widget

Selasa, 09 Februari 2010

SECURITY DILEMMA

by Heri Alfian


defines the security dilemma as a situation “in which the means by which a state tries to increase its security decreases the security of others.”

Security dilemma menjelaskan tentang suatu kondisi di mana usaha suatu negara untuk meningkatkan keamanan nasionalnya dengan menambah kapabilitas pertahanannya berdampak pada munculnya rasa terancam (ancaman) terhadap negara lain, hal itu kemudian memicu (memprovokasi) negara (lain) tersebut untuk meningkatkan kemampuan pertahanannya (militer) juga (military counter-moves); kondisi ini akhirnya menyebabkan menurunnya atau berkurangnya tingkat keamanan itu sendiri (lead to a net decrease in security). Securitry dilemma pada pada dasarnya merupakan refleksi dari kesulitan pemerintah suatu negara untuk menentukan pilihan kebijakan keamanannya. Jika suatu negara mengurangi usaha-usaha untuk memperkuat keamanannya dengan tujuan menciptakan hubungan yang damai (peaceful) dengan negara lain, maka konsekuensinya adalah negara tersebut rawan (vulnerable) untuk diserang oleh negara lain. Namun jika negara tersebut meningkatkan kekuatan pertahanannya maka akan menyebabkan munculnya prasangka atau kecurigaan negara-negara lain (dunia internasional) sehingga akan memicu terjadinya perlombaan senjata. Kondisi tersebut akan menghadapkan negara untuk lebih (cenderung) mengedepankan cara penyelesaian konflik dengan cara-cara militer (perang) daripada cara-cara diplomasi. Security dilemma seringkali disebabkan oleh adanya tanda yang ambigu (ambiguos signals) yang umumnya muncul dari military planning. Seperti dijelaskan oleh Nicholas Wheeler dan Ken Booth, bahwa Security dilemma muncul ketika:
“The military preparations of one state create an unresolvable uncertainty in the mind of another as to wether those preparations are for “defensive” purposes only (to enhance its security in uncertain world) or wether they are for offensive purposes ( to change the status quo to its advantage)”.
Security dillema umumnya bekerja pada suatu kondisi yaitu bilamana kebijakan keamanan suatu negara staus quo(meningkatkan kekuatan pertahanannya) yang murni ditujukan untuk self defense, yang seringkali ditanggapi oleh negara lain atau musuh (adversary) sebagai tujuan yang ofensif. Hal itu mendorong negara adversary membeli atau memproduksi senjata tambahan untuk meningkatkan kekuatan militernya. Hal itu disebabkan oleh adanya suatu kelaziman bahwa negara adversary selalu atau memiliki kecenderungan untuk mengambil asumsi terburuk yakni negara status quo meningkatkan kemampuan pertahanannya untuk tujuan menyerang (ofensif). Seperti dijelaskan oleh Robert Jervis:
..status quo will desire a military postures that resemble than of an aggressor. For this reason others cannot infermfrom its military forces and preparations wether the state is aggressive. State therefore tend to assume the worst.
Secara nyata security dilemma tidak menyumbang secara positif terhadap keamanan dunia, malah sebaliknya ikut menyumbang terhadap munculnya konflik dan peperangan. Sebuah studi yang dilakukan oleh Norman Cousin yang meneliti tentang apakah perlombaan senjata merupakan penyebab perang ataukah penjamin perdamaian. Melalui studi komputer imajiner yang menyeluruh atas semua perlombaan senjata menemukan bahwa semenjak tahun 650 SM terdapat 1.956 perlombaan senjata ; hanya enam belas (16) diantaranya yang tidak berakhir dengan peperangan, sebagian besar diantaranya berakhir dengan kebangkrutan ekonomi. Kondisi perlombaan senjata antar negara yang terjadi dalam security dilemma pada saat tertentu akan mencapai puncaknya yaitu apabila salah satu negara tidak mempunyai kemampuan lagi untuk menambah atau mempercanggih kapabilitas pertahanannya (militer dan persenjataan). Jika kondisi ini terjadi maka kemungkinan negara yang lebih kuat kapabilitas militer dan persenjataannya akan menyerang negara musuhnya yang kapabilitas militer dan persenjataannya lebih lemah dari kekuatannya (negara yang kalah dalam perlombaan senjata).
Security dilemma tidak dapat dihentikan alasannya dengan beberapa alasan, pertama, adagium “Si vis pacem para bellum” masih menjadi mainstream utama negara-negara dalam usahanya menciptakan keamanan nasionalnya. Reasoning-nya adalah hampir semua negara di dunia ini melakukan pembelian senjata atau memproduksinya serta memperkuat kemampuan militernya. Apapun tujuannya, baik untuk defenseif maupun ofensif, tindakan memperkuat kemampuan militer dan persenjataan hampir pasti ditafsirkan sebagai persiapan untuk menyerang negara lain. Sesuai dengan asumsi dasar securitry dilemma maka negara yang merasa terancam akan melakukan tindakan serupa. Proses aksi- reaksi ini masih terjadi sampai saat ini dan sepertinya akan terus berlangsung selama entitas yang disebut negara masih ada. Kedua, argumen kaum liberal yang menyatakan bahwa dunia bisa menjadi damai dengan kerja sama ekonomi tidak bisa menghentikan security dilemma (perlombaan senjata). Fakta memperlihatkan bahwa globalisasi ekonomi yang terjadi di mana hubungan ekonomi antar negara semakin erat tidak menutup fakta bahwa dilema keamanan tetap mewarnai hubungan antar negara tersebut. Contoh nyata security dilemma di kawasan di kawasan Asia Timur Jauh (far east) yang meliputi Jepang, Cina, Korea Selatan, Korea Utara, Taiwan, dan dalam kasus tertentu melibatkan Rusia yang berada di luar kawasan. Sudah umum diketahui bahwa hubungan ekonomi negara-negara di kawasan ini sangat erat, di mana hampir sebagian besar investasi di Cina dilakukan oleh Taiwan, hubungan perdagangan Cina-Jepang yang volumenya selalu meningkat setiap tahun dengan nilai yang begitu besar, hubungan ekonomi Jepang-Korea Selatan, kemudian bantuan ekonomi Jepang yang terus diberikan kepada Korea Utara yang dapat dikatakan merupakan sumber utama perekonomian Korea Utara sampai saat ini, bantuan ekonomi Korea Selatan kepada Korea Utara, bantuan ekonomi Jepang kepada Rusia. Semua itu tidak menghilangkan kenyataan bahwa sampai saat ini kawasan far east adalah kawasan yang selalu dibayang-bayangi oleh perang karena security dilemma yang terus meningkat. Ketiga, fenomena terorisme menyebabkan security dilemma akan semakin meningkat, karena usaha-usaha yang dilakukan oleh banyak negara untuk menanggulangi terorisme menyebabkan terjadinya perlombaan senjata. Hal itu disebabkan oleh adanya tindakan di mana negara yang meningkatkan kemampuan persenjataan dan militernya untuk tujuan memberantas terorisme dicurigai oleh negara lain bahwa tindakan tersebut bertujuan untuk menyerang negaranya. Kasus nyata adalah kebijakan Jepang meluncurkan Program Rencana Pertahanan beberapa waktu yang lalu, yang ditujukan untuk menghadapi terorisme (kata Jepang) langsung mengundang reaksi keras negara-negara di kawasan Far East. Contoh lain adalah kebijakan Australia untuk memperkuat persenjataan dan peralatan militernya telah memancing reaksi keras dari Indeonesia. Aksi-reaksi tersebut dalam jangka waktu tertentu akan menyebabkan munculnya security dilemma. Jadi jelas bahwa security dilemma tidak dapat dihentikan.

Read more...

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP