DETERRENCE
by Heri Alfian
Deterrence secara harfiah adalah sebuah penangkisan, penolakan atau pencegahan, dalam hal ini maksud Deterrence adalah merupakan suatu strategi untuk mencegah terjadinya perang dengan cara ‘mengecilkan hati’ lawan (negara lain) yang mencoba menyerang. Tujuan utama defender disini adalah meyakinkan kepada negara lain bahwa kerugian yang ditimbulkan karena perang akan jauh melebihi keuntungan yang diharapkan. Hal ini biasanya diselesaikan dengan ancaman balas dendam secara militer atau membalas inisiator jika melakukan sesuatu yang tidak diinginkan. Lebih tepatnya defender harus menunjukkan komitmennya untuk menghukum atau membalas dan kemampuannya untuk melakukan hal tersebut untuk mendemonstrasikan credibility of the deterrence.
Konsep deterrence biasa diasosiasikan dengan kekuatan nuklir, tetapi penerapannya diperluas dalam berbagai situasi dimana salah satu pihak mencoba untuk mencegah pihak lain untuk melakukan tindakan yang belum dilakukan. Deterrence dapat pula digunakan dengan kekuatan untuk mencegah kelemahan dari percobaan penggulingan suatu negara.
Para ahli strategi mengidentifikasikan 4 macam deterrence. Dua jenis pertama yaitu General dan Immediate, dilakukan sesuai dengan kerangka waktu strategi. General deterrence adalah strategi jangka panjang yang dimaksudkan untuk “mengecilkan hati dengan pertimbangan yang serius atas segala bentuk ancaman kepentingan negara lain”. General deterrence berjalan setiap waktu, berusaha untuk mencegah negara lain yang mencoba menyerang dengan berbagai cara militer karena konsekuensi yang diinginkan. Immediate deterrence, sebaliknya, adalah suatu tanggapan terhadap yang ancaman yang jelas dan tegas atas kepentingan negara. Ketika aggressor mulai menyerang general deterrence dinyatakan gagal, tetapi immediate deterrence mungkin masih dapat dilakukan untuk meyakinkan aggressor untuk menghentikan dan tidak melanjutkan serangan.
Dua jenis deterrence yang lain berhubungan dengan lingkup geografis dari strategi yang dimaksud. Primary deterrence dimaksudkan untuk meminta negara lain untuk tidak menyerang wilayah suatu negara, selain itu extended deterrence adalah “mengecilkan hati” negara lain untuk tidak menyerang partner atau sekutu suatu negara.
Syarat-syarat deterrence
Terdapat tiga syarat atau kondisi yang harus dipenuhi dalam konsep deterrence.
Commitment, merupakan langkah pertama dalam pelaksanaan deterrence, defending state harus memiliki komitmen untuk membalas aggressor atau challenger ketika melakukan tindakan. Dalam kata lain defender harus membuat batas dan memperingatkan aggressor bahwa dia akan ‘menderita’ bila melewati atau melintasi batas tersebut. Komitmen tersebut harus jelas, tidak ambigu dan harus dinyatakan sebelum aggressor melakukan agresi. Komitmen yang ambigu dapat mendatangkan kerugian dari kepentingan aggressor dalam percobaan pemecahaan pertahanan. Deterrence seringkali gagal karena defender tidak menunjukkan dengan baik komitmen untuk membalas atau gagal dalam menetapkan tindakan pembalasan yang tepat dalam suatu kasus penyerangan.
Capability, komitmen yang jelas tidak akan berguna apabila negara tidak mempunyai cara atau sarana untuk menunjukkannya, ketika deterrence berputar sekitar menyakinkan aggressor bahwa kerugian dari tindakan tidak sebanding dengan keuntungannya, defender harus menyakinkan pula bahwa dia juga memiliki kemampuan untuk membalas. Sekalipun bila kemampuan deterrent negara lemah, dia tetap mencoba meyakinkan bahwa kemampuan untuk membalas yang dimiliki lebih kuat.
Credibility, suatu negara harus menyakinkan aggressor tentang keputusan dan keinginannya untuk menunjukkan komitmennya untuk menghukum atau membalas. Walaupun defender telah menyatakan komitmen dan menunjukkan kemampuannya untuk membalas, deterrence masih mungkin mengalami kegagalan jika aggressor meragukan keinginan defender mengambil resiko perang. Jelasnya, komitmen untuk membalas harus persuasive supaya tidak terdengar ‘gertak sambal’. Pada bagian lain keberhasilan defender bergantung pada reputasi perilaku dan image suatu negara.
Singkatnya, deterrence dapat mengalami kegagalan karena aggresor meragukan komitmen, kemampuan dan kredibilitas defender untuk membalas aggressor. Bagaimanapun, teori deterrence mengakui bahwa, defender harus dengan jelas menunjukkan komitmen serta kredibilitasnya untuk mempertahankan kepentingan negaranya, di sisi lain aggressor harus mengkalkulasikan juga keuntungan atau kerugian dari pembalasan (punishment), dalam hal ini masih sangat rational bagi aggressor untuk menyerang.
Dampak dan sumbangan teori deterrence
Bila diamati penerapan konsep deterrrence yang telah dilakukan oleh berbagai negara seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, dapat dikatakan bahwa deterrence telah memberikan dampak positif terhadap terciptanya keamanan nasional negara-negara tersebut serta berperan besar dalam menciptakan keamanan dunia. Alasan yang dapat diajukan adalah selama perang dingin tidak pernah terjadi perang terbuka (perang dalam arti sebenarnya) antara AS maupun Uni Soviet. Kekuatan nuklir yang dimiliki oleh kedua negara tidak pernah digunakan untuk saling menyerang, bahkan sampai hari ini. Karena masing-masing pihak merasa bahwa tidak akan mendapatkan keuntungan (politis maupun militer) apapun juga, sebaliknya akan sama-sama mengalami kehancuran jika persenjataan nuklir mereka digunakan untuk saling menyerang. Jadi pada dasarnya kekuatan nuklir Amerika Serikat dan Uni Soviet hanya sebagai alat untuk menciptakan efek psikologis yaitu masing-masing pihak takut untuk melakukan first strike, sehingga tidak terjadi perang terbuka.
Namun pada sisi lain banyak case yang memperlihatkan bahwa deterrence tidak memberikan dampak positif bagi keamanan nasional suatu negara dan keamanan dunia dan sebaliknya telah menyebabkan terjadinya perang terbuka. Hal itu disebabkan oleh adanya sifat vulnerability (mudah diserang) yang tinggi dalam penerapan konsep deterrence tersebut. Sifat vulnerability yang sering terjadi dalam penerapan deterrence yaitu:
• Adanya kesulitan untuk menentukan apakah deterrence yang dilakukan berhasil atau gagal
• Adanya kesalahan persepsi (misperception) terhadap tindakan ataupun “signal” yang dikirimkan oleh salah satu pihak
• Rasionalitas, menyangkut adanya keterbatasan keterbatasan decision maker untuk mencapai rasionalitas yang terbaik karena keterbatasan manusia untuk melakukan semua kalkulasi yang sangat banyak dan rumit.
Mengenai sumbangan yang diberikan terhadap pertahanan dan keamanan dunia dapat dilihat dari berbagai kasus penerapan deterrence yang dilakukan banyak negara terutama AS dan Uni Soviet yang tidak menyumbang secara positif terhadap keamanan nasional kedua negara tersebut, terlebih bagi keamanan dunia. Keamanan dalam hal ini mencakup keamanan dari rasa takut dan kecemasan dan tidak semata-mata hanya terhindar dari pecahnya perang terbuka. Tidak dapat dipungkiri bahwa selama Perang Dingin, masyarakat kedua negara berada dalam kondisi psikologis yang penuh dengan rasa ketakutan dan kecemasan akan pecahnya perang secara tiba-tiba. Selain itu deterrence yang dilakukan oleh AS dan Uni Soviet tidak menciptakan keamanan serta perdamaian bagi dunia karena perdamaian yang tampak sifatnya sangat artifisial.
0 comments:
Posting Komentar