak memperjuangkan norma itu. Saat ini norma itu telah menjadi norma umum yang diakui dan diadopsi oleh hampir semua negara di dunia.
Ide kaum konstruktivis tentang terbentuknya world polity menjadi konsep yang semakin penting dalam politik internasional. Konsep ini muncul di tengah-tengah semakin besarnya peran aktor-aktor non-state dalam menentukan munculnya norma-norma universal. World polity mengindikasikan tidak ada satu aktor maupun institusi tunggal yang menentukan apa yang bernilai bagi dunia secara keseluruhan. Konsep world polity telah menghilangkan peran negara yang selama ini dianggap sebagai satu-satunya aktor yang paling dominan dalam politik internasional. World polity mengacu pada peran-peran individu-individu, organisasi non pemerintah (NGO), dan organisasi-organisasi internasional sebagai aktor-aktor yang legitimate dalam menentukan apa yang bernilai bagi dunia. Dalam pandangan kaum konstruktivis world polity berbasiskan pada norma. Sehingga isu-isu yang dikembangkan tidak lagi terkait dengan persoalan perang dan diplomasi antar negara melainkan isu-isu yang tentang human security yang meliputi hak asasi manusia, kesehatan, lingkungan, demoratisasi dan lain-lain.
John Meyer mendefinisikan Polity sebagai a "system of creating value through the collective conferral of authority". Sistem terbentuk dari sekumpulan aturan-aturan yang disebut frame atau model. Aktor-aktor di dalam sistem diciptakan dan dimotivasi oleh frames. Di dalam World polity tidak ada aktor atau institusi tunggal yang bisa menentukan apa yang bernilai bagi dunia. Otoritas aktor berasal dari world culture yaitu sekumpulan model yang berlaku universal yang menentukan siapa aktor yang legitimate di dalam world society, tujuan apa yang dapat mereka raih dan bagaimana mereka dapat meraihnya.
Proses terbentuknya world polity atau bekerjanya world polity melalui lima tahap. Pertama adalah world culture akan membentuk negara menjadi aktor yang rasional. Negara sebagai aktor rasional misalnya menjalankan tindakan-tindakannya berdasarkan aturan-aturan formal yang ada. Tahap kedua adalah World culture akan mendorong kepada terbentuknya Isomorphisme. Institusionalisasi world model akan mendorong terjadinya kesamaan struktur. Lalu negara-negara akan mengadopsi bentuk konstitusi yang sama, bentuk sistem pendidikan publik, kebijakan terhadap hak-hak perempuan dan lingkungan, dan kesamaan-kesamaan dalam hal-hal lainnya. Ketiga yaitu tahap di mana negara terstrukturisasi ke dalam tingkatan-tingkatan dan pola-pola tertentu di mana seringkali pola tersebut tidak terkait atau tidak sesuai dengan kebutuhan dan lingkungan nyata negara tersebut. Hal itu akan mendorong terjadinya kesenjangan antara nilai-nilai yang dianut dari struktur dengan aksi-aksi nyata yang dilakukan. Misalnya banyak negara yang menunjukkan diri di dalam dunia internasional sebagai negara yang memiliki sistem pendidikan yang baik, namun pada dasarnya hal itu hanya bersifat simbolik, karena pada kenyataannya hal itu tidak dilakukan. Jadi apa yang tampak terhadap dunia luar pada dasrnya hanya simbol. Hal ini terjadi pada semua negara yang merupakan aktor rasional, baik negara kuat maupun lemah. Keempat sudah mencapai tahap di mana organisasi internasional non-pemerintah berfungsi untuk merepresentasikan, membawa dan mengelaborasi prinsip-prinsip universal. Organisasi internasional ini dibangun di atas prinsip-prinsip world culture seperti universalisme,individualisme, dan kewarganegaraan dunia. Tahap terakhir adalah tahap di mana di dalam negara bangsa telah menyebar ideologi world society. Hal itu ditandai misalnya dengan munculnya gerakan-gerakan kelompok pecinta lingkungan lingkungan, kelompok penegak HAM.
Penempatan nation-states sebagai rasional aktor yang berbasiskan pada norma universal menyebabkan terjadinya isomorphism. Keadaan itu akan menyebabkan perubahan pada pola hubungan antara negara menjadi lebih setara, karena struktur internasional yang di dominasi oleh kekuatan negara hegemon telah berubah menjadi struktur internasional yang sama (structural similarity). Semua negara diatur oleh norma universal, sehingga apa yang dilakukan oleh negara A juga dilakukan oleh negara B. Sebagai contoh adalah norma tentang kebebasan menjalankan hak politik di mana setiap individu berhak berafiliasi ke partai politik apapun yang ia inginkan. Norma itu saat ini telah diakui oleh hampir seluruh negara kecuali negara-negara yang masih diperintah oleh rezim otoriter. Contoh lain yaitu kewajiban bagi seluruh negara untuk menegakkan aturan tentang produk-produk yang berorientasi non-CFC. Tidak ada perbedaan bahwa negara A harus melakukan ketentuan (norma) tersebut sementara negara B boleh tidak melakukannya. Atau negara A melaksanakan ketentuan tersebut sepenuhnya sementara negara B hanya sebagiannya. Semua negara memiliki posisi yang sama untuk melaksanakan ketentuan tersebut (“equality before the norm”).
3. Universalisasi Norma
Kaum konstruktivis optimis bahwa norma akan menjadi awal dari terbentuknya world polity. Hal itu dapat terjadi bila norma-norma tersebut telah menjadi norma universal. Proses universalisasi terkait erat dengan bagaimana norma-norma tersebut mempengaruhi para pembuat kebijakan di suatu negara. Dalam proses itulah peran Norm Enterpreneurs sangat penting artinya untuk mempengaruhi para pembuat kebijakan. Norm Enterpreneurs dalam hal ini adalah para individu dan kelompok-kelompok yaitu Epistemic Society dan organisasi-organisai non pemerintah atau Trans network society (NGO).
Epistemic society tidak selalu berasal dari kelompok yang netral atau tidak terkait dengan pembuat kebijakan, namun bisa juga berasal dari kelompok intelektual organik. Epistemic society menentukan norma apa yang berlaku, kemudian merekomendasikannya kepada pembuat keputusan. Sedangkan network society, berusaha mempengaruhi pembuat kebijakan untuk mengadopsi norma-norma yang mereka anggap sebagai norma yang harus berlaku dengan cara membangun akses ke para pembuat kebijakan. Beberapa cara yang ditempuh untuk membangun akses adalah dengan melakukan lobby kepada pembuat kebijakan. Proses lobbying menekankan arti penting suatu untuk diadopsi oleh pembuat kebijakan untuk alasan-alasan kesejahteraan bersama.
Langkah lain yang biasa dilakukan oleh network society adalah dengan melakukan pressure terhadap pemerintah. Pressure dapat berbentuk sanksi-sanksi militer dan ekonomi. Mempermalukan suatu pemerintah juga langkah yang sering dilakukan oleh network society untuk menekan pemerintah tersebut agar mengadopsi norma yang dikembangkan oleh network society-nya. Tindakan-tindakan “mempermalukan” itu biasanya dilakukan dengan pembuatan simbol-simbol tertentu atau melalui kata-kata yang terus-menerus dipopulerkan dalam aksi-aksi demonstrasi. Selain itu tindakan isolasi juga merupakan langkah yang efektif untuk memberikan tekanan moral terhadap suatu pemerintahan yang tidak mau mengadopsi norma-norma yang dikampanyekan oleh kelompok trans network society.
4. The Norm Life Cycle
Proses universalisasi norma berlangsung dalam proses yang disebut norm life cycle. Dalam tulisannya “International Norm Dynamics and Political Change” Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink menyebutkan tiga tahap proses berkembangnya suatu norma. Tahap pertama adalah muncul atau lahirnya suatu norma (norm emergence). Proses lahir atau munculnya norma sangat ditentukan oleh peran norm enterpreneurs dan organizational platforms. Peran norm enterpreneurs sangat penting karena mereka memberikan perhatian yang sangat besar terhadap isu-isu bahkan menciptakan isu-isu dengan menggunakan bahasa untuk menamai, menginterpretasi, dan mendramatisasi isu-isu tersebut.
Para theorist social movement menyebut proses tersebut ( reinterpretasi dan renaming) sebagai “framing”. Penciptaan frame sangat esensial bagi startegi politik para norm enterpreneurs, karena keberhasilan mempopulerkan suatu frame akan menentukan sejauh mana frame tersebut dikenal dan diterima oleh masyarakat luas. Semakin banyak orang yang mengerti suatu frame maka akan muncul pemahaman yang semakin baik dan akhirnya akan berujung pada pengadopsian frame itu.
Dalam proses mengkonstruksi suatu frame, terjadi persaingan (contestation) antara new frame yang dikonstruksi oleh para norm enterpreneurs dengan norma-norma yang sudah ada dan “dianut” oleh banyak orang (embedded norms). Kontestasi tersebut misalnya dapat dilihat ketika Henry Dunant memperjuangkan agar para tenaga medis dan resources yang mereka tangkap sebagai rampasan perang, diperlakukan dengan baik. Henry Dunant waktu itu harus berhadapan dengan norma-norma yang telah umum diakui di mana para tenaga medis dianggap sebagai/ seperti pasukan militer. Implikasinya adalah para tenaga medis juga diserang atau ditembaki seperti tentara. Dunant harus menghadapi tentangan dari para pempinan militer ketika memperjuangkan frame-nya. Contoh lain adalah ketika para norms enterpreneurs memperjuangkan agar hak pilih perempuan diakui, mereka harus menghadapi tentangan norma-norma yang telah umum berlaku yaitu menyangkut kepentingan-kepentingan perempuan dan peran-peran apa yang pantas bagi perempuan.
Dalam mempromosikan norma pada level internasional, para norm enterpreneur memerlukan platform organisasi. Melalui organisasi tersebut mereka mempromosikan norma-normanya. Ada platform yang secara sengaja dibentuk memang untuk tujuan mempromosikan norma seperti NGO semisal Greenpeace, Red Cross, Transafrica, dan jaringan-jaringan advokasi internasional yang mempromosikan hak asasi manusia, norma lingkungan, larangan-larangan terhadap kegiatan penambangan di tempat tertentu, penentangan terhadap apartheid di Afrika Selatan. Namun terdapat juga organisasi yang tidak memiliki platform yang ditujukan untuk mempromosikan norma seperti World Bank dan IMF. Dalam hal ini para norm enterpreneurs berusaha memasukkan agenda-agenda mereka (norma) ke dalam program-program World bank dan IMF, sehingga secara tidak langsung platform World Bank dan IMF juga menjadi alat untuk mempromosikan norma-norma yang diperjuangkan oleh para norm enterpreneurs.
Dari proses itu kemudian muncul isu-isu lingkungan dan hak asasi manusia dalam program yang ditawarkan World Bank dan IMF terhadap negara-negara yang ingin mendapatkan pinjaman dari dua institusi keuangan tersebut. Mekanismenya adalah negara yang ingin mendapatkan pinjaman harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh kedua institusi itu seperti pelestarian hutan, penjaminan hak-hak buruh, rezim pemerintahan yang demokratis (tidak otoriter dan tidak terlibat kriminalitas).
Tahap kedua adalah “norm cascade”, yaitu suatu proses di mana negara-negara mulai mengakui keberadaan suatu norma dan mengadopsinya. Proses ini disebut dengan tipping or treshold points. Pada tahap ini norma yang dikampanyekan oleh para enterpreneur mendapatkan reaksi yang berbeda dari negara-negara, yaitu ada yang menerimanya dan ada yang menolaknya. Untuk mengetahui apakah suatu norma telah mengalami tahap norm cascade ukuran yang dipakai adalah tingkat prosentase negara-negara yang telah mengadopsi norma tersebut. Jika jumlah prosentase negara-negara yang mengadopsi norma kurang dari 1/3 (satu pertiga) maka norm cascade belum terjadi. Sebagai contoh terjadinya norm cascade dapat dilihat pada kasus norma tentang hak pilih perempuan (women’s suffrage). Pada tahun 1930 norma tersebut telah mengalami proses norm cascade, yaitu ketika dua puluh negara telah mengdopsi norma itu. Jumlah tersebut setara dengan satu pertiga jumlah seluruh negara yang berada di dalam sistem pada waktu itu. Pada tahap ini penerimaan terhadap norma oleh negara sifatnya masih setengah-setengah. Masih terjadi penolakan-penolakan terhadap hal-hal tertentu atas norma tersebut dengan alasan-alasan tertentu. Bisa juga dikatakan norma yang berusaha di universalisasikan masih kontroversial.
Tahap ketiga adalah internalization. Pada tahap ini norma telah diterima secara luas oleh hampir seluruh negara. Norma telah terinternalisasi kepada para aktor dan diterima sebagai sesuatu yang “taken for granted”. Tahap ini ditandai dengan proses internalisasi yang extremely powerful, karena penerimaan terhadap norma dilakukan secara langsung tanpa mempertanyakan norma tersebut. Bisa juga karena aktor tidak serius mengkonfirmasi tentang norma tersebut serta tidak mengetahui akan dikonfirmasi kepada siapa. Hal itu menandakan bahwa sudah tidak terdapat kontroversi pada norma tersebut, yang ditunjukkan dengan tidak adanya perdebatan-perdebatan politis diantara para aktor tentang norma itu.
Norm Life Cycle
Norm emergence Norm cascade Internationalization
Stage 1 tipping point stage 2 Stage 3

5. Organisasi Internasional dan World Polity
Munculnya kesepahaman negara-negara tentang suatu norma (setelah melalui tahap internalization), akan mendorong negara-negara untuk bekerja sama. Kerja sama itu biasanya diwujudkan dalam bentuk organisasi internasional. Dalam term Ruggie proses ini disebut dengan institutionalization.
Institutionalization adalah “to coordinate and pattern behavior, to channel it in one direction rather than all others that are theoretically and empirically possible”. Menurut Ruggie terdapat tiga bentuk dari internationalization yaitu Epistemic communities , International regimes , dan International Organization. Menurut Ruggie Organisasi internasional adalah “as operating within a policy space whose axes are defined by the purposes and instrumentalities of the regimes they serve”. Organisasi internasional juga merupakan suatu entitas yang memiliki kantor, kepala surat, prosedur-prosedur voting, perencanaan atau agenda. Sedangkan menurut Ernst B. Hass organisasi internasional adalah sekumpulan prinsip, proses dan mekanisme di mana hubungan antar negara diatur di dalamnya. Dalam term Robert Keohane dan Joseph Nye, organisasi internasional digambarkan sebagai salah satu aktor di/dan merupakan tempat (venue) bagi pelaksanaan hubungan transnational (yang melibatkan entitas non negara) dan hubungan transgovernmental (yang melibatkan sub-unit negara).
Garis besar dari definisi-defisi tersebut adalah adanya unsur transnasional dan multilateral. Hubungan transnasional merupakan hubungan yang lintas batas yaitu antar suatu entitas dari geografis yang berbeda-beda dan melibatkan setidaknya satu aktor di luar state (nonstate actor). Hubungan multilateral menyangkut hubungan yang melibatkan aktor-aktor atau entitas selain negara atau (nongovermental). Sifat multilateral ini menyebabkan struktur organisasi tidak hirarkis, tetapi multilateral. Hal itu berimplikasi pada bentuk otoritas yang dimiliki organisasi internasional.
Otoritas internasional dalam pandangan Weber yaitu, pertama otoritas berbeda dengan bentuk-bentuk power lainnya, yaitu otoritas didasarkan pada adanya sedikit kerelaan untuk tunduk, ketundukan itu lebih didasarkan pada kerelaan dan bukan paksaan. Kedua, otoritas berbeda dengan bentuk-bentuk persuasi, karena otoritas memberikan hak kepada superordinat untuk menentukan kesalahan terhadap subordinat tanpa melihat apakah superordinat itu benar atau salah. Ketiga, otoritas berbeda dari bentuk kontrol, karena adanya sistem kepercayaan yang secara sosial melegitimasi kontrol yang dilakukan oleh superordinat sebaliknya menyebabkan penolakan atas command superordinat sebagai sesuai yang illegitimate.
Untuk menganalisa otoritas yang dimiliki oleh organisasi internasional, pandangan Weber di atas menurut Peter Blau dan Ruggi kurang tepat. Sebab, otoritas dalam organisasi internasional bukan dalam konteks hubungan formal superordinat dengan subordinat. Menrut mereka konsep otoritas Weber di dasarkan atas orientasi individualitas (individual-based view). Artinya otoritas yang ada adalah dalam konteks hubungan aktor individual dengan aktor individual lainnya atau otoritas subyektif. Dalam konteks ini individu dapat secara mudah memberikan legitimasi kepada salah satu aktor untuk memegang otoritas karena faktor kepentingan yang tidak terlalu kompleks seperti negara. Sedangkan di dalam organisasi internasional otoritas berada dalam konteks hubungan antar negara di mana bentuk hubungan dan kepentingannya sangat kompleks. Dalam pandangan Bernard dan Blau otoritas dalam organisasi internasional dibangun berdasarkan kepentingan-kepentingan aktor-aktor negara sehingga yang muncul adalah persamaan sense untuk melaksanakan kewajiban bersama. Kewajiban bersama dilaksanakan dengan mengikuti/pemenuhan norma-norma (norms of compliance) bersama. Jadi dalam konteks ini organisasi internasional (regime) tidak bertindak sebagai superordinat karena institusionalisasi otoritas terjadi pada level negara, juga karena yurisdiksi tidak diserahkan kepada entitas tertentu namun dilaksanakan secara kolektif oleh negara-negara. Ruggie menyebut otoritas internasional sebagai transordinate structure, untuk membedakannya dengan superordinate dan subordinate structures.
Gambaran teoretis di atas dapat menjelaskan tentang keterkaitan antara organisasi internasional dengan terbentuknya world polity. World polity, seperti dijelaskan sebelumnya menekankan pada similarity atau isomorphisme dalam sistem internasional yaitu adanya persamaan tentang norma-norma. Dalam organisasi internasional kesamaan tersebut juga menjadi basis terciptanya kerjasama sehingga semua anggota organisasi memiliki kewajiban yang sama. Sifat multilateralisme yang melekat pada organisasi internasional juga menjadi indikator kuat bahwa organisasi internasional merupakan suatu instrumen untuk terbentuknya world polity. Namun harus diakui bahwa organisasi-organisasi internasional yang ada saat ini belum sepenuhnya merefleksikan suatu world polity. Hal itu dapat dijelaskan dengan melihat bentuk organisasi itu sendiri, di mana terdapat organisasi internasional yang sifatnya tidak multilateral. Sifat organisasi itupun hirarkis dan tidak multilateral. Bentuk organisasi seperti ini adalah organisasi yang didasarkan pada prinsip-prinsip Lenin. Contohnya adalah organisasi negara-negara Eropa Timur-Uni Soviet di mana Uni Soviet sebagai pemegang otoritas tertinggi.
Namun secara umum organisasi-organisasi internasional yang ada saat ini adalah organisasi yang menjadi dasar terbentuk world polity. Akan tetapi harus diakui bahwa hal itu masih memerlukan waktu yang cukup panjang, karena banyak organisasi internasional yang sifat keanggotaannya multilateral namun proses pengambilan keputusannya bersifat hirarkis. Biasanya hirarki tertinggi dipegang oleh negara yang memiliki kontribusi paling besar terhadap organisasi. Hal itu terjadi misalnya dalam World Bank dan IMF dimana AS memiliki suara voting terbesar yaitu 18%, yang diikuti oleh Jepang, Jerman, Jerman, Prancis. Sementara sekitar 5% suara yang tersisa dibagi oleh negara-negara berkembang yang jumlahnya ratusan.
6. Kesimpulan
Munculnya berbagai organisasi internasional di dalam politik internasional merupakan basis dari terbentuknya world polity. Dalam pandangan konstruktivis proses itu merupakan perwujudan dari proses universalisasi norma yang dilakukan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok tertentu. Dunia yang akan terbentuk menurut mereka adalah dunia yang diatur oleh satu aturan uniuversal (in one direction) di mana individu-individu tertentu sebagai directornya. Namun, terbentuknya world polity masih membutuhkan waktu yang sangat lama atau bahkan sulit terwujud karena organisasi internasional saat ini banyak yang oreintasinya tidak menunjukkan ke arah terbentuknya world polity.













DAFTAR PUSTAKA


Meyer, John W. 1980, The World Polity and the Authority of the Nation-State. dalam Bergesen (ed.). Studies of the Modern World-System, New York: Academic Press.

Boli, John and George M. Thomas. 1997. World Culture in the World Polity, American Sociological Review 62 (2).

Thomas, George, et all. 1997. World Society and the Nation-State, American Journal of Sociology 103(1).

Ruggie, John Gerard. 1998. Constructing the World Polity, Essays on International Institutionalization, New Yorke: Routledge.

Sugiono, Muhadi. 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Finnemore, Martha and Kathryn Sikkink. 1998. International Norm Dynamics and Political Change, dalam International Organization 52,4, Autumn, The IO Foundation and the Massachusetts Institute of Technology.

Krasner, Stephen D. 1982. Structural causes and regime consequences: regimes as intervening variables, International Organization 36, 2 Spring, Massachusetts Institute of Technology.

Risse-Kappen, Thomas. 1995. Bringing Transnational Relations Back in: Introduction, dalam Thomas Risse-Kappen (ed), Bringing Transnational Relations Back in, Non-state Actors, Domestic Structures and International Institutions, UK: Cambridge University Press.

http://www.sociology.emory.edu/globalization/theories02.html

Read more...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP