widget

Rabu, 19 November 2008

Sistem Pertahanan Rudal AS dan Ketegangan AS-RUSIA

SISTEM PERTAHANAN RUDAL AS DAN KETEGANGAN AS-RUSIA

Rencana Amerika Serikat (AS) untuk membuat sistem pertahanan rudal di Polandia akhirnya tercapai. Setelah negosiasi bertahun-tahun, pada tanggal 20 Agustus 2008, Menteri luar negeri (Menlu) AS Condolizza Rice dan Menlu Polandia Radek Sikorski secara resmi menandatangani kesepakatan pembangunan sistem pertahanan rudal tersebut. Kesepakatan ini tentunya akan menyebabkan hubungan antara AS dengan Rusia semakin tegang. Pada kerangka yang lebih luas bentuk politik internasional untuk tahun-tahun mendatang sepertinya akan didominasi oleh konflik.

Salah satu bentuk konkrit dari akibat hubungan buruk AS-Rusia adalah perang antara Rusia dan Georgia terkait perebutan wilayah Ossetia Selatan yang terjadi baru-baru ini. Upaya AS untuk menarik Georgia ke dalam blok Barat (AS dan Uni Eropa) telah menyebabkan Rusia tidak ragu untuk menggunakan kekuatan militernya terhadap Georgia. Perang tersebut adalah puncak dari kejengkelan Rusia terhadap AS yang terus-menerus memperluas pengaruhnya terutama di negara-negara yang merupakan eks-Uni Soviet. Sepak terjang AS tersebut dilihat sebagai suatu ancaman besar oleh Rusia yang merasa negara-negara tersebut adalah “back yard-nya.

Rencana Pertahanan Global AS

Tidak dapat dipungkiri bahwa rencana penempatan sistem pertahanan rudal AS di Polandia dan Republik Ceko adalah salah satu manifestasi dari rencana global AS untuk semakin memperkuat supremasi militernya di seluruh dunia. Sejak tahun 2001, pasca tragedi 11 September AS berencana membangun 8 sistem radar dan 3 pangkalan anti rudal di berbagai kawasan. Tempat-tempat strategis yang dipilih AS adalah Alaska, Inggris, Greenland, Polandia, Ceko, Negara Kaukasus, dan Jepang.

Penempatan Rudal AS di Polandia dan Ceko terutama dimaksudkan oleh AS untuk menangkis serangan rudal dari Korea Utara dan Iran. Sikap bermusuhan yang ditunjukkan oleh Korea Utara dan Iran yang diduga kuat sedang membangun kekuatan senjata nuklir dipandang sebagai ancaman yang sangat membahayakan keamanan AS. Ketakutan AS tersebut cukup beralasan karena rudal Korea Utara yaitu Taepodong-2 memiliki jangkauan sejauh 6000 km lebih. Artinya rudal tersebut mampu menjangkau daratan AS. Bahkan saat ini Korea utara sedang mengembangkan rudal taepodong-3 yang memiliki jangkauan sampai 12.000 km yang berarti mampu menjangkau seluruh daratan AS.

Kemampuan rudal Iran juga menunjukkan kemampuan yang mengkhawatirkan AS. Saat ini Iran telah mengembangkan rudal Shahab generasi keenam Shahab-6 yang memiliki jangkauan 10.000km yang juga mampu menjangkau seluruh daratan AS.

Ancaman bagi Rusia

Bagi Rusia rencana AS tersebut adalah suatu bentuk ancaman sangat serius. Bila diamati, lokasi-lokasi rencana penempatan sistem radar dan sistem anti rudal tersebut menempatkan rusia pada posisi terkepung dari segala penjuru. Ancaman terbesar yang dirasakan Rusia tentunya berasal dari Polandia dan Ceko karena kedua negara tersebut jaraknya paling dekat dengan dengan Rusia. Bahkan bagi Rusia kedua Negara itu adalah halaman belakannya.

Kecurigaan Rusia bahwa sebenarnya penempatan Rudal AS di Polandia dan Ceko dimaksudkan untuk mengunci rudal Rusia semakin kuat karena beberapa solusi yang ditawarkannya tidak digubris oleh AS. Sejak awal, Rusia telah menawarkan pengggunaan bersama pangkalan radar milik Rusia yang ada di Azerbaijan. Pangkalan tersebut merupakan sebuah instalasi radar peringatan dini (early warning radar). Stasiun radar yang ada di pangkalan ini memiliki jangkauan 6000 km. Jangkauan tersebut mencakup Iran, Turki, India Irak dan seluruh Timur Tengah. Dengan fakta itu maka penolakan AS untuk menggunakan pangkalan tersebut telah menegaskan maksud AS yang sesungguhnya.

Ketegangan Hubungan Internasional

Konflik AS-Rusia tidak pelak lagi akan menyebabkan ketegangan di dalam hubungan internasional secara keseluruhan. Ketegangan utamanya akan terjadi di wilayah Eropa Timur dan Eropa Tengah. Wilayah ini sangat penting bagi AS dan Rusia yang sama-sama sedang memperkuat supremasinya di dunia. AS dan Rusia tetap percaya terhadap apa yang dikatakan oleh ahli geopolitik Halford Mackinder bahwa siapa yang menguasai heartlad (Ukraina, Rusia dan Eropa Tengah) akan menguasai World-Island (Eurasia/Eropa Asia dan Afrika), siapa menguasai World-Island akan menguasai dunia. Terbukti doktrin ini telah menyebabkan dua Perang Dunia dan Perang Dingin. Atas dasar itu maka baik AS maupun Rusia akan berusaha dengan cara apa saja untuk menguasai wilayah Eropa Timur dan Eropa Tengah.

Ketegangan lebih luas akan terjadi pada hampir semua negara. Negara-negara lemah yang selama ini merasa lebih dekat dengan salah satu dari dua kekuatan utama dunia tersebut (AS/Rusia) akan berusaha bergabung dengan salah satu dari keduanya. Hal itu adalah sikap alami yang selalu terjadi di dalam sistem internasional. Seperti dikatakan oleh neorealist, negara-negara lemah akan melakukan balancing yaitu beraliansi dengan negara yang lebih kuat untuk mengimbangi negara lain yang mengancamnya (Hobson:2000). Persaingan antar aliansi ini sangat potensial menyebabkan perang terbuka.

Hal itu telah terjadi di mana Iran, Korea Utara, Kuba, Venezuela dan Sebagian negara di Eropa Timur dan Tengah beraliansi dengan Rusia untuk mengimbangi AS yang semakin ekspansif. Di pihak lain sebagian besar negara beraliansi dengan AS untuk mendapatkan perlindungannya. Hal itu tampak nyata dari berbondong-bondongnya negara-negara eks Soviet untuk menjadi “teman” AS.

Tampaknya impian kita untuk hidup di dunia yang lebih aman akan semakin jauh dari kenyataan. Kenyataan di atas menunjukkan bahwa dunia tidak akan pernah sepi dari anarki.

Read more...

Kecanggihan Strategi “ju-jitsu” Jepang

Kecanggihan Strategi “ju-jitsu” Jepang


Japan’s strength lay in “ju-jitsu”-the art of converting a weakness into a strength, or fall into a fresh attack.(E.H. Norman, dalam Malcolm Macintosh, Japan Rearmed, New York, 1986)

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan evolusi kebangkitan militer Jepang terletak pada strategi “ju-jitsu”-nya yang sangat brilian. Betapa tidak, setiap kali Jepang meningkatkan kemampuan militernya seolah mendapatkan ruang pembenarannya di tengah-tengah hambatan internal dan eksternal yang begitu kuat. Kecanggihan strategi itu pada akhirnya akan berujung pada terwujudnya negara Jepang sebagai “normal state” yaitu memiliki perekonomian serta militer yang kuat dan mandiri.
Pada tanggal 10 Desember 2004, Jepang meluncurkan Program Rencana Pertahanan. Jepang meninggalkan sistem pertahanan yang sekedar membela diri hingga siap membela diri dengan rudal. Pada dasarnya perubahan kebijakan pertahanan Jepang tersebut bukanlah berita yang mengejutkan karena sejak Desember tahun 2000 Jepang telah mengadopsi MTDP (the Mid-Term Defense Programme) untuk tahun fiskal 2001-2005 yang secara substansial telah merubah secara U-turn posture pertahanan dan keamanan Jepang. MTDP merupakan bentuk kesepakatan Jepang-AS untuk menentukan besarnya anggaran militer Jepang untuk tahun 2001-2005. Beberapa item penting yang dapat dicatat sebagai bentuk perubahan kebijakan pasifis menjadi lebih bersifat ofensif adalah adanya ketentuan bahwa kekuatan SDF (the Self-defense Force) Jepang dikurangi hingga sebanyak 166.000 personil. Padahal realisasi kekuatan SDF pada tahun 2000 baru sebesar 286.000 personil militer. Direncanakan sampai tahun 2000 semestinya sebesar 350.000 personil. Momentum deklinasi kekuatan militer Jepang itu baru terjadi untuk pertama kalinya semenjak The Treaty Of Mutual Cooperation an Security between Japan and The United States of America pada tahun 1951. Sejak perjanjian tersebut sampai Nixon-Tanaka Communique pada tahun 1973 kekuatan militer Jepang selalu mengalami inklinasi dari 75.000 pada tahun 1951, meningkat 117.177 pada tahun 1953, meningkat lagi menjadi 156.000 pada tahun 1955, 206.001 tahun 1960, dan menjadi 286.000 pada tahun 2000.
Yang menarik adalah, dibalik deklinasi kekuatan personil militer tersebut berdasarkan MTDP 2001-2005 itu, Jepang memusatkan peningkatan kapabilitas militernya pada, pertama pengembangan kemampuan untuk counter cyber-attack dan mengamankan information technology serta jaringan komunikasi internasional. Kedua, mengembangkan counter attack by irregular forces, possibly armed with nuclear, biological or chemical devices. Dana yang diterima kabinet Jepang untuk pelaksanaan MTDP sejak 5 desember 2000 sampai 2005 adalah 25 triliun Yen (kira-kira US$203 milyar). Jadi secara personil militer terjadi penurunan atau deklinasi pada posture kekuatan pertahanan Jepang, namun dari segi persenjataan dan peralatan pertahanan dan keamanan Jepang mengalami modernisasi yang sangat signifikan. Modernisasi tersebut mencakup lima area Ground, Maritime, Air Defense, IT network, Research and Development. Di dalam program tersebut disebutkan tentang kerjasama research and development dengan AS dalam hal pengembangan theater missile defense, Fixed wing maritime patrol/ ASW P-3C dan C-1 transport replacements; pembangunan defense information infrasructure (triservice computer integration program, dan Common operating environment . Modernisasi ini akan menyebabkan Jepang memiliki kekuatan misil yang canggih serta akan sangat unggul dalam peningkatan kinerja persenjataan dan peralatan militer.
Modernisasi kekuatan pertahanan dan keamanan tersebut akan memberikan dua keuntungan bagi Jepang yaitu pertama, keuntungan jangka pendek yaitu terjadinya peningkatan efektifitas militer. Dalam jangka waktu lima tahun senjata-senjata dan peralatan militer tercanggih sudah dapat dimiliki Jepang. Hal itu tentu lebih efektif jika dibandingkan dengan kekuatan yang akan dimilikinya dengan merekrut puluhan atau ratusan ribu personil tentara, mengingat saat ini kekuatan militer lebih berorientasi pada kecanggihan persenjataan dan peralatan. Efektifitas itu juga terkait dengan sikap penolakan masyarakat Jepang terhadap keberadaan SDF. Bahkan sampai saat ini anggota SDF dianggap sebagai orang buangan “outcasts of society”. Maka jika Jepang terus memperbesar jumlah personil militernya akan terjadi pergolakan politik di dalam negeri yaitu penentangan dari para pendukung partai kiri seperti JCP (Japan Communist Party) dan JSP (Japan Socialist Party). Selain itu, jika dikalkulasi berdasarkan perimbangan kekuatan personil militer dengan negara-negara di kawasan Asia Timur, personil militer Jepang sangat kecil, namun Jepang tetap secure enough, sebab terdapat pasukan AS yang memiliki pangkalan militer di wilayah-wilayah Jepang ditambah dengan pasukan AS di Korea Selatan dan di Pasifik Barat (Seventh Fleet), yang selalu siap melindungi keamanan nasional Jepang.
Keuntungan kedua yaitu keuntungan jangka panjang dimana modernisasi itu merupakan sebuah langkah besar Jepang untuk mencapai suatu independensi keamanan regionalnya. Seperti diketahui bahwa selama ini keamanan regional Jepang masih sangat tergantung kepada AS, selain karena alasan terikat pada aliansi keamanan, juga karena alasan persenjataan dan peralatan militer yang tidak mencukupi untuk melakukan pengawasan atau patroli jarak jauh. Dengan modernisasi tersebut maka Jepang akan mampu mengamankan kawasannya sejauh mungkin tanpa tergantung lagi pada AS. Misalnya dengan New mid-refuelling tankers jarak jangkau fighter aircraft Jepang akan bertambah hingga mencapai seluruh Asia Timur. Kemampuan untuk counter cyber attack dengan pengembangan defense information infrastructure akan memberikan kemampuan bagi Jepang untuk mengacaukan sistem komunikasi lawan. Dengan peralatan dan persenjataan modern seperti itu maka peristiwa percobaan rudal Korea Utara tahun 1998 yang melesat di atas wilayahnya tidak akan terjadi lagi.
Kepentingan Jepang dengan modernisasai kekuatan pertahanan dan keamanannya tidak berhenti pada pencapain dua keuntungan di atas. Pada dasarnya main end yang ingin dicapai Jepang adalah apa disebut oleh Ichiro Ozawa sebagai “normal state”, yang merupakan cita-cita Jepang sejak zaman Meiji. Siapapun mengakui bahwa Jepang saat ini adalah salah satu negara yang memiliki perekonomian terkuat. Namun dalam bidang militer Jepang dapat dikatakan military-less. Sejak menandatangani Postdam Declaration pada 26 Agustus 1945, Jepang tidak memiliki kekuatan militer sama sekali. Bahkan setelah berlakunya peace constitution yaitu Konstitusi 1947 Jepang tidak boleh memiliki militer. Praktis sampai dengan tahun 1950 Jepang benar-benar tidak memiliki kekuatan militer dan berstatus sebagai negara pasifis.
Perubahan mulai terjadi pada tahun 1951 yaitu momentum terjadinya Perang Korea. Selama kurun waktu perang Korea tahun 1950-1951 keamanan Jepang dirasakan sangat terancam. Hal ini disebabkan karena pemindahan pasukan AS yang berada di Jepang ke Arena perang Korea. Keadaan itu telah mendorong AS menekan Jepang agar membangun kembali militernya. Namun karena masyarakat Jepang saat itu masih mengalami traumatik yang kuat akibat PD II, maka Jepang tidak langsung menerima tawaran AS. Untuk menyiasati kondisi tersebut pemerintah Jepang mengambil jalan tengah yaitu menjalin aliansi dengan AS yang didasarkan pada Perjanjian Keamanan Jepang AS pada tahun 1951. Dengan aliansi itu Jepang mendapatkan Jaminan keamanan dari AS dan dalam waktu yang bersamaan Jepang membangun kembali kekuatan militernya yang waktu itu masih berupa polisi cadangan dan hanya berjumlah 75.000 personil
Sejak momentum pembangunan kembali kekuatan militer tersebut strategi Jepang terus berjalan dengan memanfaatkan momentum-momentum politik keamanan internasional yang melibatkan AS, seperti momentum mualainya perang Dingin, perang Vietnam, sampai momentum kekalahan AS di perang Vietnam. Setiap momentum tersebut dimanfaatkan oleh Jepang dengan baik yaitu meningkatkan kekuatan militernya karena pada momentum-monentum tersebut kemampuan AS untuk melindungi Jepang semakin menurun, sehingga Jepang harus mulai melindungi dirinya sendiri, at least untuk menjaga keamanan dalam negerinya saja.
Keberhasilan Jepang membangun kembali kapabilitas pertahanannya merupakan resultansi dari strategi yang begitu smooth dan cerdas. Di tengah berbagai kesulitan yang berasal dari faktor internal seperti penentangan dari masyarakat dan hambatan Konstitusi; dan faktor eksternal yaitu keterikatan dan ketergantungan terhadap AS serta reaksi negatif dari dunia internasional, perlahan namun pasti militer Jepang telah tumbuh menjadi kekuatan yang menyamai militer negara-negara kuat seperti Inggris dan Prancis. Bahkan anggaran militernya menempati urutan atas sebagai negara yang memiliki anggaran militer tertinggi di dunia.
Kebijakan Jepang meluncurkan Program Rencana Pertahanan baru-baru ini merupakan salah satu strategi menuju puncak main end-nya. Kebijakan tersebut menemukan ruang pembenarannya yaitu ketika isu-isu keamanan internasional yang akhir-akhir ini diwarnai oleh isu terorisme serta ancaman nuklir Korea Utara yang semakin nyata, maka masyarkat Jepang dan dunia internasional seolah semakin kehilangan alasan untuk mencegah Jepang sebagai negara normal.
Dari kacamata pendekatan realpolitik memang sudah saatnya bagi Jepang untuk memikul tanggung jawab pertahanan kemanannya sendiri. Sebab ketergantungan pada aliansi keamanan terhadap AS hanyalah suatu cara untuk meningkatkan atau memperbesar keamanan negara, namun aliansi tidak bisa dijadikan pegangan untuk menjamin keamanan negara. Logika realpolitik menyebutkan bahwa damai (peace) tidak pernah bisa dijamin (assured) akan tetapi bisa di capai (attained) (Papp:1984). Dengan kekuatan militernya saat ini serta pergeseran aktor sistem dunia yang anarkis dari hanya state actors menjadi multy actors maka kemandirian milieter Jepang merupakan suatu keniscayaan.

Read more...

Selasa, 18 November 2008

KONSTRUKTIVIS

KONSTRUKTIVIS

Logika Representasi AS terhadap Iran
Heri Alfian

Sejak peristiwa penyerangan kegedung World Trade Center (WTC) 11 September 2001, Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintahan Presiden Bush menerapkan kebijakan keamanan internasional yang semakin agresif. Setelah menyerang Afganisatan pada tahun 2001 dan Irak pada tahun 2003, kini AS sedang mempersiapkan diri untuk menyerang Iran. Laporan yang diterbitkan oleh The New Yorker mengungkapkan bahwa sebuah kelompok perencana khusus telah dibentuk oleh AS untuk mengembangkan rencana pengeboman terhadap Iran yang bisa diaktifkan dalam 24 jam atas perintah Bush. Lalu, apakah AS akan menyerang Iran?
Logika Representasi AS terhadap Dunia Luar
Agresifitas kebijakan keamanan internasional AS tersebut dilatarbelakangi oleh cara pandang AS terhadap lingkungan internasional (logic of representation) dalam rangka menjaga komunitas politiknya (political community) Berdasarkan cara pandang ini, AS menciptakan gambaran negatif tentang dunia di luarnya. AS membuat perbedaan yang sangat tegas antara komunitas politiknya/ dirinya (the self) dengan komunitas politik di luarnya/ dunia luar (the other). AS menggambarkan dirinya secara positif, sebagai bagian yang penuh kedamian dan keteraturan (peace and order). Sebaliknya, AS menggambarkan dunia luar sebagai sesuatu yang negatif, yaitu bagian yang penuh kekerasan dan mengancam komunitas politiknya.
Dalam rangka melindungi diri dari ancaman dunia luar, AS cenderung meningkatkan kekuatan militernya. Akhirnya, untuk menghilangkan ancaman tersebut AS akan berperang. Kecenderungan ini adalah wujud dari terjadinya krisis penggambaran AS (representational crisis) terhadap lingkungan internasionalnya.
Gambaran AS tentang Iran
Rencana AS untuk menyerang Iran adalah akibat dari krisis reperentasi AS terhadap Iran. AS memandang Iran sebagai suatu komunitas politik yang berbeda dari dirinya. Dalam gambaran AS, Iran adalah negara yang menyimpang (deviant other), yang mengancam komunitas politiknya. Perasaan terancam yang dirasakan AS pada dasarnya tidak dalam bentuk ancaman militer, tetapi lebih pada ketakutan terhadap gambaran yang menakutkan dari komunitas poltik Iran, yang berbeda (an alternative mode of representation) dengan komunitas politik AS. AS yang menggambarkan komunitas politiknya demokratis dan penuh dengan kedamaian, merasa terancam oleh komunitas politik Iran yang dalam gambarannya tidak demokratis dan penuh dengan kekerasan.
Gambaran tentang Iran yang begitu buruk di mata AS, menyebabkannya melakukan tuduhan-tuduhan yang terus mendiskreditkan Iran. Mula-mula AS menuduh Iran sedang meproduksi senjata nuklir, kemudian melakukan intervensi di Irak. Namun tuduhan itu berkali-kali dibantah oleh Iran dengan menegaskan bahwa pengembangan nuklirnya ditujukan untuk keperluan sipil. Dan berdasarkan ketentuan di dalam Traktat Non-Proliperasi Nuklir (NPT) tindakan Iran tersebut adalah sesuatu yang sah. Salah satu ketentuan NPT menyatakan bahwa setiap negara anggota berhak mendayagunakan teknologi nuklir sipil. Seorang diplomat Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) bahkan menegaskan bahwa sebagian besar data yang diberikan intelijen AS, CIA, kepada IAEA mengenai persenjataan Iran terbukti tidak akurat dan gagal menunjukkan penemuan senjata pemusnah massal di negara tersebut (Kompas, 26/02/2007).

Fakta tersebut tetap tidak menyurutkan keinginan AS untuk memerangi Iran. Kini ketegangan antara AS-Iranpun semakin meningkat ketika Iran tetap menolak tuntutan AS dan negara-negara Uni Eropa untuk menghentikan program nuklirnya. Bahkan Iran telah mengabaikan ultimatum DK PBB untuk menghentikan aktivitas nuklirnya, yang batasnya telah lewat pada tanggal 21 Februari 2007. Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad berkali-kali menegaskan bahwa Iran akan terus mengembangkan nuklirnya. Dalam pernyataan terakhirnya Ia mengatakan bahwa program nuklir Iran tidak punya “persneling mundur”. Puncak dari kebuntuan itu adalah munculnya keinginan AS untuk melakukan serangan militer terhadap Iran.
Potensi Perang
Berbagai perundingan telah dilakukan antara Iran dengan AS dan negara-negara Uni Eropa untuk menyelesaikan krisis Iran. Namun sampai saat ini semuanya mengalami jalan buntu. Gambaran buruk tentang Iran telah menutup mata AS terhadap fakta-fakta yang diungkapkan oleh Iran dan IAEA bahwa tidak ada senjata nuklir di Iran. Jika dilihat fakta-fakta sebelum AS memerangi Irak, maka besar kemungkinan AS akan menyerang Irak.
Anggaran belanja AS meningkat dari US436,36 M pada tahun 2002 menjadi US558,42M pada tahun 2003, seiring dengan penyerangan AS terhadap Irak. Pada tahun 2007 ini jumlah anggaran belanja militer AS adalah US626,1 M, meningkat dari jumlah sebelumnya US571.6M.
Ketika AS berencana menyerang Irak, sebagian besar negara-negara di dunia menentangnya. Bahkan, tiga dari lima negara anggota tetap DK PBB yaitu Perancis, Rusia, dan Cina bersikeras menentang kehendak AS tersebut. Satu-satunya anggota tetap DK PBB yang mendukung AS hanya Inggris. Tidak ketinggalan pula Jerman, yang selama ini dianggap sebagai sekutu dekat AS pun menentang perang terhadap Irak
Kini, ketika AS berencana menyerang Iran, suara-suara yang menentang tidak kalah banyaknya. Bahkan Inggris yang merupakan satu-satunya anggota tetap DK PBB yang mendukung AS untuk memerangi Irak juga menentang AS.

Read more...

KONSTRUKTIVIS

KONSTRUKTIVIS


DAMPAK SIGNIFICANT OTHER BARU DI IRAK
(Heri Alfian)

Sampai hari ini konflik di Irak terus meluas. Media AS bahkan menyebut konflik tersbut telah menjadi sebuah perang saudara . Pada dasarnya semua kekacauan di Irak diakibatkan oleh belum jelasnya identitas Irak. Irak belum menjadi negara demokratis sesungguhnya seperti harapan AS, namun tidak juga kembali ke bentuk negara otoriter. Identitas Irak akan ditentukan oleh significant other-nya.

Dalam pendekatan konstruktivis, invasi AS ke Irak dengan alasan untuk menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein yang otoriter dengan pemerintahan yang demokratis, dipandang sebagai upaya mengganti identitas Irak. Pergantian identitas akan berpengaruh pada perubahan kepentingan. Jika identitas Irak terbentuk sesuai dengan keinginan AS maka secara teoretis kepentingan Irak juga akan berubah. Tentunya perubahan keinginan itu sesuai dengan keinginan AS pula. Akan tetapi, jika Iran dan Suriah jadi dilibatkan oleh AS di dalam proses pemulihan kekacauan di Irak, apakah keinginan AS itu masih mungkin tercapai?

Significant Other dan Perubahan Identitas
Significant other merujuk pada negara yang memiliki peran dan pengaruh paling besar terhadap negara lain (Alexander Wendt: STIP, 1995). Proses mempengaruhi dilakukan melalui interaksi antar negara yang terjadi dalam berbagai cara yaitu usulan, permintaan, perintah, dan pemaksaan.
Proses interaksi akan menyebabkan terjadinya perubahan identitas yaitu dari corporate identity ke social identity. Corporate identity merujuk identitas yang dihasilkan dari struktur yang homeostatic dan self-organizing yang membuat negara menjadi aktor yang berbeda dengan aktor lainnya. Dasar identitas ini adalah politik domestik yang secara ontologis lebih dahulu ada di dalam sistem negara dan sifatnya given. Sedangkan social identity merujuk pada identitas yang terbentuk di dalam atau melalui interaksi sosial. Dalam proses itu negara membawa atau memiliki maksud sendiri (the self), dan pada saat yang bersamaan mengambil (menyerap) perspektif pihak lain (others) tentang suatu obyek sosial. Jadi identitas sosial hanya eksis dalam konteks terjadinya hubungan antara the self dengan the others. Identitas ini mengalami perubahan (redefined) dalam proses interaksi.

Identitas Irak Setelah Invasi AS
Setelah Saddam terguling, AS berharap Irak mengalami perubahan identitas dari negara otoriter (corporate identity) menjadi negara yang demokratis (social identity). Perubahan itu diharapkan akan mendatangkan kebebasan bagi warga Irak terutama kebebasan berpolitik. Selanjutnya mereka akan mempunyai kesempatan yang sama untuk ikut terlibat dalam menentukan masa depan Irak.

Dengan kondisi itu, AS dengan segala kekuatan yang dimilikinya tentu akan lebih mudah mempengaruhi Irak dan mendapatkan kepentingannya. Akan tetapi harapan itu belum atau bahkan tidak akan menjadi kenyataan. Kenyataan menunjukkan, konflik di Irak semakin meluas setiap harinya. Hal itu bukannya memberikan kemudahan bagi AS untuk mendapatkan kepentingannya di Irak. Sebaliknya AS mengalami kerugian baik dari segi finansial, personil, maupun citra di dunia internasional. AS-pun terjebak dalam situasi buruk yang diciptakannya sendiri. AS berada dalam posisi point of no return yaitu “maju kena mundur juga kena”.

Keterlibatan Irak-Suriah
Di tengah-tengah kondisi tersebut, muncul wacana tentang upaya untuk melibatkan Iran dan Suriah. Keterlibatan kedua negara tersebut berarti akan menghadirkan significant other yang baru bagi Irak. Hal itu akan menyebabkan dua hal, pertama, keinginan AS untuk menjadikan Irak sebagai negara demokratis seperti demokrasi Barat kemungkinan besar tidak akan terjadi. Interaksi Irak dengan Iran dan Suriah yang memiliki corporate identity otoriter akan mempengaruhi collective meanings yang telah terbentuk antara Irak dengan AS.
Proses pembentukan collective meanings yang bertujuan membentuk sebuah identitas baru tidak lagi dipengaruhi oleh subyektifitas AS seorang diri, tetapi juga akan sangat ditentukan oleh subyektifitas Iran dan Suriah. Jadi collective meanings yang akan muncul adalah hasil dari intersubyektifitas kempat negara tersebut. Dengan demikian identitas Irak-pun masih sulit ditebak.
Kedua, kemungkinan untuk terjadinya konflik akan semakin besar. Hal itu disebabkan oleh latar belakang Iran yang mayoritas warga negaranya beraliran Syi’ah (89%), sedangkan Suriah mayoritas warga negaranya beraliran Sunni (74%). Besar kemungkinan bahwa Iran dan Suriah akan memberikan perlakuan yang berbeda terhadap warga Irak.

Mencermati hal tersebut, maka sebelum Suriah dan Iran dilibatkan di Irak, AS perlu melakukan dua hal. Pertama, AS harus menegaskan tentang apa saja kewajiban yang akan dilakukan oleh kedua negara tersebut di Irak. Hal itu harus dilakukan untuk mencegah terjadinya konsekuensi yang tidak diinginkan (unintended consequences) seperti pemihakan terhadap salah satu kelompok.
Kedua, AS harus memperlunak sikapnya atau kebijakannya terhadap kedua negara tersebut. Hal itu sangat penting dilakukan karena kebijakan bermusuhan yang diberlakukan oleh AS terhadap Iran dan Suriah selama ini akan mempengaruhi bentuk sikap kedua negara tersebut terhadap Irak. Harus diingat bahwa prinsip hubungan antar negara (power relation) tidak pernah benar-benar seperti apa yang tampak dipermukaan. Tidak ada sesuatu yang benar-benar gratis. There is no free lunch! Apakah konflik di Irak akan segera mereda dengan kehadiran significant other baru? Kita tunggu saja!































[*] Staf Pengajar pada Jurusan Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Jember

Read more...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP