Kecanggihan Strategi “ju-jitsu” Jepang
Kecanggihan Strategi “ju-jitsu” Jepang
Japan’s strength lay in “ju-jitsu”-the art of converting a weakness into a strength, or fall into a fresh attack.(E.H. Norman, dalam Malcolm Macintosh, Japan Rearmed, New York, 1986)
Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan evolusi kebangkitan militer Jepang terletak pada strategi “ju-jitsu”-nya yang sangat brilian. Betapa tidak, setiap kali Jepang meningkatkan kemampuan militernya seolah mendapatkan ruang pembenarannya di tengah-tengah hambatan internal dan eksternal yang begitu kuat. Kecanggihan strategi itu pada akhirnya akan berujung pada terwujudnya negara Jepang sebagai “normal state” yaitu memiliki perekonomian serta militer yang kuat dan mandiri.
Pada tanggal 10 Desember 2004, Jepang meluncurkan Program Rencana Pertahanan. Jepang meninggalkan sistem pertahanan yang sekedar membela diri hingga siap membela diri dengan rudal. Pada dasarnya perubahan kebijakan pertahanan Jepang tersebut bukanlah berita yang mengejutkan karena sejak Desember tahun 2000 Jepang telah mengadopsi MTDP (the Mid-Term Defense Programme) untuk tahun fiskal 2001-2005 yang secara substansial telah merubah secara U-turn posture pertahanan dan keamanan Jepang. MTDP merupakan bentuk kesepakatan Jepang-AS untuk menentukan besarnya anggaran militer Jepang untuk tahun 2001-2005. Beberapa item penting yang dapat dicatat sebagai bentuk perubahan kebijakan pasifis menjadi lebih bersifat ofensif adalah adanya ketentuan bahwa kekuatan SDF (the Self-defense Force) Jepang dikurangi hingga sebanyak 166.000 personil. Padahal realisasi kekuatan SDF pada tahun 2000 baru sebesar 286.000 personil militer. Direncanakan sampai tahun 2000 semestinya sebesar 350.000 personil. Momentum deklinasi kekuatan militer Jepang itu baru terjadi untuk pertama kalinya semenjak The Treaty Of Mutual Cooperation an Security between Japan and The United States of America pada tahun 1951. Sejak perjanjian tersebut sampai Nixon-Tanaka Communique pada tahun 1973 kekuatan militer Jepang selalu mengalami inklinasi dari 75.000 pada tahun 1951, meningkat 117.177 pada tahun 1953, meningkat lagi menjadi 156.000 pada tahun 1955, 206.001 tahun 1960, dan menjadi 286.000 pada tahun 2000.
Yang menarik adalah, dibalik deklinasi kekuatan personil militer tersebut berdasarkan MTDP 2001-2005 itu, Jepang memusatkan peningkatan kapabilitas militernya pada, pertama pengembangan kemampuan untuk counter cyber-attack dan mengamankan information technology serta jaringan komunikasi internasional. Kedua, mengembangkan counter attack by irregular forces, possibly armed with nuclear, biological or chemical devices. Dana yang diterima kabinet Jepang untuk pelaksanaan MTDP sejak 5 desember 2000 sampai 2005 adalah 25 triliun Yen (kira-kira US$203 milyar). Jadi secara personil militer terjadi penurunan atau deklinasi pada posture kekuatan pertahanan Jepang, namun dari segi persenjataan dan peralatan pertahanan dan keamanan Jepang mengalami modernisasi yang sangat signifikan. Modernisasi tersebut mencakup lima area Ground, Maritime, Air Defense, IT network, Research and Development. Di dalam program tersebut disebutkan tentang kerjasama research and development dengan AS dalam hal pengembangan theater missile defense, Fixed wing maritime patrol/ ASW P-3C dan C-1 transport replacements; pembangunan defense information infrasructure (triservice computer integration program, dan Common operating environment . Modernisasi ini akan menyebabkan Jepang memiliki kekuatan misil yang canggih serta akan sangat unggul dalam peningkatan kinerja persenjataan dan peralatan militer.
Modernisasi kekuatan pertahanan dan keamanan tersebut akan memberikan dua keuntungan bagi Jepang yaitu pertama, keuntungan jangka pendek yaitu terjadinya peningkatan efektifitas militer. Dalam jangka waktu lima tahun senjata-senjata dan peralatan militer tercanggih sudah dapat dimiliki Jepang. Hal itu tentu lebih efektif jika dibandingkan dengan kekuatan yang akan dimilikinya dengan merekrut puluhan atau ratusan ribu personil tentara, mengingat saat ini kekuatan militer lebih berorientasi pada kecanggihan persenjataan dan peralatan. Efektifitas itu juga terkait dengan sikap penolakan masyarakat Jepang terhadap keberadaan SDF. Bahkan sampai saat ini anggota SDF dianggap sebagai orang buangan “outcasts of society”. Maka jika Jepang terus memperbesar jumlah personil militernya akan terjadi pergolakan politik di dalam negeri yaitu penentangan dari para pendukung partai kiri seperti JCP (Japan Communist Party) dan JSP (Japan Socialist Party). Selain itu, jika dikalkulasi berdasarkan perimbangan kekuatan personil militer dengan negara-negara di kawasan Asia Timur, personil militer Jepang sangat kecil, namun Jepang tetap secure enough, sebab terdapat pasukan AS yang memiliki pangkalan militer di wilayah-wilayah Jepang ditambah dengan pasukan AS di Korea Selatan dan di Pasifik Barat (Seventh Fleet), yang selalu siap melindungi keamanan nasional Jepang.
Keuntungan kedua yaitu keuntungan jangka panjang dimana modernisasi itu merupakan sebuah langkah besar Jepang untuk mencapai suatu independensi keamanan regionalnya. Seperti diketahui bahwa selama ini keamanan regional Jepang masih sangat tergantung kepada AS, selain karena alasan terikat pada aliansi keamanan, juga karena alasan persenjataan dan peralatan militer yang tidak mencukupi untuk melakukan pengawasan atau patroli jarak jauh. Dengan modernisasi tersebut maka Jepang akan mampu mengamankan kawasannya sejauh mungkin tanpa tergantung lagi pada AS. Misalnya dengan New mid-refuelling tankers jarak jangkau fighter aircraft Jepang akan bertambah hingga mencapai seluruh Asia Timur. Kemampuan untuk counter cyber attack dengan pengembangan defense information infrastructure akan memberikan kemampuan bagi Jepang untuk mengacaukan sistem komunikasi lawan. Dengan peralatan dan persenjataan modern seperti itu maka peristiwa percobaan rudal Korea Utara tahun 1998 yang melesat di atas wilayahnya tidak akan terjadi lagi.
Kepentingan Jepang dengan modernisasai kekuatan pertahanan dan keamanannya tidak berhenti pada pencapain dua keuntungan di atas. Pada dasarnya main end yang ingin dicapai Jepang adalah apa disebut oleh Ichiro Ozawa sebagai “normal state”, yang merupakan cita-cita Jepang sejak zaman Meiji. Siapapun mengakui bahwa Jepang saat ini adalah salah satu negara yang memiliki perekonomian terkuat. Namun dalam bidang militer Jepang dapat dikatakan military-less. Sejak menandatangani Postdam Declaration pada 26 Agustus 1945, Jepang tidak memiliki kekuatan militer sama sekali. Bahkan setelah berlakunya peace constitution yaitu Konstitusi 1947 Jepang tidak boleh memiliki militer. Praktis sampai dengan tahun 1950 Jepang benar-benar tidak memiliki kekuatan militer dan berstatus sebagai negara pasifis.
Perubahan mulai terjadi pada tahun 1951 yaitu momentum terjadinya Perang Korea. Selama kurun waktu perang Korea tahun 1950-1951 keamanan Jepang dirasakan sangat terancam. Hal ini disebabkan karena pemindahan pasukan AS yang berada di Jepang ke Arena perang Korea. Keadaan itu telah mendorong AS menekan Jepang agar membangun kembali militernya. Namun karena masyarakat Jepang saat itu masih mengalami traumatik yang kuat akibat PD II, maka Jepang tidak langsung menerima tawaran AS. Untuk menyiasati kondisi tersebut pemerintah Jepang mengambil jalan tengah yaitu menjalin aliansi dengan AS yang didasarkan pada Perjanjian Keamanan Jepang AS pada tahun 1951. Dengan aliansi itu Jepang mendapatkan Jaminan keamanan dari AS dan dalam waktu yang bersamaan Jepang membangun kembali kekuatan militernya yang waktu itu masih berupa polisi cadangan dan hanya berjumlah 75.000 personil
Sejak momentum pembangunan kembali kekuatan militer tersebut strategi Jepang terus berjalan dengan memanfaatkan momentum-momentum politik keamanan internasional yang melibatkan AS, seperti momentum mualainya perang Dingin, perang Vietnam, sampai momentum kekalahan AS di perang Vietnam. Setiap momentum tersebut dimanfaatkan oleh Jepang dengan baik yaitu meningkatkan kekuatan militernya karena pada momentum-monentum tersebut kemampuan AS untuk melindungi Jepang semakin menurun, sehingga Jepang harus mulai melindungi dirinya sendiri, at least untuk menjaga keamanan dalam negerinya saja.
Keberhasilan Jepang membangun kembali kapabilitas pertahanannya merupakan resultansi dari strategi yang begitu smooth dan cerdas. Di tengah berbagai kesulitan yang berasal dari faktor internal seperti penentangan dari masyarakat dan hambatan Konstitusi; dan faktor eksternal yaitu keterikatan dan ketergantungan terhadap AS serta reaksi negatif dari dunia internasional, perlahan namun pasti militer Jepang telah tumbuh menjadi kekuatan yang menyamai militer negara-negara kuat seperti Inggris dan Prancis. Bahkan anggaran militernya menempati urutan atas sebagai negara yang memiliki anggaran militer tertinggi di dunia.
Kebijakan Jepang meluncurkan Program Rencana Pertahanan baru-baru ini merupakan salah satu strategi menuju puncak main end-nya. Kebijakan tersebut menemukan ruang pembenarannya yaitu ketika isu-isu keamanan internasional yang akhir-akhir ini diwarnai oleh isu terorisme serta ancaman nuklir Korea Utara yang semakin nyata, maka masyarkat Jepang dan dunia internasional seolah semakin kehilangan alasan untuk mencegah Jepang sebagai negara normal.
Dari kacamata pendekatan realpolitik memang sudah saatnya bagi Jepang untuk memikul tanggung jawab pertahanan kemanannya sendiri. Sebab ketergantungan pada aliansi keamanan terhadap AS hanyalah suatu cara untuk meningkatkan atau memperbesar keamanan negara, namun aliansi tidak bisa dijadikan pegangan untuk menjamin keamanan negara. Logika realpolitik menyebutkan bahwa damai (peace) tidak pernah bisa dijamin (assured) akan tetapi bisa di capai (attained) (Papp:1984). Dengan kekuatan militernya saat ini serta pergeseran aktor sistem dunia yang anarkis dari hanya state actors menjadi multy actors maka kemandirian milieter Jepang merupakan suatu keniscayaan.
Pada tanggal 10 Desember 2004, Jepang meluncurkan Program Rencana Pertahanan. Jepang meninggalkan sistem pertahanan yang sekedar membela diri hingga siap membela diri dengan rudal. Pada dasarnya perubahan kebijakan pertahanan Jepang tersebut bukanlah berita yang mengejutkan karena sejak Desember tahun 2000 Jepang telah mengadopsi MTDP (the Mid-Term Defense Programme) untuk tahun fiskal 2001-2005 yang secara substansial telah merubah secara U-turn posture pertahanan dan keamanan Jepang. MTDP merupakan bentuk kesepakatan Jepang-AS untuk menentukan besarnya anggaran militer Jepang untuk tahun 2001-2005. Beberapa item penting yang dapat dicatat sebagai bentuk perubahan kebijakan pasifis menjadi lebih bersifat ofensif adalah adanya ketentuan bahwa kekuatan SDF (the Self-defense Force) Jepang dikurangi hingga sebanyak 166.000 personil. Padahal realisasi kekuatan SDF pada tahun 2000 baru sebesar 286.000 personil militer. Direncanakan sampai tahun 2000 semestinya sebesar 350.000 personil. Momentum deklinasi kekuatan militer Jepang itu baru terjadi untuk pertama kalinya semenjak The Treaty Of Mutual Cooperation an Security between Japan and The United States of America pada tahun 1951. Sejak perjanjian tersebut sampai Nixon-Tanaka Communique pada tahun 1973 kekuatan militer Jepang selalu mengalami inklinasi dari 75.000 pada tahun 1951, meningkat 117.177 pada tahun 1953, meningkat lagi menjadi 156.000 pada tahun 1955, 206.001 tahun 1960, dan menjadi 286.000 pada tahun 2000.
Yang menarik adalah, dibalik deklinasi kekuatan personil militer tersebut berdasarkan MTDP 2001-2005 itu, Jepang memusatkan peningkatan kapabilitas militernya pada, pertama pengembangan kemampuan untuk counter cyber-attack dan mengamankan information technology serta jaringan komunikasi internasional. Kedua, mengembangkan counter attack by irregular forces, possibly armed with nuclear, biological or chemical devices. Dana yang diterima kabinet Jepang untuk pelaksanaan MTDP sejak 5 desember 2000 sampai 2005 adalah 25 triliun Yen (kira-kira US$203 milyar). Jadi secara personil militer terjadi penurunan atau deklinasi pada posture kekuatan pertahanan Jepang, namun dari segi persenjataan dan peralatan pertahanan dan keamanan Jepang mengalami modernisasi yang sangat signifikan. Modernisasi tersebut mencakup lima area Ground, Maritime, Air Defense, IT network, Research and Development. Di dalam program tersebut disebutkan tentang kerjasama research and development dengan AS dalam hal pengembangan theater missile defense, Fixed wing maritime patrol/ ASW P-3C dan C-1 transport replacements; pembangunan defense information infrasructure (triservice computer integration program, dan Common operating environment . Modernisasi ini akan menyebabkan Jepang memiliki kekuatan misil yang canggih serta akan sangat unggul dalam peningkatan kinerja persenjataan dan peralatan militer.
Modernisasi kekuatan pertahanan dan keamanan tersebut akan memberikan dua keuntungan bagi Jepang yaitu pertama, keuntungan jangka pendek yaitu terjadinya peningkatan efektifitas militer. Dalam jangka waktu lima tahun senjata-senjata dan peralatan militer tercanggih sudah dapat dimiliki Jepang. Hal itu tentu lebih efektif jika dibandingkan dengan kekuatan yang akan dimilikinya dengan merekrut puluhan atau ratusan ribu personil tentara, mengingat saat ini kekuatan militer lebih berorientasi pada kecanggihan persenjataan dan peralatan. Efektifitas itu juga terkait dengan sikap penolakan masyarakat Jepang terhadap keberadaan SDF. Bahkan sampai saat ini anggota SDF dianggap sebagai orang buangan “outcasts of society”. Maka jika Jepang terus memperbesar jumlah personil militernya akan terjadi pergolakan politik di dalam negeri yaitu penentangan dari para pendukung partai kiri seperti JCP (Japan Communist Party) dan JSP (Japan Socialist Party). Selain itu, jika dikalkulasi berdasarkan perimbangan kekuatan personil militer dengan negara-negara di kawasan Asia Timur, personil militer Jepang sangat kecil, namun Jepang tetap secure enough, sebab terdapat pasukan AS yang memiliki pangkalan militer di wilayah-wilayah Jepang ditambah dengan pasukan AS di Korea Selatan dan di Pasifik Barat (Seventh Fleet), yang selalu siap melindungi keamanan nasional Jepang.
Keuntungan kedua yaitu keuntungan jangka panjang dimana modernisasi itu merupakan sebuah langkah besar Jepang untuk mencapai suatu independensi keamanan regionalnya. Seperti diketahui bahwa selama ini keamanan regional Jepang masih sangat tergantung kepada AS, selain karena alasan terikat pada aliansi keamanan, juga karena alasan persenjataan dan peralatan militer yang tidak mencukupi untuk melakukan pengawasan atau patroli jarak jauh. Dengan modernisasi tersebut maka Jepang akan mampu mengamankan kawasannya sejauh mungkin tanpa tergantung lagi pada AS. Misalnya dengan New mid-refuelling tankers jarak jangkau fighter aircraft Jepang akan bertambah hingga mencapai seluruh Asia Timur. Kemampuan untuk counter cyber attack dengan pengembangan defense information infrastructure akan memberikan kemampuan bagi Jepang untuk mengacaukan sistem komunikasi lawan. Dengan peralatan dan persenjataan modern seperti itu maka peristiwa percobaan rudal Korea Utara tahun 1998 yang melesat di atas wilayahnya tidak akan terjadi lagi.
Kepentingan Jepang dengan modernisasai kekuatan pertahanan dan keamanannya tidak berhenti pada pencapain dua keuntungan di atas. Pada dasarnya main end yang ingin dicapai Jepang adalah apa disebut oleh Ichiro Ozawa sebagai “normal state”, yang merupakan cita-cita Jepang sejak zaman Meiji. Siapapun mengakui bahwa Jepang saat ini adalah salah satu negara yang memiliki perekonomian terkuat. Namun dalam bidang militer Jepang dapat dikatakan military-less. Sejak menandatangani Postdam Declaration pada 26 Agustus 1945, Jepang tidak memiliki kekuatan militer sama sekali. Bahkan setelah berlakunya peace constitution yaitu Konstitusi 1947 Jepang tidak boleh memiliki militer. Praktis sampai dengan tahun 1950 Jepang benar-benar tidak memiliki kekuatan militer dan berstatus sebagai negara pasifis.
Perubahan mulai terjadi pada tahun 1951 yaitu momentum terjadinya Perang Korea. Selama kurun waktu perang Korea tahun 1950-1951 keamanan Jepang dirasakan sangat terancam. Hal ini disebabkan karena pemindahan pasukan AS yang berada di Jepang ke Arena perang Korea. Keadaan itu telah mendorong AS menekan Jepang agar membangun kembali militernya. Namun karena masyarakat Jepang saat itu masih mengalami traumatik yang kuat akibat PD II, maka Jepang tidak langsung menerima tawaran AS. Untuk menyiasati kondisi tersebut pemerintah Jepang mengambil jalan tengah yaitu menjalin aliansi dengan AS yang didasarkan pada Perjanjian Keamanan Jepang AS pada tahun 1951. Dengan aliansi itu Jepang mendapatkan Jaminan keamanan dari AS dan dalam waktu yang bersamaan Jepang membangun kembali kekuatan militernya yang waktu itu masih berupa polisi cadangan dan hanya berjumlah 75.000 personil
Sejak momentum pembangunan kembali kekuatan militer tersebut strategi Jepang terus berjalan dengan memanfaatkan momentum-momentum politik keamanan internasional yang melibatkan AS, seperti momentum mualainya perang Dingin, perang Vietnam, sampai momentum kekalahan AS di perang Vietnam. Setiap momentum tersebut dimanfaatkan oleh Jepang dengan baik yaitu meningkatkan kekuatan militernya karena pada momentum-monentum tersebut kemampuan AS untuk melindungi Jepang semakin menurun, sehingga Jepang harus mulai melindungi dirinya sendiri, at least untuk menjaga keamanan dalam negerinya saja.
Keberhasilan Jepang membangun kembali kapabilitas pertahanannya merupakan resultansi dari strategi yang begitu smooth dan cerdas. Di tengah berbagai kesulitan yang berasal dari faktor internal seperti penentangan dari masyarakat dan hambatan Konstitusi; dan faktor eksternal yaitu keterikatan dan ketergantungan terhadap AS serta reaksi negatif dari dunia internasional, perlahan namun pasti militer Jepang telah tumbuh menjadi kekuatan yang menyamai militer negara-negara kuat seperti Inggris dan Prancis. Bahkan anggaran militernya menempati urutan atas sebagai negara yang memiliki anggaran militer tertinggi di dunia.
Kebijakan Jepang meluncurkan Program Rencana Pertahanan baru-baru ini merupakan salah satu strategi menuju puncak main end-nya. Kebijakan tersebut menemukan ruang pembenarannya yaitu ketika isu-isu keamanan internasional yang akhir-akhir ini diwarnai oleh isu terorisme serta ancaman nuklir Korea Utara yang semakin nyata, maka masyarkat Jepang dan dunia internasional seolah semakin kehilangan alasan untuk mencegah Jepang sebagai negara normal.
Dari kacamata pendekatan realpolitik memang sudah saatnya bagi Jepang untuk memikul tanggung jawab pertahanan kemanannya sendiri. Sebab ketergantungan pada aliansi keamanan terhadap AS hanyalah suatu cara untuk meningkatkan atau memperbesar keamanan negara, namun aliansi tidak bisa dijadikan pegangan untuk menjamin keamanan negara. Logika realpolitik menyebutkan bahwa damai (peace) tidak pernah bisa dijamin (assured) akan tetapi bisa di capai (attained) (Papp:1984). Dengan kekuatan militernya saat ini serta pergeseran aktor sistem dunia yang anarkis dari hanya state actors menjadi multy actors maka kemandirian milieter Jepang merupakan suatu keniscayaan.
0 comments:
Posting Komentar