widget

Selasa, 18 November 2008

KONSTRUKTIVIS

KONSTRUKTIVIS


DAMPAK SIGNIFICANT OTHER BARU DI IRAK
(Heri Alfian)

Sampai hari ini konflik di Irak terus meluas. Media AS bahkan menyebut konflik tersbut telah menjadi sebuah perang saudara . Pada dasarnya semua kekacauan di Irak diakibatkan oleh belum jelasnya identitas Irak. Irak belum menjadi negara demokratis sesungguhnya seperti harapan AS, namun tidak juga kembali ke bentuk negara otoriter. Identitas Irak akan ditentukan oleh significant other-nya.

Dalam pendekatan konstruktivis, invasi AS ke Irak dengan alasan untuk menggulingkan pemerintahan Saddam Hussein yang otoriter dengan pemerintahan yang demokratis, dipandang sebagai upaya mengganti identitas Irak. Pergantian identitas akan berpengaruh pada perubahan kepentingan. Jika identitas Irak terbentuk sesuai dengan keinginan AS maka secara teoretis kepentingan Irak juga akan berubah. Tentunya perubahan keinginan itu sesuai dengan keinginan AS pula. Akan tetapi, jika Iran dan Suriah jadi dilibatkan oleh AS di dalam proses pemulihan kekacauan di Irak, apakah keinginan AS itu masih mungkin tercapai?

Significant Other dan Perubahan Identitas
Significant other merujuk pada negara yang memiliki peran dan pengaruh paling besar terhadap negara lain (Alexander Wendt: STIP, 1995). Proses mempengaruhi dilakukan melalui interaksi antar negara yang terjadi dalam berbagai cara yaitu usulan, permintaan, perintah, dan pemaksaan.
Proses interaksi akan menyebabkan terjadinya perubahan identitas yaitu dari corporate identity ke social identity. Corporate identity merujuk identitas yang dihasilkan dari struktur yang homeostatic dan self-organizing yang membuat negara menjadi aktor yang berbeda dengan aktor lainnya. Dasar identitas ini adalah politik domestik yang secara ontologis lebih dahulu ada di dalam sistem negara dan sifatnya given. Sedangkan social identity merujuk pada identitas yang terbentuk di dalam atau melalui interaksi sosial. Dalam proses itu negara membawa atau memiliki maksud sendiri (the self), dan pada saat yang bersamaan mengambil (menyerap) perspektif pihak lain (others) tentang suatu obyek sosial. Jadi identitas sosial hanya eksis dalam konteks terjadinya hubungan antara the self dengan the others. Identitas ini mengalami perubahan (redefined) dalam proses interaksi.

Identitas Irak Setelah Invasi AS
Setelah Saddam terguling, AS berharap Irak mengalami perubahan identitas dari negara otoriter (corporate identity) menjadi negara yang demokratis (social identity). Perubahan itu diharapkan akan mendatangkan kebebasan bagi warga Irak terutama kebebasan berpolitik. Selanjutnya mereka akan mempunyai kesempatan yang sama untuk ikut terlibat dalam menentukan masa depan Irak.

Dengan kondisi itu, AS dengan segala kekuatan yang dimilikinya tentu akan lebih mudah mempengaruhi Irak dan mendapatkan kepentingannya. Akan tetapi harapan itu belum atau bahkan tidak akan menjadi kenyataan. Kenyataan menunjukkan, konflik di Irak semakin meluas setiap harinya. Hal itu bukannya memberikan kemudahan bagi AS untuk mendapatkan kepentingannya di Irak. Sebaliknya AS mengalami kerugian baik dari segi finansial, personil, maupun citra di dunia internasional. AS-pun terjebak dalam situasi buruk yang diciptakannya sendiri. AS berada dalam posisi point of no return yaitu “maju kena mundur juga kena”.

Keterlibatan Irak-Suriah
Di tengah-tengah kondisi tersebut, muncul wacana tentang upaya untuk melibatkan Iran dan Suriah. Keterlibatan kedua negara tersebut berarti akan menghadirkan significant other yang baru bagi Irak. Hal itu akan menyebabkan dua hal, pertama, keinginan AS untuk menjadikan Irak sebagai negara demokratis seperti demokrasi Barat kemungkinan besar tidak akan terjadi. Interaksi Irak dengan Iran dan Suriah yang memiliki corporate identity otoriter akan mempengaruhi collective meanings yang telah terbentuk antara Irak dengan AS.
Proses pembentukan collective meanings yang bertujuan membentuk sebuah identitas baru tidak lagi dipengaruhi oleh subyektifitas AS seorang diri, tetapi juga akan sangat ditentukan oleh subyektifitas Iran dan Suriah. Jadi collective meanings yang akan muncul adalah hasil dari intersubyektifitas kempat negara tersebut. Dengan demikian identitas Irak-pun masih sulit ditebak.
Kedua, kemungkinan untuk terjadinya konflik akan semakin besar. Hal itu disebabkan oleh latar belakang Iran yang mayoritas warga negaranya beraliran Syi’ah (89%), sedangkan Suriah mayoritas warga negaranya beraliran Sunni (74%). Besar kemungkinan bahwa Iran dan Suriah akan memberikan perlakuan yang berbeda terhadap warga Irak.

Mencermati hal tersebut, maka sebelum Suriah dan Iran dilibatkan di Irak, AS perlu melakukan dua hal. Pertama, AS harus menegaskan tentang apa saja kewajiban yang akan dilakukan oleh kedua negara tersebut di Irak. Hal itu harus dilakukan untuk mencegah terjadinya konsekuensi yang tidak diinginkan (unintended consequences) seperti pemihakan terhadap salah satu kelompok.
Kedua, AS harus memperlunak sikapnya atau kebijakannya terhadap kedua negara tersebut. Hal itu sangat penting dilakukan karena kebijakan bermusuhan yang diberlakukan oleh AS terhadap Iran dan Suriah selama ini akan mempengaruhi bentuk sikap kedua negara tersebut terhadap Irak. Harus diingat bahwa prinsip hubungan antar negara (power relation) tidak pernah benar-benar seperti apa yang tampak dipermukaan. Tidak ada sesuatu yang benar-benar gratis. There is no free lunch! Apakah konflik di Irak akan segera mereda dengan kehadiran significant other baru? Kita tunggu saja!































[*] Staf Pengajar pada Jurusan Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Jember

0 comments:

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP